Share

Part 10 Keputusan 1

Alangkah lega hati Melati melihat motor Saga berada di bangunan terbuka tempat parkir kendaraan para pekerja. Berarti tadi malam Saga tidur di kantor.

"Mel," panggil seseorang yang membuat Melati menoleh. Wanita itu mencabut kontak motor dan menghampiri laki-laki yang berdiri di belakangnya. Saga masih memakai bajunya yang kemarin sore ia pakai.

"Kamu dari mana kemarin? Aku khawatir terjadi apa-apa sama kamu," omel Melati. "Papa juga gelisah kulihat tadi."

Saga tersenyum. Dia berdiri tegak dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jaketnya. "Barusan papa chat aku. Sudah kubalas."

"Kamu nggak bilang ya pas kemarin mau pergi?"

"Aku cuman bilang mau ke luar sebentar." Saga tidak mungkin akan memberitahu papanya kalau dia pergi ke kota. Kecuali kondisinya sudah kembali pulih. Andai ada preman yang biasa mengusiknya, ia bisa mempertahankan diri.

"Kamu sudah sarapan?"

"Sudah. Dibuatkan nasi goreng oleh Mak Radi tadi. Mas Akbar mana, apa nggak ke kebun dia?"

"Mas Akbar pamitan ke luar tadi," jawab Melati sambil melangkah ke arah kantor.

"Ke mana?"

Melati mengangkat bahunya, tanda tidak tahu. "Mungkin mencari kekasihnya."

Saga berdecak lirih, kemudian duduk di kursi depan Melati. Saga tidak habis pikir dengan sikap sang kakak yang menurutnya sudah sangat keterlaluan terhadap istrinya.

"Kamu sabar banget sih, Mel."

"Aku belajar dari kamu kan, Ga."

"Kasus kita beda."

"Siapa bilang. Kita butuh kesabaran yang sama. Kamu sesabar itu menghadapi sikap orang-orang yang notabene keluargamu sendiri."

Melati ingat, kerabat dari pihak Mama Rista memang tidak ada yang menyukai Saga. Mereka bersikap tidak peduli pada pria tampan di hadapannya. Bukan tak peduli, tapi benci.

"Kalau kamu menganggapku bodoh, apa bedanya sama kamu, Ga. Yang hanya diam dan diam."

"Oke, berarti sebenarnya kita sama-sama bodoh, 'kan?"

Keduanya tertawa. Tawa yang memecah hening pagi itu. Tawa getir yang berderai.

Saga bangkit dari duduknya dan duduk di depan komputer. Menyalakan benda itu dan menunggu beberapa saat untuk mencari file yang di simpannya. Hari ini ada pengiriman teh yang di kemas kemarin.

"Kalau aku dibenci karena anak pelakor, itu wajar, Mel. Mereka menganggap ibuku merebut suami orang. Dan anak yang dikandungnya juga dapat imbasnya, itu lumrah. Yang nggak wajar itu mereka yang memperlakukan kamu seperti itu. Apa salahmu?"

Melati mengalihkan perhatian pada layar komputer. Apa salahnya? Entahlah. Melati juga tidak tahu. Mungkin karena Melati kurang cantik dan kampungan. Akbar malu mengenalkannya dengan rekan-rekan bisnisnya. Mungkin, mungkin saja begitu. Banyak sekali andaian di kepalanya karena sikap Akbar yang tega menduakannya. Sampai hal paling konyol masuk dalam andaian pemikirannya.

"Tapi aku heran, Ga. Tiga puluh tahun bukan waktu yang singkat. Kenapa dendam masih bersemayam untukmu yang tidak tahu apa-apa."

Saga memandang ke arah Melati. Dia pun tidak tahu kenapa mama tirinya sampai sedendam itu. Tapi Saga menganggap biasa, karena ibunya pernah menjadi duri dalam pernikahan mereka. Imbasnya sekarang ia terima. Namun, apakah ia harus membenci ibunya yang telah melahirkan dan membuatnya menghadapi hal ini sendirian?

Ketika masih remaja dulu, dia sering merasa tertekan. Tetapi sekarang, setelah usianya semakin dewasa, Saga tidak peduli semuanya. Dia bertahan karena masih ada papanya di sana. Yang memprihatinkan sekarang adalah nasib sahabatnya sejak kecil. Perempuan bermata bening yang berada di depannya sekarang.

"Kenapa kau mandangin aku seperti itu?" tegur Melati.

"Kamu masih ingat ibuku, Mel?"

"Masih. Walaupun nggak banyak yang bisa kuingat, Ga. Selain beliau sering bertemu ibuku dan menangis."

"Waktu itu kamu masih sangat kecil." Saga menggeser duduknya mendekati jendela. Dari sana ia melihat beberapa pemetik teh masih bekerja. Mereka memang datang pagi-pagi sekali, karena kualitas teh terbaik akan di dapat sebelum matahari meninggi.

"Ibuku menderita karena pilihan hidupnya. Kamu jangan sampai mengalaminya, walaupun konteksnya berbeda. Ibuku memang perebut suami orang. Selamanya predikat itu akan melekat padanya meski telah tiada. Sementara posisimu di sini sebagai istrinya Mas Akbar."

"Nggak selamanya wanita kedua disebut pelakor, Ga."

Saga tersenyum kecut. "Aku tidak tahu. Tapi kalau ibuku tak salah, kenapa Mama Rista membenciku sampai sekarang?"

Melati tidak menjawab. Terlepas segala kesalahan yang dilemparkan pada ibunya Saga, Melati tahu sosok Mama Rista seperti apa. Budhe Tami banyak cerita, kalau mama mertuanya itu memang sombong sejak dulu. Jarang mau berbaur dengan masyarakat desa. Tidak seperti papanya yang humble dan memasyarakat. "Maklum, Bu Rista kan anak orang kaya. Hidupnya sejak kecil di kota. Jadi masyarakat kecil seperti kami ini bukan levelnya. Kalau pun mau berteman, dia pilih-pilih juga, Mel." Itu cerita Budhe Tami dulu. Melati masih mengingatnya.

"Itu kisah masa lalu mereka, Ga. Nggak usah kamu jadikan beban."

"Harusnya begitu. Aku juga nggak mungkin membenci ibuku karena masalah ini."

"Bu Ariani ibu yang melahirkanmu. Dia sangat mencintaimu. Ingat kan bagaimana beliau menyayangimu ketika kamu masih kecil. Padahal kamu bandel banget saat itu."

Saga tersenyum. Manis sekali senyumnya saat mengingat sosok wanita cantik dengan hidungnya yang runcing. Ia ingat masa kecilnya. Ingat ibu yang sabar dengan kebandelannya.

Laki-laki itu kembali duduk di kursinya. Menatap layar komputer. Dia berharap bahwa Melati tidak akan mengalami masib seperti ibunya. Dimusuhi kendati sudah mengalah dan sadar akan posisinya sebagai istri kedua. Ketika minta cerai, juga tidak diceraikan oleh papanya. Saga masih ingat saat sang papa menangis sambil memeluk ibunya. Lelaki itu bilang, "Aku mencintaimu, aku mencintai Saga. Jangan pergi, Ariani."

Entahlah, cinta seperti apa itu. Aneh dengan orang-orang yang dengan mudahnya bilang cinta, di antara cintanya yang lain. Papa juga kakaknya. Apa yang sebenarnya dicari dalam hidup? Bukankah ketenangan yang didambakan. Nyatanya mereka mencari kesulitan untuk hidupnya sendiri.

Saga memandang ke arah meja Ana yang masih kosong. "Ana tak masuk kerja, Mel?"

"Enggak. Dia sudah bilang kemarin. Mau menghadiri pernikahan temannya pagi ini."

"Kalau gitu buatkan Surat Pemberitahuan Pengiriman Barang. Aku mau ngecek ke gudang dulu." Saga berdiri dari duduknya.

"Ini sedang aku buat. Oh ya, kamu belum mandi, kan?"

"Kenapa? Bau, ya?" tanya Saga berhenti di dekat pintu keluar.

"Enggak, sih. Tapi apa kamu nggak pulang dulu untuk mandi?"

"Orang ganteng tak mandi pun tetap ganteng, Mel."

"Hilih, makanya nggak dapat cewek selama ini. Orang kamunya malas mandi."

Saga tertawa, lantas melangkah ke luar. Melati menatap punggung cowok yang tinggi badannya lebih dari 180 cm, melangkah menuju gudang. Kemudian ia kembali fokus melanjutkan membuat surat.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
penasaran sama kisah masa lalu ortunya Saga... apa mungkin bu Rista sama pak Norman dijodohkan?
goodnovel comment avatar
Indah Wirdianingsih
melati jodohkan saja dengan saga kak lis cocok mereka berdua
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status