Alangkah lega hati Melati melihat motor Saga berada di bangunan terbuka tempat parkir kendaraan para pekerja. Berarti tadi malam Saga tidur di kantor.
"Mel," panggil seseorang yang membuat Melati menoleh. Wanita itu mencabut kontak motor dan menghampiri laki-laki yang berdiri di belakangnya. Saga masih memakai bajunya yang kemarin sore ia pakai."Kamu dari mana kemarin? Aku khawatir terjadi apa-apa sama kamu," omel Melati. "Papa juga gelisah kulihat tadi."Saga tersenyum. Dia berdiri tegak dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jaketnya. "Barusan papa chat aku. Sudah kubalas.""Kamu nggak bilang ya pas kemarin mau pergi?""Aku cuman bilang mau ke luar sebentar." Saga tidak mungkin akan memberitahu papanya kalau dia pergi ke kota. Kecuali kondisinya sudah kembali pulih. Andai ada preman yang biasa mengusiknya, ia bisa mempertahankan diri."Kamu sudah sarapan?""Sudah. Dibuatkan nasi goreng oleh Mak Radi tadi. Mas Akbar mana, apa nggak ke kebun dia?""Mas Akbar pamitan ke luar tadi," jawab Melati sambil melangkah ke arah kantor."Ke mana?"Melati mengangkat bahunya, tanda tidak tahu. "Mungkin mencari kekasihnya."Saga berdecak lirih, kemudian duduk di kursi depan Melati. Saga tidak habis pikir dengan sikap sang kakak yang menurutnya sudah sangat keterlaluan terhadap istrinya."Kamu sabar banget sih, Mel.""Aku belajar dari kamu kan, Ga.""Kasus kita beda.""Siapa bilang. Kita butuh kesabaran yang sama. Kamu sesabar itu menghadapi sikap orang-orang yang notabene keluargamu sendiri."Melati ingat, kerabat dari pihak Mama Rista memang tidak ada yang menyukai Saga. Mereka bersikap tidak peduli pada pria tampan di hadapannya. Bukan tak peduli, tapi benci."Kalau kamu menganggapku bodoh, apa bedanya sama kamu, Ga. Yang hanya diam dan diam.""Oke, berarti sebenarnya kita sama-sama bodoh, 'kan?"Keduanya tertawa. Tawa yang memecah hening pagi itu. Tawa getir yang berderai.Saga bangkit dari duduknya dan duduk di depan komputer. Menyalakan benda itu dan menunggu beberapa saat untuk mencari file yang di simpannya. Hari ini ada pengiriman teh yang di kemas kemarin."Kalau aku dibenci karena anak pelakor, itu wajar, Mel. Mereka menganggap ibuku merebut suami orang. Dan anak yang dikandungnya juga dapat imbasnya, itu lumrah. Yang nggak wajar itu mereka yang memperlakukan kamu seperti itu. Apa salahmu?"Melati mengalihkan perhatian pada layar komputer. Apa salahnya? Entahlah. Melati juga tidak tahu. Mungkin karena Melati kurang cantik dan kampungan. Akbar malu mengenalkannya dengan rekan-rekan bisnisnya. Mungkin, mungkin saja begitu. Banyak sekali andaian di kepalanya karena sikap Akbar yang tega menduakannya. Sampai hal paling konyol masuk dalam andaian pemikirannya."Tapi aku heran, Ga. Tiga puluh tahun bukan waktu yang singkat. Kenapa dendam masih bersemayam untukmu yang tidak tahu apa-apa."Saga memandang ke arah Melati. Dia pun tidak tahu kenapa mama tirinya sampai sedendam itu. Tapi Saga menganggap biasa, karena ibunya pernah menjadi duri dalam pernikahan mereka. Imbasnya sekarang ia terima. Namun, apakah ia harus membenci ibunya yang telah melahirkan dan membuatnya menghadapi hal ini sendirian?Ketika masih remaja dulu, dia sering merasa tertekan. Tetapi sekarang, setelah usianya semakin dewasa, Saga tidak peduli semuanya. Dia bertahan karena masih ada papanya di sana. Yang memprihatinkan sekarang adalah nasib sahabatnya sejak kecil. Perempuan bermata bening yang berada di depannya sekarang."Kenapa kau mandangin aku seperti itu?" tegur Melati."Kamu masih ingat ibuku, Mel?""Masih. Walaupun nggak banyak yang bisa kuingat, Ga. Selain beliau sering bertemu ibuku dan menangis.""Waktu itu kamu masih sangat kecil." Saga menggeser duduknya mendekati jendela. Dari sana ia melihat beberapa pemetik teh masih bekerja. Mereka memang datang pagi-pagi sekali, karena kualitas teh terbaik akan di dapat sebelum matahari meninggi."Ibuku menderita karena pilihan hidupnya. Kamu jangan sampai mengalaminya, walaupun konteksnya berbeda. Ibuku memang perebut suami orang. Selamanya predikat itu akan melekat padanya meski telah tiada. Sementara posisimu di sini sebagai istrinya Mas Akbar.""Nggak selamanya wanita kedua disebut pelakor, Ga."Saga tersenyum kecut. "Aku tidak tahu. Tapi kalau ibuku tak salah, kenapa Mama Rista membenciku sampai sekarang?"Melati tidak menjawab. Terlepas segala kesalahan yang dilemparkan pada ibunya Saga, Melati tahu sosok Mama Rista seperti apa. Budhe Tami banyak cerita, kalau mama mertuanya itu memang sombong sejak dulu. Jarang mau berbaur dengan masyarakat desa. Tidak seperti papanya yang humble dan memasyarakat. "Maklum, Bu Rista kan anak orang kaya. Hidupnya sejak kecil di kota. Jadi masyarakat kecil seperti kami ini bukan levelnya. Kalau pun mau berteman, dia pilih-pilih juga, Mel." Itu cerita Budhe Tami dulu. Melati masih mengingatnya."Itu kisah masa lalu mereka, Ga. Nggak usah kamu jadikan beban.""Harusnya begitu. Aku juga nggak mungkin membenci ibuku karena masalah ini.""Bu Ariani ibu yang melahirkanmu. Dia sangat mencintaimu. Ingat kan bagaimana beliau menyayangimu ketika kamu masih kecil. Padahal kamu bandel banget saat itu."Saga tersenyum. Manis sekali senyumnya saat mengingat sosok wanita cantik dengan hidungnya yang runcing. Ia ingat masa kecilnya. Ingat ibu yang sabar dengan kebandelannya.Laki-laki itu kembali duduk di kursinya. Menatap layar komputer. Dia berharap bahwa Melati tidak akan mengalami masib seperti ibunya. Dimusuhi kendati sudah mengalah dan sadar akan posisinya sebagai istri kedua. Ketika minta cerai, juga tidak diceraikan oleh papanya. Saga masih ingat saat sang papa menangis sambil memeluk ibunya. Lelaki itu bilang, "Aku mencintaimu, aku mencintai Saga. Jangan pergi, Ariani."Entahlah, cinta seperti apa itu. Aneh dengan orang-orang yang dengan mudahnya bilang cinta, di antara cintanya yang lain. Papa juga kakaknya. Apa yang sebenarnya dicari dalam hidup? Bukankah ketenangan yang didambakan. Nyatanya mereka mencari kesulitan untuk hidupnya sendiri.Saga memandang ke arah meja Ana yang masih kosong. "Ana tak masuk kerja, Mel?""Enggak. Dia sudah bilang kemarin. Mau menghadiri pernikahan temannya pagi ini.""Kalau gitu buatkan Surat Pemberitahuan Pengiriman Barang. Aku mau ngecek ke gudang dulu." Saga berdiri dari duduknya."Ini sedang aku buat. Oh ya, kamu belum mandi, kan?""Kenapa? Bau, ya?" tanya Saga berhenti di dekat pintu keluar."Enggak, sih. Tapi apa kamu nggak pulang dulu untuk mandi?""Orang ganteng tak mandi pun tetap ganteng, Mel.""Hilih, makanya nggak dapat cewek selama ini. Orang kamunya malas mandi."Saga tertawa, lantas melangkah ke luar. Melati menatap punggung cowok yang tinggi badannya lebih dari 180 cm, melangkah menuju gudang. Kemudian ia kembali fokus melanjutkan membuat surat.Hening. Dia sendirian di kantor. Di luar sana, terdengar canda tawa para pekerja. Pemetik teh kebanyakan kaum ibu-ibu, para warga desa. Perempuan memang lebih telaten. Pemetikan tidak boleh dilakukan sembarangan, karena bisa mempengaruhi rasa teh. Itulah kenapa papa mertuanya tidak suka memetik daun teh dengan cara semi mekanis, menggunakan waring atau gunting. Terlebih menghindari pemakaian mesin petik. Sejak dulu pemetikan teh dilakukan secara manual menggunakan tangan.Sampai siang Melati sibuk sendirian di kantor. Saga juga sibuk bolak-balik antara gudang dan kantor. Apalagi tiga hari lagi, waktunya gajian untuk para karyawan.Tepat jam makan siang Akbar baru kembali. Pria itu tersenyum pada Melati yang tengah makan di mejanya. Dikecupnya puncak kepala sang istri. Siang ini sikap Akbar sangat manis. Bahkan ikut makan satu piring dengannya sambil ngobrol."Jam berapa truk berangkat tadi?""Masih pagi, Mas. Nasinya mau tambah lagi?"Akbar mengangguk. Melati menambah satu centong na
"Kamu serius, Nduk?" tanya Budhe Tami.Melati mengangguk mantap. Kemudian menceritakan serentetan peristiwa dalam beberapa hari ini. Sepulangnya dia dari rumah budhenya empat hari yang lalu."Budhe ganti baju dulu." Wanita itu masuk ke dalam rumah.Sementara Melati memperhatikan sekeliling. Di sebelah rumah budhe, ada rumah lama yang masih sangat terawat. Melati melangkah ke sana. Ke rumah peninggalan kedua orang tuanya. Walaupun banyak dindingnya yang sudah mengelupas, tapi rumah itu selalu bersih dari dedaunan kering dan rumput liar. Tiap malam lampu juga dinyalakan.Melati hanya berdiri di emperan. Memperhatikan rimbunan bunga melati di halaman depan dan samping sebelah kanan rumah. Mungkin nanti setelah bercerai dia akan kembali menempati rumah itu. Bisa juga menemani budhenya. Atau merantau jauh untuk sementara. Mencari bekal untuk masa depannya juga Moana.Dihelanya napas panjang. Beberapa hari ini dia sudah memikirkannya. Nara sudah ketemu. Dan dia sering mendengar Akbar menelp
"Kamu dari mana, Mel?" tanya Saga ketika Melati masuk ke kantor. Ana yang sudah duduk di meja kerjanya juga memandang ke arah saudaranya."Ada urusan sebentar," jawab Melati lalu duduk di kursinya. Kemudian membuka buku besar, catatan absensi para karyawan. Mereka tidak boleh salah menghitung bayaran."Hari ini orang-orang gajian, Ga. Mas Akbar nggak di rumah." Melati bicara pada Saga. "Uangnya sudah kubawa semua. Memangnya Mas Akbar pergi ke mana?""Aku nggak tahu. Apa kamu tadi juga nggak nanya?""Dia cuman bilang mau ke luar."Hening. Mereka kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Bunyi keyboard, suara mouse, dan desir angin yang mendominasi pesekitaran kantor. Hingga seorang pekerja datang memberitahu Saga kalau ada tamu yang menunggu di ruang tamu dekat gudang.Tinggal Melati dan Ana dalam ruangan. "Mbak, kamu tadi dari mana?" tanya Ana lirih. "Ada urusan sebentar," jawab Melati. Sesuai dengan apa yang dikatakan dengan Budhe Tami tadi. Dia tidak akan memberitahu siapapun
Akbar baru saja meletakkan ponselnya ketika Melati masuk kamar. Wanita itu menaruh teh di atas meja kecil pojok ruangan. "Tehnya, Mas,"ucapnya tanpa menoleh pada sang suami. Lalu mengambil pakaian kotor di keranjang dan membawanya turun. Perasaannya makin porak-poranda. Dalam hati terasa ada benda yang menyumbat, menyesakkan nafasnya."Mel, kamu sakit," tegur Saga saat Melati lewat hendak ke belakang. Tempat para asisten rumah tangga mengerjakan cucian."Aku nggak apa-apa.""Kamu tampak pucat."Melati berhenti dan memandang adik iparnya. "Aku nggak apa-apa, Ga," ulang Melati sambil tersenyum, lantas melangkah lagi ke belakang.Saga memandang ke arah tangga. Kakaknya baru saja pulang, apa mereka kembali ribut. Kalau saja tidak ingat larangan Melati, mungkin sudah dihajarnya sang kakak sejak terang-terangan menyampaikan niatnya untuk menikah lagi waktu itu. Dia tidak peduli akan nasibnya sendiri setelahnya. Toh, sejak kecil sudah menjadi anak terbuang dan tersisihkan. Jika membela Melat
Jadi, sebenarnya dia menjauh selama ini bukan ingin mundur. Tapi ada rencana lain yang tengah di susunnya. Jika kemarin Nara tidak ingin dinikahi secara siri, kali ini malah menginginkan menjadi istri satu-satunya. Kalau kemarin Akbar berani terang-terangan, kali ini dia memilih backstreet karena Melati sudah bilang ingin bercerai jika Akbar kembali menemukan Nara dan melanjutkan hubungan mereka. Atau Akbar masih menunggu waktu yang tepat untuk membicarakan hal itu padanya."Serius banget, Mas. Dari relasi, ya," tegur Melati saat Akbar sibuk dengan ponselnya.Pria itu tersenyum lantas meletakkan ponselnya di atas meja. Tidak menjawab ucapan sang istri."Ingat nggak kita mas ngajak kamu lunch di tempat ini?" "Tentu aku masih ingat," jawab Melati sebiasa mungkin meski isi kepalanya terasa hampir meledak. Kata-kata manis itu hanya omong kosong belaka sekarang. Ia coba mengingat apa saja yang pernah membuat mereka bahagia selama ini, agar hatinya bisa terkendali dengan baik dan rencanany
Melati sedang membuat susu untuk Moana di dapur ketika Saga menenteng helmnya keluar lewat pintu belakang. Lelaki itu memakai celana jeans warna hitam, jaket kulit, dan sneaker warna serupa."Sepagi ini kamu berangkat ke Surabaya?" tanya Melati lirih. Di dapur memang ada mbok Sarwi, tapi perempuan itu bisa lebih dipercaya daripada Mbok Kiyem yang sangat dekat dengan mama mertuanya."Biar aku bisa cepat pulang," jawab Saga sambil memakai sarung tangannya. "Kamu sudah pamitan sama papa?"Saga menggeleng. "Nanti saja di tengah perjalanan, aku berhenti untuk meneleponnya. Jangan bilang sama siapapun kalau aku menemui Alita.""Oke. Hati-hati kalau gitu.""Makasih, Mel.""Semoga usahamu dipermudah. Alita nggak mempermasalahkan apapun tentangmu."Saga tersenyum samar, lantas melangkah ke luar setelah pamitan dengan Mbok Sarwi yang tengah memotong sayur."Hati-hati, Mas Saga," ucap perempuan itu tulus. Dia yang selama ini memiliki rasa welas asih pada Saga, yang mengurus makan, pakaian, dan
"Ayo, masuk!" Gadis itu membuka pintu pagar lebar-lebar. Saga langsung membawa motornya masuk garasi terbuka di samping rumah. Melepaskan helm dan sarung tangan, baru turun dari motornya."Nggak ada orang di rumah, hanya aku sama si Mbak saja," kata Alita setelah mengajak Saga duduk di ruang tamu."Ke mana Om dan Tante?""Ke Tuban. Entar malam baru pulang.""Padahal aku pengen juga bertemu dengan mereka.""Papa mamaku dah tahu kamu ke mari hari ini. Cuman kebetulan mereka juga harus menghadiri nikahan anak dari teman kantornya Papa."Dari dalam muncul wanita umur empat puluhan membawa nampan berisi secangkir kopi, teh, dan sepiring Lapis Surabaya. Menaruhnya di atas meja, kemudian permisi dan kembali ke belakang."Dari kemarin aku penasaran sih, apa yang mau kamu omongin."Saga meraih cangkir dan menyesap sedikit tehnya. "Kamu sebenarnya nggak tahu banyak tentang aku, Ta. Yang kamu tahu selama ini, aku anak pemilik perkebunan, anak dari istri nomer dua." Saga memulai bercerita. Apa y
"Kamu kenapa, Mel?" tanya Saga ketika melihat Melati tampak hanya melamun sejak pagi tadi. Bahkan matanya memerah saat melihat melihat ponselnya."Hei, kamu kenapa?" ulang Saga seraya duduk di kursi depan Melati."Aku nggak apa-apa.""Enggaklah, pasti ada sesuatu." Saga tidak percaya. Apalagi ia sempat curiga dengan kepergian kakak dan mama tirinya tadi pagi. Saat ia bertanya pada sang papa, lelaki itu hanya bilang ada urusan di luar."Mel, kamu nggak percaya padaku lagi?""Bukan masalah percaya atau nggak, Ga. Tapi memang aku baik-baik saja," jawab Melati yang membuat Ana pun heran.Saga hendak mendesak Melati untuk cerita, tapi sayangnya ada mobil papanya datang. Seminggu sekali Pak Norman selalu menyambangi kebun di antar oleh sopirnya. "Aku temui papa dulu," pamit Saga pada Melati, kemudian bangkit dan pergi."Ada apa sih, Mbak?" ganti tanya Ana.Melati menarik napas dalam-dalam, untuk menghalau sesak dalam dadanya. Ia menunjukkan foto pernikahan Akbar dengan Nara, foto yang dikir