Share

Tunggu Saya di Kamarmu, Arumi!

Kejadian semalam saat Harjuna datang dan menuduhnya sebagai wanita licik terbawa sampai ke mimpi Arumi.

Di balik selimut yang menutup sebagian tubuhnya, Arumi menggigil bersama keringat yang membasahi sekujur tubuh wanita itu. Terucap samar dari mulutnya, “Ibu, aku tidak kuat. Aku ingin pulang ke rumah.”

“Nyonya Arumi!” Pelayan di rumah itu membelalak syok melihat keadaan Arumi pagi ini.

Wanita paruh baya itu segera mendekat untuk mengecek lebih dekat keadaan Arumi. “Nyonya kenapa?” Ina panik melihat wajah pucat Arumi dan menyentuh keringat dingin yang membasahi tangan wanita itu.

Arumi tidak sanggup mengatakan apa pun, bentakan hebat Harjuna semalam dan tuduhan-tuduhan menyakitkan pria itu terus bergema di telinganya, Arumi memeluk Ina sambil terisak hebat.

Setelah lebih tenang dan menenggak sedikit air hangat yang Ina berikan, Arumi kembali merebahkan tubuhnya.

“Kalau Nyonya Arumi ada masalah, bisa cerita sama bibi. Nyonya bisa anggap bibi teman curhat atau apa pun yang bisa membuat Nyonya Arumi nyaman.”

“Bi, semalam Pak Harjuna marah. Dia menuduhku memasukkan sesuatu ke kopinya. Sementara aku tidak tahu apa pun, Bi.” Arumi mengungkap ketakutannya itu dengan suara lemah, dia memandang serius Ina sekaligus menyelidik wanita itu karena semalam yang membuat minuman itu Ina bukan dirinya.

“Nyonya tenang saja, itu urusan bibi.” Ina tampak meyakinkan Arumi dengan wajah tenang dan senyumnya.

Keluar dari kamar Arumi, wanita paruh baya itu mencari tempat yang aman, jauh dari Harjuna, Kinara dan Mika yang masih berada di dalam rumah itu.

“Tuan Aji, sepertinya Tuan Harjuna semalam salah paham. Dia menuduh Nyonya Arumi yang tidak-tidak. Saya kasihan melihat Nyonya Arumi pagi ini ketakutan.”

“Kamu tenang saja, biar saya yang urus!”

Ina menghela napas lega, hilang sudah bayang-bayang ketakutannya karena semalam terpaksa menuruti perintah Aji untuk memasukkan sesuatu ke minuman Harjuna. Ina tidak banyak bertanya apa tujuan Aji memerintahnya demikian, Ina hanya berusaha menuruti perintah Aji, pria itu yang dulu menugaskannya untuk bekerja di rumah Harjuna.

***

Dering dari ponselnya sekarang mengalihkan fokus Harjuna saat sedang menatap padat kendaraan di depannya sekaligus sedang memikirkan bayang-bayang kejadian semalam saat dia hampir menyentuh Arumi, tapi kemudian Harjuna memilih menahan diri, keluar dari kamar Arumi, dan berakhir mengunci dirinya di dalam kamar mandi.

Harjuna mendesah kasar saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya, dia malas merespons panggilan masuk dari papanya, tapi takut ada hal penting yang akan papanya sampaikan.

“Halo Pa ada apa?”

“Cepat ke rumah papa sekarang!”

“Tapi Pa aku—“

“Ini sangat penting Harjuna!”

Harjuna terpaksa merubah tujuannya pagi ini, dia membunyikan klakson tak sabar memaksa pengendara yang lain membuka jalan untuknya.

Ulah Harjuna sukses membuat banyak pengendara menggeram, melontari Harjuna dengan kemarahan mereka.

Melihat kedatangan Harjuna, dua anak buah Aji sekaligus dua perawat, satu pria dan wanita itu mundur perlahan dari dekat Aji yang sedang menikmati keindahan taman di rumahnya.

Mereka segera menyingkir perlahan, sepertinya obrolan serius akan terjadi di antara anak dan bapak itu.

“Papa yang meminta pelayan di rumahmu itu untuk memasukkan obat perangsang ke minumanmu.” Aji segera menjelaskan tanpa didahului basa basi lagi.

Harjuna mengernyit tajam mendengar penuturan papanya tadi.

“Pelayan di rumah yang melaporkan kalau kamu salah paham ke Arumi dan katanya Arumi pagi ini sampai ketakutan.”

“Kenapa Papa setega itu menyuruh pelayan untuk menjebakku?”

“Kemarin sore papa bertemu Arumi di rumahnya, papa mendesak dia untuk jujur tentang kamu yang sudah menyentuhnya atau belum. Dia hanya diam dan papa menganggap diamnya Arumi sebagai jawaban! Sungguh papa kecewa kamu belum menyentuhnya sampai sekarang!”

“Sebegitunya papa ingin aku menyentuh wanita itu?” Kedua telapak tangan Harjuna sudah terkepal erat meski begitu dia tetap menjaga suaranya agar tetap tenang.

“Jelas, Harjuna! Papa sangat berharap kamu bisa punya anak dari Arumi dan kalau kamu tidak mau dijebak dan dipaksa makanya menurut sama papa!” Aji melotot tajam menatap putranya yang sejak dulu terlalu banyak membantah keinginannya apalagi masalah pernikahan.

“Tidak mudah buatku untuk menuruti keinginan papa. Apalagi aku sangat mencintai Kinara, Pa! Tidak mungkin aku menyentuh wanita lain begitu saja meskipun dia istri keduaku!”

“Sejak dulu kamu sering membangkang, tidak mau menggantikan papa memimpin perusahaan, tidak mau menikah dengan anak sahabat papa dan kamu lebih memilih Kinara yang jelas-jelas bermasalah, tapi kamu selalu menutup mata dan telingamu tentang keburukan istrimu yang penuh skandal itu!” Dada Aji naik turun setelah menggebu-gebu mengungkapkan kekecewaan ke putranya.

“Bahkan saat orang-orang membicarakan kalau Kinara itu kecelakaan setelah pulang menghabiskan waktu bersama kekasih gelapnya di hotel, lagi-lagi kamu tidak percaya. Kamu memang sudah dibutakan oleh cinta, Harjuna!”

Harjuna mengalihkan pandangan dari tatapan tajam papanya, dia mengecek jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, sisa lima belas menit lagi sebelum dia mengajar pagi ini.

“Meski dulu papa dan mamamu sangat tidak setuju kamu menikah sama Kinara, sekarang papa sudah tidak peduli lagi, tapi papa sangat memohon sama kamu, berikan cucu secepatnya untuk papa. Setidaknya sebelum papa pergi menyusul mamamu, pria tua ini sudah bisa menggendong anakmu dan papa sangat berharap sama pernikahanmu dengan Arumi!”

Lengang meliputi keduanya hingga kemudian Harjuna mengangguk membuat senyum lebar menghias bibir papanya.

***

Sudah berjam-jam waktu yang Arumi habiskan di dalam kamar, mengerjakan tugas kuliah yang akan dikumpulkan beberapa hari lagi.

Suara hujan yang deras menarik wanita yang sedang duduk di depan meja belajar itu melihat ke luar jendela kamar.

Arumi membuka sedikit gorden yang kemudian menampakkan pemandangan itu, langit yang gelap pekat dan hujan yang turun deras.

“Pak Harjuna pulang belum ya?” Pemandangan di depannya itu membuat Arumi tiba-tiba memikirkan keberadaan Harjuna.

Arumi sendiri baru menyadari waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam, Arumi keluar dari kamar hanya ingin mengecek Harjuna.

Di perpustakaan pribadi Harjuna, Arumi tidak menemukan keberadaan pria itu, kakinya kemudian berayun pelan menuju garasi.

Hanya ada mobil sedan putih di sana, biasanya saat ke kampus Harjuna menggunakan sedan mewah berwarna abu-abu.

“Aku jadi ingat sama pria yang membawaku pulang malam itu. Kata Novita yang membawaku pulang pakai mobil sedan putih. Sepertinya memang Pak Harjuna.”

Arumi memutuskan menunggu kepulangan Harjuna di ruang tamu, yang dia lakukan ini persis seperti yang dulu ibunya lakukan ketika sedang menunggu ayahnya pulang bekerja.

Tidak peduli Harjuna sudah sering melontarkan kalimat yang menyakitkan, Arumi bertekad akan menjadi istri yang baik untuk Harjuna, ibunya berkali-kali menasihati Arumi tentang itu dan itu pula yang menjadi alasan Arumi bertahan.

Sorot lampu kendaraan memasuki halaman rumah, Arumi bergegas mengecek ke luar rumah, benar suaminya baru pulang.

“Kamu sedang apa di sini Arumi?” tanya Harjuna saat melangkah masuk melihat Arumi berdiri di ruang tamu.

“Hanya sedang menunggu Pak Harjuna pulang.” Arumi sedikit menunduk masih canggung berhadapan dengan Harjuna.

Pria itu membeku sempurna, ingatannya melayang ke setiap kejadian selama dia hidup bersama Kinara. Belum pernah satu kali pun Kinara menunggunya seperti yang Arumi lakukan sekarang.

“Saya bantu bawakan tasnya ya Pak.” Arumi meraih pelan tas Harjuna dan pria itu tidak protes.

“Taruh di ruangan kerja saya,” perintah Harjuna.

Arumi mengangguk kemudian melangkah pelan menuju ruangan kerja Harjuna, dekat dengan kamar utama di rumah itu.

Tangan Harjuna menahan Arumi yang baru meletakkan tasnya ke atas meja kerja.

“Ada apa Pak?”

“Saya minta maaf untuk kemarin malam. Saya sudah menuduhmu yang tidak-tidak.”

“Iya Pak tidak apa-apa. Selamat istirahat Pak, saya mau kembali ke kamar.”

Langkah Arumi tertahan, telapak tangan Harjuna masih melingkar erat di lengannya, menahan Arumi agar tak pergi dahulu.

“Kamu ingat bukan tentang permintaan papa saya tentang cucu?”

“I—ya saya ingat.”

“Tunggu saya di kamarmu, kita akan melakukannya malam ini.”

Wajah polos Arumi diliputi gugup, tenggorokannya mendadak kering dan Arumi berusaha cukup keras meski hanya untuk sekadar meneguk salivanya.

“Eh!” Arumi memekik karena satu tarikan yang Harjuna lakukan membuat tubuhnya mendekat ke dada bidang pria itu.

Arumi kesulitan mengontrol dirinya yang semakin gugup saat wajah Harjuna mendekat ke sampingnya dan merapatkan bibir ke telinganya.

Pria itu mengembuskan napasnya tepat di telinga Arumi, menggelitik hangat sampai ke leher Arumi kemudian membisikkan kalimat dengan lembut, “Pastikan kamu sudah tidak mengenakan apa pun saat saya masuk ke kamarmu!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status