Pagi setelah sarapan, Aku langsung pergi ke kampus dengan diantar Inder.
Ada rasa senang di hati diantar olehnya."Ingat…jangan dekat-dekat atau menemui Andra lagi!" pesan Inder saat aku hendak membuka pintu mobil, sebab dia mana pernah berinisiatif untuk membuka pintu mobil buat istrinya yang lagi hamil ini.Kalah sama Andra emang. Padahal dia bukan suamiku."Kenapa?" Nada pertanyaanku terdengar ketus."Kamu lagi hamil!" Nada Inder tak kalah ketusnya.Hah! Apa hubungannya coba? Hamil sama ketemu Andra. Aneh banget. "Dia bukan pria baik-baik, nanti anakku nurun dia." Inder melirik perutku yang masih rata. Hanya sekilas, selanjutnya ia kembali membuang pandangan. Aku segera membuka pintu mobil dan keluar.Inder langsung menjalankan mobilnya keluar dari area parkiran kampus setelah aSaat aku melangkah ke parkiran untuk menunggu jemputan Inder, mataku menangkap sosok Andra yang lagi duduk di kursi biasa aku duduk di sana.Andra tersenyum ke arahku. Duh …mendadak bingung, dilema juga. Di satu sisi aku ingin menghampiri Andra. Dia baik dan gak seburuk yang Inder kira dan selalu katakan padaku. Andra justru sering membantu dan perhatian padaku tanpa pamrih.Tapi di sisi lain aku takut akan pesan Inder tadi pagi. Yang berpesan bahkan dengan sangat menekan untuk tidak mendekati pria saudara tirinya itu."Gak papa, kok, Din, sini aja. Aku gak macam-macam, kok!" ujar Andra seakan tahu isi hatiku.Aku nyengir merasa malu. Bak maling yang sedang ketangkap basah. Ragu-ragu aku melangkah mendekati kursi tempat di mana Andra tengah duduk dengan tenang di sana."Aku cuman mau mengembalikan ini." Andra menyodorkan sebuah map dan amplop coklat setibanya aki di hadapannya.Aku mengernyit. "Apa ini?" tanyaku sambil menerima Map yang disodorkan Andra."Itu milik Inder suami
Hening ….Selama dalam perjalan menuju pulang, aku dan Inder hanya diem-dieman. Tepatnya Inder saja yang diam. Sebenarnya sedari tadi aku sudah jenuh dengan keheningan ini. Aku tidak suka keheningan saat sedang bersama seseorang. Aku maunya ngobrol atau cerita.Saat Inder memergokiku tengah duduk bersama dengan Andra, aku kira ia bakalan marah atau apapun, tak tahunya ia hanya menyuruhku masuk kedalam mobil. Itu pun hanya melalui bahasa isyarat saja, bukan tanpa kata-kata atau perintah dengan sengit seperti biasanya.Inder tidak marah, namun sikapnya yang pria itu tunjukkan padaku lebih dari kemarahannya. iya, aku merasakan itu.Sikap diam Inder bukan mengatakan kalau ia tidak marah, melainkan perasaan ia sedang tidak baik-baik saja. Lambat laun, sedikit demi sedikit aku sudah memahami karakter Inder. Diamnya Inder menandakan bahwa ia sedang marah. Sedangkan jika dia banyak omong maka kebalikannya.Inder memang sedikit berbeda dengan pada umumnya. Ia lebih suka diam saat ada masalah,
Aku mengusap-usap perutku yang mulai membuncit di usia kandunganku yang sudah lima bulan lebih ini."Bisa tidak, kamu gak usah mandi dulu!" Inder yang baru masuk kamar sepulang dari kantornya, dan membuka jasnya tampak terkejut dengan permintaanku.Inder menatapku dengan ekspresi anyep. Cukup lama Inder menterengin wajahku, membuatku tak nyaman dan menyesali ucapanku barusan. Hingga beberapa detik berlalu, Inder masih saja menatapku dengan raut heran. Aku menelan saliva. Benar-benar menyesali permintaanku.Selanjutnya, tanpa berkata, Inder meraih handuk dan masuk ke kamar mandi. Aku mengusap dada, terasa lega tak mendapatkan perkataan yang nyelekit dari Inder atas permintaan anehku tadi. Iya, aneh memang. Jelas-jelas Inder tak bisa hidup tanpa mandi. Selama aku hidup dengannya saja entah berapa kali aku menjumpai ia seharinya mandi ban
Setelah 20 menit kemudian, Dokter Mekka, dokter kepercayaan keluarga Inder yang bekerja sudah bertahun-tahun lamanya tersebut masuk kedalam kamar dengan membawa tas.Dokter Meka langsung memeriksaku. Setelah duduk di pinggir ranjang."Nyonya gak minum vitamin yang kemarin saya kasih? Untuk mengurangi sensitif bau yang Nyonya rasakan yang mengakibatkan Nyonya terus ingin mual," tanya Dokter Meka. Menatapku penuh kelembutan."Udah, kok, Dok, cuman gak ngefek!" jawabku sambil duduk dari posisi tidurku. Setelah diperiksa Dokter Mekka."Kok bisa, ya? sedikitpun tak ngefek?" tanyanya lagi dengan raut heran. "Tidak, Dok!" jawabku sambil menggelengkan kepala."Emhhh … apa ada hal lain yang bisa ngilangin sensitif baumu?" tanya lagi Dokter Meka. Tampak sedang berpikir.Aku
"Tadi kamu bilang apa?" tanyaku sambil melirik Inder, untuk meyakinkan pendengaranku tak salah."Apa? Gak ada!" elak Inder sambil menjalankan mobil."Itu tadi, yang aku cemburu!" ingatku, siapa tahu ini pria punya penyakit amnesia mendadak.Inder tak menggubris ucapanku, malah ia memasang kaca mata, terlihat santai seakan tak mendengar pertanyaanku. Padahal jelas-jelas pertanyaanku begitu jelas dan cukup nyaring. Hanya saja Inder cuek. Malu kali. Setelah tak sengaja bilang cemburu."Cie, yang cemburu, ehem!" Entah kenapa aku suka dan ingin sekali untuk menggoda pria sok jaim itu kali ini."Coba, dong, ulang sekali lagi, aku cemburu gitu!" tuntutku. Ah, kemaruk banget emang aku. "Tadi kurang jelas aku dengarnya!" pintaku. Kembali Inder tak menggubrisku. Tapi gak masalah, aku suka itu, lama-lama aku terbiasa dengan sikapnya. Kesel-kesel gemes gitu. Tapi aku cinta."Mas Inder ….""Bisa diem, gak? Jangan mancing-mancing saya, kamu itu gak bisa diapa-apain!"Hah! Maksudnya? Aku melongo m
Setelah habis beper-baperan karena kalimat Inder yang mengatakan kalau memang hanya aku jodohnya, aku menatap Inder untuk meyakinkan perkataannya. Namun, ia hanya menaik turunkan alisnya."Sudah jelas, kan, sekarang alasanku apa?" Dia melipat tanga di dada sambi menaikkan satu kakinya ke lutut."Apa?" Aku masih tak paham. Tepatnya pura-pura tak paham, sih."Sekarang perasaan kira sudah impas. Sama seperti kamu," ucapnya tenang."Memang apa perasaanku?" Aku melipat tangan menirukan gaya Inder saat ini sambil menatapnya dengan sebelah alis terangkat."Gak tau. Yang aku tahu kamu mau menikah denganku sebab uang."Aku terdiam sejenak. Antara ingin mengaku dan tidak pada Inder. Malu gak, ya? Andaikan aku mengaku pada Inder kalau aku suka dia. Bahkan cinta dia suda lama, sebelum kami menikah.
"Buka bajuku!""Hah!" Aku melongo. Saat mendengar instruksi dari Inder. Pria yang baru saja sah menjadi suamiku."Kenapa mau dibuka bajunya, Mas?" Ah, pertanyaan konyol memang. Jelas-jelas aku sudah tahu sebenarnya apa mau Inder."Gak usah sok polos. Kamu pasti lebih tau apa yang aku inginkan." Entah kenapa ini suami gak ada lembut-lembutnya saat meminta haknya. Alih-alih aku mengharapkan ia bersikap romantis. Tak bicara kasar saja sudah untung.Aku mendesah. Aku kira dia tak akan menyentuhku, Sebab kami menikah hanya karena ingin mendapatkan tujuan kami masing-masing. "Lalu, kenapa kamu gak buka sendiri aja, sih, Mas?""Apa gunanya aku kasih mahar 100 juta kalau aku mau pakai kamu aja harus aku sendiri yang buka baju."Oh, Tuhan…dia masih saja membahas mahar 100 juta yang aku minta. Maunya apa coba? Bahas ini di malam pengantin kami. Mau menunjukkan betapa murahannya aku?Ada yang bilang kalau aku ini murahan, sih! "Din, cepet!" Aku beringsut maju, mendekati Inder. Perlahan tangan
Aku segara menghapus air mata saat melihat Lavender Alaik, atau yang akrab di panggil Inder tersebut membalikkan badan setelah selesai bertelepon.Inder tampak terkejut saat melihat keberadaanku yang berdiri tak jauh dari balkon kamar.Melalui pandangan ekor mataku, ia berjalan ke arahku."Kamu kenapa?" Inder menatapku dengan mata memicing."Gak papa." Aku menjawab ketus."Kenapa nangis?" Ia maju satu langkah."Dih, ogah, ya!" Aku segera memalingkan wajah. Tak ingin Inder tahu kalau aku baru saja menangisinya. Ih, gengsi dong."Itu, kenapa matamu bengkak!" Tangan Inder menunjuk wajahku, selanjutnya ia memasukkan tangannya ke dalam saku celananya. Salah satu kebiasaan Inder."Efek tidur kali." Aku menjawab asal sambil mengusap mata. Takut ada sisa air mata disana."Jagan bohong, Dinar!""Apa, sih!" Aku melipat tangan di dada."Tidurmu saja gak nyenyak tadi. Sebentar pula, tuh. Lalu bagaimana bisa sampai membuat matamu bengkak?""Aku gak nyenyak, kan, karena ulah kamu juga." Aku masih b