Kepindahan Dina dari rumah yang dia tempati sejak menikah dengan Angga memang hanya diketahui beberapa orang saja. Angga memang sengaja merahasiakannya, untuk mencegah adanya scandal yang akan terjadi.
Bukan tak mungkin kalau itu sampai tersebar akan sangat mengganggu Dina dan anak-anaknya. Orang kadang tak peduli dengan perasaan orang lain yang penting apa yang dia inginkan dapat tercapai.“Om...” Dina sedikit terkejut setelah melihat siapa yang berdiri di depan pintu rumahnya.Dina memandang para pengawal yang berjaga di halaman, mereka mengijinkannya masuk?“Apa om tidak boleh masuk?” tanya sang tamu lagi.Dina tersenyum tak enak hati dan mempersilahkan dua orang itu masuk.“Silahkan duduk, om dan tante?” kata Dina sedikit ragu dengan panggilan yang dia berikan, terutama pada wanita yang datang bersama laki-laki yang dipanggilnya om itu.Sekilas Dina menoleh pada Angga yang terlihat tersenyum ramah pada mereka, apa suaminya itu sudah tahu akan aDalam perjalanan ke rumah sang mama untuk peringatan keatian Keira, Dina menceritakan semuanya pada Angga, tentang dia yang sudah memberitahukan keputusannya pada sang paman dan juga alasan sang paman untuk mendesaknya. “Kurasa itu hal yang wajar, Om Hendra bisa saja menguasai semuanya, tapi dia malah mau repot-repot mencarimu, bukankah itu artinya dia memang benar-benar menyayangimu.” “Yah, bagaimanapun aku senang ternyata aku masih memiliki keluarga.” “Aku dan anak-anak juga keluargamu kalau kamu lupa,” jawab Angga tak terima. Dina memutar bola matanya malas. “Mkasudku keluarga kandungku, aku yang hamil kenapa kamu yang sensitif.” “Wajarkan yang di dalam perutmu itu anakku.” “Sok tahu.” “Bukan sok tahu memang tahu, aku bisa merasakannya, lagi pula harga dirimu terlalu tinggi kalau harus berselingkuh.” Dina memalingkan muka, memang benar yang Angga katakan tapi dia enggan untuk mengakui. Dina sudah bosan untuk mengemis perhatian dari suaminy
“Menjadi figur orang tua yang lengkap.”Dina dan Angga berpandangan sama-sama tak mengerti dengan maksud laki-laki di depannya ini. dalam hati mereka was-was juga, keluarga Hartono kadang memiliki pemikiran di luar nalar yang berpotensi membuat pusing kepala. “Apa maksudmu bukankah tadi kamu bilang akan mengadopsinya?”Anton terlihat salah tingkah, dia mengetuk-ngetuk permukaan meja di depannya dengan pelan, mungkin itu caranya untuk mendapatkan kembali ketenangannya. “Aku laki-laki lajang yang belum pernah menikah apalagi memiliki anak.” Dia terdiam sejenak mengamati kedua orang di depannya. “Aku tidak mau anak itu dibesarkan oleh pengasuh, aku akan merawatnya sendiri seperti anak kandungku, mungkin itu bisa menebus kesalahanku pada Steven dan anak itu.” “Apa kamu masih mencintai Keira?” tanya Angga tiba-tiba. Dina sempat mengangkat alisnya saat mendengar pertanyaan Angga. “Kenapa? Apa Om tidak terima?” Anton tersenyum usil pada Angga. Angga be
Waktu sepertinya berlari dengan sangat cepat, dua bulan sudah sejak kematia Keira, usia kandungan Dina juga sudah memasuki trisemester ke dua, tapi wanita itu masih begitu lincah untuk melakukan semua pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya tanpa melupakan perannya sebagai seorang istri dan ibu dari ketiga anaknya. Begitu juga hubungannya dengan Angga yang sudah memiliki banyak kemajuan, yah setidaknya mereka bisa tinggal bersama layaknya suami istri pada umumnya. Tepat satu bulan setelah meninggalnya Keira memang Angga sakit, laki-laki itu tiba-tiba pingsan setelah memimpin sebuah meeting, Bara yang saat ini mendampinginya sigap membawanya ke rumah sakit terdekat dan menguhubungi Dina yang langsung datang dengan wajah penuh kekhawatiran. Ternyata Angga hanya kelelahan dan banyak beban pikiran, aplagi usia Angga yang tidak bisa dikatakan muda. Dina yang mendengar itu merasa sangat bersalah, dia merasa Angga terlalu lelah karena harus bolak-balik pagi dan malam dari
Seiring dengan Angga yang tinggal lagi bersama dengan Dina, kebiasaan Bara yang menumpang makan di rumah keluarga itu juga kembali lagi. Meski suka seenaknya, Bara masih punya aturan saat Angga tak tinggal bersama Dina dia tidak pernah menumpang makan lagi, dia tak ingin menimbulkan masalah baru untuk Dina. Sudah cukup pengakuannya mengejutkan Angga dan membuat kakak angkatnya itu marah. Dia bukan orang pengecut yang akan memanfaatkan keadaan. “Selamat malam.” Angga memang akhir-akhir ini lebih memilih membawa pekerjaannya ke rumah dan pulang lebih awal, hal itu juga berimbas pada Bara yang juga bisa pulang di saat matahari masih mengintip malu-malu sebelum digantikan oleh bulan. “Kami tidak buka rumah makan, kenapa kamu selalu saja ke sini saat jam makan malam.” Angga menatap Bara dengan pandangan tak suka yang tak dia tutupi, tapi namanya juga Bara, kalau hanya pelototan mata Angga saja tak mempan untuknya. “Halo, Mas, itu karena aku menyayangimu,” ja
Dina memandang iba pada Hera yang hanya bisa menatap punggung Bara dengan sendu, laki-laki itu bahkan tak ada keinginan untuk menyapa wanita yang pernah merawatnya dengan sepenuh hati. Dina memang menyayangi Bara, tapi dia tak mungkin diam saja melihat ini semua, Hera juga sangat baik padanya tak mungkin Dina membiarkan semuanya begitu saja. Dia khatam dengan rasa sakit saat cinta hanya bertepuk sebelah tangan saja.“Kamu benar-benar menyukainya, ya.” Dina menepuk pelan bahu Hera. “Nyonya, ehm... maaf.” Dina bisa melihat harapan dan keputusasaan dari wajah gadis yang sehari-hari bertugas menjaganya itu. Hera memang bukan wanita yang ceria seperti gadis-gadis lain seumurannya, dia cenderung pendiam dan tertutup, mungkin karena latar belakang pekerjaannya membentuk kepribadiannya menjadi seperti itu. “Kenapa kamu minta maaf? Cinta itu anugerah, kita tak bisa menggendalikan hati kita akan jatuh pada siapa.”“Tetap saja saya merasa tak enak sudah memilik
Dina begitu terkejut saat Angga meneleponnya dan mengatakan kalau Hera dan Bara terjebak dalam lift. Tapi Angga juga meyakinkannya kalau mereka berdua baik-baik saja, dan sedang berada di klinik untuk diperiksa dokter perusahaan sejanak, meski mereka ngotot kalau semuanya baik-baik saja. “Jadi sekarang mereka masih di klinik?” tanya Dina dari seberang sana. “Iya, dokter tadi menghubungiku sepertinya tangan Hera sedikit memar karena benturan, tapi selebihnya mereka baik-baik saja.” Angga bisa mendengar helaan napas lega istrinya di ujung sana. “Sebenarnya ini bagus juga, mereka bisa semakin dekat seperti rencanamu, meski dengan sebuah insiden,” Angga berkata antara geli dan miris. “Kamu sepertinya tidak tulus membantu mereka?” tembak Dina langsung. “Ckk bukannya tidak tulus, tapi aku tak pernah berpikir akan ikut menjadi jembatan hubungan pribadi Bara.” “Apa salahnya?” “Nggak ada, cuma kesannya aku kurang kerjaan saja,” jawab Angga kalem.
"Siapa?" tanya Dina penasaran.Tapi Angga masih diam terpaku di depan pintu.Dina hanya bisa menatap mereka bergantian."Mas, siapa mereka," kata Dina lagi dengan menggoyangkan lengan suaminya.Angga menghela napas dan menatap istrinya dengan pandangan tak terbaca."Dia orang tua Vanya," jawab Angga lirih.Kalau jawaban itu mengejutkan Dina, wanita itu tak menampakkannya, dia menatap sang suami dengan tajam mengharap penjelasan, tapi Angga hanya menggeleng.Membuat Dina kecewa. Rumah yang sekarang mereka tinggali bukan rumah keluarga Wicaksana, atau rumah mewah tempat Angga bisa mengundang rekan-rekannya, memang kadang ada juga rekan yang datang berkunjung, seperti Anton dan Hendra, tapi itu juga Dina tahu apa alasan mereka datang. Tapi kali ini Dina benar-benar buta. Masih terlalu pagi memang untuk menduga yang macam-macam, pengalaman mengajarkan Dina untuk tidak langsung mengambil kesimpulan, Dina hanya menatap dua orang yang berjalan kearahnya itu
Dina mengira dengan keadaan Vanya yang masuk penjara semua masalah telah selesai, paling tidak dia tak lagi berurusan dengan wanita yang telah menjadi duri dalam daging di pernikahannya. Tapi ternyata Dina salah sangat salah, Vanya dan kemauan egoisnya, apalagi kedua orang tuanya yang mendukung semua keinginan anaknya. Jika menuruti kata hati ingin sekali Dina memaki kedua orang itu, mereka memang orang tua Vanya. Dan Dina sangat paham semua orang tua tidak akan tega melihat anaknya menderita, tapi bukan berarti dengan mengorbankan kebahagiaan orang lain, tapi Dina masih cukup waras untuk tidak memaki mereka, bagaimanapun mereka keluarga yang berpengaruh dan sahabat lama keluarga suaminya. Bukan tidak mungkin keluarga Angga akan makin membencinya saat berita ini tersiar, bukannya Dina peduli dengan hal itu juga, tapi Dina tak ingin hal ini akan berimbas pada anak-anaknya nanti. “Jadi apa aku harus datang?” tanya Angga memecah lamunan Dina. “Itu terserah pa