Pagi ini aku dan Inder sarapan bersama. Seperti biasa, hening. Tak ada percakapan dan tentu saja itu membuatku merasa bosan."Oh, ya…!" Aku bersuara memecah keheningan.Inder masih tak bereaksi, ia fokus menyantap makanannya."Mulai hari ini aku akan memutuskan untuk KB."Sontak Inder menghentikan makannya. Tangannya yang hendak menyendok nasi goreng di piringnya terhenti."Apa karena permintaanku semalam?" Inder bertanya tanpa menatapku. Pandangannya menatap piring."Bukan!" jawabku."Lalu?""Hanya kemauanku saja!""Alasannya?""Tak ada!""Alasannya?" Ia keras kepala rupanya."Aku belum siap punya anak!"Kali ini Inder mengangkat pandangannya menatapku. Tampak heran."Kenapa?" tanyanya."Tak apa!""Kenapa?"Ya, Tuhan…dia ngeyel."Tak ada!""Alasannya, Dinar!" Suara Inder naik satu oktaf. "Aku masih ingin kuliah, dan tak ingin disibukkan dengan seorang anak nantinya di tengah-tengah aku yang sedang fokus dengan kuliahku!"Terpaksa aku menjawab lain, yang aslinya sama sekali bukan ala
Aku keluar dari kamar mandi setelah berusaha menetralkan perasaanku sendiri yang tadi sempat resah dan khawatir."Kamu kenapa?" Inder langsung menyambutku dengan pertanyaan, rupanya ia masih ada di depan kamar mandi."Gak papa, mungkin masuk angin aja!" jawabku, sambil mengusap wajah yang basah dengan air, saat tadi cuci muka.Inder terdiam sejenak"Yakin?" tanyanya dengan mata menyipit." Yakin lah!" jawabku sambil berusaha tersenyum, menutupi keraguanku sendiri.Inder tampak manggut-manggut, sambil keluar dari kamar. Aku berjalan ke arah ranjang dan membenamkan diri di bawah selimut.Sebisa mungkin aku menepis pradugaku, dan meyakinkan diri sendiri bahwa aku tidak hamil. Ya, aku tidak hamil. Dan tak mau hamil.Aku memejamkan mata, pura-pura tidur saat Inder kembali ke kamar."Dinar, ini minum dulu obatnya, biar perut kamu gak kembung!" Inder menggoncang-goncangkan bahuku."Tidak usah, nanti juga bakal sembuh sendiri, kok, aku hanya kedinginan saja!" jawabku asal, dengan mata masih te
"Aku gak papa!" Aku berusaha menjauhkan diri dari Andra. Namun belum sepenuhnya bebas dari pegangan Andra, mendadak aku hampir kembali hendak jatuh. Untungnya Andra segera menahanku. Kalau tidak, sudah pasti aku jatuh dan mengenai Toar."Kamu sakit?" Pertanyaannya terdengar dingin, persis Inder. Namun mengandung kekhawatiran."Sepertinya iya!" jawabku loyo.Selanjutnya tidak ada suara dari Andra. Entah kenapa kepalaku tanpa disengaja tiba-tiba bersandar ke bahu kekar Andra.Kepalaku terasa berat."Kamu mau ke kampus?"Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban. Ingin berucap saja entah kenapa aku sangat lemah. Dan posisi kepalaku masih ada di bahu Andra. Enggan menariknya rasanya. Lagian, Andra membiarkannya."Kalau begitu bareng aku saja, kebetulan searah!" Aku tak menolak tawaran Andra, sebab kepalaku terasa berat dan pandanganku kabur. Serasa tak kuat untuk berjalan. Entah kenapa diri ini. Mulai dari semalam terasa lemah. *****Setelah sampai parkiran kampus, aku tak langsung kelua
Aku semakin termenung saat mengetahui kalau hasil testpack ku menunjukkan positif.Aku benar-benar bingung saat ini. Kenapa aku bisa ceroboh dan tak memikirkan hal ini sebelumnya?Kenapa? Kenapa, kenapa aku bisa hamil disaat hubunganku dengan Inder semakin memburuk. Inder sibuk dengan mantannya, dan aku….Aku tersenyum miris. Aku yakin, sekalipun Inder tahu aku hamil, ia tak akan peduli dengan itu. Dalam hidupnya hanya ada Cleo, Cleo dan Cleo.Dia mana peduli dengan anaknya yang ku kandung.Ah, miris sekali nasibku. Mengandung di saat suami lagi asyiknya berselingkuh. Dengan mantannya lagi.*****"Serius, Mbak hamil?" Inggit tampak terkejut saat aku mengatakan pada Inggit kalau hasil test pack ku positif.Sepulangnya kuliah, seperti biasa, aku tak langsung pulang. Melainkan kali ini aku menemui Inggit di cafe yang berada tepat di samping bank ia bekerja.Aku ingin curhat dan minta pendapat pada Inggit. Aku tak mampu menahan perasaanku sendirian.Aku mengangguk sebagai jawaban dari p
"Lepaskan aku, Mas!" Aku masih berusaha melepaskan diri dari Andra, namun pria itu tambah semakin kuat menahanku."Lebih baik jangan, Din. Kau akan sakit jika melihatnya," ucap Andra, bersikukuh melarangku untuk menoleh ke belakang, melihat Inder dan Cleo.Kenapa Inder menyakitiku dengan cara bermesraan seperti ini?Ah, ini memang salahku. Seharusnya aku tak mendengarkan saran Inggit, dan tak seharusnya aku datang ke kantor Inder untuk menemuinya.Bukan mendapatkan apa yang aku inginkan,alah dapat sakit hati."Mari kuantar kau pulang!" ucap Andra."Tidak, aku ingin bertemu Inder." Aku menarik diri dari pria gagah nan tampan di depanku itu. Namun tanganku masih ditahan olehnya. Hingga aku tak dapat berkutik."Kenapa wanita seperti kamu harus b*doh, Din? Sangat disayangkan." Andra terdengar membentak dan pandangan lekat menatapku."Iya, aku b*doh. Puas kamu!" Aku balas membentaknya. Entah kenapa aku juga ikutan emosi. Padahal aku lagi kesal sama Inder.Andra sesaat tercengang, masih d
Tubuhku semakin hari semakin melemah saja. Apalagi aku mengalami morning sicknes yang hebat.Kuliah pun tak begitu konsen. Benar ternyata, kehamilan ini mengganggu belajarku.Aku bener-bener lemes. Apalagi tadi pagi perutku gak isi apa-apa.Sedihku bukan disini, tapi disaat aku sakit karena kehamilanku, tak ada satupun orang yang memberikan perhatian atau semangat.Memberitahu Inder pun percuma, ia sibuk dengan mantannya. Lalu untuk apa aku memberitahunya, toh dia belum tentu juga mau menerima anak ini.Ah…miris sekali nasibku. Tahu begitu dulu aku gak melakukan ini. Tak menikah dengan Inder. Tak membuat status Facebook yang isinya tentang pengumuman cari jodoh yang bisa membayar kuliahku.Ah, kenapa penyesalan selalu datang bersusulan saja.Setelah selesai dengan kelasku hari ini, aku segera menuju parkiran, ingin cepat-cepat pulang. Rasanya ingin tiduran saja.Kehamilanku benar-benar membuatku lemah, anak ini begitu menyebalkan seperti ayahnya.Dengan jalan sempoyongan, aku terus me
Setelah selesai bicara dengan Cleo, aku langsung pergi, lalu melanjutkan langkahku yang ingin ke parkiran. Menunggu jemputan taksi langgananku.Aku termenung, memikirkan kata-kata Cleo tadi. Jadi benar dugaanku pada Inder, kalau ia akan menceraikan aku setelah ia mendapatkan apa yang ia mau. Lalu….Aku bisa apa? Aku hanya bisa sedih dan menyesali keputusanku sendiri. Kenapa dengan hati ini. Kenapa harus mencintai Inder, pria yang jelas-jelas hartnya masih terpaut pada mantannya. Yang nantinya mereka akan tetap menikah.Dan kenapa aku harus segalau ini. Kenapa aku sudah tak mementingkan uang yang Inder berikan dan bayaran semesterku juga. Kenapa aku mendadak selemah ini. Kemana semangatku yang berkobar saat aku ingin meraih cita-citaku. Kenapa malah tergantikan dengan semangat cintaku pada Inder."Dinar!"Aku yang duduk di kursi panjang yang ada di parkiran segera mendongakkan wajah tatkala mendengar suara Andra.Dan benar saja. Pria berpakaian jas rapi tersebut berdiri di depanku. M
"Kamu kenapa tadi?" tanya Inder saat dalam perjalanan."Kapan? Yang mana?" tanyaku, malas. Sambil bersandar ke jok mobil."Tadi saat mau terjatuh, itu bukan akal-akalan kamu saja 'kan, biar di peluk Andra!" tuduh Inder. Sekilas melirikku sengit, sebelum akhirnya kembali fokus menatap ke depan.Aku memutar bola mata, malas. Tak menggubris tuduhan Inder. Gak penting juga buat dibahas.Lagian, tumben mau jemput. Apa mungkin karena suruhan Papa? Sepertinya. Mungkin ada syarat baru untuknya. Dih, menyebalkan."Jawab!" Suara Inder terdengar nyaring memekakkan telinga, sekilas melirikku dengan masih tatapan sengit."Tak penting!" Aku cuek. Membuang pandangan keluar jendela mobil. Aku pikir lebih baik menatap keluar daripada menatap wajah pria pemuja mantan itu.Dan entah kenapa, sekarang aku mulai malas bicara dengan Inder. Tepatnya setelah mengetahui semuanya apa yang ia lakukan itu tak tulus, hanya ingin segera mendapatkan apa yang ia inginkan.Dan aku juga yakin, kali ini ia menjemputku