Alangkah lega hati Melati melihat motor Saga berada di bangunan terbuka tempat parkir kendaraan para pekerja. Berarti tadi malam Saga tidur di kantor.
"Mel," panggil seseorang yang membuat Melati menoleh. Wanita itu mencabut kontak motor dan menghampiri laki-laki yang berdiri di belakangnya. Saga masih memakai bajunya yang kemarin sore ia pakai."Kamu dari mana kemarin? Aku khawatir terjadi apa-apa sama kamu," omel Melati. "Papa juga gelisah kulihat tadi."Saga tersenyum. Dia berdiri tegak dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jaketnya. "Barusan papa chat aku. Sudah kubalas.""Kamu nggak bilang ya pas kemarin mau pergi?""Aku cuman bilang mau ke luar sebentar." Saga tidak mungkin akan memberitahu papanya kalau dia pergi ke kota. Kecuali kondisinya sudah kembali pulih. Andai ada preman yang biasa mengusiknya, ia bisa mempertahankan diri."Kamu sudah sarapan?""Sudah. Dibuatkan nasi goreng oleh Mak Radi tadi. Mas Akbar mana, apa nggak ke kebun dia?""Mas Akbar pamitan ke luar tadi," jawab Melati sambil melangkah ke arah kantor."Ke mana?"Melati mengangkat bahunya, tanda tidak tahu. "Mungkin mencari kekasihnya."Saga berdecak lirih, kemudian duduk di kursi depan Melati. Saga tidak habis pikir dengan sikap sang kakak yang menurutnya sudah sangat keterlaluan terhadap istrinya."Kamu sabar banget sih, Mel.""Aku belajar dari kamu kan, Ga.""Kasus kita beda.""Siapa bilang. Kita butuh kesabaran yang sama. Kamu sesabar itu menghadapi sikap orang-orang yang notabene keluargamu sendiri."Melati ingat, kerabat dari pihak Mama Rista memang tidak ada yang menyukai Saga. Mereka bersikap tidak peduli pada pria tampan di hadapannya. Bukan tak peduli, tapi benci."Kalau kamu menganggapku bodoh, apa bedanya sama kamu, Ga. Yang hanya diam dan diam.""Oke, berarti sebenarnya kita sama-sama bodoh, 'kan?"Keduanya tertawa. Tawa yang memecah hening pagi itu. Tawa getir yang berderai.Saga bangkit dari duduknya dan duduk di depan komputer. Menyalakan benda itu dan menunggu beberapa saat untuk mencari file yang di simpannya. Hari ini ada pengiriman teh yang di kemas kemarin."Kalau aku dibenci karena anak pelakor, itu wajar, Mel. Mereka menganggap ibuku merebut suami orang. Dan anak yang dikandungnya juga dapat imbasnya, itu lumrah. Yang nggak wajar itu mereka yang memperlakukan kamu seperti itu. Apa salahmu?"Melati mengalihkan perhatian pada layar komputer. Apa salahnya? Entahlah. Melati juga tidak tahu. Mungkin karena Melati kurang cantik dan kampungan. Akbar malu mengenalkannya dengan rekan-rekan bisnisnya. Mungkin, mungkin saja begitu. Banyak sekali andaian di kepalanya karena sikap Akbar yang tega menduakannya. Sampai hal paling konyol masuk dalam andaian pemikirannya."Tapi aku heran, Ga. Tiga puluh tahun bukan waktu yang singkat. Kenapa dendam masih bersemayam untukmu yang tidak tahu apa-apa."Saga memandang ke arah Melati. Dia pun tidak tahu kenapa mama tirinya sampai sedendam itu. Tapi Saga menganggap biasa, karena ibunya pernah menjadi duri dalam pernikahan mereka. Imbasnya sekarang ia terima. Namun, apakah ia harus membenci ibunya yang telah melahirkan dan membuatnya menghadapi hal ini sendirian?Ketika masih remaja dulu, dia sering merasa tertekan. Tetapi sekarang, setelah usianya semakin dewasa, Saga tidak peduli semuanya. Dia bertahan karena masih ada papanya di sana. Yang memprihatinkan sekarang adalah nasib sahabatnya sejak kecil. Perempuan bermata bening yang berada di depannya sekarang."Kenapa kau mandangin aku seperti itu?" tegur Melati."Kamu masih ingat ibuku, Mel?""Masih. Walaupun nggak banyak yang bisa kuingat, Ga. Selain beliau sering bertemu ibuku dan menangis.""Waktu itu kamu masih sangat kecil." Saga menggeser duduknya mendekati jendela. Dari sana ia melihat beberapa pemetik teh masih bekerja. Mereka memang datang pagi-pagi sekali, karena kualitas teh terbaik akan di dapat sebelum matahari meninggi."Ibuku menderita karena pilihan hidupnya. Kamu jangan sampai mengalaminya, walaupun konteksnya berbeda. Ibuku memang perebut suami orang. Selamanya predikat itu akan melekat padanya meski telah tiada. Sementara posisimu di sini sebagai istrinya Mas Akbar.""Nggak selamanya wanita kedua disebut pelakor, Ga."Saga tersenyum kecut. "Aku tidak tahu. Tapi kalau ibuku tak salah, kenapa Mama Rista membenciku sampai sekarang?"Melati tidak menjawab. Terlepas segala kesalahan yang dilemparkan pada ibunya Saga, Melati tahu sosok Mama Rista seperti apa. Budhe Tami banyak cerita, kalau mama mertuanya itu memang sombong sejak dulu. Jarang mau berbaur dengan masyarakat desa. Tidak seperti papanya yang humble dan memasyarakat. "Maklum, Bu Rista kan anak orang kaya. Hidupnya sejak kecil di kota. Jadi masyarakat kecil seperti kami ini bukan levelnya. Kalau pun mau berteman, dia pilih-pilih juga, Mel." Itu cerita Budhe Tami dulu. Melati masih mengingatnya."Itu kisah masa lalu mereka, Ga. Nggak usah kamu jadikan beban.""Harusnya begitu. Aku juga nggak mungkin membenci ibuku karena masalah ini.""Bu Ariani ibu yang melahirkanmu. Dia sangat mencintaimu. Ingat kan bagaimana beliau menyayangimu ketika kamu masih kecil. Padahal kamu bandel banget saat itu."Saga tersenyum. Manis sekali senyumnya saat mengingat sosok wanita cantik dengan hidungnya yang runcing. Ia ingat masa kecilnya. Ingat ibu yang sabar dengan kebandelannya.Laki-laki itu kembali duduk di kursinya. Menatap layar komputer. Dia berharap bahwa Melati tidak akan mengalami masib seperti ibunya. Dimusuhi kendati sudah mengalah dan sadar akan posisinya sebagai istri kedua. Ketika minta cerai, juga tidak diceraikan oleh papanya. Saga masih ingat saat sang papa menangis sambil memeluk ibunya. Lelaki itu bilang, "Aku mencintaimu, aku mencintai Saga. Jangan pergi, Ariani."Entahlah, cinta seperti apa itu. Aneh dengan orang-orang yang dengan mudahnya bilang cinta, di antara cintanya yang lain. Papa juga kakaknya. Apa yang sebenarnya dicari dalam hidup? Bukankah ketenangan yang didambakan. Nyatanya mereka mencari kesulitan untuk hidupnya sendiri.Saga memandang ke arah meja Ana yang masih kosong. "Ana tak masuk kerja, Mel?""Enggak. Dia sudah bilang kemarin. Mau menghadiri pernikahan temannya pagi ini.""Kalau gitu buatkan Surat Pemberitahuan Pengiriman Barang. Aku mau ngecek ke gudang dulu." Saga berdiri dari duduknya."Ini sedang aku buat. Oh ya, kamu belum mandi, kan?""Kenapa? Bau, ya?" tanya Saga berhenti di dekat pintu keluar."Enggak, sih. Tapi apa kamu nggak pulang dulu untuk mandi?""Orang ganteng tak mandi pun tetap ganteng, Mel.""Hilih, makanya nggak dapat cewek selama ini. Orang kamunya malas mandi."Saga tertawa, lantas melangkah ke luar. Melati menatap punggung cowok yang tinggi badannya lebih dari 180 cm, melangkah menuju gudang. Kemudian ia kembali fokus melanjutkan membuat surat.Hening. Dia sendirian di kantor. Di luar sana, terdengar canda tawa para pekerja. Pemetik teh kebanyakan kaum ibu-ibu, para warga desa. Perempuan memang lebih telaten. Pemetikan tidak boleh dilakukan sembarangan, karena bisa mempengaruhi rasa teh. Itulah kenapa papa mertuanya tidak suka memetik daun teh dengan cara semi mekanis, menggunakan waring atau gunting. Terlebih menghindari pemakaian mesin petik. Sejak dulu pemetikan teh dilakukan secara manual menggunakan tangan.Sampai siang Melati sibuk sendirian di kantor. Saga juga sibuk bolak-balik antara gudang dan kantor. Apalagi tiga hari lagi, waktunya gajian untuk para karyawan.Tepat jam makan siang Akbar baru kembali. Pria itu tersenyum pada Melati yang tengah makan di mejanya. Dikecupnya puncak kepala sang istri. Siang ini sikap Akbar sangat manis. Bahkan ikut makan satu piring dengannya sambil ngobrol."Jam berapa truk berangkat tadi?""Masih pagi, Mas. Nasinya mau tambah lagi?"Akbar mengangguk. Melati menambah satu centong na
"Kamu serius, Nduk?" tanya Budhe Tami.Melati mengangguk mantap. Kemudian menceritakan serentetan peristiwa dalam beberapa hari ini. Sepulangnya dia dari rumah budhenya empat hari yang lalu."Budhe ganti baju dulu." Wanita itu masuk ke dalam rumah.Sementara Melati memperhatikan sekeliling. Di sebelah rumah budhe, ada rumah lama yang masih sangat terawat. Melati melangkah ke sana. Ke rumah peninggalan kedua orang tuanya. Walaupun banyak dindingnya yang sudah mengelupas, tapi rumah itu selalu bersih dari dedaunan kering dan rumput liar. Tiap malam lampu juga dinyalakan.Melati hanya berdiri di emperan. Memperhatikan rimbunan bunga melati di halaman depan dan samping sebelah kanan rumah. Mungkin nanti setelah bercerai dia akan kembali menempati rumah itu. Bisa juga menemani budhenya. Atau merantau jauh untuk sementara. Mencari bekal untuk masa depannya juga Moana.Dihelanya napas panjang. Beberapa hari ini dia sudah memikirkannya. Nara sudah ketemu. Dan dia sering mendengar Akbar menelp
"Kamu dari mana, Mel?" tanya Saga ketika Melati masuk ke kantor. Ana yang sudah duduk di meja kerjanya juga memandang ke arah saudaranya."Ada urusan sebentar," jawab Melati lalu duduk di kursinya. Kemudian membuka buku besar, catatan absensi para karyawan. Mereka tidak boleh salah menghitung bayaran."Hari ini orang-orang gajian, Ga. Mas Akbar nggak di rumah." Melati bicara pada Saga. "Uangnya sudah kubawa semua. Memangnya Mas Akbar pergi ke mana?""Aku nggak tahu. Apa kamu tadi juga nggak nanya?""Dia cuman bilang mau ke luar."Hening. Mereka kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Bunyi keyboard, suara mouse, dan desir angin yang mendominasi pesekitaran kantor. Hingga seorang pekerja datang memberitahu Saga kalau ada tamu yang menunggu di ruang tamu dekat gudang.Tinggal Melati dan Ana dalam ruangan. "Mbak, kamu tadi dari mana?" tanya Ana lirih. "Ada urusan sebentar," jawab Melati. Sesuai dengan apa yang dikatakan dengan Budhe Tami tadi. Dia tidak akan memberitahu siapapun
Akbar baru saja meletakkan ponselnya ketika Melati masuk kamar. Wanita itu menaruh teh di atas meja kecil pojok ruangan. "Tehnya, Mas,"ucapnya tanpa menoleh pada sang suami. Lalu mengambil pakaian kotor di keranjang dan membawanya turun. Perasaannya makin porak-poranda. Dalam hati terasa ada benda yang menyumbat, menyesakkan nafasnya."Mel, kamu sakit," tegur Saga saat Melati lewat hendak ke belakang. Tempat para asisten rumah tangga mengerjakan cucian."Aku nggak apa-apa.""Kamu tampak pucat."Melati berhenti dan memandang adik iparnya. "Aku nggak apa-apa, Ga," ulang Melati sambil tersenyum, lantas melangkah lagi ke belakang.Saga memandang ke arah tangga. Kakaknya baru saja pulang, apa mereka kembali ribut. Kalau saja tidak ingat larangan Melati, mungkin sudah dihajarnya sang kakak sejak terang-terangan menyampaikan niatnya untuk menikah lagi waktu itu. Dia tidak peduli akan nasibnya sendiri setelahnya. Toh, sejak kecil sudah menjadi anak terbuang dan tersisihkan. Jika membela Melat
Jadi, sebenarnya dia menjauh selama ini bukan ingin mundur. Tapi ada rencana lain yang tengah di susunnya. Jika kemarin Nara tidak ingin dinikahi secara siri, kali ini malah menginginkan menjadi istri satu-satunya. Kalau kemarin Akbar berani terang-terangan, kali ini dia memilih backstreet karena Melati sudah bilang ingin bercerai jika Akbar kembali menemukan Nara dan melanjutkan hubungan mereka. Atau Akbar masih menunggu waktu yang tepat untuk membicarakan hal itu padanya."Serius banget, Mas. Dari relasi, ya," tegur Melati saat Akbar sibuk dengan ponselnya.Pria itu tersenyum lantas meletakkan ponselnya di atas meja. Tidak menjawab ucapan sang istri."Ingat nggak kita mas ngajak kamu lunch di tempat ini?" "Tentu aku masih ingat," jawab Melati sebiasa mungkin meski isi kepalanya terasa hampir meledak. Kata-kata manis itu hanya omong kosong belaka sekarang. Ia coba mengingat apa saja yang pernah membuat mereka bahagia selama ini, agar hatinya bisa terkendali dengan baik dan rencanany
Melati sedang membuat susu untuk Moana di dapur ketika Saga menenteng helmnya keluar lewat pintu belakang. Lelaki itu memakai celana jeans warna hitam, jaket kulit, dan sneaker warna serupa."Sepagi ini kamu berangkat ke Surabaya?" tanya Melati lirih. Di dapur memang ada mbok Sarwi, tapi perempuan itu bisa lebih dipercaya daripada Mbok Kiyem yang sangat dekat dengan mama mertuanya."Biar aku bisa cepat pulang," jawab Saga sambil memakai sarung tangannya. "Kamu sudah pamitan sama papa?"Saga menggeleng. "Nanti saja di tengah perjalanan, aku berhenti untuk meneleponnya. Jangan bilang sama siapapun kalau aku menemui Alita.""Oke. Hati-hati kalau gitu.""Makasih, Mel.""Semoga usahamu dipermudah. Alita nggak mempermasalahkan apapun tentangmu."Saga tersenyum samar, lantas melangkah ke luar setelah pamitan dengan Mbok Sarwi yang tengah memotong sayur."Hati-hati, Mas Saga," ucap perempuan itu tulus. Dia yang selama ini memiliki rasa welas asih pada Saga, yang mengurus makan, pakaian, dan
"Ayo, masuk!" Gadis itu membuka pintu pagar lebar-lebar. Saga langsung membawa motornya masuk garasi terbuka di samping rumah. Melepaskan helm dan sarung tangan, baru turun dari motornya."Nggak ada orang di rumah, hanya aku sama si Mbak saja," kata Alita setelah mengajak Saga duduk di ruang tamu."Ke mana Om dan Tante?""Ke Tuban. Entar malam baru pulang.""Padahal aku pengen juga bertemu dengan mereka.""Papa mamaku dah tahu kamu ke mari hari ini. Cuman kebetulan mereka juga harus menghadiri nikahan anak dari teman kantornya Papa."Dari dalam muncul wanita umur empat puluhan membawa nampan berisi secangkir kopi, teh, dan sepiring Lapis Surabaya. Menaruhnya di atas meja, kemudian permisi dan kembali ke belakang."Dari kemarin aku penasaran sih, apa yang mau kamu omongin."Saga meraih cangkir dan menyesap sedikit tehnya. "Kamu sebenarnya nggak tahu banyak tentang aku, Ta. Yang kamu tahu selama ini, aku anak pemilik perkebunan, anak dari istri nomer dua." Saga memulai bercerita. Apa y
"Kamu kenapa, Mel?" tanya Saga ketika melihat Melati tampak hanya melamun sejak pagi tadi. Bahkan matanya memerah saat melihat melihat ponselnya."Hei, kamu kenapa?" ulang Saga seraya duduk di kursi depan Melati."Aku nggak apa-apa.""Enggaklah, pasti ada sesuatu." Saga tidak percaya. Apalagi ia sempat curiga dengan kepergian kakak dan mama tirinya tadi pagi. Saat ia bertanya pada sang papa, lelaki itu hanya bilang ada urusan di luar."Mel, kamu nggak percaya padaku lagi?""Bukan masalah percaya atau nggak, Ga. Tapi memang aku baik-baik saja," jawab Melati yang membuat Ana pun heran.Saga hendak mendesak Melati untuk cerita, tapi sayangnya ada mobil papanya datang. Seminggu sekali Pak Norman selalu menyambangi kebun di antar oleh sopirnya. "Aku temui papa dulu," pamit Saga pada Melati, kemudian bangkit dan pergi."Ada apa sih, Mbak?" ganti tanya Ana.Melati menarik napas dalam-dalam, untuk menghalau sesak dalam dadanya. Ia menunjukkan foto pernikahan Akbar dengan Nara, foto yang dikir
Saga meletakkan ponsel di jok samping. Beberapa kali membunyikan klakson tapi juga percuma. Kemacetan sudah memanjang mulai dari depan. Macet total karena ada perbaikan jalan. Bisa jalan hanya bergerak maju sendikit, lantas berhenti lagi.Sabar sabar. Ini bukan di film India yang dia bisa meninggalkan mobilnya di sana dan lari secepat Cetah yang melompat dari mobil ke mobil lainnya, bahkan melangkahi bangunan tinggi. Adegan film yang rasanya sangat mustahil dan tidak masuk akal itu, ingin rasanya di tiru saat ini.Melihat ponselnya kembali berpendar, membuat Saga menyambar benda itu. "Halo, Sayang. Bagaimana?""Aku sudah sampai rumah sakit, Mas. Barusan di periksa dokter.""Lalu ....""Ternyata ini sudah bukaan lima. Dan aku bisa lahiran normal.""Loh, katanya beresiko kalau lahiran normal? Mana dokternya biar mas ngomong sama dia.""Dokternya sudah kembali ke kantor. Katanya nggak apa-apa aku lahiran normal. Barusan di cek semua baik-baik saja. Tensiku juga normal. Mas, jangan khawati
Waktu yang Hilang- Best MomentSaga membantu Melati menyiapkan segala perlengkapan untuk persalinan Minggu depan. Dokter kandungan sudah menyarankan supaya Melati melahirkan secara cesar saja untuk persalinan bayi kembarnya. Melati menolak, tapi Saga memintanya untuk menyetujui. Mengingat dua bulan terakhir ini Melati dua kali opname karena demam tinggi. Minggu depan genap 38 minggu usia kehamilannya. Dokter kandungan sudah menetapkan jadwal operasi untuknya.Kedua janinnya sehat. Masing-masing memiliki plasenta dan air ketuban. Jadi sudah siap dilahirkan di Minggu ke 38."Budhe Tami sampai sini sekitar jam setengah tiga sore, Mas. Tadi siang beliau ngabari," kata Melati sambil melipat baju yang hendak di masukkan ke dalam travel bag."Oke, besok mas akan pulang lebih awal dan langsung jemput budhe ke stasiun."Budhe Tami memang akan menemani Melati pada persalinan nanti. Rencananya wanita itu akan tinggal di Jogja sampai si kembar umur selapan."Mulai besok nggak usah lama-lama di
Melati tersenyum. Jagoan kecilnya sudah tebar pesona. Melihat Shaka, ia jadi teringat masa kecil suaminya. Begitulah Saga waktu kecil. Tapi Shaka memang lebih bersih dan terawat, karena jarang bermain di kebun. Kalau Saga dulu, keluyuran di kebun sampai kulitnya lecet-lecet. Berenang di kali bersama teman-teman, termasuk dirinya juga. Melati paling kecil di antara mereka."Kenapa senyum-senyum?" senggol Saga."Aku ingat masa kecilmu, Mas."Saga hendak menggoda sang istri, tapi mereka dikejutkan oleh suara salam dari pintu depan."Itu Gama datang!" Bu Ariana bangkit dari duduknya dan melangkah ke ruang tamu. Wanita itu tercekat sejenak saat melihat Gama datang bersama seorang wanita tinggi semampai. Memakai celana bahan warna krem dan blouse warna putih. Diakah pacar Saga? Gadis itu tersenyum ramah dan mencium tangan Bu Ariana. "Selamat malam, Tante.""Selamat malam.""Namanya Alita, Bulek." Gama memperkenalkan gadis itu pada sang bulek. Membuat Bu Ariana kaget, tapi tidak menunjukkan
Waktu yang Hilang- Gama dan Perempuan ItuAkbar melongok ke luar jendela. Meninggalkan sejenak laptopnya untuk melihat apa yang tengah dilakukan oleh Moana dan Shaka di luar sana.Tampak dua bocah itu sedang duduk di bawah pohon mangga. Bermain masak-masakan. Moana menuangkan sesuatu dari teko kecil ke dalam cangkir mainan. Shaka lantas pura-pura meminumnya. "Manis?"Shaka mengangguk-angguk. Moana kemudian memberikan piring kecil berisi biji-bijian. "Di makan, ya!"Bocah laki-laki itu mengikuti perintah sang kakak. Pura-pura memakan benda di piring kecil yang sama sekali memang tidak boleh di konsumsi.Pertama kali diajak bermain masak-masakan oleh Moana, Shaka sempat bingung. Dia tidak pernah bermain seperti itu, bahkan melihatnya pun belum pernah, karena mainannya di rumah hanya mobil-mobilan, robot, puzzle, dan buku mewarnai.Akbar tersenyum melihat tingkah mereka. Bahagia karena mereka sangat rukun. Shaka juga penurut. Dia juga kerasan tinggal di Malang. Tapi di Jogja sana, Saga
Sebenarnya Melati berharap kalau Moana yang akan tinggal di Jogja selama liburan. Ternyata Shaka yang justru ingin ikut ke Malang. Baik Saga maupun Melati hanya khawatir kalau anak itu tiba-tiba rewel dan minta pulang. Sebab selama ini jarang sekali berjauhan dari kedua orang tuanya. Paling seharian main ke rumah Bu Ariana dan sorenya sudah di antar pulang."Lasmi kamu suruh ikut?""Ya, Bulek. Mak Lasmi sendiri juga pengen ke Malang.""Uti bakalan kangen sama kamu." Bu Ariana mengusap kepala Shaka."Uti, mau ikut?" Ah, malah ditawari pula."Enggak. Uti nunggu Shaka di sini saja."Bu Ariana mengusap permukaan perut Melati. "Kemarin jadi pergi ke dokter?""Ya.""Cowok apa cewek?""Cowok lagi dua-duanya," jawab Melati sambil tersenyum."MasyaAllah. Moana bakalan cantik sendiri."Melati tersenyum. Akbar yang duduk tidak jauh dari mereka mendengar jelas percakapan itu. Dia juga tidak sabar ingin segera melihat bayi kembar Melati lahir ke dunia. Dalam hati turut juga merasakan kebahagiaan i
Waktu yang Hilang- Terbongkarnya Rahasia "Aku paham bagaimana perasaan Mbak Melati, Mas. Dulu saja dia sempat stres saat berpisah dengan Moana, setelah kalian resmi bercerai." Tini berusaha memberikan pengertian pada Akbar. Sebab dia tahu betul bagaimana sedihnya Melati kala itu."Kamu tahu?""Ya, aku tahu." Tini menarik diri dan duduk tegak menghadap sang suami. "Maafkan aku. Dulu aku diam-diam membalas pesan yang dikirimkan Mbak Melati. Hampir tiap saat aku mengirimkan foto kegiatan Moana."Akbar juga menegakkan duduknya. Serius mendengarkan istrinya bicara. Baru kali ini ia tahu kenyataan yang sudah lewat kurang lebih empat tahun yang lalu."Aku nggak sampe hati melihat Mbak Melati menangis setiap hari dan menderita, Mas. Tiap malam telepon aku dengan suaranya yang serak. Aku bisa merasakan bagaimana sakitnya berpisah dari anak. Aku saja yang hanya pengasuh Moana, selalu terbayang-bayang jika aku izin pulang. "Dia cerita mengalami hal tersulit setelah meninggalkan Wonosari. Data
"Mas, cepetnya dapat buah ini!" Melati berbinar-binar melihat dua pack nectarin di atas meja makan setelah ia turun dari lantai dua.Saga tersenyum menghampiri. Tubuh laki-laki itu basah berkeringat setelah joging dan push up di teras samping.Melati membuka bungkusnya dan langsung meletakkan di wadah untuk dicuci. Kembali duduk dan menikmati buah yang semalam membuatnya ngiler saat melihat review seorang food vlogger."Sayang, kamu nggak sarapan dulu. Kamu bisa mules nanti.""Habis ini aku langsung sarapan.""Gimana, manis?" tanya Saga yang duduk di depan sang istri dan memerhatikan Melati yang tengah menikmati buah yang diidamkan."Manis, juicy, padet, tapi masih ada sedikit asemnya. Mas, coba saja!" Melati menyodorkan wadah buah ke hadapan sang suami.Saga tersenyum. Lagak istrinya sudah meniru seperti seorang food vlogger yang tengah bikin konten. Diambilnya sebiji dan memperhatikannya sebelum digigit. Donut Nectarine. Memang bentuknya seperti donat, tapi tidak berlubang tengahnya
Waktu yang Hilang- Keputusan SagaSaga meletakkan ponselnya setelah mengetik balasan untuk pesan dari sang kakak. Laki-laki itu menatakan bantal agar sang istri lekas berbaring.Dibantunya Melati merebahkan diri. Begitu payahnya kehamilan kali ini. Untuk berbaring saja kesulitan. Tiap tidur berulang kali merubah posisi karena terasa engap."Gimana, nyaman begini?" tanya Saga setelah meletakkan satu bantal di belakang punggung Melati dan meletakkan bantal tipis sebagai penyangga perut, karena Melati tidur agak miring."Ya."Saga juga berbaring setelah menarik selimut hingga sebatas perut Melati. Mereka saling berhadapan."Tadi yang ngirim pesan Mas Akbar. Besok keluarga Malang datang ke sini karena Moana sudah mulai libur sekolah." Saga bicara dengan nada lembut, khawatir Melati kaget.Kalau dulu mereka pasti bahagia jika keluarga dari Malang datang berkunjung. Mungkin kali ini berbeda setelah Melati mengetahui keinginan kakak ipar sekaligus mantan suaminya.Tampak ada binar bahagia s
Tiga tahun kemudian ....Seorang bocah laki-laki umur tiga tahun setengah tengah asyik bermain mobil balap. Duduk anteng di bangku besi sebelah kanan sang papa. Seorang wanita yang tengah hamil duduk di sebelah kiri dari pria tampan itu.Saga dan Melati memang tengah antri di dokter kandungan. Malam ini jadwal pemeriksaan kehamilannya yang ketiga. Makanya Saga mengusahakan pulang lebih awal, supaya bisa menemani sang istri ke dokter.Kehamilan Melati sudah memasuki usia lima bulan. Namun besar perutnya seperti tengah mengandung usia tujuh bulan. Sejak awal pemeriksaan, dokter sudah memberitahu kalau mereka akan memiliki bayi kembar. Dan pemeriksaan kali ini, mereka sepakat ingin mengetahui jenis kelamin kedua calon anak kembarnya.Bapaknya Melati juga terlahir kembar. Tapi kembarannya meninggal sehari setelah dilahirkan.Ketika diberitahu tengah mengandung janin kembar. Kebahagiaan Saga dan Melati tiada terlukiskan. Rasa syukur tiada tara di ucapkan nyaris setiap waktu. Janin kembar y