Hari Rabu. Dina melingkari kalender di meja kerjanya dengan malas. Masih dua hari lagi Angga yang baru saja dinas keluar kota untuk membereskan masalah yang ditimbulkan pamannya pulang.
Sejujurnya itu hal yang biasa untuk Dina selama menjadi istri Angga, melakukan perjalanan dinas ke luar kota bahkan ke luar negeri selama beberapa hari, tapi entah kenapa saat ini dia ingin sekali bertemu dengan suaminya itu. Sejujurnya dia Dina tak tahu bagaimana konsep merindukan seseorang, tapi perasaannya yang selalu ingin bersama sang suami atau paling tidak hanya mendengar suaranya melalui telepon saja sudah lebih dari cukup. Dalam satu hari dia memiliki kesepakatan jam berapa saja harus menelepon suaminya, membuat Angga yang tak hendti menggodanya dan mengatakan Dina berubah menjadi genit. “Ini karena hormon kehamilan saja, biasanya juga tak pernah,” dengan lihai Dina ngeles dari godaan suaminya. “Kusut amat itu muka? Ada apa?” Sasa tiba-tiba sudah bDina menyambut kedatangan suaminya dengan senyum lebar, seolah mereka sudah lama sekali tak bertemu, padahal Angga baru saja pergi keluar kota selama satu minggu. Dina mengikuti sang suami yang masuk ke dalam kamar mereka, menyiapkan segala keperluan sang suami. “Kamu kerja lama sekali, Mas, lupa sama istri dan anak di rumah,” kata Dina dengan cemberut, memandang sang suami yang sudah segar setelah mandi. Angga memandang istrinya dengan bingung, seingatnya tadi sebelum masuk kamar mandi istrinya masih menampakkan senyum lebar, kenapa saat dia keluar kamar mandi jadi cemberut. “Bagaimana bisa lupa kalau sehari bisa diabsen lebih dari lima kali.” “Jadi kamu nggak suka aku hubungi.” Angga menghampiri Dina yaang duduk di atas ranjang, dan memeluk istrinya itu lembut. “Aku malah senang kamu telepon.” “Bohong, tadi kamu mengeluh.” “Itu bukan mengeluh sayang, aku hanya bercanda.” “Bercandamu nggak lucu,” kata Dina sebal.Angga memandang sang
Angga mengahmpaskan tubuhnya di atas ranjang, Dina yang sedang menata baju yang mereka bawa ke dalam almari hanya melirik saja. ini liburan pertama mereka bersama setelah sekian lama, bukan tempat yang jauh dan wah memang tapi bagi Dina yang terpenting adalah semua orang senang dan keluarga mereka dapat bersama. “Kenapa, Mas, kamu terlihat berpikir keras, kita sedang liburan di sini?” Angga memiringkan tubuhnya mengahadap sang istri yang kini memusatkan perhatian padanya. “Apa dulu Bara pernah memintamu kawin lari dengannya?’ tanya Angga tiba-tiba. Dina menatap suaminya horor, ada apa lagi ini? “Apa maksudmu, aku baru bertemu lagi dengan Bara saat menikah denganmu?” “Bukan ...maksudku....ah sudahlah.” Angga mengacak rambutnya frustasi, dia ingin membantu Bara tapi dia bahkan tak tahu caranya, membicarakan Bara dengan Dina adalah salah satu caranya, tapi belum juga Angga berhail menjelaskan maksudnya, otaknya sudah berkelana saat Bara bilang menyukai Dina.
“Semoga saja bayi kita ini laki-laki,” kata Angga di suatu pagi yang indah, dua orang itu sedang duduk di pinggir pantai dengan beralaskan tikar. Sedangkan anak-anak bermain di dekat pantai bersama Bara, mereka terlihat sangat bersemangat tawa bahagia mereka sampai bisa meruntuhkan tebing karang. “Kalau perempuan?” Usia kandungan Dina memang sudah menginjak tujuh bulan, jika memang mereka ingin melihat jenis kelamin anak mereka, tentu sangat bisa apalagi teknologi sekarang sudah semakin canggih saja. tapi baik Dina maupun Angga memilih tidak melakukan hal itu mereka ingin jenis kelamin anak mereka menjadi kejutan nantinya. “Ya nggak masalah aku tetap menyayanginya, hanya aku mikirnya lucu saja, aku mendapat sepasang anak dari Laras, juga sepasang anak darimu.” Dina memandang suaminya sinis. “Bangga sekali Anda.” Angga tertawa melihat wajah masam istrinya. “Bukan bangga juga, hanya saja kasihan kalau Aksa laki-laki sendiri.” “Kenapa kasihan?” “Dia nantinya yang a
Anak laki-laki itu berdiri dengan kaki gemetar di depan UGD, pandangannya lurus ke dalam ruangan tertutup tempat orang yang dia sayangi berjuang untuk lepas dari maut, matanya menatap nanar pada darah yang berceceran di lantai, apalagi dia tahu persis kalau darah itu milik orang tuanya. Saat seorang dokter keluar dan memanggil keluarga pasien, nama orang tuanyalah yang di sebut dengan langkah tertatih dia mendekat, tapi rupanya paman dan bibinya sudah lebih dulu sampai di depan sang dokter.Tidak harus menjadi jenius untuk tahu kalau hal buruk telah terjadi ekspresi wajah yang tertunduk mengatakan semuanya, tapi anak itu tetap menyerat kakinya mendekati sang dokter. “Papa dan mama kenapa?” tanyanya pelan nyaris tak terdengar. Belum juga sang dokter berwajah lelah itu menjawab sang bibi sudah mendorongnya dengan kasar, membuat punggungnya harus beradu dengan kerasnya lantai rumah sakit yang dingin. “Anak pembawa sial, lihat orang tuamu mati karena kamu. Sejak
Bara tak tahu kalau dia akan memiliki perasaan seperti ini pada seorang wanita, dulu dia berpikir jatuh cinta pada Dina dan mampu melakukan apa saja untuk wanita itu, meski tak dapat memilikinya, tapi Bara ikut bahagia dengan Angga yang memperlakukan Dina dengan baik. Cintanya pada Dina sangat tulus bukan karena nafsu belaka. Tapi kenapa rasanya dia ingin menghajar laki-laki yang dia ingat tersenyum manis memandang Hera saat di rumah Angga dulu. Apalagi saat Hera juga membalas senyuman itu sama hangatnya. Bara tahu dia tak berhak memiliki perasaan ini, tidak ada hubungan apappun yang mengikat mereka, mereka bukan sepasang kekasih, Bahkan Bara juga sedapat mungkin mendorong Hera pergi dari hidupnya. Bara pikir dengan begitu dia bisa kembali ke kehidupannya yang damai dan tenang. Sendiri tanpa orang lain. Tapi ternyata dia tak bisa. Hidupnya tak lagi sama. Perasaan itu membuatnya frustasi sendiri. Bahkan ini sudah lewat beberapa hari setelah pesta pertunangan gadis itu, dan sek
Bau obat yang tercium sangat pekat menyapa indra penciuman Bara, laki-laki itu berusaha menggerakkan tubuhnya, tapi sekuat apapun dia berusaha bergerak tubuhnya seolah tak mampu menuruti permintaan otaknya. “Kamu sudah sadar, aku panggil dokter dulu.” Itu suara Dina, Bara sangat hapal. Dokter? Apa dia ada di rumah sakit? Oh ya dia menabrak trotoar? Tapi kenapa Dina ada di sini menungguinya, apa Angga tahu? Tak lama Dina masuk dengan seorang dokter dan seorang perawat, lalu berbicara lirih dengan Dina, entah apa yang mereka bicarakan, Bara bahkan tak mampu mendengarnya dengan jelas. “Bagaimana perasaanmu?” tanya Dina saat mendekat ke arah Bara. “Apa yang terjadi, Mbak kenapa aku di sini?” “Kamu tidak ingat? Kamu mengalami kecelakaan tunggal, syukurlah Hera ada di dekat situ dan langsung membawamu ke rumah sakit.” Gadis itu lagi, jadi waktu itu dia tidak berhalusinasi, Hera memang ada di sana, dan sekali lagi membantunya. “Istirahtlah, sebentar lagi Mas Angga kemari, dia akan m
Bara seketika mematung mendengar gerutuan gadis muda itu. Kamar pengantin katanya. Dan Hera adalah pengantin wanitanya hari ini. Sial! Jadi sia harus menjadi pengganti lampu kamar yang akan ditempati oleh pengantin baru saja. Apa seharusnya Bara pergi saja, dia bisa beralasan kakinya sakit atau apa, yang jelas dia tak harus melakukan itu. “Lho, Mas, kok malah bengong di sini, tenang saja nanti aku ambilkan makanan yang banyak buat masnya.” “Eh?” Bara menoleh tak fokus pada gadis muda itu. Tapi tak disangka gadis muda itu mendekat padanya dan berbisik lirih. “Aku juga biasanya begitu kalau mau kondangan nggak makan dulu biar bisa makan banyak di sini.” Dengan senyum percaya diri gadis itu mendorong tubuh jangkung Bara ke dalam kamar. “Eh, sebentar, Mbak.” “Apalagi, Mas, keburu pengantinnya datang.” Jadi Hera tak ada di kamar ini. “Pengantinya di mana sekarang?” “Di kamar tamu masih dirias, setelah selesai baru dibawa ke kamar ini, supaya hiasan kamarnya tidak rusak.” Dan Ba
Kalau ada yang bertanya bagaimana rasanya duduk di kursi saksi pernikahan orang yang masih menggenggam hatimu dengan kuat, jawabannya adalah seperti daging yang dicacah halus dan akan dijadikan campuran perkedel, seperti itulah remukanya hati Bara saat ini. Apalagi saat dia bertatapan dengan Hera, pertama kali tentu saja keterkejutan yang ada di matanya, lalu rasa terkejut itu berubah menjadi luka dan kepasrahan yang terlihat jelas, membuat Bara ingin memukul dirinya sendiri. Bara tak tahu apa yang dirasakan oleh Hera saat ini, dia bukan orang yang naif dan polos yang tidak tahu kalau gadis ini masih mengharapkannya hingga saat ini, meski telah mengambil keputusan untuk menjadi milik laki-laki lain. Hal yang tidak bisa masuk dalam nalar Bara memang, jika memang Hera tak menginginkan laki-laki itu kenapa dia harus mau menerimanya. “Baiklah semua sudah siap?” tanya penghulu berusia setengah baya itu. Yang dijawab anggukan oleh orang-orang di sekitarnya. Bara meremas kedua tanganny