Kedatngan Bara di jam makan bukan lagi hal yang aneh untuk Dina dan Angga, laki-laki itu sering membuat alasan rumahnya yang sepi membuatnya malas makan, lagi pula masakan assisten rumah tangganya tak seenak buatan Dina. Tapi kali ini Dina sangat bersyukur dengan kedatangan Bara, paling tidak laki-laki itu berhasil memecahkan kecanggungan yang tercipta. “Kupikir kamu tidak akan datang, Hera sedang cuti ayahnya sakit.” Meski hubungan Bara dan Hera terlihat jalan di tempat, tapi Dina tahu kalau Bara juga sangat perhatian pada Hera, meski dibungkus dengan sikap dingin yang kadang membuat Dina geram. Entah apa alasan Bara untuk tetap berdiri di tempat yang sama tanpa keinginan untuk melangkah bersama Hera, Dina belum bisa mengorek hal itu. Bara langsung bungkam saat Dina bertanya, dan itu membuat Dina tahu kalau dia sudah melanggar batas teritorinya. “Aku tidak kesini untuk bertemu Hera. Oh ada tamu maaf saya asisten pribadi Mas Angga.” Seolah baru sadar ada ora
“Pulang kerja nanti aku akan menjemputmu.” Angga menatap Dina yang sedang memberi sentuhan akhir di wajahnya, pagi ini sang istri terlihat segar, morning sickness yang dia rasakan akhir-akhir ini sudah jarang terjadi. “Kenapa?” tanya Dina heran, biasanya Angga akan menjemputnya sepulang kerja, karena ada kepentingan. “Hari ini jadwalmu kontrol ke dokter kandungan apa kamu lupa?” Ah! Benar Dina memang lupa. “Baiklah aku akan minta Pak Amin untuk tidak menungguku.” Sejak mereka ‘baikan’ Angga memang sangat perhatian padanya, Dina yang dulu saat hamil Ara hanya bisa memandang iri pada pasangan bahagia yang datang bersama penuh cinta, datang bersama memastikan buah hati mereka dalam keadaan baik-baik saja. Tapi kini dia bisa tersenyum lega, dia juga punya suami yang mendampinginya untuk periksa kehamilan, dipandangnya sang suami yang dengan telaten menuntunnya ke ruang praktek dokter bersalin, menjaganya agar tidak jatuh terpeleset, karena usia kandungan yang ki
Dina memang pernah mendengar kalau anak tiri ayahnya sakit jiwa dan harus dirawat di sebuah rumah sakit, tapi Dina juga tak pernah tahu dan juga tak mau tahu rumah sakit mana yang dimaksud. Angga melepaskan pelukananya pada Dina saat dirasa sudah aman dari orang-orang itu. “Apa kamu ingin melihat kesana?” Dina sedikit ragu tapi rasa penasarannyalah yang akhirnya menang, “Aku hanya ingin tahu saja.” Angga mengangguk mengerti, meski ditutupi Dina mulai penasaran dengan kehidupan ayahnya. Sebagai anak Dina juga pasti tak tega membiarkan sang ayah kesusahan, Dina yang Angga kenal memang wanita yang baik dan penuh kasih sayang. Wanita itu memberontak dengan keras, kadang dia tertawa sendiri tapi kadang dia juga menangis begitu memilukan. Dina menatap istri ayahnya yang menangis berusaha memeluk wanita gila itu, sedangkan ayahnya dan beberapa orang perawat berusaha memegangi tangannya. Dina menatap Angga seolah bertanya apa yang terjadi tapi Angga hanya diam saja,
Dina tak tahu kalau akhir-akhir ini rumah sederhana yang dia tempati bersama Angga menjadi tempat favorit orang-orang kaya itu untuk berkunjung. Padahal tak ada yang istimewa dengan rumah itu, angga hanya menambahkan beberapa kamar supaya semua orang bisa lebih nyaman, selebihnya rumah itu hanya rumah dengan halaman yang luas. Dan Dina tahu siapa pemilik mobil yang terparkir di halaman rumahnya itu, apalagi saat dia melihat laki-laki yang duduk di teras depan rumahnya itu. dan perasaan tak enak langsung menghinggapi hati Dina. "Ada perlu apa Om Darma kemari? aku kok tidak percaya kalau hanya sekedar kunjungan keluarga." "Dia bahkan tidak pernah menganggap aku keluarga setelah keinginannya aku tentang." "Mungkin dia sadar dan ingin minta maaf," jawab Dina tak yakin. "Kamu benar-benar berpendapat begitu?" Angga menatap Dina dengan tak percaya. "Nggak juga tapi siapa tahu, apa tidak sebaiknya kita turun." "Tentu, kita lihat apa yang dia inginkan."
Angga segera menghubungi Bara, pamannya bukan orang yang akan diam saja saat keinginannya tak terpenuhi, dan yang lebih membuat Angga penasaran adalah kenapa sang paman begitu ngotot untuk memintanya bekerja sama dengan perusahaan itu. Apakah ini ada sangkut pautnya dengan hutang piutang lagi, mengingat hobi sang paman untuk berjudi sampai sekarang tak juga sembuh, mungkin ini alasan kakek dan ayahnya membuat surat perjanjian aneh supaya sang paman tak bisa mencairkan saham yang dia miliki hanya bisa mendapatkan pembagian keuntungan tiap bulan saja, meski itu jumlahnya juga sangat besar dan masih sangat cukup memenuhi kehidupan mewah pamannya. “Halo, Bar, apa kamu masih di kantor?” tanya Angga begitu Bara mengangkat panggilannya di ujung sana. “Iya, Mas, aku masih di kantor.” “Tolong bantu aku mencari informasi.” Angga menceritakan secara singkat tentang pamannya yang datang memintanya untuk menjalin kerjasama dengan sebuah perusahaan, Angga juga menceritakan ke
Angga membaca hasil laporan anak buahnya dengan mata melotot, kalau saja mereka bukan orang-orang yang sangat kompeten di bidangnya tentu Angga akan menolak untuk percaya. Sang paman mengangunkan rumah yang dia tempati sekarang ini beserta rumah kakek Angga, Tuan besar Wicaksana. Dan belum berhenti sampai di situ saja, sang paman juga menjanjikan akan memberikan proyek-proyek kerja sama untuk perusahaan berlabel AH ini. Ya Tuhan mereka selama ini bergerak dibidang properti, ngapain juga nyebrang ke perusahaan teknologi.“Ini Om Darma ingin jadi gembel atau bagaimana, buat apa uang sebanyak itu.”Salah Angga juga yang selama ini tak terlalu memperhatikan aset keluarga besarnya. Kakeknya hanya punya tiga orang anak, ayahnya, Om Darma dan seorang lagi bibinya. Dan meskipun Angga berusia paling muda tapi kedudukannya bukan hanya sebagai direktur utama perusahaan, tapi secara langsung dia juga kepala keluarga Wicaksana, yang artinya dia harus bertanggung jawab mengelol
“Kamu benar-benar keponakan kurang ajar,” umpat Darma. Dengan kemarahan yang menggelegar laki-laki itu menerobos masuk ke ruangan Angga, tangan Hendra yang berusaha menahannya ditepis dengan kasar. Meski usia darma sudah lebih dari enam puluh tahun, tapi tubuhnya yang tinggi besar dan dalam keadaan marah membuat laki-laki itu kesulitan menahannya.“Soal apa ini?” tanya Angga tenang, menghadapai orang seperti pamannya ini tak bisa dengan kemarahan juga, salah-salah mereka akan berkelahi di sini. Jika itu terjadi akan sangat memalukan untuk mereka. “Jangan pura-pura tak tahu kenapa kamu titik meloloskan tender AH, jangan mentang-mentang kamu dirut bisa seenaknya, aku juga punya hak pada perusahaan ini.”“Punya hak untuk menghancurkan maksud, Om, aku rasa om juga tahu menerima kerja sama dengan mereka artinya bunuh diri, kredibilitas perusahaan ini akan anjlok, kalau tahu bekerja sama dengan rentenir. Atau jangan-jangan om punya hutang pada rentenir itu untuk berjudi.” Sang paman yan
Perkawinan bisnis bukan hal jamak terjadi dikalangan para pebisnis, mereka yang setiap hari sibuk mengejar uang tentu akan melakukan apa saja supaya uang yang didapat bisa bertambah berkali-kali lipat. Mereka bukan orang yang akan memandang cinta dan ketulusan sebagai bekal supaya bisa hidup bahagia. uang dan uanglah yang mereka pikir bisa mendatangkan kebahagian. Bukan seratus persen salah memang tapi mereka seolah lupa kalau ada unsur lain selain uang yang menjadi komponen penyusun kebahagiaan. Angga bisa melihat wajah pamannya yang berubah menjadi merah padam, kelakuan istri pamannya yang memang hobi berbelanja barang-barang mewah memang bukan lagi rahasia di keluarga mereka, istri sang paman adalah anak salah satu pengusaha kaya.Jika saja sang paman tidak nekad mendatangi Dina Angga juga tak akan peduli dengan hal itu, selama masih dalam tahap wajar. “Aku tidak tahu apa tujuan Om menemui istriku, aku pikir Om cukup cerdas untuk bisa memisahkan antara uru