Hening dan mencekam.
Itulah yang Luna rasakan saat ini, bahkan naik angkot yang panas dan berdesak-desakan lebih Luna sukai dari pada naik mobil mewah dengan keadaan yang seperti ini.Laki-laki yang mengemudi di sampingnya bahkan tak mau repot-repot untuk mengajaknya bicara, oh jangankan bicara menoleh saja enggan. Entah untuk alasan apa yang membuat Laksa mau repot-repot untuk menjemputnya sore ini.Sekali lagi Luna melirik laki-laki di sampingnya, wajahnya datar saja, meski begitu tak mengurangi ketampanan wajahnya yang memang Luna kagumi sejak dulu.Luna menghela napas dan membuang pandangan ke luar jendela. Laki-laki ini memang sekarang berstatus sebagai suaminya, tapi hubungan mereka bahkan lebih jauh dari pada saat mereka masih berstatus bos dan karyawannya.Kayak Laksa ingat kamu saja, Lun. Luna sedikit meringis saat ingat fakta kalau Laksa sama sekali tak ingat dirinya saat perjumpaan mereka di pesta itu.Mobil yang mereka tumpangi berhenti diBara tahu, pernikahan seharusnya adalah keputusan dua orang anak manusia yang nantinya akan menjadi hidup berdua untuk selamanya sampai maut memisahkan mereka. Seharusnya dia memang memaksa ayah Hera untuk membicarakan hal ini dengan Hera terlebih dahulu, bukan langsung melakukan ijab qabul saat Hera menyangka semuanya telah kacau dan gagal. Dia hanya bisa memandang dengan rasa bersalah pada gadis yang saat ini sudah sah menjadi istrinya secara agama, Hera masih tak sadarkan diri, terlalu terkejut dengan kejutan yang dia berikan, di sampingnya sang ibu menunggunya dengan berlinang air mata, wanita itu sudah beberapa kali mendekatkan minyak kayu putih di depan hidung Hera, tapi wanita itu masih bandel tak mau membuka matanya. “Apa yang terjadi, Bar?” Dina tiba-tiba menerobos masuk ke dalam kamar Hera. “Hera pingsan, Mbak saat aku bilang kami sudah menikah,” jawab Bara sendu. Dina tersenyum menenangkan, dan itu membuat Bara menjadi lebih tenang, saat ini hati
Hera menatap rumah yang terkesan kaku dan dingin ini dengan seksama. Ini bukan pertama kalinya dia menginjakkan kakinya di rumah Bara, yang sekarang menjadi suaminya. Beberapa kali Dina sudah memaksanya dengan sangat manis untuk mengunjungi rumah ini. “Masuklah,” Bara berkata dengan lembut, hal yang tidak pernah dia lakukan pada Hera selama ini. “Terima kasih.” Setelah aksi merajuk pada sang ayah dan juga marah pada Bara akhirnya Hera bersedia ikut juga dengan Bara untuk tinggal di rumah laki-laki itu, rumah peninggalan orang tua angkatnya yang telah lama tiada. Meski sudah menerima kenyataan kalau saat ini mereka sudah menikah, meski masih harus mengurus surat-surat resminya, Hera tetap saja masih menjaga jarak dengan Bara, dia masih tak yakin apa alasan laki-laki ini menikahinya. Kasihankah? Atau atas dasar paksaan seseorang? “Kamu sudah tahukan di mana kamarku... ehm maksudku kamar kita sekarang?” tanya Bara. Hera tahu, dia pernah mengunjungi laki-l
“Kupikir kamu bekerja untuk istri Pak Angga, apa yang kamu lakukan di sini?” tanya wanita itu dengan pandangan menyelidik.Hera memandang wanita di depannya dengan heran, apa itu sapaan yang lumrah untuk bertamu ke rumah orang, meski dia mungkin dia tak tahu posisi Hera di rumah ini. “Anda siapa?” Wanita itu terlihat tak suka dengan pertanyaan Hera, tapi mana Hera perduli dengan itu, dia bukan wanita lemah yang gampang ditindas. “Kamu hanya pengawal istri Pak Angga lancang sekali bicaramu.” “Sepertinya anda mengenal Nyonya Dina, tapi selama saya bekerja saya tidak pernah melihat anda, atau saya yang lupa, maklum saja otak saya tidak suka mengingat hal yang tak penting.” Hera sebenarnya tak ingin memprovokasi wanita di depannya ini, dia tidak mau Bara mendapat masalah karena sikapnya yang kurang ajar, tapi saat menyadari mungkin saja wanita cantik ini pacar Bara, membuat cemburu merambati hatinya.“Haruskah aku bicara dengan Pak Angga agar kamu dipeca
"Jadi Mas menikahiku untuk apa dan berapa lama kita akan menikah?" Bara menatap gadis yang baru saja menjadi istrinya itu dengan pandangan tak terbaca."Menurutmu berapa lama?" tanya Bara balik. "Aku tidak tahu karena itu aku bertanya," jawab Hera tak mau menyerah."Haruskah kita mendiskusikan hal ini sekarang, aku baru pulang kerja dan... Lelah."Hera tahu dia memang harus mundur sekarang, dia bisa melihat gurat kelelahan di wajah suaminya. "Aku akan menyiapkan minuman hangat untukmu." Hera beranjak berdiri dan mendekati kompor untuk merebus air, dia orang kampung tak terlalu suka dengan air yang dipanaskan dengan dispenser."Kamu suka teh atau susu?" "Ehm... Hera maaf sebelumnya tapi aku tidak memilki itu semua, hanya ada kopi gula dan krim yang biasa aku gunakan untuk membuat minuman." Hera menghela napas dalam. Bara gambaran laki-laki dewasa yang tidak mau repot, pantas saja dulu dia sering menumpang makan di rumah Dina."Ini su
"Apa itu akan jadi masalah kalau orang tahu kamu istriku sekarang?"Waktu itu Hera ragu saat Bara mengatakannya, mengingat deretan mantan pacar Bara yang semuanya sangat cantik dan berkelas membuat Hera tak yakin kalau Bara bahkan mau mengakuinya di depan umum. Ditambah dengan seminggu setelah pembicaraan itu Bara hampir selalu pulang dini hari dalam keadaan kelelahan dan hanya tidur beberapa jam setelah itu kembali lagi ke kantor. Hera bahkan hampir yakin kalau mungkin saja Bara sudah membatalkan rencana resepsi pernikahan mereka. Tapi pagi ini Hera yang seperti biasa akan menyiapkan semua keperluan Bara malah dikejutkan laki-laki itu yang sudah rapi dan memintanya untuk bersiap, karena mereka harus segera menuju gedung yang telah disiapkan untuk resepsi mereka. “Aku pikir tidak akan pesta.” Bara tentu saja tak terima. “Bukankah aku sudah mengatakannya seminggu yang lalu dan kamu juga sudah memilih konsepnya.”“Tapi aku sama sekali tak terlibat di
Brian baru saja memasuki rumahnya saat ponselnya berbunyi. Sebuah pesan yang masuk membuat bibirnya tersenyum. "Terima kasih ponselnya, Pak." Dengan cepat dibalasnya pesan itu. "Sama-sama."Dipandangnya lagi room chat itu, dia lalu menulis. "Apa kamu sudah makan malam?" tapi Brian segera menghapusnya, akan terlihat konyol kalau dia menanyakannya di saat gadis itu pernah mengatakan dia mendapat jatah makan malam jika bekerja di sore hari dan makan siang jika bekerja di pagi hari. "Ckkk aku ini kenapa, dia pasti baik-baik saja, sudahlah."Brian meraup wajahnya kasar, dia tak tahu sejak bertemu lagi dengan Sinta, dia tak dapat berhenti memikirkan gadis itu.Sikapnya yang santun dan sangat dewasa pasti yang membuatnya makin mempesona, dan wajahnya yang cantik itu...Bagaimana mungkin dia memikirkan hal itu pada mantan muridnya.Demi Tuhan dia itu masih kecil, mungkin baru lulus SMA dan sedang melanjutkan kuliah sambil bekerja, gadis itu memang sudah y
Bahkan saat bekerjapun bayangan Sinta memenuhi kepalanya. Membuatnya sulit untuk berkonsentrasi. “Kenapa kopi buatanmu rasanya jadi tidak karuan seperti ini, Sa?” gerutu Brian.Bahkan kopi yang biasa dibuatkan oleh Sasa, sekretarisnya terasa aneh dan tidak seperti biasanya. Suasana hati Brian benar-benar mengerikan sepagi ini bahkan sudah ada dua anak buahnya yang kena semprot. “Tapi saya buat dengan takaran yang biasa pak, satu sendok makan kopi hitam dan satu sendok teh gula, bapak biasanya tidak suka kopi manis jadi saya hanya memberi sedikit gula,” Sasa tentu saja tak terima dengan tuduhan Brian orang dia membuat kopi seperti biasa tak ada yang dikurangi ataupun ditambah. “Airnya belum matang mungkin atau ini bukan bubuk kopi yang biasanya.” Sasa membelalak tak percaya. “Saya merebusnya langsung di atas kompor bapak kan tidak mau air dispenser, dan saya sudah lebih dari tiga puluh tahun berpengalaman untuk masak air, dan tahu benar bagaimana air yang suda
Sebuah proyek pembangunan sekolah luar biasa di Bali. Brian memandang informasi yang baru saja masuk ke ponselnya dengan penuh pertimbangan. Ini memang bukan tugasnya untuk meninjau secara langsung, tapi dia bisa mengajukan diri untuk ikut meninjau ke sana, memastikan sarana dan prasarana apa yang dibutuhkan di sana. “Saya akan ikut ke sana.” Brian mengirimkan pesan balasan pada direktur utama yayasan tempatnya bekerja, yang tak lain adalah pamannya sendiri. “Kamu yakin, kamu sebenarnya hanya perlu mengirim salah seorang staffmu, lagipula pembangunan di sana juga belum selesai.” Sebuah pesan balasan masuk tak lama kemudian. “Aku sedang ada urusan di Bali jadi sekalian saja.” “Baiklah, lusa mereka akan berangkat, persiapkan dirimu.” Brian masih memandang ponselnya. Meski tak ada lagi pesan yang masuk. Tangannya tergoda untuk mengirim pesan pada Sinta, tapi dia kembali ragu, Kemarin setelah dia datang ke cafe Dina dan menemui Sinta di sana sikap