Aku mengusap-usap perutku yang mulai membuncit di usia kandunganku yang sudah lima bulan lebih ini.
"Bisa tidak, kamu gak usah mandi dulu!"Inder yang baru masuk kamar sepulang dari kantornya, dan membuka jasnya tampak terkejut dengan permintaanku.Inder menatapku dengan ekspresi anyep. Cukup lama Inder menterengin wajahku, membuatku tak nyaman dan menyesali ucapanku barusan.Hingga beberapa detik berlalu, Inder masih saja menatapku dengan raut heran. Aku menelan saliva. Benar-benar menyesali permintaanku.Selanjutnya, tanpa berkata, Inder meraih handuk dan masuk ke kamar mandi.Aku mengusap dada, terasa lega tak mendapatkan perkataan yang nyelekit dari Inder atas permintaan anehku tadi. Iya, aneh memang. Jelas-jelas Inder tak bisa hidup tanpa mandi. Selama aku hidup dengannya saja entah berapa kali aku menjumpai ia seharinya mandi banSetelah 20 menit kemudian, Dokter Mekka, dokter kepercayaan keluarga Inder yang bekerja sudah bertahun-tahun lamanya tersebut masuk kedalam kamar dengan membawa tas.Dokter Meka langsung memeriksaku. Setelah duduk di pinggir ranjang."Nyonya gak minum vitamin yang kemarin saya kasih? Untuk mengurangi sensitif bau yang Nyonya rasakan yang mengakibatkan Nyonya terus ingin mual," tanya Dokter Meka. Menatapku penuh kelembutan."Udah, kok, Dok, cuman gak ngefek!" jawabku sambil duduk dari posisi tidurku. Setelah diperiksa Dokter Mekka."Kok bisa, ya? sedikitpun tak ngefek?" tanyanya lagi dengan raut heran. "Tidak, Dok!" jawabku sambil menggelengkan kepala."Emhhh … apa ada hal lain yang bisa ngilangin sensitif baumu?" tanya lagi Dokter Meka. Tampak sedang berpikir.Aku
"Tadi kamu bilang apa?" tanyaku sambil melirik Inder, untuk meyakinkan pendengaranku tak salah."Apa? Gak ada!" elak Inder sambil menjalankan mobil."Itu tadi, yang aku cemburu!" ingatku, siapa tahu ini pria punya penyakit amnesia mendadak.Inder tak menggubris ucapanku, malah ia memasang kaca mata, terlihat santai seakan tak mendengar pertanyaanku. Padahal jelas-jelas pertanyaanku begitu jelas dan cukup nyaring. Hanya saja Inder cuek. Malu kali. Setelah tak sengaja bilang cemburu."Cie, yang cemburu, ehem!" Entah kenapa aku suka dan ingin sekali untuk menggoda pria sok jaim itu kali ini."Coba, dong, ulang sekali lagi, aku cemburu gitu!" tuntutku. Ah, kemaruk banget emang aku. "Tadi kurang jelas aku dengarnya!" pintaku. Kembali Inder tak menggubrisku. Tapi gak masalah, aku suka itu, lama-lama aku terbiasa dengan sikapnya. Kesel-kesel gemes gitu. Tapi aku cinta."Mas Inder ….""Bisa diem, gak? Jangan mancing-mancing saya, kamu itu gak bisa diapa-apain!"Hah! Maksudnya? Aku melongo m
Setelah habis beper-baperan karena kalimat Inder yang mengatakan kalau memang hanya aku jodohnya, aku menatap Inder untuk meyakinkan perkataannya. Namun, ia hanya menaik turunkan alisnya."Sudah jelas, kan, sekarang alasanku apa?" Dia melipat tanga di dada sambi menaikkan satu kakinya ke lutut."Apa?" Aku masih tak paham. Tepatnya pura-pura tak paham, sih."Sekarang perasaan kira sudah impas. Sama seperti kamu," ucapnya tenang."Memang apa perasaanku?" Aku melipat tangan menirukan gaya Inder saat ini sambil menatapnya dengan sebelah alis terangkat."Gak tau. Yang aku tahu kamu mau menikah denganku sebab uang."Aku terdiam sejenak. Antara ingin mengaku dan tidak pada Inder. Malu gak, ya? Andaikan aku mengaku pada Inder kalau aku suka dia. Bahkan cinta dia suda lama, sebelum kami menikah.
"Buka bajuku!""Hah!" Aku melongo. Saat mendengar instruksi dari Inder. Pria yang baru saja sah menjadi suamiku."Kenapa mau dibuka bajunya, Mas?" Ah, pertanyaan konyol memang. Jelas-jelas aku sudah tahu sebenarnya apa mau Inder."Gak usah sok polos. Kamu pasti lebih tau apa yang aku inginkan." Entah kenapa ini suami gak ada lembut-lembutnya saat meminta haknya. Alih-alih aku mengharapkan ia bersikap romantis. Tak bicara kasar saja sudah untung.Aku mendesah. Aku kira dia tak akan menyentuhku, Sebab kami menikah hanya karena ingin mendapatkan tujuan kami masing-masing. "Lalu, kenapa kamu gak buka sendiri aja, sih, Mas?""Apa gunanya aku kasih mahar 100 juta kalau aku mau pakai kamu aja harus aku sendiri yang buka baju."Oh, Tuhan…dia masih saja membahas mahar 100 juta yang aku minta. Maunya apa coba? Bahas ini di malam pengantin kami. Mau menunjukkan betapa murahannya aku?Ada yang bilang kalau aku ini murahan, sih! "Din, cepet!" Aku beringsut maju, mendekati Inder. Perlahan tangan
Aku segara menghapus air mata saat melihat Lavender Alaik, atau yang akrab di panggil Inder tersebut membalikkan badan setelah selesai bertelepon.Inder tampak terkejut saat melihat keberadaanku yang berdiri tak jauh dari balkon kamar.Melalui pandangan ekor mataku, ia berjalan ke arahku."Kamu kenapa?" Inder menatapku dengan mata memicing."Gak papa." Aku menjawab ketus."Kenapa nangis?" Ia maju satu langkah."Dih, ogah, ya!" Aku segera memalingkan wajah. Tak ingin Inder tahu kalau aku baru saja menangisinya. Ih, gengsi dong."Itu, kenapa matamu bengkak!" Tangan Inder menunjuk wajahku, selanjutnya ia memasukkan tangannya ke dalam saku celananya. Salah satu kebiasaan Inder."Efek tidur kali." Aku menjawab asal sambil mengusap mata. Takut ada sisa air mata disana."Jagan bohong, Dinar!""Apa, sih!" Aku melipat tangan di dada."Tidurmu saja gak nyenyak tadi. Sebentar pula, tuh. Lalu bagaimana bisa sampai membuat matamu bengkak?""Aku gak nyenyak, kan, karena ulah kamu juga." Aku masih b
Aku menelan ludah. Tatapan Inder sangat dingin. Aku menoleh ke belakang. Mendapati Andra yang juga sama dinginnya.Kenapa selain di kelilingi orang-orang bermulut kasar, aku juga dikelilingi orang-orang berwajah dingin. Apa mereka sebenarnya adalah keluarga monster?"Pikirkan urusan selingkuhmu nanti saja. Aku masih punya uang untuk menahanmu dalam pernikahan ini." Kata-kata Inder begitu terdengar dingin. Serasi dengan wajahnya."Segera ke ruang tamu. Keluargamu sudah datang." Setelah berucap, Inder segera pergi, dengan masih gayanya yang selalu memasukkan tangannya ke kantong celananya.Haish…aku pikir tadi dia kesini mau menjemputku, menarik tanganku. Tak tahunya malah hanya begitu saja. Yah…begitu saja. Tak ada romantis-romantisnya itu suami.*****Saat ini kedua belah pihak keluarga, keluargaku dan keluarga Inder sudah berkumpul di meja makan. Melaksanakan makan siang.Dari keluargaku hanya tiga orang yang hadir. Emak, Inggit dan terakhir Dirham.Sedangkan dari pihak Inder, ada P
Akhirnya, aku tak jadi menyalahkan google. Sebab karena google, aku malam ini jadi bisa tidur tenang. Sebab, Inder yang merasakan kesakitan di area sekel*kangannya sebab tak sengaja aku tendang tadi, ia memutuskan untuk langsung tidur.Ah, akhirnya…makasih Mbah Google…tonight i can sleep well.Baru saja aku ingin memejamkan mata, hendak menyelam ke alam mimpi, tapi tiba-tiba saja aku mendengar kebisingan sebab notif pesan yang berasal dari ponsel.Itu bukan ponselku. Sebab notif pesan ponselku kalau malam aku bikin senyap. Lalu siapa?Siapa yang jam segini masih chatingan? Apa Inder? Iya, siapa lagi yang ada di rumah ini kalau bukan Inder? Sebab rumah ini hanya aku dan Inder saja. Tapi bukankah tadi aku lihat Inder langsung tidur. Setelah tragedi penerjanganku di tubuh pusatnya?Semakin lama, notif pesan tersebut semakin padat kudengar.Karena penasaran, aku membuka selimut yang menutupi seluruh tubuhku dan menoleh ke samping tempat dimana Inder tidur. Dan….Ternyata Inder belum ti
Pagi-pagi sekali, saat aku bangun hendak mandi, aku sudah tak mendapati Inder di sampingku. Entah kemana perginya itu pria.Saat aku hendak masuk ke kamar mandi, tiba-tiba Inder masuk dengan pakaian rapi namun rambutnya masih tampak basah.Wah, ternyata meskipun ia monster, rupanya ia rajin juga. Bangun lebih awal dariku, bahkan sudah rapi."Apa liat-liat?" ketus Inder, "apa matamu ketuker dengan mataku."Eh, apa barusan ia bilang? Astaghfirullah…aku benar-benar kaget, ternyata selain ia monster ternyata ia punya mulut genre 21+, hot alias panas.Kesel? Tentu. Oleh karena itu, tanpa berkata-kata aku melintas di depannya, segera masuk ke kamar mandi."Jangan masuk dulu!"Sontak kakiku yang sudah menginjak lantai kamar mandi terhenti saat mendengar instruksi dari Inder.Aku menoleh, menatap Inder