Angga menghempaskan tubuhnya di ranjang kamarnya dan Dina, laki-laki itu bahkan sudah melepas jas dan dasinya lalu menyampirkannya asal di kursi rias, yang membuat Dina sedikit mengomel.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya Angga mungkin heran melihat Dina yang sibuk sendiri membongkar isi lemari.“Bentar, Mas aku mau ambilin baju ganti bentar?”“Untuk apa?” Dina segera tersadar sekarang suaminya bukan hanya untuk dirinya ada wanita lain yang berhak memberi perhatian yang sama untuk sang suami. “Maaf, aku lupa kalau Mas bukan hanya suamiku, mungkin Keira yang akan menyiapkan kebutuhan Mas beberapa hari nanti.” Dina berusaha tersenyum dan tampak baik-baik saja di hadapan sang suami, meski hatinya sakit sekali. “Kemarilah sebentar,” panggil Angga, laki-laki itu sudah duduk tegak di atas ranjang. Dina menurut wanita itu segera menghampiri Angga dan meraih kaki sang suami ke dalam pangkuananya, dengan pelan dia memijit kaki itu. sebenarnya dia sangat tak ingin mengingat keadaanya sekarang tapi dia juga tahu bahwa hal seperti ini tak akan bisa dihindari mulai sekarang.Apalagi suaminya yang bukan orang dari kalangan biasa, pasti banyak kepala yang akan berusaha mencari tahu kehidupan rumah tangga mereka. “Sudah cukup, capeknya sudah hilang,” Angga tersenyum manis pada sang istri. “Mendekatlah.” Tanpa diminta dua kali Dina mendekat pada sang suami dan langsung memeluknya erat, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa meski semuanya tak lagi sama tapi tetap akan baik-baik saja, dia hanya perlu menata hatinya supaya menjadi terbiasa. Terbiasa berbagi, terbiasa diduakan, dan terbiasa untuk berteman dengan rasa cemburu. “Maaf.” Dina masih bisa mendengar ucapan suaminya yang memeluknya erat sambil mendaratkan kecupan di puncak kepalanya. "Maaf karena memduakanmu, maaf aku tidak bisa melawan takdir di antara kita." Dina tak dapat membendung air matanya bahkan dia tak peduli kemeja Angga yang basah oleh air matanya, dia hanya ingin menangis menyesali takdir yang telah menyapa mereka. "Apakah, Mas mencintainya?" Dina sudah melepaskan pelukannya dan menatap sang suami tajam. Keira, wanita yang baru saja dinikahi suaminya itu sangat cantik dan terlihat baik, dan yang pasti dia dari keluarga yang jelas asal usulnya bukan anak panti tanpa tahu siapa orang yang bertanggung jawab lahirnya dia di dunia ini."Aku sudah banyak belajar, Din, dalam penikahan tak harus ada cinta, hanya saling pengertian dan tanggung jawab."Dina meringis pandangan suaminya tentang penikahan memang seperti itu. Dan dia dapat mengartikan pula kalau tak ada cinta untuk dirinya, hanya masalah tanggung jawab saja. mungkin karena dia belum rela ditinggalkan untuk selama-lamanya oleh istri yang dia cintai."Aku mengerti." "Aku sudah cukup tua untuk membicarakan tentang cinta, sekarang usiaku empat puluh satu, aku hanya ingin hidup tenang bersama istri dan anakku.""Berarti nggak masalah ya kamu punya istri banyak asal hidupmu tenang," sindirnya ketus.Angga tertawa puas melihat kecemburuan di wajah istrinya. "Malah ketawa seneng banget kayaknya.""Bukannya seneng mukamu itu lucu banget waktu bilang begitu, sudahlah kita jalani saja ini takdir kita.""Enak banget situ bilang takdir," dumel Dina.Angga kembali memeluk Dina erat. Dia bahkan sudah menjelajahi wajah sang istri, tangannya juga tak mau ketinggalan bergerilya mencari bagian yang sangat dia sukai, semula Dina hanya memandang sang suami heran tapi akhirnya dia hanya pasrah membuang semua gengsi dan membalas perlakuan sang suami."Bukannya, Mas seharusnya bersama Keira, kenapa malah di sini bersamaku?" tanya Dina, tak dapat membendung rasa penasarannya, bahkan nafas mereka masih memburu setelah perang dahsyat yang mereka lakukan. "Aku akan tidur di sini malam ini.""Hah, bukannya ini malam pertama kalian?" cari mati kamu Dina sudah tahu akan sakit hati tetap saja ditanyakan."Itu kesepakatan kami, sebelum kami pergi bulan madu aku akan tidur bersamamu." "Setelah ini, Mas mau ke mana?" "Ke mana, maksudnya?""Itu tadi Mas nggak mau ganti baju, apa mau pergi ke suatu tempat, tapi sekarang baju, Mas...." Dina menunjuk pakaian mereka yang sudah kusut tak karuan."Oh itu maksudku, aku mau ngomong sama kamu, tapi kamunya malah sibuk sendiri.""Mas benar-benar membatalkan resepsi nanti malam? Bagaimana dengan para undangan?" "Aku sudah minta Bara mengurusnya, jadi jangan khawatir dia pasti tahu apa yang harus dilakukan," katanya dengan tak perduli."Bagaimana perasaan, Mas saat ini apa Mas bahagia?" "Tanpa aku bilang kamu pasti sudah tahu, Din. Ini memang kesalahanku tapi aku juga tak bisa lari begitu saja, aku harap kamu mengerti ini juga sulit untukku."Dina tentu saja mengerti dengan kondisi mereka saat ini, hanya hatinya yang tak begitu saja menerima tiba-tiba harus diduakan."Apa rencana, Mas selanjutnya?""Jujur saja, aku belum tahu, ini juga terlalu tiba-tiba untukku. Apa kamu keberatan kalau Keira juga tinggal di rumah ini?" Dina terdiam, rumah yang mereka tempati sekarang adalah rumah Angga dan mendiang istrinya, dan Dina merasa dia sama sekali tak punya hak atas rumah ini, dia selalu merasa dua anak Angga dari pernikahan sebelumnyalah yang pantas memilikinya."Ini rumah, Mas jadi terserah saja apa yang akan Mas lakukan.""Ckkk maksud aku apa kalian akan akur... baiklah aku akan menempatkan Keira di rumah tersendiri, bagaimanpun akan sangat canggung kalau kalian ada dalam satu rumah." Dina memandang suaminya datar, itu memang alasan yang paling masuk akal, sulit sekali mengetahui ada orang lain yang punya hak yang sama atas suami kita, apalagi kalau dalam satu rumah."Mas sudah menanyakan pada Keira?" "Belum, aku belum sempat bicara dengannya, pikiranku tadi kacau saat melihatmu dan Ara." "Sebaiknya Mas juga membicarakan dengannya dia juga punya hak berpendapat."Dina melihat Angga yang mengangguk menyetujui usulannya, bukannya Dina ingin sok bijak, sok bisa terima semuanya tapi dia hanya ingin realistis, dan mencegah berbagai masalah yang bisa timbul nantinya.Lima tahun menjadi istri Angga, Dina menyadari bahwa tidak mudah mendampingi pria itu, laki-laki yang sangat tampan dengan harta melimpah, banyak sekali wanita yang ingin mendekati suaminya. Belum lagi keluarga mereka yang masih memiliki darah ningrat, memaksanya belajar berbagai macam adat istiadat yang kadang terasa tak masuk akal."Bagaimana kesehatan Keira sendiri sekarang?" tanya Dina yang tiba-tiba ingat bagaimana kondisi istri muda suaminya itu paska kecelakaan."Kata dokter sudah membaik, tapi masih butuh banyak istirahat. Aku sebenarnya menolak saat Mama mengatakan membelikan tiket bulan madu ke lombok, tapi sepertinya Keira sangat ingin ke sana jadi aku setuju." Dina tidak mengatakan apapun, dia sedikit iri pada Keira yang bisa pergi berdua dengan suaminya. Saat pernikahan dulu jangankan bulan madu, Angga saja langsung bekerja di hari berikutnya, dan Dina harus mengurus anak-anak Angga yang saat itu masih kecil. Mereka hanya akan pergi berdua saat menghadiri kondangan dari kerabat, sisanya mereka sibuk dengan urusan masing-masing.Pernikahan yang luar biasa bukan.Kehadiran Keira dalam rumah tangga mereka memang bukan tanpa alasan, semuanya berawal dari suatu pagi yang sangat sibuk dengan Angga yang masih berada di depan laptopnya setelah semalam dia sampai di rumah hampir pukul tiga dini hari.Tidur hanya tiga jam tak membuat Angga bangun kesiangan, laki-laki itu seolah memiliki baterai yang selalu on. “Kok sudah bangun, Mas?” tanya Dina yang mendapati suaminya sudah sibuk dengan laptop dan kertas-kertas di depannya. “Habis ini ada meeting penting, aku harus siapin data-datanya,” jawab Angga sambil lalu, dia bahkan tak mngalihkan pandangan matanya dari laptop saat bicara dengan Dina. “Sebaiknya, Mas mandi dulu biar segar, setelah itu sarapan, aku sudah buatkan nasi goreng seafood kesukaanmu.” Dina segera beranjak berdiiri menyiapkan segala keperluan mandi suaminya, setelah itu beralih menyiapkan pakaian, jam tangan, tas sampai dokumen-dokumen yang harus dibawa suaminya ke kantor. “Berkas ini semua dibawa?” tanya Dina saat sang suami belum
Pagi itu seperti biasa Dina sudah ribut mengurus semua keperluan anak-anak dan suaminya, kalau kalian berpikir menjadi istri bos itu enak kalian harus bepikir ulang saat berhadapan dengan Angga dan anak-anaknya. Mereka hanya mau Dina yang mengurus semuanya, mulai menyiapkan pakaian maupun memasakkan sarapan. “Aksa jangan main game terus, ayo selesaikan makanmu.” Aksa anak pertama Angga dengan almarhum istrinya, langsung memasang muka cemberut tapi menurut dengan meletakan ponselnya dan mulai memakan sarapannya. “Arsyi, makannya cepetan keburu siang.”Ditinggal sang ibu saat masih berumur tujuh tahun dan lima tahun membuat dua orang anak Angga seperti kehilangan Arah mereka yang terbiasa bersama sang mama harus rela dipisahkan oleh maut dan Dinalah yang selama ini membantu mereka mengatasi kesedihan, bukan sebagai ibu karena Dina sudah memberitahukan kalau dia hanya teman dan sahabat untuk dua anak yang beranjak remaja itu.Dina memang tidak berkeinginan untuk menggantikan mama mere
Dina segera masuk ke kamar mandi dinyalakannya shower, berharap dengan dinginnya air yang mengalir mampu menjernihkan otaknya, tapi Bukannya otaknya yang menjadi dingin, air matanyalah yang mengalir, dia tidak menyesali takdir yang telah ditetapkan tuhan untuknya, yang paling dia sesali adalah hatinya yang tak bisa menerima kenyataan ini. Derasnya air dari shower tak mampu menyembunyikan air matanya yang mengalir berambah deras.Dina membekap mulutnya sendiri. Berusaha meredam segala sesak di dada.Tak ingin terlambat ke kantor Dina segera menyelesaikan ritual mandinya, memandang wajahnya dari cermin."Pasti aku akan terlihat menyedihkan," gumam Dina pelan. Ditepuk-tepuknya wajahnya supaya terlihat lebih berwarna. Hidupnya memang sedang tidak baik-baik saja, tapi dia tak mau ada orang yang merasa kasihan padanya. Sekian lama hidup di panti asuhan bukan berarti dia mengharapkan rasa kasihan orang lain. "Aku hampir saja mendobrak pintu kamar mandi kalau kamu tidak segera keluar dari
Melihat dina yang melangkah pergi Angga tersadar, dipeluknya tubuh Dina dari belakang sangat erat, seolah dia sangat takut kalau Dina akan menghilang dari hidupnya. “Jangan pergi.” “Mas apa-apaan sih aku mau kerja, urusan anak-anak dan Keira, hanya butuh sedikit usaha saja mereka pasti luluh, mereka anak-anak yang baik, yang tahu bagaimana harus bersikap, tinggal dia pantas tidak untuk mendapat perhatian anak-anak.” Angga melepaskan pelukannya di tubuh Dina tapi sebagai gantinya laki-laki itu, membalikkan bahu sang istri dan menatapnya tajam. “Aku ingin bicara, tolong dengarkan sebentar saja, atau kamu tidak boleh kerja lagi.” Dina menatap suaminya tak percaya, tadi Angga membentaknya sekarang diancam, luar biasa memang suaminya ini. Dina benci dirinya sendiri yang malah menuruti Angga dan melangkah ke tempat tidur. Kenapa sejak dulu dia selalu saja menjadi wanita naif yang selalu melakukan apapun yang diinginkan sang suami. Di sini dia istri Angga bukan pegawai kantorny
"Harus ya kamu melakukan itu, ingat, Din kamu juga seorang ibu bagaimana anak-anak kalau kamu tinggal?" "Aku akan membawa Ara.""Jangan bilang kamu akan meninggalkan Aksa dan Arsyi, aku tahu kamu memang bukan ibu kandung mereka tapi mereka sangat menyayangimu melebihi aku papanya.""Mereka pasti akan ngerti, lagi pula tiap hari aku akan memantau mereka Mas tidak usah khawatir." "Lalu aku?" Dina hampir saja tertawa melihat laki-laki dewasa yang biasanya bijaksana kini malah seperti anak kecil menujuk hidungnya sendiri dengan bingung."Mas kenapa memangnya?""Selama ini semua kebutuhanku di rumah kamu yang urus dari bangun tidur sampai tidur lagi.""Mas lupa kalau sudah punya istri yang lain yang bisa mengurus Mas," Dina berkata sinis."Tapi aku ingin kamu yang mengurus semuanya, kurasa Keira tak akan mampu mengurus semuanya sebaik dirimu."
Perjalanan yang berlangsung selama tiga puluh menit itu terasa sangat sunyi, bahkan Pak Amin yang menjadi sopir mereka enggan menyalakan radio untuk sekedar membuat suasana lebih hidup.Apalagi saat Aksa dan Arsyi sudah turun di sekolah mereka masing-masing. Si kecil Ara juga sibuk memainkan boneka barbienya, sesekali terdengar rengekan anak itu, meminta ini itu, tapi dengan sabar Dina menenangkannya.Pak Amin sekali lagi melirik ke belakang melalui kaca spion, dua orang dewasa itu masih betah berdiam diri dengan wajah sama-sama datar, Pak Amin bahkan tak bisa menebak mereka sedang marahan atau sekedar lelah. Peristiwa kemarin mungkin menjadi penyebabnya, bagaimanapun tidak ada yang tahu akan seperti apa hubungan mereka bertiga nanti.Mereka tiba di halaman panti dan langsung di sambut heboh oleh anak-anak di sana, Dina sudah sangat dikenal di panti ini, setiap bulan dia pasti akan menyempatkan diri berkunjung ke mari.
"Pak Amin tunggu di kantor saya saja, biar mobilnya saya bawa, dari sini bisakan naik ojol saya mau pergi sebentar dengan Ibu." Angga mengangsurkan beberapa lembar uang seratus ribuan pada sopir yang mengantar mereka tadi."Tidak perlu, Tuan saya ada uang.”Pak Amin menolak uang pemberian Angga dengan sungkan."Sudah, Pak, nggak apa-apa anggap saja rejeki buat anak Bapak." Angga memaksa meletakkan uang itu dan diterima Pak Amin dengan sungkan."Ya sudah, Tuan saya langsung ke kantor Tuan dulu.""Iya, Pak hati-hati."Angga menarik nafas sejenak lalu, masuk ke kursi pengemudi, menunggu dengan sabar Dina yang sedang berpamitan pada Ibu Panti."Kamu duduk di depan, Din, aku bukan sopir." Dina melirik bingung ke mana Pak Amin, kenapa jadi suaminya yang menyetir sekarang."Pak Amin mana?" "Sudah aku minta pergi dulu?"
Menjadi istri seorang Airlangga Wicaksana, memang sebuah keberuntungan tersendiri untuk Dina. Dia yang hanya anak panti asuhan, tak kenal ayah dan Ibunya, dan hanya hidup sederhana, tentu itu bisa dikatakan mimpi indah di siang bolong. Dia merasa menjadi Cinderella yang dipinang oleh pangeran kaya, tapi mungkin orang banyak yang lupa cerita Cinderella berakhir sampai mereka menikah saja, tapi tidak ada yang tahu bagaimana perjuangan Cinderella setelah menikah dengan pangeran, bisakah dia beradaptasi dengan lingkungan istana, bisakah dia diterima dengan sepenuh hati oleh kalangan bangsawan itu. Itulah yang dialami Dina setelah pernikahannya dengan Angga, meski di sini Angga tidak sama dengan sosok pangeran yang dikisahkan dalam dongeng Cinderella. Angga tak pernah menginginkan pernikahan dengan Dina, tidak ada cinta untuk wanita itu dalam hatinya. Dia menikahi Dina atas dasar kepatuhan pada orang tua dan juga kasihan pada anak-anaknya yang telah kehilangan sosok seorang Ibu di
"Bu Dina dilarikan ke rumah sakit."Pesan salah satu anak buahnya, membuat Angga langsung meninggalkan semua pekerjaannya.Dia melangkah terburu-buru, ingin rasanya dia terbang supaya cepat sampai, dia merutuki dirinya sendiri kenapa harus ada masalah di kantor saat seperti ini, padahal dia sudah berusaha membereskan pekerjaannya dan menemani Dina yang sedang hamil tua. Syukurlah Bara sangat bisa diandalkan di saat seperti ini, dia juga meminjamkan sang istri, Hera untuk menjaga Dina."Bagaimana keadaan Dina?" tanya Angga tak sabar saat melihat Hera terduduk di kursi tunggu."Masih ditangani dokter."Tanpa membuang waktu Angga menuju ruangan yang ditunjuk Hera."Eh pak kita tunggu di sini saja nggak boleh masuk!" Tapi Angga tampaknya tak peduli."Sus, dimana istri saya?" tanyanya pada seorang perawat."Istri Bapak siapa?" tanya sang perawat bingung."Dina, Sus, istri saya yang akan melahirkan."Untunglah sang perawat punya kesabaran lebih
“Ciee mbak Dina... sebentar lagi akan jadi mertuanya Pak Brian.” Dina bahkan baru saja menginjakkan kakinya di lobi kantor, terdengar suara membahana Siska yang membuatnya melongo tak mengerti. Dia akan jadi mertuanya Pak Brian, seingatnya dia memang punya dua orang putri cantik Arsyi dan Ara dan usia keduanyapun masih anak-anak. Tak mungkinkan Brian mau menikahi salah satu dari dua bocilnya itu. Jadi anak yang mana yang dimaksud Siska?“Kamu belum sarapan ya, Sis, sana ke kantin dulu atau ke cafe depan, biar kamu lebih fokus ngomongnya,” kata dina sedikit jengkel. “Gratis, Mbak?” “Apanya?’ “Makannyalah katanya tadi suruh makan.” “Makannya gratis, tapi setelah itu kamu harus cuci piring.” “Mbak Dina kayak ibu tiri saja. kejam.” “Bahkan anak tiriku bilang aku baik hati.” “Ups aku lupa kalau memang mbak Dina ibu tiri.” Dina segera meneruskan langkahnya , ngobrol dengan Siska tak akan ada habisnya. “Eh, Mbak tunggu, tapi aku serius soal Pak Brian yang akan menikah dan jadi m
Brian memasuki kamarnya dengan hati bercabang, dia sebenarnya juga terkejut dengan keputusannya sendiri yang mengatakan kalau Sinta adalah calon istrinya. Dan lebih buruknya lagi dia mengatakannya di depan sang mama, wanita yang sangat dia sayangi dan tidak ingin dia kecewakan. Sekarang apa yang akan dia lakukan? Tetap menikahi Sinta seperti perkataannya tadi atau menjelaskan semuanya dengan resiko membuat mamanya kecewa. “Apa kamu yakin mau menjadikannya istri dan atas dasar apa keinginanmu itu?”Pertanyaan sang mama seolah terus terngiang di dalam otaknya membuatnya pusing luar biasa, dia bahkan tak bisa menjawab pertanyaan itu dan dengan pengecut, dia malah mengalihkan pembicaraan pada hal lain. Syukurlah sang mama cukup bijak untuk tak terus mendesaknya dan memberikan waktu untuknya menelaah rasa yang ada di hati.Tapi sekarang dia bingung sendiri apa yang harus dia katakan pada Sinta, gadis itu pasti juga membuatuhkan penjelasan darinya. Mulutnya kadang-
Mobil yang dikendarai Brian tiba di halaman rumah yang ditunjukkan Sinta. Dengan senyum terima kasih atas semua kebaikan Brian, gadis itu mengangguk dan turun dari dalam mobil.“Sin, tunggu.” Gadis itu menoleh dan terlihat Brian sudah turun dari mobil mewahnya. “Telepon aku jika kamu butuh tumpangan untuk pulang.” Sinta sudah akan membuka mulutnya menjawab tawaran Brian, tapi tubuhnya langsung tersentak saat sebuah gagang sapu memukul punggungnya dengan keras, sakit sekali. “Dasar anak tak tahu diuntung, sudah numpang bikin malu saja, berikan gajimu padaku.”Rasa sakit di punggungnya bahkan jadi tak terasa saat dia bersitatap dengan mata Brian yang memandang semua ini dengan tatapan tak percaya. “Iya, Bi, kita masuk dulu.... terima kasih sudah mengantar saya, Pak.” Sang Bibi memandang Brian dari atas sampai bawah, penampilan Brian yang sangat tampan dan juga semua benda yang melekat dalam tubuhnya meneriakkan kata mahal... dan jangan lupakan mobil me
Dalam kegelapan, Brian terduduk diam dalam mobilnya yang sewarna malam, matanya begitu tajam mengawasi seorang gadis yang terlihat tersenyum bersama teman-temannya di seberang sana. Sampai satu persatu gadis-gadis itu pergi dari sana, tinggallah Sinta, gadis mungil dengan kuncir ekor kuda yang sesekali melihat arloji di pergelangan tangannya. Brian terus mengamati dalam diam, bahkan sampai setengah jam, yang ditunggu gadis itu tak juga datang, tapi gadis itu tetap menunggu di sana. Malam yang kian beranjak membuat suasana menjadi sepi, bahkan semua toko yang tadi masih ramai dengan pembeli sudah membenahi barang dagangannya. “Apa dia tak takut semakam ini pulang sendiri,” gumam Brian tak senang. Dia sudah akan membuka pintu mobilnya, saat sebuah motor menghampirinya dan terlihat gadis itu menerima uluran helm dari si pengendara dan bergegas naik keboncengannya. Brian cepat-cepat menstater mobilnya untuk mengikuti motor itu sambil terus menjaga jarak ama
Setelah dengan penuh perjuangan mengantar Winda ke rumahnya, akhirnya Brian bisa bernapas lega dia bisa terbebas dari wanita itu, dia bahkan tak habis pikir bagaimana mamanya yang biasanya sangat kalem dan anggun itu bisa menyukai wanita agresif seperti itu untuk dikenalkan padanya. Apa dia terlihat setak laku itu, usianya baru tiga puluh dua tahun, usia yang belum terlalu tua untuk laki-laki sepertinya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, wanita itu dengan tak tahu malunya mengambil hadiah yang akan dia berikan pada Sinta. Brian menghela napas dalam berusaha menetralkan perasaannya, dia ingin menemui Sinta, tapi tentu saja tidak dengan tangan kosong. “Ah! Dasar sialan,” maki Brian kesal. Dia harus memikirkan hadiah apa yang bisa dia bawa untuk Sinta, memang bukan keharusan, Sinta juga tidak sedang berulang tahun, tapi tetap saja, Brian merasa tak nyaman.Dengan tergesa dia meminggirkan mobilnya, sejenak dia menimbang apakah akan menghubungi Dina atau S
Brian menatap pita rambut itu dengan senyum terselit di bibirnya, dia bisa membayangkan Sinta pasti akan terlihat sangat manis mengenakan ini. Satu minggu sudah Brian ada di Bali, berlibur sekaligus bekerja, karena meski dia mengajukan cuti kerja, nyatanya pikirannya malah melayang kemana-mana. Bahkan saat mengikuti Arga melakukan pemotretan ke berbagai tempat dan melihat pemandangan yang sangat indah termasuk wanita-wanita cantik yang bertebaran tak membuatnya bisa melupakan bayangan wajah belia yang selalu menghantui pikirannya. Jadi dia memutuskan tetap bekerja di hari kedua cutinya, yang membuat sang paman yang menerima laporan entah dari siapa menghubunginya hanya untuk menertawakan keputusan anehnya. “Kamu memang tak pantas untuk cuti, sudahlah bekerja saja, sedekahkan cutimu untuk yang membutuhkan.”Brian hanya bisa tersenyum kecut, meski pamannya di seberang sana pasti tak bisa melihatnya, mau apalagi, tidak mungkinkan dia mengomel pada pamannya yang
Sebuah proyek pembangunan sekolah luar biasa di Bali. Brian memandang informasi yang baru saja masuk ke ponselnya dengan penuh pertimbangan. Ini memang bukan tugasnya untuk meninjau secara langsung, tapi dia bisa mengajukan diri untuk ikut meninjau ke sana, memastikan sarana dan prasarana apa yang dibutuhkan di sana. “Saya akan ikut ke sana.” Brian mengirimkan pesan balasan pada direktur utama yayasan tempatnya bekerja, yang tak lain adalah pamannya sendiri. “Kamu yakin, kamu sebenarnya hanya perlu mengirim salah seorang staffmu, lagipula pembangunan di sana juga belum selesai.” Sebuah pesan balasan masuk tak lama kemudian. “Aku sedang ada urusan di Bali jadi sekalian saja.” “Baiklah, lusa mereka akan berangkat, persiapkan dirimu.” Brian masih memandang ponselnya. Meski tak ada lagi pesan yang masuk. Tangannya tergoda untuk mengirim pesan pada Sinta, tapi dia kembali ragu, Kemarin setelah dia datang ke cafe Dina dan menemui Sinta di sana sikap
Bahkan saat bekerjapun bayangan Sinta memenuhi kepalanya. Membuatnya sulit untuk berkonsentrasi. “Kenapa kopi buatanmu rasanya jadi tidak karuan seperti ini, Sa?” gerutu Brian.Bahkan kopi yang biasa dibuatkan oleh Sasa, sekretarisnya terasa aneh dan tidak seperti biasanya. Suasana hati Brian benar-benar mengerikan sepagi ini bahkan sudah ada dua anak buahnya yang kena semprot. “Tapi saya buat dengan takaran yang biasa pak, satu sendok makan kopi hitam dan satu sendok teh gula, bapak biasanya tidak suka kopi manis jadi saya hanya memberi sedikit gula,” Sasa tentu saja tak terima dengan tuduhan Brian orang dia membuat kopi seperti biasa tak ada yang dikurangi ataupun ditambah. “Airnya belum matang mungkin atau ini bukan bubuk kopi yang biasanya.” Sasa membelalak tak percaya. “Saya merebusnya langsung di atas kompor bapak kan tidak mau air dispenser, dan saya sudah lebih dari tiga puluh tahun berpengalaman untuk masak air, dan tahu benar bagaimana air yang suda