Setelah habis beper-baperan karena kalimat Inder yang mengatakan kalau memang hanya aku jodohnya, aku menatap Inder untuk meyakinkan perkataannya. Namun, ia hanya menaik turunkan alisnya."Sudah jelas, kan, sekarang alasanku apa?" Dia melipat tanga di dada sambi menaikkan satu kakinya ke lutut."Apa?" Aku masih tak paham. Tepatnya pura-pura tak paham, sih."Sekarang perasaan kira sudah impas. Sama seperti kamu," ucapnya tenang."Memang apa perasaanku?" Aku melipat tangan menirukan gaya Inder saat ini sambil menatapnya dengan sebelah alis terangkat."Gak tau. Yang aku tahu kamu mau menikah denganku sebab uang."Aku terdiam sejenak. Antara ingin mengaku dan tidak pada Inder. Malu gak, ya? Andaikan aku mengaku pada Inder kalau aku suka dia. Bahkan cinta dia suda lama, sebelum kami menikah.
"Buka bajuku!""Hah!" Aku melongo. Saat mendengar instruksi dari Inder. Pria yang baru saja sah menjadi suamiku."Kenapa mau dibuka bajunya, Mas?" Ah, pertanyaan konyol memang. Jelas-jelas aku sudah tahu sebenarnya apa mau Inder."Gak usah sok polos. Kamu pasti lebih tau apa yang aku inginkan." Entah kenapa ini suami gak ada lembut-lembutnya saat meminta haknya. Alih-alih aku mengharapkan ia bersikap romantis. Tak bicara kasar saja sudah untung.Aku mendesah. Aku kira dia tak akan menyentuhku, Sebab kami menikah hanya karena ingin mendapatkan tujuan kami masing-masing. "Lalu, kenapa kamu gak buka sendiri aja, sih, Mas?""Apa gunanya aku kasih mahar 100 juta kalau aku mau pakai kamu aja harus aku sendiri yang buka baju."Oh, Tuhan…dia masih saja membahas mahar 100 juta yang aku minta. Maunya apa coba? Bahas ini di malam pengantin kami. Mau menunjukkan betapa murahannya aku?Ada yang bilang kalau aku ini murahan, sih! "Din, cepet!" Aku beringsut maju, mendekati Inder. Perlahan tangan
Aku segara menghapus air mata saat melihat Lavender Alaik, atau yang akrab di panggil Inder tersebut membalikkan badan setelah selesai bertelepon.Inder tampak terkejut saat melihat keberadaanku yang berdiri tak jauh dari balkon kamar.Melalui pandangan ekor mataku, ia berjalan ke arahku."Kamu kenapa?" Inder menatapku dengan mata memicing."Gak papa." Aku menjawab ketus."Kenapa nangis?" Ia maju satu langkah."Dih, ogah, ya!" Aku segera memalingkan wajah. Tak ingin Inder tahu kalau aku baru saja menangisinya. Ih, gengsi dong."Itu, kenapa matamu bengkak!" Tangan Inder menunjuk wajahku, selanjutnya ia memasukkan tangannya ke dalam saku celananya. Salah satu kebiasaan Inder."Efek tidur kali." Aku menjawab asal sambil mengusap mata. Takut ada sisa air mata disana."Jagan bohong, Dinar!""Apa, sih!" Aku melipat tangan di dada."Tidurmu saja gak nyenyak tadi. Sebentar pula, tuh. Lalu bagaimana bisa sampai membuat matamu bengkak?""Aku gak nyenyak, kan, karena ulah kamu juga." Aku masih b
Aku menelan ludah. Tatapan Inder sangat dingin. Aku menoleh ke belakang. Mendapati Andra yang juga sama dinginnya.Kenapa selain di kelilingi orang-orang bermulut kasar, aku juga dikelilingi orang-orang berwajah dingin. Apa mereka sebenarnya adalah keluarga monster?"Pikirkan urusan selingkuhmu nanti saja. Aku masih punya uang untuk menahanmu dalam pernikahan ini." Kata-kata Inder begitu terdengar dingin. Serasi dengan wajahnya."Segera ke ruang tamu. Keluargamu sudah datang." Setelah berucap, Inder segera pergi, dengan masih gayanya yang selalu memasukkan tangannya ke kantong celananya.Haish…aku pikir tadi dia kesini mau menjemputku, menarik tanganku. Tak tahunya malah hanya begitu saja. Yah…begitu saja. Tak ada romantis-romantisnya itu suami.*****Saat ini kedua belah pihak keluarga, keluargaku dan keluarga Inder sudah berkumpul di meja makan. Melaksanakan makan siang.Dari keluargaku hanya tiga orang yang hadir. Emak, Inggit dan terakhir Dirham.Sedangkan dari pihak Inder, ada P
Akhirnya, aku tak jadi menyalahkan google. Sebab karena google, aku malam ini jadi bisa tidur tenang. Sebab, Inder yang merasakan kesakitan di area sekel*kangannya sebab tak sengaja aku tendang tadi, ia memutuskan untuk langsung tidur.Ah, akhirnya…makasih Mbah Google…tonight i can sleep well.Baru saja aku ingin memejamkan mata, hendak menyelam ke alam mimpi, tapi tiba-tiba saja aku mendengar kebisingan sebab notif pesan yang berasal dari ponsel.Itu bukan ponselku. Sebab notif pesan ponselku kalau malam aku bikin senyap. Lalu siapa?Siapa yang jam segini masih chatingan? Apa Inder? Iya, siapa lagi yang ada di rumah ini kalau bukan Inder? Sebab rumah ini hanya aku dan Inder saja. Tapi bukankah tadi aku lihat Inder langsung tidur. Setelah tragedi penerjanganku di tubuh pusatnya?Semakin lama, notif pesan tersebut semakin padat kudengar.Karena penasaran, aku membuka selimut yang menutupi seluruh tubuhku dan menoleh ke samping tempat dimana Inder tidur. Dan….Ternyata Inder belum ti
Pagi-pagi sekali, saat aku bangun hendak mandi, aku sudah tak mendapati Inder di sampingku. Entah kemana perginya itu pria.Saat aku hendak masuk ke kamar mandi, tiba-tiba Inder masuk dengan pakaian rapi namun rambutnya masih tampak basah.Wah, ternyata meskipun ia monster, rupanya ia rajin juga. Bangun lebih awal dariku, bahkan sudah rapi."Apa liat-liat?" ketus Inder, "apa matamu ketuker dengan mataku."Eh, apa barusan ia bilang? Astaghfirullah…aku benar-benar kaget, ternyata selain ia monster ternyata ia punya mulut genre 21+, hot alias panas.Kesel? Tentu. Oleh karena itu, tanpa berkata-kata aku melintas di depannya, segera masuk ke kamar mandi."Jangan masuk dulu!"Sontak kakiku yang sudah menginjak lantai kamar mandi terhenti saat mendengar instruksi dari Inder.Aku menoleh, menatap Inder
Akhirnya…aku berjalan ke arah jalan besar, setelah Inder menurunkanku tanpa perasaan dari mobilnya. Bahkan Inder tak merasa bersalah saat tadi ia menurunkanku. Padahal tadi aku sempat mengharap Inder akan menurunkan ku di jalan besar, agar aku tak perlu berjalan kaki untuk menunggu taksi.Jadi seperti ini sakitnya? Saat kita kalah saing dengan mantan?Apalagi mantannya cantik. Ah, Cleo bukan cantik, ia lebih pantas disebut indah. Sebab cantik milik setiap wanita, namun indah itu hanya milik kamu, sebutan dari Inder untuk Cleo.Begitu tulisan tangan Inder yang aku baca di album foto yang kutemukan di bawah bantalnya.Entah sudah berapa lama aku berdiri di pinggir jalan untuk menunggu taksi, namun belum ada satupun taksi yang lewat, bahkan yang ada penumpangnya sekalipun tak kujumpai.Pada kemana taksi hari ini? Apa mereka lagi sama galaunya sepe
"Kenapa kau diam? Apa kau sudah menyadari kebodohanmu itu?" Mas An tampak mengejek.Aku tak menggubris kata-kata Mas An, sibuk mengurusi diriku sendiri yang berusaha mengelap air mata agar pria tak sampai melihatnya. Dan lebih megejekku lagi.Selain itu, aku juga sibuk menata hatiku yang sempat resah dan kecewa. Sebab aku di sini lebih banyak di manfaatin daripada memanfaati.Inder benar-benat licik. Tapi….Aku memang butuh uang untuk biaya kulihku, jadi aku tak bisa untuk mundur. "Hei, kenapa kau diam saja. Apa kau sedang merenungi dan menyesali kebodohanmu itu?""Cukup! Kenapa kau selalu bilang aku bod0h!" Kali ini aku protes, sebab aku tak terima sedari tadi Andra selalu mengataiku bod*h. Siapa pun tak akan terima itu."Kenyataannya kamu memang bod*h!""Cukup! Hentikan! Kau bilang aku bodoh. Coba sekarang katakan. Dimana letak kebodohanku!" Suaraku meninggi, sekuat tenaga menahan emosi."Apa yang membuatmu mengataiku bodoh? Hah!""Kau jatuh cinta pada Inder!""Apa?" Aku memekik kag
Setelah habis beper-baperan karena kalimat Inder yang mengatakan kalau memang hanya aku jodohnya, aku menatap Inder untuk meyakinkan perkataannya. Namun, ia hanya menaik turunkan alisnya."Sudah jelas, kan, sekarang alasanku apa?" Dia melipat tanga di dada sambi menaikkan satu kakinya ke lutut."Apa?" Aku masih tak paham. Tepatnya pura-pura tak paham, sih."Sekarang perasaan kira sudah impas. Sama seperti kamu," ucapnya tenang."Memang apa perasaanku?" Aku melipat tangan menirukan gaya Inder saat ini sambil menatapnya dengan sebelah alis terangkat."Gak tau. Yang aku tahu kamu mau menikah denganku sebab uang."Aku terdiam sejenak. Antara ingin mengaku dan tidak pada Inder. Malu gak, ya? Andaikan aku mengaku pada Inder kalau aku suka dia. Bahkan cinta dia suda lama, sebelum kami menikah.
"Tadi kamu bilang apa?" tanyaku sambil melirik Inder, untuk meyakinkan pendengaranku tak salah."Apa? Gak ada!" elak Inder sambil menjalankan mobil."Itu tadi, yang aku cemburu!" ingatku, siapa tahu ini pria punya penyakit amnesia mendadak.Inder tak menggubris ucapanku, malah ia memasang kaca mata, terlihat santai seakan tak mendengar pertanyaanku. Padahal jelas-jelas pertanyaanku begitu jelas dan cukup nyaring. Hanya saja Inder cuek. Malu kali. Setelah tak sengaja bilang cemburu."Cie, yang cemburu, ehem!" Entah kenapa aku suka dan ingin sekali untuk menggoda pria sok jaim itu kali ini."Coba, dong, ulang sekali lagi, aku cemburu gitu!" tuntutku. Ah, kemaruk banget emang aku. "Tadi kurang jelas aku dengarnya!" pintaku. Kembali Inder tak menggubrisku. Tapi gak masalah, aku suka itu, lama-lama aku terbiasa dengan sikapnya. Kesel-kesel gemes gitu. Tapi aku cinta."Mas Inder ….""Bisa diem, gak? Jangan mancing-mancing saya, kamu itu gak bisa diapa-apain!"Hah! Maksudnya? Aku melongo m
Setelah 20 menit kemudian, Dokter Mekka, dokter kepercayaan keluarga Inder yang bekerja sudah bertahun-tahun lamanya tersebut masuk kedalam kamar dengan membawa tas.Dokter Meka langsung memeriksaku. Setelah duduk di pinggir ranjang."Nyonya gak minum vitamin yang kemarin saya kasih? Untuk mengurangi sensitif bau yang Nyonya rasakan yang mengakibatkan Nyonya terus ingin mual," tanya Dokter Meka. Menatapku penuh kelembutan."Udah, kok, Dok, cuman gak ngefek!" jawabku sambil duduk dari posisi tidurku. Setelah diperiksa Dokter Mekka."Kok bisa, ya? sedikitpun tak ngefek?" tanyanya lagi dengan raut heran. "Tidak, Dok!" jawabku sambil menggelengkan kepala."Emhhh … apa ada hal lain yang bisa ngilangin sensitif baumu?" tanya lagi Dokter Meka. Tampak sedang berpikir.Aku
Aku mengusap-usap perutku yang mulai membuncit di usia kandunganku yang sudah lima bulan lebih ini."Bisa tidak, kamu gak usah mandi dulu!" Inder yang baru masuk kamar sepulang dari kantornya, dan membuka jasnya tampak terkejut dengan permintaanku.Inder menatapku dengan ekspresi anyep. Cukup lama Inder menterengin wajahku, membuatku tak nyaman dan menyesali ucapanku barusan. Hingga beberapa detik berlalu, Inder masih saja menatapku dengan raut heran. Aku menelan saliva. Benar-benar menyesali permintaanku.Selanjutnya, tanpa berkata, Inder meraih handuk dan masuk ke kamar mandi. Aku mengusap dada, terasa lega tak mendapatkan perkataan yang nyelekit dari Inder atas permintaan anehku tadi. Iya, aneh memang. Jelas-jelas Inder tak bisa hidup tanpa mandi. Selama aku hidup dengannya saja entah berapa kali aku menjumpai ia seharinya mandi ban
Hening ….Selama dalam perjalan menuju pulang, aku dan Inder hanya diem-dieman. Tepatnya Inder saja yang diam. Sebenarnya sedari tadi aku sudah jenuh dengan keheningan ini. Aku tidak suka keheningan saat sedang bersama seseorang. Aku maunya ngobrol atau cerita.Saat Inder memergokiku tengah duduk bersama dengan Andra, aku kira ia bakalan marah atau apapun, tak tahunya ia hanya menyuruhku masuk kedalam mobil. Itu pun hanya melalui bahasa isyarat saja, bukan tanpa kata-kata atau perintah dengan sengit seperti biasanya.Inder tidak marah, namun sikapnya yang pria itu tunjukkan padaku lebih dari kemarahannya. iya, aku merasakan itu.Sikap diam Inder bukan mengatakan kalau ia tidak marah, melainkan perasaan ia sedang tidak baik-baik saja. Lambat laun, sedikit demi sedikit aku sudah memahami karakter Inder. Diamnya Inder menandakan bahwa ia sedang marah. Sedangkan jika dia banyak omong maka kebalikannya.Inder memang sedikit berbeda dengan pada umumnya. Ia lebih suka diam saat ada masalah,
Saat aku melangkah ke parkiran untuk menunggu jemputan Inder, mataku menangkap sosok Andra yang lagi duduk di kursi biasa aku duduk di sana.Andra tersenyum ke arahku. Duh …mendadak bingung, dilema juga. Di satu sisi aku ingin menghampiri Andra. Dia baik dan gak seburuk yang Inder kira dan selalu katakan padaku. Andra justru sering membantu dan perhatian padaku tanpa pamrih.Tapi di sisi lain aku takut akan pesan Inder tadi pagi. Yang berpesan bahkan dengan sangat menekan untuk tidak mendekati pria saudara tirinya itu."Gak papa, kok, Din, sini aja. Aku gak macam-macam, kok!" ujar Andra seakan tahu isi hatiku.Aku nyengir merasa malu. Bak maling yang sedang ketangkap basah. Ragu-ragu aku melangkah mendekati kursi tempat di mana Andra tengah duduk dengan tenang di sana."Aku cuman mau mengembalikan ini." Andra menyodorkan sebuah map dan amplop coklat setibanya aki di hadapannya.Aku mengernyit. "Apa ini?" tanyaku sambil menerima Map yang disodorkan Andra."Itu milik Inder suami
Pagi setelah sarapan, Aku langsung pergi ke kampus dengan diantar Inder.Ada rasa senang di hati diantar olehnya. "Ingat…jangan dekat-dekat atau menemui Andra lagi!" pesan Inder saat aku hendak membuka pintu mobil, sebab dia mana pernah berinisiatif untuk membuka pintu mobil buat istrinya yang lagi hamil ini.Kalah sama Andra emang. Padahal dia bukan suamiku."Kenapa?" Nada pertanyaanku terdengar ketus."Kamu lagi hamil!" Nada Inder tak kalah ketusnya.Hah! Apa hubungannya coba? Hamil sama ketemu Andra. Aneh banget. "Dia bukan pria baik-baik, nanti anakku nurun dia." Inder melirik perutku yang masih rata. Hanya sekilas, selanjutnya ia kembali membuang pandangan. Aku segera membuka pintu mobil dan keluar.Inder langsung menjalankan mobilnya keluar dari area parkiran kampus setelah a
Aku masih ternganga mendengar jawaban Inder bahwa ia sebenarnya tak suka Cleo. Lalu ...?"Aku hanya memaksakan diri ini untuk suka pada Cleo. Sekalipun Papa tak pernah merestui hubungan ku dengan Cloe. Aku lakukan itu hanya karena agar Ibu Yasmin memberikan kasih sayangnya padaku. Sesuatu yang tak pernah aku dapatkan. Hanya kasih sayang dari Papa saja yang aku dapatkan," jelas Inder seolah tahu isi pikiranku."Lalu kenapa kau membencinya? Membenci Papa Aleks?" tanyaku."Karena dia menikah lagi disaat Ibu Yasmin mengalami depresi. Sekalipun pernikahan itu atas permintaan Ibu Yasmin. Ibu menyuruh Papa menikah lagi sebab Ibu tak mau berperan sebagai istri dari Papa lagi. Ia hanya mau jadi istri di atas kertas saja."Benar-benar rumit ternyata kisah keluarga Inder. Aku kira orang kaya gak akan sepusing orang tak punya sepertiku. Sebab harus banting tulang untuk mencari uang. Bahkan aku harus rela menik
Meskipun aku tak ingin pulang dari rumah Emak, tapi melihat sikap Inder yang seperti benar-benar tak betah di rumah Emak, entah apa alasannya, akhirnya aku pun ikut dengannya. Pulang ke rumahnya. Tentunya setelah Inder pamit dan minta maaf sama Emak dan menjelaskan pada Emak juga adik-adikku bahwa semua masalah yang terjadi hanya sebuah kesalahan pahaman dan Inder tidak selingkuh dengan Cleo.Usai makan malam, aku berdiri di balkon kamar bersama Inder. Menikmati angin malam yang sejuk.Di sana, pria itu menjelaskan semua pertanyaanku yang tadi siang. Inder bilang, bahwa, ibunya Yasmin mengalami depresi saat ia kehilangan perusahaan dan beberapa bisnis lainnya. Semuanya dialihkan atas nama keluarga Cleo. Entah bagaimana caranya dia tak menjelaskan begitu detail.Inder dan Cleo sudah dari sejak SMA menjalin hubungan. Kata Inder, Cleo mendekati Inder hanya karena ada sesuatu yang ia incar, yaitu bisnis Ibu Yasmin.Ibu Yasmin dan Papa Aleks menikah bukan karena cinta, melainkan karen