Dina menyambut kedatangan suaminya dengan senyum lebar, seolah mereka sudah lama sekali tak bertemu, padahal Angga baru saja pergi keluar kota selama satu minggu.
Dina mengikuti sang suami yang masuk ke dalam kamar mereka, menyiapkan segala keperluan sang suami.“Kamu kerja lama sekali, Mas, lupa sama istri dan anak di rumah,” kata Dina dengan cemberut, memandang sang suami yang sudah segar setelah mandi.Angga memandang istrinya dengan bingung, seingatnya tadi sebelum masuk kamar mandi istrinya masih menampakkan senyum lebar, kenapa saat dia keluar kamar mandi jadi cemberut.“Bagaimana bisa lupa kalau sehari bisa diabsen lebih dari lima kali.”“Jadi kamu nggak suka aku hubungi.”Angga menghampiri Dina yaang duduk di atas ranjang, dan memeluk istrinya itu lembut. “Aku malah senang kamu telepon.”“Bohong, tadi kamu mengeluh.”“Itu bukan mengeluh sayang, aku hanya bercanda.”“Bercandamu nggak lucu,” kata Dina sebal.Angga memandang sangAngga mengahmpaskan tubuhnya di atas ranjang, Dina yang sedang menata baju yang mereka bawa ke dalam almari hanya melirik saja. ini liburan pertama mereka bersama setelah sekian lama, bukan tempat yang jauh dan wah memang tapi bagi Dina yang terpenting adalah semua orang senang dan keluarga mereka dapat bersama. “Kenapa, Mas, kamu terlihat berpikir keras, kita sedang liburan di sini?” Angga memiringkan tubuhnya mengahadap sang istri yang kini memusatkan perhatian padanya. “Apa dulu Bara pernah memintamu kawin lari dengannya?’ tanya Angga tiba-tiba. Dina menatap suaminya horor, ada apa lagi ini? “Apa maksudmu, aku baru bertemu lagi dengan Bara saat menikah denganmu?” “Bukan ...maksudku....ah sudahlah.” Angga mengacak rambutnya frustasi, dia ingin membantu Bara tapi dia bahkan tak tahu caranya, membicarakan Bara dengan Dina adalah salah satu caranya, tapi belum juga Angga berhail menjelaskan maksudnya, otaknya sudah berkelana saat Bara bilang menyukai Dina.
“Semoga saja bayi kita ini laki-laki,” kata Angga di suatu pagi yang indah, dua orang itu sedang duduk di pinggir pantai dengan beralaskan tikar. Sedangkan anak-anak bermain di dekat pantai bersama Bara, mereka terlihat sangat bersemangat tawa bahagia mereka sampai bisa meruntuhkan tebing karang. “Kalau perempuan?” Usia kandungan Dina memang sudah menginjak tujuh bulan, jika memang mereka ingin melihat jenis kelamin anak mereka, tentu sangat bisa apalagi teknologi sekarang sudah semakin canggih saja. tapi baik Dina maupun Angga memilih tidak melakukan hal itu mereka ingin jenis kelamin anak mereka menjadi kejutan nantinya. “Ya nggak masalah aku tetap menyayanginya, hanya aku mikirnya lucu saja, aku mendapat sepasang anak dari Laras, juga sepasang anak darimu.” Dina memandang suaminya sinis. “Bangga sekali Anda.” Angga tertawa melihat wajah masam istrinya. “Bukan bangga juga, hanya saja kasihan kalau Aksa laki-laki sendiri.” “Kenapa kasihan?” “Dia nantinya yang a
Anak laki-laki itu berdiri dengan kaki gemetar di depan UGD, pandangannya lurus ke dalam ruangan tertutup tempat orang yang dia sayangi berjuang untuk lepas dari maut, matanya menatap nanar pada darah yang berceceran di lantai, apalagi dia tahu persis kalau darah itu milik orang tuanya. Saat seorang dokter keluar dan memanggil keluarga pasien, nama orang tuanyalah yang di sebut dengan langkah tertatih dia mendekat, tapi rupanya paman dan bibinya sudah lebih dulu sampai di depan sang dokter.Tidak harus menjadi jenius untuk tahu kalau hal buruk telah terjadi ekspresi wajah yang tertunduk mengatakan semuanya, tapi anak itu tetap menyerat kakinya mendekati sang dokter. “Papa dan mama kenapa?” tanyanya pelan nyaris tak terdengar. Belum juga sang dokter berwajah lelah itu menjawab sang bibi sudah mendorongnya dengan kasar, membuat punggungnya harus beradu dengan kerasnya lantai rumah sakit yang dingin. “Anak pembawa sial, lihat orang tuamu mati karena kamu. Sejak
Bara tak tahu kalau dia akan memiliki perasaan seperti ini pada seorang wanita, dulu dia berpikir jatuh cinta pada Dina dan mampu melakukan apa saja untuk wanita itu, meski tak dapat memilikinya, tapi Bara ikut bahagia dengan Angga yang memperlakukan Dina dengan baik. Cintanya pada Dina sangat tulus bukan karena nafsu belaka. Tapi kenapa rasanya dia ingin menghajar laki-laki yang dia ingat tersenyum manis memandang Hera saat di rumah Angga dulu. Apalagi saat Hera juga membalas senyuman itu sama hangatnya. Bara tahu dia tak berhak memiliki perasaan ini, tidak ada hubungan apappun yang mengikat mereka, mereka bukan sepasang kekasih, Bahkan Bara juga sedapat mungkin mendorong Hera pergi dari hidupnya. Bara pikir dengan begitu dia bisa kembali ke kehidupannya yang damai dan tenang. Sendiri tanpa orang lain. Tapi ternyata dia tak bisa. Hidupnya tak lagi sama. Perasaan itu membuatnya frustasi sendiri. Bahkan ini sudah lewat beberapa hari setelah pesta pertunangan gadis itu, dan sek
Bau obat yang tercium sangat pekat menyapa indra penciuman Bara, laki-laki itu berusaha menggerakkan tubuhnya, tapi sekuat apapun dia berusaha bergerak tubuhnya seolah tak mampu menuruti permintaan otaknya. “Kamu sudah sadar, aku panggil dokter dulu.” Itu suara Dina, Bara sangat hapal. Dokter? Apa dia ada di rumah sakit? Oh ya dia menabrak trotoar? Tapi kenapa Dina ada di sini menungguinya, apa Angga tahu? Tak lama Dina masuk dengan seorang dokter dan seorang perawat, lalu berbicara lirih dengan Dina, entah apa yang mereka bicarakan, Bara bahkan tak mampu mendengarnya dengan jelas. “Bagaimana perasaanmu?” tanya Dina saat mendekat ke arah Bara. “Apa yang terjadi, Mbak kenapa aku di sini?” “Kamu tidak ingat? Kamu mengalami kecelakaan tunggal, syukurlah Hera ada di dekat situ dan langsung membawamu ke rumah sakit.” Gadis itu lagi, jadi waktu itu dia tidak berhalusinasi, Hera memang ada di sana, dan sekali lagi membantunya. “Istirahtlah, sebentar lagi Mas Angga kemari, dia akan m
Bara seketika mematung mendengar gerutuan gadis muda itu. Kamar pengantin katanya. Dan Hera adalah pengantin wanitanya hari ini. Sial! Jadi sia harus menjadi pengganti lampu kamar yang akan ditempati oleh pengantin baru saja. Apa seharusnya Bara pergi saja, dia bisa beralasan kakinya sakit atau apa, yang jelas dia tak harus melakukan itu. “Lho, Mas, kok malah bengong di sini, tenang saja nanti aku ambilkan makanan yang banyak buat masnya.” “Eh?” Bara menoleh tak fokus pada gadis muda itu. Tapi tak disangka gadis muda itu mendekat padanya dan berbisik lirih. “Aku juga biasanya begitu kalau mau kondangan nggak makan dulu biar bisa makan banyak di sini.” Dengan senyum percaya diri gadis itu mendorong tubuh jangkung Bara ke dalam kamar. “Eh, sebentar, Mbak.” “Apalagi, Mas, keburu pengantinnya datang.” Jadi Hera tak ada di kamar ini. “Pengantinya di mana sekarang?” “Di kamar tamu masih dirias, setelah selesai baru dibawa ke kamar ini, supaya hiasan kamarnya tidak rusak.” Dan Ba
Kalau ada yang bertanya bagaimana rasanya duduk di kursi saksi pernikahan orang yang masih menggenggam hatimu dengan kuat, jawabannya adalah seperti daging yang dicacah halus dan akan dijadikan campuran perkedel, seperti itulah remukanya hati Bara saat ini. Apalagi saat dia bertatapan dengan Hera, pertama kali tentu saja keterkejutan yang ada di matanya, lalu rasa terkejut itu berubah menjadi luka dan kepasrahan yang terlihat jelas, membuat Bara ingin memukul dirinya sendiri. Bara tak tahu apa yang dirasakan oleh Hera saat ini, dia bukan orang yang naif dan polos yang tidak tahu kalau gadis ini masih mengharapkannya hingga saat ini, meski telah mengambil keputusan untuk menjadi milik laki-laki lain. Hal yang tidak bisa masuk dalam nalar Bara memang, jika memang Hera tak menginginkan laki-laki itu kenapa dia harus mau menerimanya. “Baiklah semua sudah siap?” tanya penghulu berusia setengah baya itu. Yang dijawab anggukan oleh orang-orang di sekitarnya. Bara meremas kedua tanganny
Hening dan mencekam. Itulah yang Luna rasakan saat ini, bahkan naik angkot yang panas dan berdesak-desakan lebih Luna sukai dari pada naik mobil mewah dengan keadaan yang seperti ini. Laki-laki yang mengemudi di sampingnya bahkan tak mau repot-repot untuk mengajaknya bicara, oh jangankan bicara menoleh saja enggan. Entah untuk alasan apa yang membuat Laksa mau repot-repot untuk menjemputnya sore ini. Sekali lagi Luna melirik laki-laki di sampingnya, wajahnya datar saja, meski begitu tak mengurangi ketampanan wajahnya yang memang Luna kagumi sejak dulu. Luna menghela napas dan membuang pandangan ke luar jendela. Laki-laki ini memang sekarang berstatus sebagai suaminya, tapi hubungan mereka bahkan lebih jauh dari pada saat mereka masih berstatus bos dan karyawannya. Kayak Laksa ingat kamu saja, Lun. Luna sedikit meringis saat ingat fakta kalau Laksa sama sekali tak ingat dirinya saat perjumpaan mereka di pesta itu. Mobil yang mereka tumpangi berhenti di
"Bu Dina dilarikan ke rumah sakit."Pesan salah satu anak buahnya, membuat Angga langsung meninggalkan semua pekerjaannya.Dia melangkah terburu-buru, ingin rasanya dia terbang supaya cepat sampai, dia merutuki dirinya sendiri kenapa harus ada masalah di kantor saat seperti ini, padahal dia sudah berusaha membereskan pekerjaannya dan menemani Dina yang sedang hamil tua. Syukurlah Bara sangat bisa diandalkan di saat seperti ini, dia juga meminjamkan sang istri, Hera untuk menjaga Dina."Bagaimana keadaan Dina?" tanya Angga tak sabar saat melihat Hera terduduk di kursi tunggu."Masih ditangani dokter."Tanpa membuang waktu Angga menuju ruangan yang ditunjuk Hera."Eh pak kita tunggu di sini saja nggak boleh masuk!" Tapi Angga tampaknya tak peduli."Sus, dimana istri saya?" tanyanya pada seorang perawat."Istri Bapak siapa?" tanya sang perawat bingung."Dina, Sus, istri saya yang akan melahirkan."Untunglah sang perawat punya kesabaran lebih
“Ciee mbak Dina... sebentar lagi akan jadi mertuanya Pak Brian.” Dina bahkan baru saja menginjakkan kakinya di lobi kantor, terdengar suara membahana Siska yang membuatnya melongo tak mengerti. Dia akan jadi mertuanya Pak Brian, seingatnya dia memang punya dua orang putri cantik Arsyi dan Ara dan usia keduanyapun masih anak-anak. Tak mungkinkan Brian mau menikahi salah satu dari dua bocilnya itu. Jadi anak yang mana yang dimaksud Siska?“Kamu belum sarapan ya, Sis, sana ke kantin dulu atau ke cafe depan, biar kamu lebih fokus ngomongnya,” kata dina sedikit jengkel. “Gratis, Mbak?” “Apanya?’ “Makannyalah katanya tadi suruh makan.” “Makannya gratis, tapi setelah itu kamu harus cuci piring.” “Mbak Dina kayak ibu tiri saja. kejam.” “Bahkan anak tiriku bilang aku baik hati.” “Ups aku lupa kalau memang mbak Dina ibu tiri.” Dina segera meneruskan langkahnya , ngobrol dengan Siska tak akan ada habisnya. “Eh, Mbak tunggu, tapi aku serius soal Pak Brian yang akan menikah dan jadi m
Brian memasuki kamarnya dengan hati bercabang, dia sebenarnya juga terkejut dengan keputusannya sendiri yang mengatakan kalau Sinta adalah calon istrinya. Dan lebih buruknya lagi dia mengatakannya di depan sang mama, wanita yang sangat dia sayangi dan tidak ingin dia kecewakan. Sekarang apa yang akan dia lakukan? Tetap menikahi Sinta seperti perkataannya tadi atau menjelaskan semuanya dengan resiko membuat mamanya kecewa. “Apa kamu yakin mau menjadikannya istri dan atas dasar apa keinginanmu itu?”Pertanyaan sang mama seolah terus terngiang di dalam otaknya membuatnya pusing luar biasa, dia bahkan tak bisa menjawab pertanyaan itu dan dengan pengecut, dia malah mengalihkan pembicaraan pada hal lain. Syukurlah sang mama cukup bijak untuk tak terus mendesaknya dan memberikan waktu untuknya menelaah rasa yang ada di hati.Tapi sekarang dia bingung sendiri apa yang harus dia katakan pada Sinta, gadis itu pasti juga membuatuhkan penjelasan darinya. Mulutnya kadang-
Mobil yang dikendarai Brian tiba di halaman rumah yang ditunjukkan Sinta. Dengan senyum terima kasih atas semua kebaikan Brian, gadis itu mengangguk dan turun dari dalam mobil.“Sin, tunggu.” Gadis itu menoleh dan terlihat Brian sudah turun dari mobil mewahnya. “Telepon aku jika kamu butuh tumpangan untuk pulang.” Sinta sudah akan membuka mulutnya menjawab tawaran Brian, tapi tubuhnya langsung tersentak saat sebuah gagang sapu memukul punggungnya dengan keras, sakit sekali. “Dasar anak tak tahu diuntung, sudah numpang bikin malu saja, berikan gajimu padaku.”Rasa sakit di punggungnya bahkan jadi tak terasa saat dia bersitatap dengan mata Brian yang memandang semua ini dengan tatapan tak percaya. “Iya, Bi, kita masuk dulu.... terima kasih sudah mengantar saya, Pak.” Sang Bibi memandang Brian dari atas sampai bawah, penampilan Brian yang sangat tampan dan juga semua benda yang melekat dalam tubuhnya meneriakkan kata mahal... dan jangan lupakan mobil me
Dalam kegelapan, Brian terduduk diam dalam mobilnya yang sewarna malam, matanya begitu tajam mengawasi seorang gadis yang terlihat tersenyum bersama teman-temannya di seberang sana. Sampai satu persatu gadis-gadis itu pergi dari sana, tinggallah Sinta, gadis mungil dengan kuncir ekor kuda yang sesekali melihat arloji di pergelangan tangannya. Brian terus mengamati dalam diam, bahkan sampai setengah jam, yang ditunggu gadis itu tak juga datang, tapi gadis itu tetap menunggu di sana. Malam yang kian beranjak membuat suasana menjadi sepi, bahkan semua toko yang tadi masih ramai dengan pembeli sudah membenahi barang dagangannya. “Apa dia tak takut semakam ini pulang sendiri,” gumam Brian tak senang. Dia sudah akan membuka pintu mobilnya, saat sebuah motor menghampirinya dan terlihat gadis itu menerima uluran helm dari si pengendara dan bergegas naik keboncengannya. Brian cepat-cepat menstater mobilnya untuk mengikuti motor itu sambil terus menjaga jarak ama
Setelah dengan penuh perjuangan mengantar Winda ke rumahnya, akhirnya Brian bisa bernapas lega dia bisa terbebas dari wanita itu, dia bahkan tak habis pikir bagaimana mamanya yang biasanya sangat kalem dan anggun itu bisa menyukai wanita agresif seperti itu untuk dikenalkan padanya. Apa dia terlihat setak laku itu, usianya baru tiga puluh dua tahun, usia yang belum terlalu tua untuk laki-laki sepertinya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, wanita itu dengan tak tahu malunya mengambil hadiah yang akan dia berikan pada Sinta. Brian menghela napas dalam berusaha menetralkan perasaannya, dia ingin menemui Sinta, tapi tentu saja tidak dengan tangan kosong. “Ah! Dasar sialan,” maki Brian kesal. Dia harus memikirkan hadiah apa yang bisa dia bawa untuk Sinta, memang bukan keharusan, Sinta juga tidak sedang berulang tahun, tapi tetap saja, Brian merasa tak nyaman.Dengan tergesa dia meminggirkan mobilnya, sejenak dia menimbang apakah akan menghubungi Dina atau S
Brian menatap pita rambut itu dengan senyum terselit di bibirnya, dia bisa membayangkan Sinta pasti akan terlihat sangat manis mengenakan ini. Satu minggu sudah Brian ada di Bali, berlibur sekaligus bekerja, karena meski dia mengajukan cuti kerja, nyatanya pikirannya malah melayang kemana-mana. Bahkan saat mengikuti Arga melakukan pemotretan ke berbagai tempat dan melihat pemandangan yang sangat indah termasuk wanita-wanita cantik yang bertebaran tak membuatnya bisa melupakan bayangan wajah belia yang selalu menghantui pikirannya. Jadi dia memutuskan tetap bekerja di hari kedua cutinya, yang membuat sang paman yang menerima laporan entah dari siapa menghubunginya hanya untuk menertawakan keputusan anehnya. “Kamu memang tak pantas untuk cuti, sudahlah bekerja saja, sedekahkan cutimu untuk yang membutuhkan.”Brian hanya bisa tersenyum kecut, meski pamannya di seberang sana pasti tak bisa melihatnya, mau apalagi, tidak mungkinkan dia mengomel pada pamannya yang
Sebuah proyek pembangunan sekolah luar biasa di Bali. Brian memandang informasi yang baru saja masuk ke ponselnya dengan penuh pertimbangan. Ini memang bukan tugasnya untuk meninjau secara langsung, tapi dia bisa mengajukan diri untuk ikut meninjau ke sana, memastikan sarana dan prasarana apa yang dibutuhkan di sana. “Saya akan ikut ke sana.” Brian mengirimkan pesan balasan pada direktur utama yayasan tempatnya bekerja, yang tak lain adalah pamannya sendiri. “Kamu yakin, kamu sebenarnya hanya perlu mengirim salah seorang staffmu, lagipula pembangunan di sana juga belum selesai.” Sebuah pesan balasan masuk tak lama kemudian. “Aku sedang ada urusan di Bali jadi sekalian saja.” “Baiklah, lusa mereka akan berangkat, persiapkan dirimu.” Brian masih memandang ponselnya. Meski tak ada lagi pesan yang masuk. Tangannya tergoda untuk mengirim pesan pada Sinta, tapi dia kembali ragu, Kemarin setelah dia datang ke cafe Dina dan menemui Sinta di sana sikap
Bahkan saat bekerjapun bayangan Sinta memenuhi kepalanya. Membuatnya sulit untuk berkonsentrasi. “Kenapa kopi buatanmu rasanya jadi tidak karuan seperti ini, Sa?” gerutu Brian.Bahkan kopi yang biasa dibuatkan oleh Sasa, sekretarisnya terasa aneh dan tidak seperti biasanya. Suasana hati Brian benar-benar mengerikan sepagi ini bahkan sudah ada dua anak buahnya yang kena semprot. “Tapi saya buat dengan takaran yang biasa pak, satu sendok makan kopi hitam dan satu sendok teh gula, bapak biasanya tidak suka kopi manis jadi saya hanya memberi sedikit gula,” Sasa tentu saja tak terima dengan tuduhan Brian orang dia membuat kopi seperti biasa tak ada yang dikurangi ataupun ditambah. “Airnya belum matang mungkin atau ini bukan bubuk kopi yang biasanya.” Sasa membelalak tak percaya. “Saya merebusnya langsung di atas kompor bapak kan tidak mau air dispenser, dan saya sudah lebih dari tiga puluh tahun berpengalaman untuk masak air, dan tahu benar bagaimana air yang suda