Waktu yang Hilang
Part 3 Menjaga JarakJam sembilan malam keluarga Alita pamitan. Mereka menolak saat ditawari untuk menginap, karena Senin besok sibuk dengan rutinitas pekerjaan."Kok badanmu panas? Kamu sakit?" tanya Alita saat menyalami Saga di halaman rumah. Telapak tangan pria itu terasa panas di kulitnya. Nara mendongak menatap lelaki di hadapannya."Aku nggak apa-apa," jawab Saga sambil santai.Melati yang berada tidak jauh dari mereka, memerhatikan Saga yang memang kelihatan pucat. Cahaya lampu di halaman menyoroti wajahnya yang tampak lelah."Ga, minumlah obat. Wajahmu kelihatan pucat gitu. Tadi sudah kubilang, sebaiknya kamu pergi ke dokter saja." Melati berkata lirih setelah mereka masuk rumah dan bertemu di ruang makan."Biasanya juga gini. Dua, tiga hari pasti sembuh sendiri.""Tapi lukamu kali ini parah. Aku serius. Beda dengan sebelumnya." Melati mencoba meyakinkan Saga."Nggak apa-apa, jangan khawatir. Aku nggak akan mati semudah dan secepat itu, Mel. Oke, tidurlah." Saga melangkah ke arah kamarnya. Sedangkan Melati masih mematung sejenak, baru menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua."Apa yang kamu bahas dengan Saga tadi?" tanya Akbar yang menunggu Melati di puncak tangga.Melati tidak kaget dengan teguran sang suami, ia terus melangkah ke kamarnya. Akbar mengikuti dan duduk di tepi pembaringan."Tadi Mbak Alita bilang kalau tubuh Saga panas, Mas. Makanya aku bilangin agar dia minum obat," jawab Melati sambil melepaskan jilbabnya. Mengambil piyama di lemari dan ganti pakaian di kamar mandi.Di hadapan sang suami, ia merasa asing sekarang. Walaupun Nara memilih pergi, tapi apa perasaan Akbar bisa kembali utuh untuknya? Perasaan yang sudah terbagi itu, apa mungkin bisa membuat hubungan mereka seperti dulu lagi? Bukankah sang suami masih terus berusaha mencari perempuan itu.Melati merasakan sesak dalam dadanya. Andai dia punya kekuatan untuk menentang, atau paling tidak memutuskan pergi saat cinta untuknya dibagi. Namun sayangnya dia harus bertahan dalam luka-luka yang menganga.Ingat ketika sang suami bilang ingin menikahi perempuan yang dipacarinya diam-diam. Terasa runtuh dunianya. Perempuan yang lebih muda setahun darinya itu sangat cantik dan modis. Pantas saja Akbar kepincut. Dirinya yang sederhana memang tidak sebanding dengan Nata. Tapi jika selera Akbar seperti gadis itu, kenapa dulu menikahi dirinya? Bukankah banyak rekan kuliah yang cantik-cantik dan anak orang kaya?Setelah diam beberapa saat, Melati keluar dari kamar mandi. Menyusul suaminya yang telah berbaring di ranjang. Lelaki yang baru pulang dari luar kota itu memejam. Kelelahan setelah perjalanan panjang.Melati mengambil posisi miring menghadap dinding. Pernikahan yang hambar. Tak ada lagi kemanisan kecuali dia diinginkan untuk memuaskan Akbar. Lantas untuk apa dia dipertahankan? Apa karena perempuan pujaannya itu pergi, jadi daripada kehilangan keduanya, lebih baik mempertahankan yang ada. Meski tinggal separuh rasa.Ia ingat enam tahun yang lalu. Saat berdua mendengarkan nasehat pernikahan dari seorang petugas penasehat di Kantor Urusan Agama. Apa tujuan menikah, apa hak dan kewajiban suami dan istri. Juga memaparkan segenap permasalahan yang bisa saja terjadi di sepanjang menjalani pernikahan, sekaligus bagaimana cara menyelesaikannya.Dulu Melati sangat bahagia karena Akbar memperjuangkannya hingga bisa diterima sang mama meski itu sungguh terpaksa. Tidak terpikirkan sedikit pun oleh Melati bahwa perjanjian pernikahan mereka akhirnya ternodai oleh perselingkuhan diam-diam suaminya. Pengkhianatan yang menyeretnya menandatangani surat izin berpoligami."Kamu berhak untuk tidak setuju, Mel. Sesekali egoislah untuk mempertahankan apa yang menjadi milikmu. Kadang mengabaikan perasaan orang lain itu perlu. Agar dia tahu bagaimana menghargaimu," kata Saga dikala Melati diminta menandatangani surat pernyataan kesanggupan untuk dipoligami. Sebab Nara, si gadis cantik itu tidak ingin dinikahi secara siri.Namun Melati tidak bisa mengikuti saran adik iparnya. Ia akur pada keinginan sang suami yang didukung oleh ibunya sendiri."Kamu ikhlas?"Melati tersenyum aneh. Antara terluka dan senyum ejekan untuk dirinya sendiri. "Jangan bicarakan tentang ikhlas, Ga. Ikhlas itu menjadi rahasiaku dengan Tuhanku."Sebab pada hakekatnya, tidak semua perempuan bisa ikhlas di duakan. Apalagi di duakan sepanjang hidup."Kalau itu keputusanmu, mulai sekarang terbiasalah tanpa semua yang kamu dapatkan selama ini. Matikan rasa jika perlu. Karena aku tahu, bagaimana rasanya hidup berbagi, Mel." Saga bicara padanya suatu malam. Disaat keluarga sibuk mempersiapkan pernikahan kedua Akbar.Terkadang perasaan ingin menang itu memang ada. Makanya sedaya upaya, Melati menarik perhatian sang suami. Siapa tahu Akbar akan menyadari dan mengurungkan niatnya untuk menikah lagi. Melati berdandan tiap malam, menyodorkan diri, tersenyum manis meski hatinya remuk redam. Namun ketika Akbar yang tergila-gila pada Nara enggan menyentuhnya, Melati memilih mundur. Merasa tidak ada harga dirinya lagi di hadapan suami. Di pikir-pikir, seperti Pela*ur yang menjajakan diri.Sampai sekarang, Melati benar-benar membentengi diri. Menjaga jarak, meski masih mengurusi suaminya dengan baik. Semuanya, mulai dari menyiapkan makan, pakaian, memotong kukunya, hingga urusan ranjang dikala diinginkan.Namun Melati berhenti bicara jika tidak diperlukan. Memilih diam karena perasaannya tak lagi berharga.***LS***"Ini obat untuk siapa, Mbok?" tanya Melati pada Mbok Sarwi saat melihat ada Paracetamol di sebelah gelas teh atas nampan."Untuk Mas Saga, Mbak."Melati menoleh pada kamar yang masih tertutup rapat. Pasti Saga tengah demam akhibat lukanya kemarin."Suruh sarapan dulu, Mbok, sebelum minum obat.""Sudah, Mbak. Tadi minta dibuatin mie kuah.""Oh, ya sudah."Mbok Sarwi ke kamar Saga, sedangkan Melati melangkah ke kamar putrinya. Moana ternyata masih pulas tidur di baby crip-nya."Tadi udah bangun minta susu, Mbak. Terus tidur lagi," ujar Tini yang tengah melipat pakaian majikan kecilnya."Ya, nggak apa-apa." Melati menghampiri Moana. Mengusap pipinya pelan. Menciumnya, lantas keluar kamar.Tugasnya hanya melahirkan, soal pengasuhan dan segala urusan mengenai Moana dilakukan oleh ibu mertua. Makanya andai dia memilih bercerai dari Akbar, jelas tidak akan bisa mendapatkan hak asuh anaknya meski Moana masih di bawah umur. Jangankan hak asuh, mungkin tidak akan diperbolehkan bertemu dengan bidadari kecilnya.Melati kembali ke ruang makan, membantu Mbok Kiyem menyiapkan sarapan.Di rumah besar itu ada dua asisten rumah tangga yang sudah sejak dulu bekerja pada keluarga Akbar. Seorang supir yang mengantarkan sang mertua jika ada keperluan di luar. Sekarang di tambah Tini yang dibayar untuk menjaga Moana.Akbar turun dan duduk di meja makan. Pria itu sudah rapi dan wangi. Melati mengambilkan piring dan menaruh di hadapan sang suami. Tidak lama keluar Pak Norman beserta istrinya. Seperti biasanya, mereka akan sarapan bersama setiap pagi."Saga mana, Mbok?" tanya Pak Norman pada Mbok Kiyem."Mas Saga sedang sakit, Pak. Tapi tadi sudah sarapan dan minum obat.""Sakit apa dia?""Demam," jawab Mbok Kiyem kemudian kembali ke dapur.Pak Norman hendak bangkit, tapi di tahan oleh sang istri. "Sarapan dulu, Pa. Biar saja anak susah di atur itu. Suka sekali berkelahi. Apa ingin menunjukkan kalau dia paling jagoan?" omel Bu Rista seraya mengambilkan nasi untuk suaminya.Akbar yang mulai makan hanya mendengarkan. Dirinya dan Saga memang tidak bisa dibilang jauh, tapi juga tidak dekat. Berinteraksi hanya seperlunya saja. Akbar sebenarnya juga tidak membenci Saga, walaupun semenjak kecil sudah di doktrin dengan cerita buruk mengenai ibunya Saga yang tega masuk dalam rumah tangga sang mama. Bu Rista ingin agar Akbar pun membenci adiknya. Namun tidak bisa, kendati mengakrabi Saga juga tidak dilakukannya.Mamanya ingin mereka saling membenci, tapi sang papa selalu mengajarkan pada dua putranya untuk selalu peduli dan mengasihi satu sama lain."Bar, kamu belum dapat kabarnya Nara?" Bu Rista bertanya pada sang putra yang duduk berhadap-hadapan dengannya."Ma," tegur Pak Norman. Merasa tidak enak dengan Melati."Cari tahu, Bar. Jangan sampai dia pergi karena mendapatkan ancaman." Bu Rista tidak peduli dengan terguran suaminya. Bahkan dia tidak peduli dengan Melati yang ada di sana. Terus saja bicara pada Akbar."Nggak ada kabar, Ma. Keluarganya juga nggak tahu," jawab Akbar."Mana mungkin nggak tahu?""Entahlah."Melati yang tengah menyuap nasi, merasakan kenyang mendadak. Selera makannya lenyap sudah. Walaupun terbiasa dengan perlakuan seperti itu, tapi tetap saja merasakan sesak.Nara yang pergi, Melati yang disalahkan. Bahkan oleh suaminya sendiri."Apa yang kamu katakan pada Nara? Kamu menyakitinya?" tanya Akbar dengan tatapan menyelidik."Untuk menentang tatapanmu saja aku nggak mampu, Mas. Bagaimana mungkin aku berani menyakiti perempuan yang kamu cintai." Melati membela diri.Sekalipun terluka, marah, benci pada gadis cantik itu, tapi Melati bisa apa. Selain diam memendam segalanya sendirian. Diam dan diam. Bagi Melati itu adalah selfcare terbaiknya.Mereka masih asyik berbincang, tentang calon menantu yang kabur, tentang perkebunan dan hasil pertemuan Akbar dengan PT Adi Karsa kemarin.Sementara selesai sarapan, Melati beranjak ke dapur untuk menyiapkan bekalnya sendiri yang akan dibawa ke perkebunan. Jarak rumah mereka ke kebun teh sekitar lima belas menit perjalanan."Kamu nggak bareng sama mas saja?" tanya Akbar melihat Melati mengambil motornya di garasi.Melati tidak menjawab. Namun ia mengembalikan motor ke tempat semula. Jika Akbar mengajaknya bareng, sudah pasti laki-laki itu langsung ke perkebunan. Tidak ada urusan ke luar.Sepanjang perjalanan tidak ada percakapan. Melati tidak akan berbasa-basi karena Akbar mungkin tidak menyukai suaranya lagi. Apalagi mendengarnya bercerita panjang lebar akan sesuatu yang tidak ingin diketahui. Hal remeh yang tidak bermakna lagi."Mas mau keluar kota Minggu depan. Kamu mau ikut?" Akhirnya Akbar yang mulai bicara."Ke mana, Mas?""Surabaya."Melati mengangguk sambil tersenyum. Lantas kembali mengalihkan pandangan pada kebun sayur di sisi jalan.Akbar memandang sang istri. Ada rasa bersalah telah menyakiti hati Melati, tapi ia tidak bisa menepis sosok Nara yang membuatnya tidak bisa mengendalikan dirinya.Sesampainya di kebun teh. Melati langsung masuk ke kantor, sedangkan Akbar menemui beberapa pekerjanya yang berada di gudang.Di sana bertemu Ana dan mereka kembali sibuk dengan rutinitas harian."Mbak, tadi Budhe Tami tanya tentang Mbak Melati." Ana menggeser kursi dan berkata lirih pada saudaranya. Khawatir jika Akbar mendengar, karena Ana tahu kalau Melati datang bersama suaminya."Tanya gimana?""Ya, tanya keadaan Mbak bagaimana. Budhe khawatir, Mbak.""Bilang kalau aku baik-baik saja, An. Nggak usah nyemasin aku. Bilang ke Budhe, ya. Besok atau lusa aku akan ke sana."Ana mengangguk kemudian menggeser kursinya lagi karena Akbar masuk ruangan. Lelaki itu langsung duduk meja kerjanya. Membuka laptop dan mulai serius mengamati layar bening.Melati dan Ana juga sibuk dengan pekerjaannya sendiri. Ana turut merasakan perubahan yang sangat kentara. Biasanya Akbar sangat romantis pada istrinya. Perlakuannya membuat iri siapapun yang melihat. Namun segalanya telah berubah begitu cepat. Bagai sihir yang melenyapkan segala yang tampak di depan mata."Mel, mas pergi dulu." Akbar mendekati sang istri untuk berpamitan."Ya," jawab Melati singkat. Tanpa bertanya ke mana Akbar hendak pergi.Tidak lama setelah Akbar berlalu, Saga datang."Kenapa kamu kerja? Kamu lagi sakit 'kan!" tegur Melati."Nggak ada yang gratis di sini. Kalau ingin dihargai dan tetap bisa makan, harus kerja," jawab Saga sambil duduk di kursinya."Pergilah ke dokter. Aku khawatir kalau lukamu itu berbahaya. Siapa tahu pisau itu beracun.""Aku sudah kebal, Mel.""Jangan sombong. Jika terjadi apa-apa kamu yang bakalan menyesal nanti."Saga tertawa. "Kalau memang dikehendaki mati, mungkin aku sudah mati sejak masih di dalam kandungan ibuku. Sudahlah jangan khawatir. Aku nggak apa-apa. Kalau aku mati pun, mungkin kamu saja yang akan menangisi jasadku."Begitu santainya Saga bicara, tapi membuat mata Melati berkaca-kaca. Perempuan itu tahu semua penderitaan Saga. Juga tentang preman-preman bak siluman yang selalu menyerang Saga. Mungkin mereka bukan preman biasa. Namun Saga tidak mau melaporkan ke pihak berwajib."Ga.""Apa?""Sudah waktunya kamu bertindak. Laporkan ke pihak berwajib tentang penyerangan terhadapmu. Kamu nggak bisa berdiam diri terus."Saga tersenyum samar. "Nggak apa-apa. Doakan saja aku mampu menghadapi mereka.""Sampai kapan?""Sampai mereka bisa mengambil nyawaku.""Gila kamu, Ga. Ngomong ngelantur nggak karuan." Melati menatap tajam menahan geram pada adik iparnya. Namun Saga justru sangat santai. Menganggap hal yang menimpanya adalah sesuatu yang biasa.Hening. Saga sibuk membalas pesan di ponselnya, sedangkan Melati kembali menekuni berkas."Aku mau lihat pengemasan teh yang mau dikirim besok," pamit Saga kemudian keluar ruangan. Berjalan ke arah barat. Ke gudang tempat aktivitas para pekerja.Ana kembali mendekati Melati. "Kenapa Mas Saga nggak mau lapor polisi, Mbak? Itu kan tindakan kriminal.""Aku nggak tahu, An. Mungkin dia sebenarnya sudah tahu siapa pelakunya?""Siapa?"Melati menggeleng. "Entahlah. Hanya Saga yang tahu."Gadis itu diam sejenak, kemudian kembali memandang saudaranya. "Mbak, ibu dan ayahku ngobrol tadi malam. Ngobrolin tentang, Mbak.""Ngobrolin gimana?""Kalau tersiksa begini terus, apa nggak sebaiknya Mbak Melati berpisah saja. Maaf itu hanya obrolan mereka, karena kasihan pada, Mbak."Senyum menghiasi bibir Melati. "Nggak apa-apa, An. Makasih karena sudah peduli. Selagi bisa, aku akan bertahan.""Jangan memaksakan diri, Mbak. Seumur hidup dalam pernikahan tak sehat, hanya membuang waktumu. Mbak, akan kehilangan banyak masa yang bisa Mbak gunakan untuk meraih kebahagiaanmu."Melati menepuk bahu Ana. Baginya tidak ada manusia yang bisa terbebas dari ujian. Semua akan mengalami sesuai porsi dan berjuang dalam ujiannya masing-masing. Dan ujian untuknya tak tahu sampai kapan.* * *Waktu yang Hilang- Bukan Prioritas "Mbak, ayo makan dulu!" ajak Ana setelah mengambil piring dan sendok dari rak pantry kantor."Kamu makan dulu. Aku belum lapar ini, An," jawab Melati. Masih sibuk meneliti deretan angka yang tertera di layar komputernya."Aku ambilin, ya."Melati menatap saudaranya. "Aku belum lapar. Aku makan nanti saja.""Kalau waktunya makan harus makan, Mbak. Biar nggak sakit, biar kuat menghadapi kenyataan," canda gadis muda itu."Apalagi kenyataan hidup Mbak Melati yang membuatku nyaris gila meski hanya melihatnya saja," tambah Ana."Bisa saja kamu." Melati berdiri dari duduknya, kemudian mendekati Ana yang tengah mengambil nasi di meja kosong sudut ruangan.Biasanya ada karyawan yang mengambilkan makan siang untuknya, sekalian untuk para pekerja lain. Tapi sudah beberapa waktu ini, Melati membawa bekalnya sendiri "Kita makan di belakang, yuk, Mbak!" ajak Ana.Keduanya melangkah ke belakang. Duduk di tempat biasanya. Sebuah balai-balai dari bambu yang ada di
Dikiranya dulu, Melati akan jadian dengan Saga. Mengingat mereka sangat dekat dan akrab sejak kecil. Rumah Melati di ujung desa bagian utara, sedangkan Saga berada di ujung Selatan. Bu Ariani, mamanya Saga adalah teman baik ibunya Melati. Namun kenyataan berkata lain, Melati akhirnya menikah dengan Akbar."Aku pergi dulu, Mel," ucap Saga menepis hening. Ia melihat jam digital di layar ponselnya. Meski dia anak bos yang mengawasi dan mengurus karyawan, tapi tidak boleh seenaknya saja. Baginya dia bukan siapa-siapa. Hanya seorang pekerja yang bisa dikatakan memiliki jabatan lebih tinggi daripada mereka, itu saja."Oh ya, tadi Mas Akbar bilang hendak pergi ke mana?" tanya Saga setelah berdiri."Aku nggak nanya."Saga menatap Melati sejenak, kemudian beranjak dari sana. Tinggallah dua perempuan itu menikmati semilir angin siang membawa aroma daun teh ke penciuman. Hawa dingin membuat Melati di serang rasa kantuk. Namun ia ingat harus kembali ke ruangan dan menyelesaikan pekerjaannya.***L
Melati berdiri sambil mengelap sisa air mata di pipinya. "An, kamu keluar dulu temui Mas Akbar. Bilang kalau aku masih di belakang sebentar," perintah Melati dengan nada pelan."Iya." Ana bergegas ke depan. Sedangkan Melati melangkah ke belakang diikuti oleh budhenya. Dilepaskan jilbab, menaruhnya di sandaran kursi, dan membasuh wajahnya di wastafel. Budhe Tami mendekat. "Nduk, apapun keputusan yang kamu ambil nanti. Bicarakan dengan baik-baik. Ketika hubunganmu dulu di awali secara baik, biarlah berakhir dengan baik-baik juga. Menjadi janda tidaklah semenakutkan bayanganmu. Biar, biarkan orang di luar sana yang mendukung keluarga itu bicara apapun terhadapmu. Tapi asal kamu tahu, banyak warga desa yang bersimpati daripada menghujatmu. Keinginan Akbar yang di dukung oleh mamanya sudah diketahui mereka. Justru mereka menganggapmu bodoh jika masih terus bertahan di sana. "Banyak yang mendukungmu, Nduk. Kamu jangan takut. Tapi jika kamu rasa bisa bertahan, budhe juga nggak bisa mengha
Astagfirullahaladzim. Melati beristighfar dalam hati. Apa suaminya benar-benar sudah memahami apa itu poligami? Yang tidak hanya membahas hubungan biologis saja, tapi banyak lagi hal-hal yang akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di alam akhirat.Melati menengadah. Menatap bayang-bayang malam di penghujung senja ini. Ternyata sudah cukup lama mereka berada di tengah kebun sayur itu."Mel, jika kamu mengatakan hal ini dikala Nara pergi. Apakah ini semacam ancaman agar mas nggak lagi mencarinya?"Senyum paling getir menghiasi bibir pucat Melati. "Ancama apa? Kenapa aku harus mengancammu, Mas? Hati itu milikmu, bagaimana aku bisa mengendalikan apa yang kamu inginkan dan rasakan di dalam sana." Melati menunjuk dada Akbar dengan gerakan dagunya."Sedangkan mas sendiri bilang nggak bisa mengawalnya lagi. Apalagi aku ...." Nada suara Melati mengambang."Mungkin kemarin aku sanggup menyetujui keinginanmu. Namun setelah Nara pergi dan Mas sekalut ini, berarti rasamu hanya milik dia sekaran
Akbar berdiri di balkon lantai dua. Menatap di kejauhan sambil mendengarkan orang yang berbicara di seberang sana."Bos, aku sudah dapat kabar tentang Nara. Dia masih di Surabaya sebenarnya. Cuman belum tahu di mana pastinya dia tinggal. Orang-orangku tengah mencari tahu alamatnya ini.""Oke," jawab Akbar singkat. Lantas mematikan panggilan.Gadis itu, nekat pergi menjelang pernikahan yang telah disiapkan secara matang. Apa yang membuatnya membatalkan acara itu? Bahkan dia nekat pergi dari keluarganya juga. Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?Tatapan Akbar menjangkau jauh dalam pekat malam. Semua percakapan Melati sore tadi masih terngiang di pendengaran. Cerai. Melati tak ragu lagi meminta itu darinya. Akbar mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Kemudian kembali ke dalam."Mbak Melati sudah kembali ke kamar, Pak." Tini yang masih membereskan mainan Moana memberitahu Akbar. Laki-laki itu mengangguk lantas melangkah pergi. Tini menutup pintu dan ingin segera tidur.Dalam kam
Izam memerhatikan sekeliling. Para pengunjung kafe sudah pergi, tinggal mereka dan ada satu meja berisi tiga orang remaja. "Ga, udah malam. Kita pulang! Bentar lagi kafe tutup," ajak laki-laki itu.Mereka segera berdiri dan pergi ke arah motor masing-masing."Gimana kalau nginap saja di rumahku Lagian bahaya kalau kamu pulang larut. Aku khawatir para preman itu menghadangmu lagi. Mereka seperti punya seribu mata. Ke mana pun kamu pergi, selalu terdeteksi," kata Izam."Tidak usah, aku mau pulang saja.""Nggak bahaya?""Semoga saja tidak," jawab Saga sambil memakai helmnya. Laki-laki itu tampak tenang, justru Izam yang khawatir."Aku pulang dulu, Zam. Lusa kita ngopi lagi.""Oke, Bro. Hati-hati. Sampai rumah nanti jangan lupa kabari."Saga mengangguk, lantas melaju pelan keluar parkiran kafe.Hening sepanjang perjalanan menuju perkebunan. Dia memutuskan untuk tidak pulang ke rumah. Tapi akan tidur di kebun. Toh, di sana juga ada Pak Radi dan sang istri yang memang dipercaya oleh papanya
Alangkah lega hati Melati melihat motor Saga berada di bangunan terbuka tempat parkir kendaraan para pekerja. Berarti tadi malam Saga tidur di kantor."Mel," panggil seseorang yang membuat Melati menoleh. Wanita itu mencabut kontak motor dan menghampiri laki-laki yang berdiri di belakangnya. Saga masih memakai bajunya yang kemarin sore ia pakai. "Kamu dari mana kemarin? Aku khawatir terjadi apa-apa sama kamu," omel Melati. "Papa juga gelisah kulihat tadi."Saga tersenyum. Dia berdiri tegak dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jaketnya. "Barusan papa chat aku. Sudah kubalas.""Kamu nggak bilang ya pas kemarin mau pergi?""Aku cuman bilang mau ke luar sebentar." Saga tidak mungkin akan memberitahu papanya kalau dia pergi ke kota. Kecuali kondisinya sudah kembali pulih. Andai ada preman yang biasa mengusiknya, ia bisa mempertahankan diri."Kamu sudah sarapan?""Sudah. Dibuatkan nasi goreng oleh Mak Radi tadi. Mas Akbar mana, apa nggak ke kebun dia?""Mas Akbar pamitan ke luar ta
Hening. Dia sendirian di kantor. Di luar sana, terdengar canda tawa para pekerja. Pemetik teh kebanyakan kaum ibu-ibu, para warga desa. Perempuan memang lebih telaten. Pemetikan tidak boleh dilakukan sembarangan, karena bisa mempengaruhi rasa teh. Itulah kenapa papa mertuanya tidak suka memetik daun teh dengan cara semi mekanis, menggunakan waring atau gunting. Terlebih menghindari pemakaian mesin petik. Sejak dulu pemetikan teh dilakukan secara manual menggunakan tangan.Sampai siang Melati sibuk sendirian di kantor. Saga juga sibuk bolak-balik antara gudang dan kantor. Apalagi tiga hari lagi, waktunya gajian untuk para karyawan.Tepat jam makan siang Akbar baru kembali. Pria itu tersenyum pada Melati yang tengah makan di mejanya. Dikecupnya puncak kepala sang istri. Siang ini sikap Akbar sangat manis. Bahkan ikut makan satu piring dengannya sambil ngobrol."Jam berapa truk berangkat tadi?""Masih pagi, Mas. Nasinya mau tambah lagi?"Akbar mengangguk. Melati menambah satu centong na