Akhirnya…aku berjalan ke arah jalan besar, setelah Inder menurunkanku tanpa perasaan dari mobilnya.
Bahkan Inder tak merasa bersalah saat tadi ia menurunkanku. Padahal tadi aku sempat mengharap Inder akan menurunkan ku di jalan besar, agar aku tak perlu berjalan kaki untuk menunggu taksi.Jadi seperti ini sakitnya? Saat kita kalah saing dengan mantan?Apalagi mantannya cantik. Ah, Cleo bukan cantik, ia lebih pantas disebut indah. Sebab cantik milik setiap wanita, namun indah itu hanya milik kamu, sebutan dari Inder untuk Cleo.Begitu tulisan tangan Inder yang aku baca di album foto yang kutemukan di bawah bantalnya.Entah sudah berapa lama aku berdiri di pinggir jalan untuk menunggu taksi, namun belum ada satupun taksi yang lewat, bahkan yang ada penumpangnya sekalipun tak kujumpai.Pada kemana taksi hari ini? Apa mereka lagi sama galaunya sepertiku, hingga mereka melakukan cuti bersama."Tittt…."Aku yang terkejut dengan suara klakson mobil yang seperti sudah sengaja ditujukan padaku, sontak saja aku segera menoleh, menatap ke mobil yang saat ini sedang menepi mendekati tempat dimana aku sedang berdiri.Jendela kaca mobil turun dan bersamaan dengan itu tampaklah sebuah wajah yang tak asing untukku."Mas An!" seruku, saat melihat siapa pemilik mobil tersebut, adalah Andra. Saudara tiri Inder."Masuklah!" Ia berkata tanpa menatapku. Dih, sombong amat."Aku tahu kamu butuh tumpangan untuk pergi ke kampus. Oleh karena itu aku menawarkan tumpangan padamu." Ia berucap dengan masih tanpa melihatku.Aku masih bergeming. Ragu dengan tawarannya."Aku tak memaksamu untuk mau, tapi aku bilangin hari ini taksi tak ada.""Darimana kamu tahu." Tak tahan aku menanyakannya.Bukannya menjawab, Andra malah menghidupkan mesin mobilnya.Sontak saja aku segera membuka pintu mobil bagian depan. Takut ditinggal.Terpaksa, takut telat masuk kelas. Ini semua gara-gara Inder. Dasar suami tak tanggung jawab.*****Selama dalam perjalanan, hening.Aku dan An sama-sama diamnya. Kami tak terlibat dalam sebuah obrolan pendek pun."Mas An kenapa mau memberikan tumpangan padaku?" Aku yang tak suka kesepian dan diem-dieman saat sedang bersama dengan seseorang pun bertanya, memecah keheningan."Hanya sebatas kasihan, tak lebih." Nada suara An saat menjawab terdengar dingin.Ah, benar-benar sebelas dua belas dengan Inder.Suasana kembali hening. Tak ada lagi percakak di antara kami berdua.Aku ingin bertanya lagi tapi tak selera. Aku tak suka yang dingin-dingin."Apa saja yang Inder janjikan padamu. Hingga kau mau menikah dengannya. Membantu ia mendapatkan perusahaan yang selama ini ia incar?" An bertanya. Entah kenapa aku merasa sebenarnya ini tujuan An mengantarku. Ia ingin mengorek informasi tentang Inder.Aku tersenyum kecut. Rupanya An sama saja. Suka manfaatin keadaan. Persis Inder."Tidak ada. Aku dan Inder punya kesepakatan masing-masing dengan pernikahan ini. Kami punya misi masing-masing," jawabku, juga tanpa meliriknya.Namun masih dapat kulihat dari pandangan ekor mataku kalau An tersenyum kecut saat mendengar jawabanku."Jangan bodoh. Apa yang kamu dapatkan dari Inder itu tak seberapa dengan apa yang Inder dapatkan dari pernikahan kalian ini." Kali ini An berucap dengan mata melirik. Walaupun sekilas."Aku sarankan kamu jangan mau hanya mendapatkan apa yang saat ini kamu sepakati dengan Inder.""Jadi kamu tahu apa kesepakatan yang aku minta?" Tak tahan aku untuk tidak menanyakannya pada An."Hanya uang semester, sih!" An tersenyum sinis di akhir kalimatnya."Coba saja kamu perhitungan, uang semestermu berapa. Apalagi aku dengar kuliahmu hanya tinggal beberapa bulan lagi. Sungguh, itu tak ada seujung kuku pun dari apa yang Akan didapatkan oleh Inder. Inder dapat besar dari apa yang kalian sepakati ini."Iya, sebelum nya aku kuliah menggunakan uang warisan peninggalan Bapak, namun tiba-tiba habis saat Dirham juga masuk kuliah.Aku yang tak mau putus di tengah jalan, akhirnya dapat ide untuk menikah dengan pria kaya. Untuk lanjut membiayai kuliahku."Tapi Inder juga memberiku uang!" Aku segera menimpali. Sebab aku tak mau Andra anggap aku ini wanita bod0h, yang tak tahu apa-apa. Dan kesannya saat ini aku sedang dimanfaatin oleh Inder. Tapi aku juga memanfaatkan Inder disini.Lagi-lagi Andra tersenyum sinis seraya menggeleng-gelengkan kepalanya."Kau benar-benar bod0h ternyata. Aku kira kamu ngejar pendidikan tinggi sudah bisa pintar memilah.""Apa katamu!" Aku tak terima dengan kata-kata Andra yang secara tidak langsung mengatakan kalau aku ini percuma mengejar pendidikan tinggi tapi masih saja bod*h."Apa hanya karena Inder memberimu uang, itu sudah kamu anggap sebuah keuntungan. Heh! Wanita, ingat! Itu bukan keuntungan yang kamu dapat, tapi itu memang nafkahmu, sebagaimana kamu memberikan Inder juga nafkah.""Apa!" Aku yang terkejut, menatap Andra dengan tajam dari samping.Andra juga menoleh menatapku, namun ekspresi ya datar. "Tidak mungkin, kan, Inder menganggurkan dirimu di ranjang di tiap malamnya?" Kali ini tatapan Andra tampak mengejek.Beberapa kali aku mengedip-ngedipkan mata. Berusaha mencerna apa yang dikatakan oleh Andra.Dan itu benar adanya. Namun…."Makanya, aku bilang jangan bod0h!"Aku termangu mendengar kata-kata An. Apa benar yang dikatakan An, kalau aku ini bodoh.ya, aku rasa aku bodoh. Apa yang diberikan Inder itu sudah jadi nafkah. Seperti halnya yang aku berikan pada Inder disaat malam hari.Dan sekarang aku sadar. Iya, aku memang bodoh. Sepeti apa yang dikatakan oleh Mas An.Tak terasa air mataku mengalir karenanya.______"Kenapa kau diam? Apa kau sudah menyadari kebodohanmu itu?" Mas An tampak mengejek.Aku tak menggubris kata-kata Mas An, sibuk mengurusi diriku sendiri yang berusaha mengelap air mata agar pria tak sampai melihatnya. Dan lebih megejekku lagi.Selain itu, aku juga sibuk menata hatiku yang sempat resah dan kecewa. Sebab aku di sini lebih banyak di manfaatin daripada memanfaati.Inder benar-benat licik. Tapi….Aku memang butuh uang untuk biaya kulihku, jadi aku tak bisa untuk mundur. "Hei, kenapa kau diam saja. Apa kau sedang merenungi dan menyesali kebodohanmu itu?""Cukup! Kenapa kau selalu bilang aku bod0h!" Kali ini aku protes, sebab aku tak terima sedari tadi Andra selalu mengataiku bod*h. Siapa pun tak akan terima itu."Kenyataannya kamu memang bod*h!""Cukup! Hentikan! Kau bilang aku bodoh. Coba sekarang katakan. Dimana letak kebodohanku!" Suaraku meninggi, sekuat tenaga menahan emosi."Apa yang membuatmu mengataiku bodoh? Hah!""Kau jatuh cinta pada Inder!""Apa?" Aku memekik kag
Saat ini aku dan Inder tengah makan malam, hanya berduaan saja. Selama acara makan malam berlangsung, kami hanya diem-dieman. Hening!Rasanya menikah dengan sebelum menikah sama saja aku rasa. Aku masih merasa kesepian dan tak punya kawan curhat lebih pribadi, dulu pernah bermimpi, jika punya pasangan hidup nanti, aku akan bermanja-manjaan sama suamiku menceritakan keseharianku, tapi nyatanya pas punya suami eh kayak Inder, mode senyap.Karena makananku sudah selesai, aku berdiri hendak masuk kamar. Urusan beres-beres, nanti saja atau bisa aku lakukan besok pagi."Mau kemana kamu?" Langkahku terhenti sambil menoleh ke Inder yang masih makan."Mau ke kamar," jawabku cuek."Duduklah dulu, temani aku makan sampai selesai, makan sendirian itu sepi, mengurangi selera makan."Aku tersenyum sinis, benar-benar egois, dikiranya aku gak kesepian mungkin, cuman
Aku segera mengusap air mata tatkala Inder masuk kedalam kamar.Inder tercengang, melihatku."Apa?" Aku dan Inder serempak saat menanyakan kalimat yang sama."Seharusnya aku yang tanya. Ada apa dengan dirimu?" Inder bertanya dengan mata menatap lekat ke arahku.Segera kupalingkan wajahku darinya sebelum melihat mataku dan menyadari kalau aku habis nangis.Malu saja pada Inder kalau ia tahu aku baru saja menangisi dirinya.Dengan tanpa kata-kata, aku segera melangkah ke arah ranjang, dan membaringkan diri disana.Mengabaikan tatapan Inder. Yang tampak horor.***"Kok bisa, sih. Mbak jatuh cinta sama Mas Inder?" Raut Inggit tampak terkejut saat aku menceritakan perasaanku pada Inder.Saat ini aku lagi ada di cafe bersama Inggit.Sepulangnya dari kampus, aku sengaja ngajak Inggit ketemuan, di cafe yang ada di depan bank tempat ia bekerja."Ya mau gimana lagi, Git. Mbak juga gak niat memiliki rasa ini. Ini menyebalkan tahu!" Aku menopang dagu dengan sebelah tangan dengan siku bertumpu di
Aku masih menatap Inder yang baru saja membuka kan pintu mobil untuk Cleo. Saat ini mereka tampak melangkah ke arah cafe.Sesekali tangan Inder merapikan anak rambut Cleo yang terbang diterpa angin.Kok hatiku juga ikut panas, ya? Tak hanya mataku. Tapi hatiku juga sekarang yang panas. Dan rasanya seperti di remas-remas.Melihat sikap Inder pada mantan nya yang begitu lembut, tapi denganku ia tak ada lembut-lembutnya. Inder hanya lembut saat dia membutuhkanku saja saat tidur.Dan aku sadar. Inilah perbedaanku dengan Cleo. Aku jauh berbeda dan tak ada apa-apanya dengan mantan Inder. Aku harus selalu sadar degan itu agar rasa sakit ini tak berlarut-larut dan melebar dan semakin menganga.Aku mengusap air mataku seraya berlari pergi sebelum Inder melihatku yang saat ini ia hampir memasuki cafe.Oh, kenapa cintaku pada Inder sesakit ini?Hu hu hu....*****Baru saja aku selesai dari sholat isya ku, aku mendapati ponselku berbunyi pesan masuk.Aku membanting Hp ku kasar ke kasur. Saat melih
Pagi ini aku dan Inder sarapan bersama. Seperti biasa, hening. Tak ada percakapan dan tentu saja itu membuatku merasa bosan."Oh, ya…!" Aku bersuara memecah keheningan.Inder masih tak bereaksi, ia fokus menyantap makanannya."Mulai hari ini aku akan memutuskan untuk KB."Sontak Inder menghentikan makannya. Tangannya yang hendak menyendok nasi goreng di piringnya terhenti."Apa karena permintaanku semalam?" Inder bertanya tanpa menatapku. Pandangannya menatap piring."Bukan!" jawabku."Lalu?""Hanya kemauanku saja!""Alasannya?""Tak ada!""Alasannya?" Ia keras kepala rupanya."Aku belum siap punya anak!"Kali ini Inder mengangkat pandangannya menatapku. Tampak heran."Kenapa?" tanyanya."Tak apa!""Kenapa?"Ya, Tuhan…dia ngeyel."Tak ada!""Alasannya, Dinar!" Suara Inder naik satu oktaf. "Aku masih ingin kuliah, dan tak ingin disibukkan dengan seorang anak nantinya di tengah-tengah aku yang sedang fokus dengan kuliahku!"Terpaksa aku menjawab lain, yang aslinya sama sekali bukan ala
Aku keluar dari kamar mandi setelah berusaha menetralkan perasaanku sendiri yang tadi sempat resah dan khawatir."Kamu kenapa?" Inder langsung menyambutku dengan pertanyaan, rupanya ia masih ada di depan kamar mandi."Gak papa, mungkin masuk angin aja!" jawabku, sambil mengusap wajah yang basah dengan air, saat tadi cuci muka.Inder terdiam sejenak"Yakin?" tanyanya dengan mata menyipit." Yakin lah!" jawabku sambil berusaha tersenyum, menutupi keraguanku sendiri.Inder tampak manggut-manggut, sambil keluar dari kamar. Aku berjalan ke arah ranjang dan membenamkan diri di bawah selimut.Sebisa mungkin aku menepis pradugaku, dan meyakinkan diri sendiri bahwa aku tidak hamil. Ya, aku tidak hamil. Dan tak mau hamil.Aku memejamkan mata, pura-pura tidur saat Inder kembali ke kamar."Dinar, ini minum dulu obatnya, biar perut kamu gak kembung!" Inder menggoncang-goncangkan bahuku."Tidak usah, nanti juga bakal sembuh sendiri, kok, aku hanya kedinginan saja!" jawabku asal, dengan mata masih te
"Aku gak papa!" Aku berusaha menjauhkan diri dari Andra. Namun belum sepenuhnya bebas dari pegangan Andra, mendadak aku hampir kembali hendak jatuh. Untungnya Andra segera menahanku. Kalau tidak, sudah pasti aku jatuh dan mengenai Toar."Kamu sakit?" Pertanyaannya terdengar dingin, persis Inder. Namun mengandung kekhawatiran."Sepertinya iya!" jawabku loyo.Selanjutnya tidak ada suara dari Andra. Entah kenapa kepalaku tanpa disengaja tiba-tiba bersandar ke bahu kekar Andra.Kepalaku terasa berat."Kamu mau ke kampus?"Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban. Ingin berucap saja entah kenapa aku sangat lemah. Dan posisi kepalaku masih ada di bahu Andra. Enggan menariknya rasanya. Lagian, Andra membiarkannya."Kalau begitu bareng aku saja, kebetulan searah!" Aku tak menolak tawaran Andra, sebab kepalaku terasa berat dan pandanganku kabur. Serasa tak kuat untuk berjalan. Entah kenapa diri ini. Mulai dari semalam terasa lemah. *****Setelah sampai parkiran kampus, aku tak langsung kelua
Aku semakin termenung saat mengetahui kalau hasil testpack ku menunjukkan positif.Aku benar-benar bingung saat ini. Kenapa aku bisa ceroboh dan tak memikirkan hal ini sebelumnya?Kenapa? Kenapa, kenapa aku bisa hamil disaat hubunganku dengan Inder semakin memburuk. Inder sibuk dengan mantannya, dan aku….Aku tersenyum miris. Aku yakin, sekalipun Inder tahu aku hamil, ia tak akan peduli dengan itu. Dalam hidupnya hanya ada Cleo, Cleo dan Cleo.Dia mana peduli dengan anaknya yang ku kandung.Ah, miris sekali nasibku. Mengandung di saat suami lagi asyiknya berselingkuh. Dengan mantannya lagi.*****"Serius, Mbak hamil?" Inggit tampak terkejut saat aku mengatakan pada Inggit kalau hasil test pack ku positif.Sepulangnya kuliah, seperti biasa, aku tak langsung pulang. Melainkan kali ini aku menemui Inggit di cafe yang berada tepat di samping bank ia bekerja.Aku ingin curhat dan minta pendapat pada Inggit. Aku tak mampu menahan perasaanku sendirian.Aku mengangguk sebagai jawaban dari p