Perkawinan bisnis bukan hal jamak terjadi dikalangan para pebisnis, mereka yang setiap hari sibuk mengejar uang tentu akan melakukan apa saja supaya uang yang didapat bisa bertambah berkali-kali lipat. Mereka bukan orang yang akan memandang cinta dan ketulusan sebagai bekal supaya bisa hidup bahagia. uang dan uanglah yang mereka pikir bisa mendatangkan kebahagian. Bukan seratus persen salah memang tapi mereka seolah lupa kalau ada unsur lain selain uang yang menjadi komponen penyusun kebahagiaan. Angga bisa melihat wajah pamannya yang berubah menjadi merah padam, kelakuan istri pamannya yang memang hobi berbelanja barang-barang mewah memang bukan lagi rahasia di keluarga mereka, istri sang paman adalah anak salah satu pengusaha kaya.Jika saja sang paman tidak nekad mendatangi Dina Angga juga tak akan peduli dengan hal itu, selama masih dalam tahap wajar. “Aku tidak tahu apa tujuan Om menemui istriku, aku pikir Om cukup cerdas untuk bisa memisahkan antara uru
Darma Wicaksana tak hentinya mengumpati keponakannya setelah menerima telepon, dia tak menyangka Angga begitu keras kepala, apa susahnya coba menjalin kerja sama dengan AH. Tanpa sadar laki-laki paruh baya itu mencengkeram erat kemudi mobilnya, sedan mewah itu melaju dengan kecepatan kencang. Usianya boleh tidak lagi muda, tapi secara fisik laki-laki masih sangat gesit. Kali ini dia tak ingin kecolongan lagi, taruhannya terlalu besar dia sudah menggadaikan semua yang dia miliki kalau sampai gagal, dia akan jadi gelandangan. Berperang dengan pikirannya yang kusut, Darma Wicaksana bahkan tak sadar, ada sebuah mobil yang mengikutinya dari belakang, mengawasi dari jarak yang aman.Darma Wicaksana memarkir mobilnya di gedung AH yang sebenarnya bergerak dibidang simpan pinjam, tapi karena pandai melihat peluang pemiliknya mulai melirik bidang teknologi yang memang sedang naik daun.“Kalau kamu tidak bisa membujuk keponakanmu untuk meloloskan kerja sama ini, kamu harus
Hari Rabu. Dina melingkari kalender di meja kerjanya dengan malas. Masih dua hari lagi Angga yang baru saja dinas keluar kota untuk membereskan masalah yang ditimbulkan pamannya pulang. Sejujurnya itu hal yang biasa untuk Dina selama menjadi istri Angga, melakukan perjalanan dinas ke luar kota bahkan ke luar negeri selama beberapa hari, tapi entah kenapa saat ini dia ingin sekali bertemu dengan suaminya itu. Sejujurnya dia Dina tak tahu bagaimana konsep merindukan seseorang, tapi perasaannya yang selalu ingin bersama sang suami atau paling tidak hanya mendengar suaranya melalui telepon saja sudah lebih dari cukup. Dalam satu hari dia memiliki kesepakatan jam berapa saja harus menelepon suaminya, membuat Angga yang tak hendti menggodanya dan mengatakan Dina berubah menjadi genit. “Ini karena hormon kehamilan saja, biasanya juga tak pernah,” dengan lihai Dina ngeles dari godaan suaminya. “Kusut amat itu muka? Ada apa?” Sasa tiba-tiba sudah b
Dina menyambut kedatangan suaminya dengan senyum lebar, seolah mereka sudah lama sekali tak bertemu, padahal Angga baru saja pergi keluar kota selama satu minggu. Dina mengikuti sang suami yang masuk ke dalam kamar mereka, menyiapkan segala keperluan sang suami. “Kamu kerja lama sekali, Mas, lupa sama istri dan anak di rumah,” kata Dina dengan cemberut, memandang sang suami yang sudah segar setelah mandi. Angga memandang istrinya dengan bingung, seingatnya tadi sebelum masuk kamar mandi istrinya masih menampakkan senyum lebar, kenapa saat dia keluar kamar mandi jadi cemberut. “Bagaimana bisa lupa kalau sehari bisa diabsen lebih dari lima kali.” “Jadi kamu nggak suka aku hubungi.” Angga menghampiri Dina yaang duduk di atas ranjang, dan memeluk istrinya itu lembut. “Aku malah senang kamu telepon.” “Bohong, tadi kamu mengeluh.” “Itu bukan mengeluh sayang, aku hanya bercanda.” “Bercandamu nggak lucu,” kata Dina sebal.Angga memandang sang
Angga mengahmpaskan tubuhnya di atas ranjang, Dina yang sedang menata baju yang mereka bawa ke dalam almari hanya melirik saja. ini liburan pertama mereka bersama setelah sekian lama, bukan tempat yang jauh dan wah memang tapi bagi Dina yang terpenting adalah semua orang senang dan keluarga mereka dapat bersama. “Kenapa, Mas, kamu terlihat berpikir keras, kita sedang liburan di sini?” Angga memiringkan tubuhnya mengahadap sang istri yang kini memusatkan perhatian padanya. “Apa dulu Bara pernah memintamu kawin lari dengannya?’ tanya Angga tiba-tiba. Dina menatap suaminya horor, ada apa lagi ini? “Apa maksudmu, aku baru bertemu lagi dengan Bara saat menikah denganmu?” “Bukan ...maksudku....ah sudahlah.” Angga mengacak rambutnya frustasi, dia ingin membantu Bara tapi dia bahkan tak tahu caranya, membicarakan Bara dengan Dina adalah salah satu caranya, tapi belum juga Angga berhail menjelaskan maksudnya, otaknya sudah berkelana saat Bara bilang menyukai Dina.
“Semoga saja bayi kita ini laki-laki,” kata Angga di suatu pagi yang indah, dua orang itu sedang duduk di pinggir pantai dengan beralaskan tikar. Sedangkan anak-anak bermain di dekat pantai bersama Bara, mereka terlihat sangat bersemangat tawa bahagia mereka sampai bisa meruntuhkan tebing karang. “Kalau perempuan?” Usia kandungan Dina memang sudah menginjak tujuh bulan, jika memang mereka ingin melihat jenis kelamin anak mereka, tentu sangat bisa apalagi teknologi sekarang sudah semakin canggih saja. tapi baik Dina maupun Angga memilih tidak melakukan hal itu mereka ingin jenis kelamin anak mereka menjadi kejutan nantinya. “Ya nggak masalah aku tetap menyayanginya, hanya aku mikirnya lucu saja, aku mendapat sepasang anak dari Laras, juga sepasang anak darimu.” Dina memandang suaminya sinis. “Bangga sekali Anda.” Angga tertawa melihat wajah masam istrinya. “Bukan bangga juga, hanya saja kasihan kalau Aksa laki-laki sendiri.” “Kenapa kasihan?” “Dia nantinya yang a
Anak laki-laki itu berdiri dengan kaki gemetar di depan UGD, pandangannya lurus ke dalam ruangan tertutup tempat orang yang dia sayangi berjuang untuk lepas dari maut, matanya menatap nanar pada darah yang berceceran di lantai, apalagi dia tahu persis kalau darah itu milik orang tuanya. Saat seorang dokter keluar dan memanggil keluarga pasien, nama orang tuanyalah yang di sebut dengan langkah tertatih dia mendekat, tapi rupanya paman dan bibinya sudah lebih dulu sampai di depan sang dokter.Tidak harus menjadi jenius untuk tahu kalau hal buruk telah terjadi ekspresi wajah yang tertunduk mengatakan semuanya, tapi anak itu tetap menyerat kakinya mendekati sang dokter. “Papa dan mama kenapa?” tanyanya pelan nyaris tak terdengar. Belum juga sang dokter berwajah lelah itu menjawab sang bibi sudah mendorongnya dengan kasar, membuat punggungnya harus beradu dengan kerasnya lantai rumah sakit yang dingin. “Anak pembawa sial, lihat orang tuamu mati karena kamu. Sejak
Bara tak tahu kalau dia akan memiliki perasaan seperti ini pada seorang wanita, dulu dia berpikir jatuh cinta pada Dina dan mampu melakukan apa saja untuk wanita itu, meski tak dapat memilikinya, tapi Bara ikut bahagia dengan Angga yang memperlakukan Dina dengan baik. Cintanya pada Dina sangat tulus bukan karena nafsu belaka. Tapi kenapa rasanya dia ingin menghajar laki-laki yang dia ingat tersenyum manis memandang Hera saat di rumah Angga dulu. Apalagi saat Hera juga membalas senyuman itu sama hangatnya. Bara tahu dia tak berhak memiliki perasaan ini, tidak ada hubungan apappun yang mengikat mereka, mereka bukan sepasang kekasih, Bahkan Bara juga sedapat mungkin mendorong Hera pergi dari hidupnya. Bara pikir dengan begitu dia bisa kembali ke kehidupannya yang damai dan tenang. Sendiri tanpa orang lain. Tapi ternyata dia tak bisa. Hidupnya tak lagi sama. Perasaan itu membuatnya frustasi sendiri. Bahkan ini sudah lewat beberapa hari setelah pesta pertunangan gadis itu, dan sek