Astagfirullahaladzim. Melati beristighfar dalam hati. Apa suaminya benar-benar sudah memahami apa itu poligami? Yang tidak hanya membahas hubungan biologis saja, tapi banyak lagi hal-hal yang akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di alam akhirat.
Melati menengadah. Menatap bayang-bayang malam di penghujung senja ini. Ternyata sudah cukup lama mereka berada di tengah kebun sayur itu."Mel, jika kamu mengatakan hal ini dikala Nara pergi. Apakah ini semacam ancaman agar mas nggak lagi mencarinya?"Senyum paling getir menghiasi bibir pucat Melati. "Ancama apa? Kenapa aku harus mengancammu, Mas? Hati itu milikmu, bagaimana aku bisa mengendalikan apa yang kamu inginkan dan rasakan di dalam sana." Melati menunjuk dada Akbar dengan gerakan dagunya."Sedangkan mas sendiri bilang nggak bisa mengawalnya lagi. Apalagi aku ...." Nada suara Melati mengambang."Mungkin kemarin aku sanggup menyetujui keinginanmu. Namun setelah Nara pergi dan Mas sekalut ini, berarti rasamu hanya milik dia sekarang. Dia nggak ada di depan mata saja membuat mas kebingungan seperti ini, mengabaikanku seolah aku bukan siapa-siapa. Apalagi kalau Nara ada. Kamu akan menganggapku apa, Mas?"Aku bukan malaikat. Aku manusia biasa. Tolong pahami ini. Aku akan menunggu sampai kamu menemukan gadis itu lagi. Setelah itu lepaskan aku. Biarlah aku mencari kebahagiaanku sendiri. Maafkan jika aku akhirnya menyerah dan nggak bisa mendampingimu lagi. Aku hanya titip Moa. Sayangi dia meski pada akhirnya kelakmas akan memiliki anak dari Nara. Mungkin denganku dia nggak akan sebahagia bersama kalian. Aku nggak punya apa-apa. Tapi aku minta, tetap izinkan aku bertemu dengannya sekali waktu." Melati menunduk. Bicara tentang anak, membuat hatinya tersayat parah. Ibu mana yang sanggup berpisah dengan buah hatinya? Moana sekarang juga sedang lucu-lucunya.Akbar menatap lekat istrinya. Begitu tenang Melati bicara kali ini, bahkan tak ada lagi air mata yang kerap membasahi netra beningnya dalam beberapa bulan ini. Apa hatinya sudah setawar itu?"Mel, tidakkah kita bisa berdamai dalam keadaan ini? Mas tak bisa kehilangan kamu?"Melati tersenyum meski melihat lelaki itu berubah sendu. Lelaki yang masih mengaku mencintainya tapi menyimpan perempuan lain di hatinya."Sudah berbulan-bulan aku membujuk hati, Mas. Aku bisa bertahan menemanimu. Tapi aku akhirnya sadar ketika Nara pergi dan Mas sangat patah hati. Dari sini aku mengerti, apa artinya diriku di hadapanmu sekarang ini.""Apapun anggapanmu, mas nggak bisa kehilangan kamu."Apa ini ketulusan atau omong kosong? Melati tersenyum kecil di sudut bibir."Kita pulang, Mas. Sudah mau Maghrib ini."Akbar diam beberapa saat, kemudian menekan pedal gas dan meninggalkan tempat itu.Setelah percakapan sore itu, masihkah adakah keinginan Akbar untuk mencari Nara lagi. Atau jik Nara kembali, apa mereka akan tetap melanjutkan pernikahannya?***LS***Melati termangu di dekat kulkas dapur. Dia sedang merebus air untuk mengisi termos. Sebab kalau malam, Moana sering terbangun minta dibuatkan susu."Biar saya saja yang nungguin airnya, Mbak," kata Tini sopan."Nggak apa-apa, Tin. Biar aku yang nungguin. Nanti kuantar ke kamar."Tini mengangguk. Ketika hendak berbalik, Melati mencegahnya. "Mas Saga belum pulang?" Sejak dirinya pulang menjelang Maghrib tadi, Melati tidak melihat Saga. Apa dia jadi pergi atau masih belum pulang dari perkebunan. Sebab biasanya Saga juga sering tidur di sana."Jam empat tadi pulang, Mbak. Sempat ngajak Mbak Moa bermain sebentar. Tapi setelah mandi pamitan sama Bapak, katanya mau pergi.""Oke."Tini pergi, Melati duduk di kursi. Saga benar-benar tidak takut setelah beberapa kali nyawanya terancam. Sepasrah itukah hidupnya?Terbuat dari apa hatinya. Setelah diperlakukan dan dihajar habis-habisan oleh penghakiman dari kesalahan yang tidak pernah ia lakukan, Saga masih bisa tertawa. Tersenyum lebar untuk menghiburnya.Siapa yang salah dan siapa yang dihakimi sepanjang hidup? Saga mana tahu akan dilahirkan di tengah keluarga seperti apa? Ibunya istri nomer berapa? Pelakor apa bukan?Melati mendesah pelan. Mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. Jujur saja ia khawatir jika terjadi sesuatu dengan adik iparnya. Mungkin dialah satu-satunya orang di rumah itu yang peduli pada Saga. Bagaimana dengan papanya?Kodisi kesehatan Pak Norman yang tak stabil, membuat ruang geraknya terbatas. Tidak segesit dua tahun yang lalu. Namun Melati tahu, betapa papa mertuanya sangat menyayangi Saga.Netra tuanya menunjukan segenap rasa yang ada dibenaknya. Walaupun tidak bisa mengungkapkan.Melati membawa termos masuk ke kamar. Kemudian bercanda dengan Moana. Mengajari bocah itu menyanyi lagu Bintang Kecil, Balonku, dan beberapa lagu anak-anak lainnya. Membacakan cerita tentang si Kancil yang cerdik. Entah cerdik entah licik. Hingga mereka sama-sama tertidur di kasur lantai, tempat biasa Moana bermain.Tini tidak berani membangunkan. Hingga Akbar mengetuk pintu kamar."Mbak Melati ketiduran, Pak. Saya nggak berani membangunkan," ucapnya sopan pada bos yang berdiri di depan pintu.Akbar masuk, duduk di sebelah Melati yang meringkuk memeluk kaki Moana. Wajahnya terlihat lelah.Kemudian ia bangkit untuk memindahkan Moana ke tempat tidurnya, ketika hendak mengendong sang istri untuk pindah kamar. Ponsel di genggaman berdenting* * *Akbar berdiri di balkon lantai dua. Menatap di kejauhan sambil mendengarkan orang yang berbicara di seberang sana."Bos, aku sudah dapat kabar tentang Nara. Dia masih di Surabaya sebenarnya. Cuman belum tahu di mana pastinya dia tinggal. Orang-orangku tengah mencari tahu alamatnya ini.""Oke," jawab Akbar singkat. Lantas mematikan panggilan.Gadis itu, nekat pergi menjelang pernikahan yang telah disiapkan secara matang. Apa yang membuatnya membatalkan acara itu? Bahkan dia nekat pergi dari keluarganya juga. Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?Tatapan Akbar menjangkau jauh dalam pekat malam. Semua percakapan Melati sore tadi masih terngiang di pendengaran. Cerai. Melati tak ragu lagi meminta itu darinya. Akbar mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Kemudian kembali ke dalam."Mbak Melati sudah kembali ke kamar, Pak." Tini yang masih membereskan mainan Moana memberitahu Akbar. Laki-laki itu mengangguk lantas melangkah pergi. Tini menutup pintu dan ingin segera tidur.Dalam kam
Izam memerhatikan sekeliling. Para pengunjung kafe sudah pergi, tinggal mereka dan ada satu meja berisi tiga orang remaja. "Ga, udah malam. Kita pulang! Bentar lagi kafe tutup," ajak laki-laki itu.Mereka segera berdiri dan pergi ke arah motor masing-masing."Gimana kalau nginap saja di rumahku Lagian bahaya kalau kamu pulang larut. Aku khawatir para preman itu menghadangmu lagi. Mereka seperti punya seribu mata. Ke mana pun kamu pergi, selalu terdeteksi," kata Izam."Tidak usah, aku mau pulang saja.""Nggak bahaya?""Semoga saja tidak," jawab Saga sambil memakai helmnya. Laki-laki itu tampak tenang, justru Izam yang khawatir."Aku pulang dulu, Zam. Lusa kita ngopi lagi.""Oke, Bro. Hati-hati. Sampai rumah nanti jangan lupa kabari."Saga mengangguk, lantas melaju pelan keluar parkiran kafe.Hening sepanjang perjalanan menuju perkebunan. Dia memutuskan untuk tidak pulang ke rumah. Tapi akan tidur di kebun. Toh, di sana juga ada Pak Radi dan sang istri yang memang dipercaya oleh papanya
Alangkah lega hati Melati melihat motor Saga berada di bangunan terbuka tempat parkir kendaraan para pekerja. Berarti tadi malam Saga tidur di kantor."Mel," panggil seseorang yang membuat Melati menoleh. Wanita itu mencabut kontak motor dan menghampiri laki-laki yang berdiri di belakangnya. Saga masih memakai bajunya yang kemarin sore ia pakai. "Kamu dari mana kemarin? Aku khawatir terjadi apa-apa sama kamu," omel Melati. "Papa juga gelisah kulihat tadi."Saga tersenyum. Dia berdiri tegak dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jaketnya. "Barusan papa chat aku. Sudah kubalas.""Kamu nggak bilang ya pas kemarin mau pergi?""Aku cuman bilang mau ke luar sebentar." Saga tidak mungkin akan memberitahu papanya kalau dia pergi ke kota. Kecuali kondisinya sudah kembali pulih. Andai ada preman yang biasa mengusiknya, ia bisa mempertahankan diri."Kamu sudah sarapan?""Sudah. Dibuatkan nasi goreng oleh Mak Radi tadi. Mas Akbar mana, apa nggak ke kebun dia?""Mas Akbar pamitan ke luar ta
Hening. Dia sendirian di kantor. Di luar sana, terdengar canda tawa para pekerja. Pemetik teh kebanyakan kaum ibu-ibu, para warga desa. Perempuan memang lebih telaten. Pemetikan tidak boleh dilakukan sembarangan, karena bisa mempengaruhi rasa teh. Itulah kenapa papa mertuanya tidak suka memetik daun teh dengan cara semi mekanis, menggunakan waring atau gunting. Terlebih menghindari pemakaian mesin petik. Sejak dulu pemetikan teh dilakukan secara manual menggunakan tangan.Sampai siang Melati sibuk sendirian di kantor. Saga juga sibuk bolak-balik antara gudang dan kantor. Apalagi tiga hari lagi, waktunya gajian untuk para karyawan.Tepat jam makan siang Akbar baru kembali. Pria itu tersenyum pada Melati yang tengah makan di mejanya. Dikecupnya puncak kepala sang istri. Siang ini sikap Akbar sangat manis. Bahkan ikut makan satu piring dengannya sambil ngobrol."Jam berapa truk berangkat tadi?""Masih pagi, Mas. Nasinya mau tambah lagi?"Akbar mengangguk. Melati menambah satu centong na
"Kamu serius, Nduk?" tanya Budhe Tami.Melati mengangguk mantap. Kemudian menceritakan serentetan peristiwa dalam beberapa hari ini. Sepulangnya dia dari rumah budhenya empat hari yang lalu."Budhe ganti baju dulu." Wanita itu masuk ke dalam rumah.Sementara Melati memperhatikan sekeliling. Di sebelah rumah budhe, ada rumah lama yang masih sangat terawat. Melati melangkah ke sana. Ke rumah peninggalan kedua orang tuanya. Walaupun banyak dindingnya yang sudah mengelupas, tapi rumah itu selalu bersih dari dedaunan kering dan rumput liar. Tiap malam lampu juga dinyalakan.Melati hanya berdiri di emperan. Memperhatikan rimbunan bunga melati di halaman depan dan samping sebelah kanan rumah. Mungkin nanti setelah bercerai dia akan kembali menempati rumah itu. Bisa juga menemani budhenya. Atau merantau jauh untuk sementara. Mencari bekal untuk masa depannya juga Moana.Dihelanya napas panjang. Beberapa hari ini dia sudah memikirkannya. Nara sudah ketemu. Dan dia sering mendengar Akbar menelp
"Kamu dari mana, Mel?" tanya Saga ketika Melati masuk ke kantor. Ana yang sudah duduk di meja kerjanya juga memandang ke arah saudaranya."Ada urusan sebentar," jawab Melati lalu duduk di kursinya. Kemudian membuka buku besar, catatan absensi para karyawan. Mereka tidak boleh salah menghitung bayaran."Hari ini orang-orang gajian, Ga. Mas Akbar nggak di rumah." Melati bicara pada Saga. "Uangnya sudah kubawa semua. Memangnya Mas Akbar pergi ke mana?""Aku nggak tahu. Apa kamu tadi juga nggak nanya?""Dia cuman bilang mau ke luar."Hening. Mereka kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Bunyi keyboard, suara mouse, dan desir angin yang mendominasi pesekitaran kantor. Hingga seorang pekerja datang memberitahu Saga kalau ada tamu yang menunggu di ruang tamu dekat gudang.Tinggal Melati dan Ana dalam ruangan. "Mbak, kamu tadi dari mana?" tanya Ana lirih. "Ada urusan sebentar," jawab Melati. Sesuai dengan apa yang dikatakan dengan Budhe Tami tadi. Dia tidak akan memberitahu siapapun
Akbar baru saja meletakkan ponselnya ketika Melati masuk kamar. Wanita itu menaruh teh di atas meja kecil pojok ruangan. "Tehnya, Mas,"ucapnya tanpa menoleh pada sang suami. Lalu mengambil pakaian kotor di keranjang dan membawanya turun. Perasaannya makin porak-poranda. Dalam hati terasa ada benda yang menyumbat, menyesakkan nafasnya."Mel, kamu sakit," tegur Saga saat Melati lewat hendak ke belakang. Tempat para asisten rumah tangga mengerjakan cucian."Aku nggak apa-apa.""Kamu tampak pucat."Melati berhenti dan memandang adik iparnya. "Aku nggak apa-apa, Ga," ulang Melati sambil tersenyum, lantas melangkah lagi ke belakang.Saga memandang ke arah tangga. Kakaknya baru saja pulang, apa mereka kembali ribut. Kalau saja tidak ingat larangan Melati, mungkin sudah dihajarnya sang kakak sejak terang-terangan menyampaikan niatnya untuk menikah lagi waktu itu. Dia tidak peduli akan nasibnya sendiri setelahnya. Toh, sejak kecil sudah menjadi anak terbuang dan tersisihkan. Jika membela Melat
Jadi, sebenarnya dia menjauh selama ini bukan ingin mundur. Tapi ada rencana lain yang tengah di susunnya. Jika kemarin Nara tidak ingin dinikahi secara siri, kali ini malah menginginkan menjadi istri satu-satunya. Kalau kemarin Akbar berani terang-terangan, kali ini dia memilih backstreet karena Melati sudah bilang ingin bercerai jika Akbar kembali menemukan Nara dan melanjutkan hubungan mereka. Atau Akbar masih menunggu waktu yang tepat untuk membicarakan hal itu padanya."Serius banget, Mas. Dari relasi, ya," tegur Melati saat Akbar sibuk dengan ponselnya.Pria itu tersenyum lantas meletakkan ponselnya di atas meja. Tidak menjawab ucapan sang istri."Ingat nggak kita mas ngajak kamu lunch di tempat ini?" "Tentu aku masih ingat," jawab Melati sebiasa mungkin meski isi kepalanya terasa hampir meledak. Kata-kata manis itu hanya omong kosong belaka sekarang. Ia coba mengingat apa saja yang pernah membuat mereka bahagia selama ini, agar hatinya bisa terkendali dengan baik dan rencanany
Saga meletakkan ponsel di jok samping. Beberapa kali membunyikan klakson tapi juga percuma. Kemacetan sudah memanjang mulai dari depan. Macet total karena ada perbaikan jalan. Bisa jalan hanya bergerak maju sendikit, lantas berhenti lagi.Sabar sabar. Ini bukan di film India yang dia bisa meninggalkan mobilnya di sana dan lari secepat Cetah yang melompat dari mobil ke mobil lainnya, bahkan melangkahi bangunan tinggi. Adegan film yang rasanya sangat mustahil dan tidak masuk akal itu, ingin rasanya di tiru saat ini.Melihat ponselnya kembali berpendar, membuat Saga menyambar benda itu. "Halo, Sayang. Bagaimana?""Aku sudah sampai rumah sakit, Mas. Barusan di periksa dokter.""Lalu ....""Ternyata ini sudah bukaan lima. Dan aku bisa lahiran normal.""Loh, katanya beresiko kalau lahiran normal? Mana dokternya biar mas ngomong sama dia.""Dokternya sudah kembali ke kantor. Katanya nggak apa-apa aku lahiran normal. Barusan di cek semua baik-baik saja. Tensiku juga normal. Mas, jangan khawati
Waktu yang Hilang- Best MomentSaga membantu Melati menyiapkan segala perlengkapan untuk persalinan Minggu depan. Dokter kandungan sudah menyarankan supaya Melati melahirkan secara cesar saja untuk persalinan bayi kembarnya. Melati menolak, tapi Saga memintanya untuk menyetujui. Mengingat dua bulan terakhir ini Melati dua kali opname karena demam tinggi. Minggu depan genap 38 minggu usia kehamilannya. Dokter kandungan sudah menetapkan jadwal operasi untuknya.Kedua janinnya sehat. Masing-masing memiliki plasenta dan air ketuban. Jadi sudah siap dilahirkan di Minggu ke 38."Budhe Tami sampai sini sekitar jam setengah tiga sore, Mas. Tadi siang beliau ngabari," kata Melati sambil melipat baju yang hendak di masukkan ke dalam travel bag."Oke, besok mas akan pulang lebih awal dan langsung jemput budhe ke stasiun."Budhe Tami memang akan menemani Melati pada persalinan nanti. Rencananya wanita itu akan tinggal di Jogja sampai si kembar umur selapan."Mulai besok nggak usah lama-lama di
Melati tersenyum. Jagoan kecilnya sudah tebar pesona. Melihat Shaka, ia jadi teringat masa kecil suaminya. Begitulah Saga waktu kecil. Tapi Shaka memang lebih bersih dan terawat, karena jarang bermain di kebun. Kalau Saga dulu, keluyuran di kebun sampai kulitnya lecet-lecet. Berenang di kali bersama teman-teman, termasuk dirinya juga. Melati paling kecil di antara mereka."Kenapa senyum-senyum?" senggol Saga."Aku ingat masa kecilmu, Mas."Saga hendak menggoda sang istri, tapi mereka dikejutkan oleh suara salam dari pintu depan."Itu Gama datang!" Bu Ariana bangkit dari duduknya dan melangkah ke ruang tamu. Wanita itu tercekat sejenak saat melihat Gama datang bersama seorang wanita tinggi semampai. Memakai celana bahan warna krem dan blouse warna putih. Diakah pacar Saga? Gadis itu tersenyum ramah dan mencium tangan Bu Ariana. "Selamat malam, Tante.""Selamat malam.""Namanya Alita, Bulek." Gama memperkenalkan gadis itu pada sang bulek. Membuat Bu Ariana kaget, tapi tidak menunjukkan
Waktu yang Hilang- Gama dan Perempuan ItuAkbar melongok ke luar jendela. Meninggalkan sejenak laptopnya untuk melihat apa yang tengah dilakukan oleh Moana dan Shaka di luar sana.Tampak dua bocah itu sedang duduk di bawah pohon mangga. Bermain masak-masakan. Moana menuangkan sesuatu dari teko kecil ke dalam cangkir mainan. Shaka lantas pura-pura meminumnya. "Manis?"Shaka mengangguk-angguk. Moana kemudian memberikan piring kecil berisi biji-bijian. "Di makan, ya!"Bocah laki-laki itu mengikuti perintah sang kakak. Pura-pura memakan benda di piring kecil yang sama sekali memang tidak boleh di konsumsi.Pertama kali diajak bermain masak-masakan oleh Moana, Shaka sempat bingung. Dia tidak pernah bermain seperti itu, bahkan melihatnya pun belum pernah, karena mainannya di rumah hanya mobil-mobilan, robot, puzzle, dan buku mewarnai.Akbar tersenyum melihat tingkah mereka. Bahagia karena mereka sangat rukun. Shaka juga penurut. Dia juga kerasan tinggal di Malang. Tapi di Jogja sana, Saga
Sebenarnya Melati berharap kalau Moana yang akan tinggal di Jogja selama liburan. Ternyata Shaka yang justru ingin ikut ke Malang. Baik Saga maupun Melati hanya khawatir kalau anak itu tiba-tiba rewel dan minta pulang. Sebab selama ini jarang sekali berjauhan dari kedua orang tuanya. Paling seharian main ke rumah Bu Ariana dan sorenya sudah di antar pulang."Lasmi kamu suruh ikut?""Ya, Bulek. Mak Lasmi sendiri juga pengen ke Malang.""Uti bakalan kangen sama kamu." Bu Ariana mengusap kepala Shaka."Uti, mau ikut?" Ah, malah ditawari pula."Enggak. Uti nunggu Shaka di sini saja."Bu Ariana mengusap permukaan perut Melati. "Kemarin jadi pergi ke dokter?""Ya.""Cowok apa cewek?""Cowok lagi dua-duanya," jawab Melati sambil tersenyum."MasyaAllah. Moana bakalan cantik sendiri."Melati tersenyum. Akbar yang duduk tidak jauh dari mereka mendengar jelas percakapan itu. Dia juga tidak sabar ingin segera melihat bayi kembar Melati lahir ke dunia. Dalam hati turut juga merasakan kebahagiaan i
Waktu yang Hilang- Terbongkarnya Rahasia "Aku paham bagaimana perasaan Mbak Melati, Mas. Dulu saja dia sempat stres saat berpisah dengan Moana, setelah kalian resmi bercerai." Tini berusaha memberikan pengertian pada Akbar. Sebab dia tahu betul bagaimana sedihnya Melati kala itu."Kamu tahu?""Ya, aku tahu." Tini menarik diri dan duduk tegak menghadap sang suami. "Maafkan aku. Dulu aku diam-diam membalas pesan yang dikirimkan Mbak Melati. Hampir tiap saat aku mengirimkan foto kegiatan Moana."Akbar juga menegakkan duduknya. Serius mendengarkan istrinya bicara. Baru kali ini ia tahu kenyataan yang sudah lewat kurang lebih empat tahun yang lalu."Aku nggak sampe hati melihat Mbak Melati menangis setiap hari dan menderita, Mas. Tiap malam telepon aku dengan suaranya yang serak. Aku bisa merasakan bagaimana sakitnya berpisah dari anak. Aku saja yang hanya pengasuh Moana, selalu terbayang-bayang jika aku izin pulang. "Dia cerita mengalami hal tersulit setelah meninggalkan Wonosari. Data
"Mas, cepetnya dapat buah ini!" Melati berbinar-binar melihat dua pack nectarin di atas meja makan setelah ia turun dari lantai dua.Saga tersenyum menghampiri. Tubuh laki-laki itu basah berkeringat setelah joging dan push up di teras samping.Melati membuka bungkusnya dan langsung meletakkan di wadah untuk dicuci. Kembali duduk dan menikmati buah yang semalam membuatnya ngiler saat melihat review seorang food vlogger."Sayang, kamu nggak sarapan dulu. Kamu bisa mules nanti.""Habis ini aku langsung sarapan.""Gimana, manis?" tanya Saga yang duduk di depan sang istri dan memerhatikan Melati yang tengah menikmati buah yang diidamkan."Manis, juicy, padet, tapi masih ada sedikit asemnya. Mas, coba saja!" Melati menyodorkan wadah buah ke hadapan sang suami.Saga tersenyum. Lagak istrinya sudah meniru seperti seorang food vlogger yang tengah bikin konten. Diambilnya sebiji dan memperhatikannya sebelum digigit. Donut Nectarine. Memang bentuknya seperti donat, tapi tidak berlubang tengahnya
Waktu yang Hilang- Keputusan SagaSaga meletakkan ponselnya setelah mengetik balasan untuk pesan dari sang kakak. Laki-laki itu menatakan bantal agar sang istri lekas berbaring.Dibantunya Melati merebahkan diri. Begitu payahnya kehamilan kali ini. Untuk berbaring saja kesulitan. Tiap tidur berulang kali merubah posisi karena terasa engap."Gimana, nyaman begini?" tanya Saga setelah meletakkan satu bantal di belakang punggung Melati dan meletakkan bantal tipis sebagai penyangga perut, karena Melati tidur agak miring."Ya."Saga juga berbaring setelah menarik selimut hingga sebatas perut Melati. Mereka saling berhadapan."Tadi yang ngirim pesan Mas Akbar. Besok keluarga Malang datang ke sini karena Moana sudah mulai libur sekolah." Saga bicara dengan nada lembut, khawatir Melati kaget.Kalau dulu mereka pasti bahagia jika keluarga dari Malang datang berkunjung. Mungkin kali ini berbeda setelah Melati mengetahui keinginan kakak ipar sekaligus mantan suaminya.Tampak ada binar bahagia s
Tiga tahun kemudian ....Seorang bocah laki-laki umur tiga tahun setengah tengah asyik bermain mobil balap. Duduk anteng di bangku besi sebelah kanan sang papa. Seorang wanita yang tengah hamil duduk di sebelah kiri dari pria tampan itu.Saga dan Melati memang tengah antri di dokter kandungan. Malam ini jadwal pemeriksaan kehamilannya yang ketiga. Makanya Saga mengusahakan pulang lebih awal, supaya bisa menemani sang istri ke dokter.Kehamilan Melati sudah memasuki usia lima bulan. Namun besar perutnya seperti tengah mengandung usia tujuh bulan. Sejak awal pemeriksaan, dokter sudah memberitahu kalau mereka akan memiliki bayi kembar. Dan pemeriksaan kali ini, mereka sepakat ingin mengetahui jenis kelamin kedua calon anak kembarnya.Bapaknya Melati juga terlahir kembar. Tapi kembarannya meninggal sehari setelah dilahirkan.Ketika diberitahu tengah mengandung janin kembar. Kebahagiaan Saga dan Melati tiada terlukiskan. Rasa syukur tiada tara di ucapkan nyaris setiap waktu. Janin kembar y