"Siapa?" tanya Dina penasaran.
Tapi Angga masih diam terpaku di depan pintu.Dina hanya bisa menatap mereka bergantian."Mas, siapa mereka," kata Dina lagi dengan menggoyangkan lengan suaminya.Angga menghela napas dan menatap istrinya dengan pandangan tak terbaca."Dia orang tua Vanya," jawab Angga lirih.Kalau jawaban itu mengejutkan Dina, wanita itu tak menampakkannya, dia menatap sang suami dengan tajam mengharap penjelasan, tapi Angga hanya menggeleng.Membuat Dina kecewa. Rumah yang sekarang mereka tinggali bukan rumah keluarga Wicaksana, atau rumah mewah tempat Angga bisa mengundang rekan-rekannya, memang kadang ada juga rekan yang datang berkunjung, seperti Anton dan Hendra, tapi itu juga Dina tahu apa alasan mereka datang.Tapi kali ini Dina benar-benar buta. Masih terlalu pagi memang untuk menduga yang macam-macam, pengalaman mengajarkan Dina untuk tidak langsung mengambil kesimpulan, Dina hanya menatap dua orang yang berjalan kearahnya ituDina mengira dengan keadaan Vanya yang masuk penjara semua masalah telah selesai, paling tidak dia tak lagi berurusan dengan wanita yang telah menjadi duri dalam daging di pernikahannya. Tapi ternyata Dina salah sangat salah, Vanya dan kemauan egoisnya, apalagi kedua orang tuanya yang mendukung semua keinginan anaknya. Jika menuruti kata hati ingin sekali Dina memaki kedua orang itu, mereka memang orang tua Vanya. Dan Dina sangat paham semua orang tua tidak akan tega melihat anaknya menderita, tapi bukan berarti dengan mengorbankan kebahagiaan orang lain, tapi Dina masih cukup waras untuk tidak memaki mereka, bagaimanapun mereka keluarga yang berpengaruh dan sahabat lama keluarga suaminya. Bukan tidak mungkin keluarga Angga akan makin membencinya saat berita ini tersiar, bukannya Dina peduli dengan hal itu juga, tapi Dina tak ingin hal ini akan berimbas pada anak-anaknya nanti. “Jadi apa aku harus datang?” tanya Angga memecah lamunan Dina. “Itu terserah pa
Mengunjungi sosok teman yang sedang kesusahan, mungkin akan terasa wajar bagi Angga, baik itu teman laki-laki maupun wanita, tapi apakah masih bisa dikatakan wajar andai teman yang dia sayang dan dianggap mengerti dirinya, berusaha merenggut kebahagiaannya. Jawaban orang normal tentu saja tidak, kebanyakan orang lebih memilih menghindar, supaya tidak mengakibatkan masalah yang lain lagi. Tapi Angga berpikiran berbeda, bukan karena dia masih sangat peduli pada Vanya seperti dulu, yang bahkan mengesampingkan urusan keluarganya, Angga hanya ingin menegaskan sekali lagi pada wanita itu, bahwa hubungan mereka tidak lagi seperti dulu. Dari pintu masuk Angga bisa melihat Vanya terbaring di sebuah ranjang kecil di tengah ruangan, sebuah jarum infus menancap di tangannya. Setahu Angga Vanya jarang sakit dan dia juga takut dengan jarum suntik. Jadi bisa dimengerti kalau orang tua Vanya melakukan berbagai cara untuk menuruti semua kemauan Vanya. Tapi Angga juga punya cara
Dina sudah menduga dari awal kalau rumah yang ditempati pamannya pasti bukan rumah sederhana seperti yang saat ini dia tempati bersama Angga. Tapi tetap saja Dina hanya bisa berdecak kagum menyaksikan rumah mewah yang hampir sama besarnya dengan rumah mertuanya itu. apalagi bagian depan rumah terdapat taman yang indah dengan beraneka macam bunga yang bermekaran, rasanya Dina seperti sedang berwisata ke taman bunga. “Kalau kamu mau kita juga bisa membuat taman seperti itu,” Angga berkata lirih sambil memandang istrinya yang masih begitu terpesona dengan taman di rumah ini. “Aku sama sekali tidak ahli dalam hal tanam menanam,” protes Dina. Dina dan tanaman memang belum pernah berkawan baik, dia berkali-kali pernah mencoba menanam berbagai macam bunga dan sayuran di rumah yang dulu dia tempati dengan Angga, tapi meski Dina sudah merawatnya dengan baik, menyiramnya sesuai dengan anjuran ahli tanaman yang dia temui dan juga memberikan pupuk yang sesuai, nyatanya mere
“Benarkah anda membuangku, apa aku begitu tak berarti untuk anda?” tanya Dina lemah, tapi mampu membuat hati yang mendengarnya teriris. Laki-laki itu hanya diam kepalanya makin menunduk dalam, wajahnya juga pias saat mendengar ucapan wanita yang dia yakini sebagai anak yang dulu dia telantarkan. Penyesalan menyergap dirinya membuatnya tak mampu bahkan untuk memandang wajah Dina. “Begitu, ternyata benar anda tak menginginkanku,” kata Dina pahit.“Bukan begitu, bagaimanapun kamu tetap putriku dan tentu saja aku menyayangimu, dulu ... aku memang khilaf dan sekarang aku menyesali semuanya,” laki-laki itu berkata dengan parau. Tenggorokannya seolah dicekik oleh tangan tak kasat mata yang membuatnya kesulitan untuk bernapas. “Terima kasih.” Semua orang hanya bisa memandnag Dina heran, kenapa wanita itu malah mengucapkan terima kasih dan untuk apa? apa itu hanya bentuk sindiran untuk laki-laki yang mengaku ayahnya. Semua orang memilih diam membisu menanti kata-
Mahendra kembali menatap Dina. “Dan sampai sekarang istrinya itu tak mampu memberinya seorang anak, mungkin ini karma karena dia menelantarkan anak kandungnya,” kata Mahendra dengan sinis. “Pah!” tegur sang istri pelan, menghentikan suaminya untuk mengumpati mantan kakak iparnya itu. “Maaf sampai sekarang aku belum bisa memaafkan ayahmu, Din, aku belum bisa sembuh dari kehilangan ibumu,” katanya muram. Dina hanya tersenyum lembut, dia mengerti kalau sang paman hanya terlalu mencintai ibunya dan sangat marah saat ada orang yang menyakitinya. Betapa indahnya persaudaraan mereka. Andai ayahnya tidak memiliki wanita lain apa sekarang dia akan punya beberapa saudara? Dina segera menepis pemikiran itu, sebanyak apapun dia mengumpulkan kata andai, tak akan dapat mengembalikan semua seperti semula, hal yang sekarang terpampang di depan matanya adalah kenyataan yang mau tak mau harus dia hadapi. “Jadi apa yang akan kita lakukan untuk merayakan hari ulang tahun
Entah mimpi apa Dina semalam, siang ini seorang wanita paruh baya menemuinya di kantor, tepatnya memaksa untuk bertemu Dina saat dia berencana akan makan siang dengan suaminya. “Siapa?” tanya Angga penasaran. Dina hanya mengangangkat bahu, jangankan kenal, bertemu saja masih satu kali ini saja. “Entahlah.” Dina melangkah menghampiri wanita itu. “Anda ingin bertemu saya?” tanya Dina sopan. Wanita itu terlihat salah tingkah menghadapi wajah tenang Dina, tapi hanya sesat, setelah itu Dina bisa melihat tekad yang kuat di mata wanita itu. “Aku Riyanti istri ayahmu,” Dina menyambut uluran tangan wanita itu dengan tenang, tak ada keterkejutan di wajahnya, dia sudah bisa menebak, kehadiran di rumah keluarga Wijaya tanpa kehadiran istrinya tentu akan membuat masalah. Tapi Dina tak menduga kalau wanita ini bernyali besar dengan mendatanginya langsung. “Oh.”Jika Wanita itu mengira Dina akan terkejut dan marah padanya, dia salah besar, Dina bersikap seolah tak peduli dengan keberadaan wani
Dina terkejut saat bibi memberitahukan kalau ada seorang laki-laki yang mencarinya. “Siapa, Bi?” tanya Dina yang keheranan. Bibi hampir mengenal semua teman laki-lakinya di kantor.“Bibi tidak tahu, Nya, dia hanya mengatakan ingin bertemua nyonya.”“Dimana dia?” “Masih di depan pintu gerbang, satpam belum mengijinkannya masuk. Dina yang saat itu sedang menyiapkan makan siang segera melepas apronnya dan mencuci tangan, entah siapa yang datang mencarinya. Dina memandang monitor cangngih yang terhubung dengan kamera pengawas di depan pagar dan terpaku di sana saat tahu siapa laki-laki yang mencarinya. “Ayah,” gumam Dina lirih. Dia tak tahu perasaan apa saat ini yang menyelimutinya, di kunjungi oleh ayah yang telah sekian lama ingin dia temui, tapi juga saat dia tahu ayahnya menyakiti ibunya sehebat itu. “Siapa, Din kata bibi ada tamu?” tegur Angga halus saat Dina hanya berdiri diam di depan monitor. “Ayah.” Satu kata itu s
Kedatngan Bara di jam makan bukan lagi hal yang aneh untuk Dina dan Angga, laki-laki itu sering membuat alasan rumahnya yang sepi membuatnya malas makan, lagi pula masakan assisten rumah tangganya tak seenak buatan Dina. Tapi kali ini Dina sangat bersyukur dengan kedatangan Bara, paling tidak laki-laki itu berhasil memecahkan kecanggungan yang tercipta. “Kupikir kamu tidak akan datang, Hera sedang cuti ayahnya sakit.” Meski hubungan Bara dan Hera terlihat jalan di tempat, tapi Dina tahu kalau Bara juga sangat perhatian pada Hera, meski dibungkus dengan sikap dingin yang kadang membuat Dina geram. Entah apa alasan Bara untuk tetap berdiri di tempat yang sama tanpa keinginan untuk melangkah bersama Hera, Dina belum bisa mengorek hal itu. Bara langsung bungkam saat Dina bertanya, dan itu membuat Dina tahu kalau dia sudah melanggar batas teritorinya. “Aku tidak kesini untuk bertemu Hera. Oh ada tamu maaf saya asisten pribadi Mas Angga.” Seolah baru sadar ada ora
"Bu Dina dilarikan ke rumah sakit."Pesan salah satu anak buahnya, membuat Angga langsung meninggalkan semua pekerjaannya.Dia melangkah terburu-buru, ingin rasanya dia terbang supaya cepat sampai, dia merutuki dirinya sendiri kenapa harus ada masalah di kantor saat seperti ini, padahal dia sudah berusaha membereskan pekerjaannya dan menemani Dina yang sedang hamil tua. Syukurlah Bara sangat bisa diandalkan di saat seperti ini, dia juga meminjamkan sang istri, Hera untuk menjaga Dina."Bagaimana keadaan Dina?" tanya Angga tak sabar saat melihat Hera terduduk di kursi tunggu."Masih ditangani dokter."Tanpa membuang waktu Angga menuju ruangan yang ditunjuk Hera."Eh pak kita tunggu di sini saja nggak boleh masuk!" Tapi Angga tampaknya tak peduli."Sus, dimana istri saya?" tanyanya pada seorang perawat."Istri Bapak siapa?" tanya sang perawat bingung."Dina, Sus, istri saya yang akan melahirkan."Untunglah sang perawat punya kesabaran lebih
“Ciee mbak Dina... sebentar lagi akan jadi mertuanya Pak Brian.” Dina bahkan baru saja menginjakkan kakinya di lobi kantor, terdengar suara membahana Siska yang membuatnya melongo tak mengerti. Dia akan jadi mertuanya Pak Brian, seingatnya dia memang punya dua orang putri cantik Arsyi dan Ara dan usia keduanyapun masih anak-anak. Tak mungkinkan Brian mau menikahi salah satu dari dua bocilnya itu. Jadi anak yang mana yang dimaksud Siska?“Kamu belum sarapan ya, Sis, sana ke kantin dulu atau ke cafe depan, biar kamu lebih fokus ngomongnya,” kata dina sedikit jengkel. “Gratis, Mbak?” “Apanya?’ “Makannyalah katanya tadi suruh makan.” “Makannya gratis, tapi setelah itu kamu harus cuci piring.” “Mbak Dina kayak ibu tiri saja. kejam.” “Bahkan anak tiriku bilang aku baik hati.” “Ups aku lupa kalau memang mbak Dina ibu tiri.” Dina segera meneruskan langkahnya , ngobrol dengan Siska tak akan ada habisnya. “Eh, Mbak tunggu, tapi aku serius soal Pak Brian yang akan menikah dan jadi m
Brian memasuki kamarnya dengan hati bercabang, dia sebenarnya juga terkejut dengan keputusannya sendiri yang mengatakan kalau Sinta adalah calon istrinya. Dan lebih buruknya lagi dia mengatakannya di depan sang mama, wanita yang sangat dia sayangi dan tidak ingin dia kecewakan. Sekarang apa yang akan dia lakukan? Tetap menikahi Sinta seperti perkataannya tadi atau menjelaskan semuanya dengan resiko membuat mamanya kecewa. “Apa kamu yakin mau menjadikannya istri dan atas dasar apa keinginanmu itu?”Pertanyaan sang mama seolah terus terngiang di dalam otaknya membuatnya pusing luar biasa, dia bahkan tak bisa menjawab pertanyaan itu dan dengan pengecut, dia malah mengalihkan pembicaraan pada hal lain. Syukurlah sang mama cukup bijak untuk tak terus mendesaknya dan memberikan waktu untuknya menelaah rasa yang ada di hati.Tapi sekarang dia bingung sendiri apa yang harus dia katakan pada Sinta, gadis itu pasti juga membuatuhkan penjelasan darinya. Mulutnya kadang-
Mobil yang dikendarai Brian tiba di halaman rumah yang ditunjukkan Sinta. Dengan senyum terima kasih atas semua kebaikan Brian, gadis itu mengangguk dan turun dari dalam mobil.“Sin, tunggu.” Gadis itu menoleh dan terlihat Brian sudah turun dari mobil mewahnya. “Telepon aku jika kamu butuh tumpangan untuk pulang.” Sinta sudah akan membuka mulutnya menjawab tawaran Brian, tapi tubuhnya langsung tersentak saat sebuah gagang sapu memukul punggungnya dengan keras, sakit sekali. “Dasar anak tak tahu diuntung, sudah numpang bikin malu saja, berikan gajimu padaku.”Rasa sakit di punggungnya bahkan jadi tak terasa saat dia bersitatap dengan mata Brian yang memandang semua ini dengan tatapan tak percaya. “Iya, Bi, kita masuk dulu.... terima kasih sudah mengantar saya, Pak.” Sang Bibi memandang Brian dari atas sampai bawah, penampilan Brian yang sangat tampan dan juga semua benda yang melekat dalam tubuhnya meneriakkan kata mahal... dan jangan lupakan mobil me
Dalam kegelapan, Brian terduduk diam dalam mobilnya yang sewarna malam, matanya begitu tajam mengawasi seorang gadis yang terlihat tersenyum bersama teman-temannya di seberang sana. Sampai satu persatu gadis-gadis itu pergi dari sana, tinggallah Sinta, gadis mungil dengan kuncir ekor kuda yang sesekali melihat arloji di pergelangan tangannya. Brian terus mengamati dalam diam, bahkan sampai setengah jam, yang ditunggu gadis itu tak juga datang, tapi gadis itu tetap menunggu di sana. Malam yang kian beranjak membuat suasana menjadi sepi, bahkan semua toko yang tadi masih ramai dengan pembeli sudah membenahi barang dagangannya. “Apa dia tak takut semakam ini pulang sendiri,” gumam Brian tak senang. Dia sudah akan membuka pintu mobilnya, saat sebuah motor menghampirinya dan terlihat gadis itu menerima uluran helm dari si pengendara dan bergegas naik keboncengannya. Brian cepat-cepat menstater mobilnya untuk mengikuti motor itu sambil terus menjaga jarak ama
Setelah dengan penuh perjuangan mengantar Winda ke rumahnya, akhirnya Brian bisa bernapas lega dia bisa terbebas dari wanita itu, dia bahkan tak habis pikir bagaimana mamanya yang biasanya sangat kalem dan anggun itu bisa menyukai wanita agresif seperti itu untuk dikenalkan padanya. Apa dia terlihat setak laku itu, usianya baru tiga puluh dua tahun, usia yang belum terlalu tua untuk laki-laki sepertinya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, wanita itu dengan tak tahu malunya mengambil hadiah yang akan dia berikan pada Sinta. Brian menghela napas dalam berusaha menetralkan perasaannya, dia ingin menemui Sinta, tapi tentu saja tidak dengan tangan kosong. “Ah! Dasar sialan,” maki Brian kesal. Dia harus memikirkan hadiah apa yang bisa dia bawa untuk Sinta, memang bukan keharusan, Sinta juga tidak sedang berulang tahun, tapi tetap saja, Brian merasa tak nyaman.Dengan tergesa dia meminggirkan mobilnya, sejenak dia menimbang apakah akan menghubungi Dina atau S
Brian menatap pita rambut itu dengan senyum terselit di bibirnya, dia bisa membayangkan Sinta pasti akan terlihat sangat manis mengenakan ini. Satu minggu sudah Brian ada di Bali, berlibur sekaligus bekerja, karena meski dia mengajukan cuti kerja, nyatanya pikirannya malah melayang kemana-mana. Bahkan saat mengikuti Arga melakukan pemotretan ke berbagai tempat dan melihat pemandangan yang sangat indah termasuk wanita-wanita cantik yang bertebaran tak membuatnya bisa melupakan bayangan wajah belia yang selalu menghantui pikirannya. Jadi dia memutuskan tetap bekerja di hari kedua cutinya, yang membuat sang paman yang menerima laporan entah dari siapa menghubunginya hanya untuk menertawakan keputusan anehnya. “Kamu memang tak pantas untuk cuti, sudahlah bekerja saja, sedekahkan cutimu untuk yang membutuhkan.”Brian hanya bisa tersenyum kecut, meski pamannya di seberang sana pasti tak bisa melihatnya, mau apalagi, tidak mungkinkan dia mengomel pada pamannya yang
Sebuah proyek pembangunan sekolah luar biasa di Bali. Brian memandang informasi yang baru saja masuk ke ponselnya dengan penuh pertimbangan. Ini memang bukan tugasnya untuk meninjau secara langsung, tapi dia bisa mengajukan diri untuk ikut meninjau ke sana, memastikan sarana dan prasarana apa yang dibutuhkan di sana. “Saya akan ikut ke sana.” Brian mengirimkan pesan balasan pada direktur utama yayasan tempatnya bekerja, yang tak lain adalah pamannya sendiri. “Kamu yakin, kamu sebenarnya hanya perlu mengirim salah seorang staffmu, lagipula pembangunan di sana juga belum selesai.” Sebuah pesan balasan masuk tak lama kemudian. “Aku sedang ada urusan di Bali jadi sekalian saja.” “Baiklah, lusa mereka akan berangkat, persiapkan dirimu.” Brian masih memandang ponselnya. Meski tak ada lagi pesan yang masuk. Tangannya tergoda untuk mengirim pesan pada Sinta, tapi dia kembali ragu, Kemarin setelah dia datang ke cafe Dina dan menemui Sinta di sana sikap
Bahkan saat bekerjapun bayangan Sinta memenuhi kepalanya. Membuatnya sulit untuk berkonsentrasi. “Kenapa kopi buatanmu rasanya jadi tidak karuan seperti ini, Sa?” gerutu Brian.Bahkan kopi yang biasa dibuatkan oleh Sasa, sekretarisnya terasa aneh dan tidak seperti biasanya. Suasana hati Brian benar-benar mengerikan sepagi ini bahkan sudah ada dua anak buahnya yang kena semprot. “Tapi saya buat dengan takaran yang biasa pak, satu sendok makan kopi hitam dan satu sendok teh gula, bapak biasanya tidak suka kopi manis jadi saya hanya memberi sedikit gula,” Sasa tentu saja tak terima dengan tuduhan Brian orang dia membuat kopi seperti biasa tak ada yang dikurangi ataupun ditambah. “Airnya belum matang mungkin atau ini bukan bubuk kopi yang biasanya.” Sasa membelalak tak percaya. “Saya merebusnya langsung di atas kompor bapak kan tidak mau air dispenser, dan saya sudah lebih dari tiga puluh tahun berpengalaman untuk masak air, dan tahu benar bagaimana air yang suda