Sejak kembali dari rumah sang mama tadi malan untuk peringatan kematian Keira, Angga yang sedang menunggu Dina menyiapkan makanan untuknya, langsung tertidur di kamar Dina, bahkan Dina harus berusaha keras untuk membangunkannya, Angga terlihat sangat lelah.
Dina tahu beberapa hari ini memang suaminya itu kurang tidur. Berurusan dengan keluarga Hartono yang sering berpikiran diluar nalar, serta Keira yang terlalu manja, tentu bukan hal yang mudah.Dina menyadari hal itu, jadi dengan terpaksa dia tidur di sebelah Angga, karena tak mungkin dia tidur bersama Ara, apalagi morning sickness yang dia alami tak kenal waktu.Dan pagi ini Dina terbangun dengan belitan erat di tubuhnya seperti belitan ular, dan saat membuka matanya, tangan dan kaki Angga sudah memeluk tubuhnya dengan erat.Dengan hati-hati Dina melepaskan pelukan itu dan membersihkan diri terlebih dahulu.Angga menggeliatkan tubuhnya, tidurnya benar-benar nyenyak, entah karena tubuhnya yang memang benar-benaAngga tidak menyangka pekerjaan membuat rujak lebih sulit dari pada memeriksa laporan keuangan perusahaan. Padahal dia sudah dibantu oleh Bibi yang sudah berpengalaman membuat berbagai makanan sejak dia masih kecil, termasuk rujak yang diinginkan Dina ini. “Ngupas buahnya jangan terlalu tipis atau tebal, Tuan, harus pas.” Dan Angga tentu saja kesulitan mengartikan kupasan buah yang pas itu bagaimana selama ini dia hanya tahu buah yang sudah dipotong dan tertata rapi di atas piring, dan dengan senang hati akan dia masukkan ke dalam mulutnya. Siapa yang menyangka prosesnya akan seribet ini. “Apa bibi nggak punya pisau khusus, agar ketebalan kupasannya sama di semua tempat.” Bibi hanya bisa memandang Angga dengan bengong, dia tidak pernah tahu ada pisau khusus untuk mengupas mangga muda, setahunya asal pisaunya bersih dan tajam bisa untuk mengupas mangga. “Nggak ada, Tuan, bibi biasanya juga pakai pisau itu, biar bibi kupaskan saja kalau begitu,” tawar Bibi y
Kepindahan Dina dari rumah yang dia tempati sejak menikah dengan Angga memang hanya diketahui beberapa orang saja. Angga memang sengaja merahasiakannya, untuk mencegah adanya scandal yang akan terjadi. Bukan tak mungkin kalau itu sampai tersebar akan sangat mengganggu Dina dan anak-anaknya. Orang kadang tak peduli dengan perasaan orang lain yang penting apa yang dia inginkan dapat tercapai. “Om...” Dina sedikit terkejut setelah melihat siapa yang berdiri di depan pintu rumahnya. Dina memandang para pengawal yang berjaga di halaman, mereka mengijinkannya masuk? “Apa om tidak boleh masuk?” tanya sang tamu lagi. Dina tersenyum tak enak hati dan mempersilahkan dua orang itu masuk. “Silahkan duduk, om dan tante?” kata Dina sedikit ragu dengan panggilan yang dia berikan, terutama pada wanita yang datang bersama laki-laki yang dipanggilnya om itu. Sekilas Dina menoleh pada Angga yang terlihat tersenyum ramah pada mereka, apa suaminya itu sudah tahu akan a
Dalam perjalanan ke rumah sang mama untuk peringatan keatian Keira, Dina menceritakan semuanya pada Angga, tentang dia yang sudah memberitahukan keputusannya pada sang paman dan juga alasan sang paman untuk mendesaknya. “Kurasa itu hal yang wajar, Om Hendra bisa saja menguasai semuanya, tapi dia malah mau repot-repot mencarimu, bukankah itu artinya dia memang benar-benar menyayangimu.” “Yah, bagaimanapun aku senang ternyata aku masih memiliki keluarga.” “Aku dan anak-anak juga keluargamu kalau kamu lupa,” jawab Angga tak terima. Dina memutar bola matanya malas. “Mkasudku keluarga kandungku, aku yang hamil kenapa kamu yang sensitif.” “Wajarkan yang di dalam perutmu itu anakku.” “Sok tahu.” “Bukan sok tahu memang tahu, aku bisa merasakannya, lagi pula harga dirimu terlalu tinggi kalau harus berselingkuh.” Dina memalingkan muka, memang benar yang Angga katakan tapi dia enggan untuk mengakui. Dina sudah bosan untuk mengemis perhatian dari suaminy
“Menjadi figur orang tua yang lengkap.”Dina dan Angga berpandangan sama-sama tak mengerti dengan maksud laki-laki di depannya ini. dalam hati mereka was-was juga, keluarga Hartono kadang memiliki pemikiran di luar nalar yang berpotensi membuat pusing kepala. “Apa maksudmu bukankah tadi kamu bilang akan mengadopsinya?”Anton terlihat salah tingkah, dia mengetuk-ngetuk permukaan meja di depannya dengan pelan, mungkin itu caranya untuk mendapatkan kembali ketenangannya. “Aku laki-laki lajang yang belum pernah menikah apalagi memiliki anak.” Dia terdiam sejenak mengamati kedua orang di depannya. “Aku tidak mau anak itu dibesarkan oleh pengasuh, aku akan merawatnya sendiri seperti anak kandungku, mungkin itu bisa menebus kesalahanku pada Steven dan anak itu.” “Apa kamu masih mencintai Keira?” tanya Angga tiba-tiba. Dina sempat mengangkat alisnya saat mendengar pertanyaan Angga. “Kenapa? Apa Om tidak terima?” Anton tersenyum usil pada Angga. Angga be
Waktu sepertinya berlari dengan sangat cepat, dua bulan sudah sejak kematia Keira, usia kandungan Dina juga sudah memasuki trisemester ke dua, tapi wanita itu masih begitu lincah untuk melakukan semua pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya tanpa melupakan perannya sebagai seorang istri dan ibu dari ketiga anaknya. Begitu juga hubungannya dengan Angga yang sudah memiliki banyak kemajuan, yah setidaknya mereka bisa tinggal bersama layaknya suami istri pada umumnya. Tepat satu bulan setelah meninggalnya Keira memang Angga sakit, laki-laki itu tiba-tiba pingsan setelah memimpin sebuah meeting, Bara yang saat ini mendampinginya sigap membawanya ke rumah sakit terdekat dan menguhubungi Dina yang langsung datang dengan wajah penuh kekhawatiran. Ternyata Angga hanya kelelahan dan banyak beban pikiran, aplagi usia Angga yang tidak bisa dikatakan muda. Dina yang mendengar itu merasa sangat bersalah, dia merasa Angga terlalu lelah karena harus bolak-balik pagi dan malam dari
Seiring dengan Angga yang tinggal lagi bersama dengan Dina, kebiasaan Bara yang menumpang makan di rumah keluarga itu juga kembali lagi. Meski suka seenaknya, Bara masih punya aturan saat Angga tak tinggal bersama Dina dia tidak pernah menumpang makan lagi, dia tak ingin menimbulkan masalah baru untuk Dina. Sudah cukup pengakuannya mengejutkan Angga dan membuat kakak angkatnya itu marah. Dia bukan orang pengecut yang akan memanfaatkan keadaan. “Selamat malam.” Angga memang akhir-akhir ini lebih memilih membawa pekerjaannya ke rumah dan pulang lebih awal, hal itu juga berimbas pada Bara yang juga bisa pulang di saat matahari masih mengintip malu-malu sebelum digantikan oleh bulan. “Kami tidak buka rumah makan, kenapa kamu selalu saja ke sini saat jam makan malam.” Angga menatap Bara dengan pandangan tak suka yang tak dia tutupi, tapi namanya juga Bara, kalau hanya pelototan mata Angga saja tak mempan untuknya. “Halo, Mas, itu karena aku menyayangimu,” ja
Dina memandang iba pada Hera yang hanya bisa menatap punggung Bara dengan sendu, laki-laki itu bahkan tak ada keinginan untuk menyapa wanita yang pernah merawatnya dengan sepenuh hati. Dina memang menyayangi Bara, tapi dia tak mungkin diam saja melihat ini semua, Hera juga sangat baik padanya tak mungkin Dina membiarkan semuanya begitu saja. Dia khatam dengan rasa sakit saat cinta hanya bertepuk sebelah tangan saja.“Kamu benar-benar menyukainya, ya.” Dina menepuk pelan bahu Hera. “Nyonya, ehm... maaf.” Dina bisa melihat harapan dan keputusasaan dari wajah gadis yang sehari-hari bertugas menjaganya itu. Hera memang bukan wanita yang ceria seperti gadis-gadis lain seumurannya, dia cenderung pendiam dan tertutup, mungkin karena latar belakang pekerjaannya membentuk kepribadiannya menjadi seperti itu. “Kenapa kamu minta maaf? Cinta itu anugerah, kita tak bisa menggendalikan hati kita akan jatuh pada siapa.”“Tetap saja saya merasa tak enak sudah memilik
Dina begitu terkejut saat Angga meneleponnya dan mengatakan kalau Hera dan Bara terjebak dalam lift. Tapi Angga juga meyakinkannya kalau mereka berdua baik-baik saja, dan sedang berada di klinik untuk diperiksa dokter perusahaan sejanak, meski mereka ngotot kalau semuanya baik-baik saja. “Jadi sekarang mereka masih di klinik?” tanya Dina dari seberang sana. “Iya, dokter tadi menghubungiku sepertinya tangan Hera sedikit memar karena benturan, tapi selebihnya mereka baik-baik saja.” Angga bisa mendengar helaan napas lega istrinya di ujung sana. “Sebenarnya ini bagus juga, mereka bisa semakin dekat seperti rencanamu, meski dengan sebuah insiden,” Angga berkata antara geli dan miris. “Kamu sepertinya tidak tulus membantu mereka?” tembak Dina langsung. “Ckk bukannya tidak tulus, tapi aku tak pernah berpikir akan ikut menjadi jembatan hubungan pribadi Bara.” “Apa salahnya?” “Nggak ada, cuma kesannya aku kurang kerjaan saja,” jawab Angga kalem.