Bau obat yang tercium sangat pekat menyapa indra penciuman Bara, laki-laki itu berusaha menggerakkan tubuhnya, tapi sekuat apapun dia berusaha bergerak tubuhnya seolah tak mampu menuruti permintaan otaknya. “Kamu sudah sadar, aku panggil dokter dulu.” Itu suara Dina, Bara sangat hapal. Dokter? Apa dia ada di rumah sakit? Oh ya dia menabrak trotoar? Tapi kenapa Dina ada di sini menungguinya, apa Angga tahu? Tak lama Dina masuk dengan seorang dokter dan seorang perawat, lalu berbicara lirih dengan Dina, entah apa yang mereka bicarakan, Bara bahkan tak mampu mendengarnya dengan jelas. “Bagaimana perasaanmu?” tanya Dina saat mendekat ke arah Bara. “Apa yang terjadi, Mbak kenapa aku di sini?” “Kamu tidak ingat? Kamu mengalami kecelakaan tunggal, syukurlah Hera ada di dekat situ dan langsung membawamu ke rumah sakit.” Gadis itu lagi, jadi waktu itu dia tidak berhalusinasi, Hera memang ada di sana, dan sekali lagi membantunya. “Istirahtlah, sebentar lagi Mas Angga kemari, dia akan m
Bara seketika mematung mendengar gerutuan gadis muda itu. Kamar pengantin katanya. Dan Hera adalah pengantin wanitanya hari ini. Sial! Jadi sia harus menjadi pengganti lampu kamar yang akan ditempati oleh pengantin baru saja. Apa seharusnya Bara pergi saja, dia bisa beralasan kakinya sakit atau apa, yang jelas dia tak harus melakukan itu. “Lho, Mas, kok malah bengong di sini, tenang saja nanti aku ambilkan makanan yang banyak buat masnya.” “Eh?” Bara menoleh tak fokus pada gadis muda itu. Tapi tak disangka gadis muda itu mendekat padanya dan berbisik lirih. “Aku juga biasanya begitu kalau mau kondangan nggak makan dulu biar bisa makan banyak di sini.” Dengan senyum percaya diri gadis itu mendorong tubuh jangkung Bara ke dalam kamar. “Eh, sebentar, Mbak.” “Apalagi, Mas, keburu pengantinnya datang.” Jadi Hera tak ada di kamar ini. “Pengantinya di mana sekarang?” “Di kamar tamu masih dirias, setelah selesai baru dibawa ke kamar ini, supaya hiasan kamarnya tidak rusak.” Dan Ba
Kalau ada yang bertanya bagaimana rasanya duduk di kursi saksi pernikahan orang yang masih menggenggam hatimu dengan kuat, jawabannya adalah seperti daging yang dicacah halus dan akan dijadikan campuran perkedel, seperti itulah remukanya hati Bara saat ini. Apalagi saat dia bertatapan dengan Hera, pertama kali tentu saja keterkejutan yang ada di matanya, lalu rasa terkejut itu berubah menjadi luka dan kepasrahan yang terlihat jelas, membuat Bara ingin memukul dirinya sendiri. Bara tak tahu apa yang dirasakan oleh Hera saat ini, dia bukan orang yang naif dan polos yang tidak tahu kalau gadis ini masih mengharapkannya hingga saat ini, meski telah mengambil keputusan untuk menjadi milik laki-laki lain. Hal yang tidak bisa masuk dalam nalar Bara memang, jika memang Hera tak menginginkan laki-laki itu kenapa dia harus mau menerimanya. “Baiklah semua sudah siap?” tanya penghulu berusia setengah baya itu. Yang dijawab anggukan oleh orang-orang di sekitarnya. Bara meremas kedua tanganny
Hening dan mencekam. Itulah yang Luna rasakan saat ini, bahkan naik angkot yang panas dan berdesak-desakan lebih Luna sukai dari pada naik mobil mewah dengan keadaan yang seperti ini. Laki-laki yang mengemudi di sampingnya bahkan tak mau repot-repot untuk mengajaknya bicara, oh jangankan bicara menoleh saja enggan. Entah untuk alasan apa yang membuat Laksa mau repot-repot untuk menjemputnya sore ini. Sekali lagi Luna melirik laki-laki di sampingnya, wajahnya datar saja, meski begitu tak mengurangi ketampanan wajahnya yang memang Luna kagumi sejak dulu. Luna menghela napas dan membuang pandangan ke luar jendela. Laki-laki ini memang sekarang berstatus sebagai suaminya, tapi hubungan mereka bahkan lebih jauh dari pada saat mereka masih berstatus bos dan karyawannya. Kayak Laksa ingat kamu saja, Lun. Luna sedikit meringis saat ingat fakta kalau Laksa sama sekali tak ingat dirinya saat perjumpaan mereka di pesta itu. Mobil yang mereka tumpangi berhenti di
Bara tahu, pernikahan seharusnya adalah keputusan dua orang anak manusia yang nantinya akan menjadi hidup berdua untuk selamanya sampai maut memisahkan mereka. Seharusnya dia memang memaksa ayah Hera untuk membicarakan hal ini dengan Hera terlebih dahulu, bukan langsung melakukan ijab qabul saat Hera menyangka semuanya telah kacau dan gagal. Dia hanya bisa memandang dengan rasa bersalah pada gadis yang saat ini sudah sah menjadi istrinya secara agama, Hera masih tak sadarkan diri, terlalu terkejut dengan kejutan yang dia berikan, di sampingnya sang ibu menunggunya dengan berlinang air mata, wanita itu sudah beberapa kali mendekatkan minyak kayu putih di depan hidung Hera, tapi wanita itu masih bandel tak mau membuka matanya. “Apa yang terjadi, Bar?” Dina tiba-tiba menerobos masuk ke dalam kamar Hera. “Hera pingsan, Mbak saat aku bilang kami sudah menikah,” jawab Bara sendu. Dina tersenyum menenangkan, dan itu membuat Bara menjadi lebih tenang, saat ini hati
Hera menatap rumah yang terkesan kaku dan dingin ini dengan seksama. Ini bukan pertama kalinya dia menginjakkan kakinya di rumah Bara, yang sekarang menjadi suaminya. Beberapa kali Dina sudah memaksanya dengan sangat manis untuk mengunjungi rumah ini. “Masuklah,” Bara berkata dengan lembut, hal yang tidak pernah dia lakukan pada Hera selama ini. “Terima kasih.” Setelah aksi merajuk pada sang ayah dan juga marah pada Bara akhirnya Hera bersedia ikut juga dengan Bara untuk tinggal di rumah laki-laki itu, rumah peninggalan orang tua angkatnya yang telah lama tiada. Meski sudah menerima kenyataan kalau saat ini mereka sudah menikah, meski masih harus mengurus surat-surat resminya, Hera tetap saja masih menjaga jarak dengan Bara, dia masih tak yakin apa alasan laki-laki ini menikahinya. Kasihankah? Atau atas dasar paksaan seseorang? “Kamu sudah tahukan di mana kamarku... ehm maksudku kamar kita sekarang?” tanya Bara. Hera tahu, dia pernah mengunjungi laki-l
“Kupikir kamu bekerja untuk istri Pak Angga, apa yang kamu lakukan di sini?” tanya wanita itu dengan pandangan menyelidik.Hera memandang wanita di depannya dengan heran, apa itu sapaan yang lumrah untuk bertamu ke rumah orang, meski dia mungkin dia tak tahu posisi Hera di rumah ini. “Anda siapa?” Wanita itu terlihat tak suka dengan pertanyaan Hera, tapi mana Hera perduli dengan itu, dia bukan wanita lemah yang gampang ditindas. “Kamu hanya pengawal istri Pak Angga lancang sekali bicaramu.” “Sepertinya anda mengenal Nyonya Dina, tapi selama saya bekerja saya tidak pernah melihat anda, atau saya yang lupa, maklum saja otak saya tidak suka mengingat hal yang tak penting.” Hera sebenarnya tak ingin memprovokasi wanita di depannya ini, dia tidak mau Bara mendapat masalah karena sikapnya yang kurang ajar, tapi saat menyadari mungkin saja wanita cantik ini pacar Bara, membuat cemburu merambati hatinya.“Haruskah aku bicara dengan Pak Angga agar kamu dipeca
"Jadi Mas menikahiku untuk apa dan berapa lama kita akan menikah?" Bara menatap gadis yang baru saja menjadi istrinya itu dengan pandangan tak terbaca."Menurutmu berapa lama?" tanya Bara balik. "Aku tidak tahu karena itu aku bertanya," jawab Hera tak mau menyerah."Haruskah kita mendiskusikan hal ini sekarang, aku baru pulang kerja dan... Lelah."Hera tahu dia memang harus mundur sekarang, dia bisa melihat gurat kelelahan di wajah suaminya. "Aku akan menyiapkan minuman hangat untukmu." Hera beranjak berdiri dan mendekati kompor untuk merebus air, dia orang kampung tak terlalu suka dengan air yang dipanaskan dengan dispenser."Kamu suka teh atau susu?" "Ehm... Hera maaf sebelumnya tapi aku tidak memilki itu semua, hanya ada kopi gula dan krim yang biasa aku gunakan untuk membuat minuman." Hera menghela napas dalam. Bara gambaran laki-laki dewasa yang tidak mau repot, pantas saja dulu dia sering menumpang makan di rumah Dina."Ini su