Hening. Dia sendirian di kantor. Di luar sana, terdengar canda tawa para pekerja. Pemetik teh kebanyakan kaum ibu-ibu, para warga desa. Perempuan memang lebih telaten. Pemetikan tidak boleh dilakukan sembarangan, karena bisa mempengaruhi rasa teh. Itulah kenapa papa mertuanya tidak suka memetik daun teh dengan cara semi mekanis, menggunakan waring atau gunting. Terlebih menghindari pemakaian mesin petik. Sejak dulu pemetikan teh dilakukan secara manual menggunakan tangan.
Sampai siang Melati sibuk sendirian di kantor. Saga juga sibuk bolak-balik antara gudang dan kantor. Apalagi tiga hari lagi, waktunya gajian untuk para karyawan.Tepat jam makan siang Akbar baru kembali. Pria itu tersenyum pada Melati yang tengah makan di mejanya. Dikecupnya puncak kepala sang istri.Siang ini sikap Akbar sangat manis. Bahkan ikut makan satu piring dengannya sambil ngobrol."Jam berapa truk berangkat tadi?""Masih pagi, Mas. Nasinya mau tambah lagi?"Akbar mengangguk. Melati menambah satu centong nasi ke piring, satu potong ayam bakar, dan tumis kangkung. Tumben, biasanya sang suami kalau pulang dari luar, jarang makan kalau siang. Sudah makan dengan relasi yang ditemui, katanya.Selesai mencuci tangan, Akbar mengambil satu paper bag ukuran besar di mobil. "Untukmu dan Moa.""Apa ini?" Melati membongkar isinya. Gamis warna maroon yang sama modelnya dengan milik putri mereka. Di dalam juga ada kotak tempat perhiasan. Dua kalung emas untuknya dan Moa. Kedua liontin berinisial nama mereka."MasyaAllah, dalam rangka apa Mas ngasih hadiah?" tanya Melati keheranan. Tak biasanya Akbar seperti itu. Dia lebih suka mengajak istrinya ke pusat perbelanjaan dan menyuruh Melati memilih sendiri apa yang diinginkannya."Nggak apa-apa. Ada barang bagus, makanya Mas beli," jawab Akbar sambil menge-charge ponselnya."Mas, ke gudang dulu, ya!" pamit laki-laki itu."Ya."Selesai mencuci piring Melati duduk di dekat jendela. Mengamati kalung yang kembaran dengan Moana. Padahal dia sudah punya perhiasan itu, tapi kenapa dibelikan lagi. Moana juga sudah memakai kalung yang dibelikan oleh sang nenek. Heran saja, karena Akbar melakukan hal yang tak biasa.Wanita itu menoleh ketika ponsel milik Akbar berpendar di atas meja. Lantas mengabaikan. Melati tidak pernah menyentuh ponsel milik sang suami. Itulah kenapa perselingkuhannya tidak terdeteksi hingga setahun kemudian. Pertama dia curiga, ketika mendengar Akbar bicara di telepon dengan gadis itu. Lantas dari notif ia membaca pesan dari Nara.Melati yang curiga akhirnya nekat melihat ponsel milik Akbar. Itulah kali pertama dia tahu sekaligus mendapatkan bukti perselingkuhan suaminya.Ponsel kembali berpendar. Kali ini seperti panggilan masuk. Melati bangkit dan menghampiri benda pipih yang menyala itu. Benar saja, ada panggilan masuk. Tertera inisial di sana. Huruf N. Dada Melati bergemuruh. Apakah dia Nara?Dibiarkannya panggilan berhenti. Dengan tangan gemetar, ia memberanikan diri untuk membuka ponsel suaminya. Namun terhalang oleh password. Sejak kapan Akbar memakai password untuk ponselnya? Selama ini Akbar tidak mengunci benda itu.Satu notif kembali masuk. Ponsel menyala dan di layar tertera jelas sebuah kalimat pesan.[Maafkan aku, terpaksa mengirimmu pesan, Mas. Kamu sudah sampai di rumah, ya? Padahal kamu tadi melarangku untuk tidak menghubungimu saat kamu di rumah. Tapi aku nggak tahan. Kamu akan tahu alasan apa yang membuatku pergi waktu itu.][Ternyata kamu masih terus mencariku. Aku jadi yakin untuk kembali.][Aku masih mencintaimu.][Save the date, 05 Juni kita bertemu di tempat biasa. Love you.]Tangan Melati gemetar. Gemuruh di dadanya membahana. Jadi, suaminya telah kembali menemukan perempuan itu? Inikah yang membuatnya berubah sikap, untuk meluluhkan hatinya. Jadi ancaman perceraian tidak menyurutkan langkah Akbar untuk berhenti mencari perempuan itu. Melati sekarang lebih mantap untuk mengambil keputusan. Dia sadar, bukan prioritas sekarang.Tanggal 5 Juni. Berarti tiga hari lagi.Ditariknya napas panjang setelah meletakkan ponsel milik Akbar. Meski hatinya kembali berdarah dan menangis, tapi ia tak akan membiarkan air matanya menetes. Cukup sudah. Cukup dalam hati saja ia meratap.Melati beristighfar berkali-kali, lalu masuk kamar mandi untuk berwudhu. Lebih baik mengadu dan menangis pada Rabb-nya. Semoga diberikan pengampunan atas keputusan yang akan diambilnya.***LS***"Nanti sore Mas sudah kembali," kata Akbar di pagi tanggal 5 Juni.Melati yang membenahi krah baju suaminya menjawab dengan senyuman. Wajahnya juga tidak menunjukkan kegelisahan. Hari ini, walaupun dia tahu Akbar hendak ke mana, tapi Melati tidak akan menunjukkan kesedihannya.Akbar merangkul pinggang Melati. Memandang mata bening yang menghindari tatapannya. Kemudian mencium rambut basah sang istri beberapa saat. Terbayang hal semalam. Melati tak biasanya semanis itu setelah kemelut melanda rumah tangga mereka."Mas pergi dulu, ya.""Hati-hati di jalan. Semoga dilancarkan urusan Mas hari ini," jawab Melati seraya tersenyum.Akbar terdiam mendengar jawaban dari istrinya. Padahal Melati tidak tahu ia hendak ke mana. Mungkin Melati berpikir kalau dia akan ke pabrik atau bertemu relasi."Aku tahu, Mas adalah laki-laki yang selalu yakin dengan keputusan yang kamu ambil. Mas, sendiri yang pernah bilang begitu 'kan? Semoga sukses." Melati meraih tangan suaminya untuk dicium.Jika beberapa hari yang lalu Melati merasa aneh dengan sikap suaminya, sejak tadi malam dan pagi ini ganti Akbar yang heran dengan perubahan sikap istrinya.Laki-laki itu melangkah ke luar kamar. Mencari Moana yang di suapi Tini di taman. Kemudian pamitan pada papa dan mamanya, setelah itu pergi.Melati memerhatikan mobil sang suami yang meninggalkan rumah dari balkon kamarnya. Air matanya menetes. Biasanya dia tidak tahu ke mana Akbar ke luar, tapi kali ini dia paham betul ke mana suaminya pergi.Wanita itu masuk dan memakai bergo. Meraih tas lalu tergesa turun. Setelah menciumi Moana cukup lama, Melati melangkah ke arah carport untuk mengambil motor. Kebetulan Saga juga hendak berangkat ke perkebunan."Ga, hari ini aku telat ke kebun.""Kamu mau ke mana?""Aku ada urusan. Nggak lama kok.""Oke. Hati-hati bawa motor."Melati mengangguk. Saga melihat sahabatnya itu pergi dengan terburu-buru.***LS***Budhe Tami yang sedang menyapu halaman kaget dengan kedatangan Melati sepagi itu. Diletakkannya sapu dan menghampiri keponakannya. Melati mencium tangan sang budhe."Ada apa, Nduk. Kok kamu kelihatan terburu-buru?" Wanita itu mengajak Melati duduk di kursi teras."Aku mau minta tolong sama, Budhe.""Bilang saja, Budhe akan membantu semampunya.""Mbak Yuli putri Bu Guru Romlah itu pengacara, 'kan?""Iya.""Bisakah Budhe mempertemukan aku dengannya?"* * *"Kamu serius, Nduk?" tanya Budhe Tami.Melati mengangguk mantap. Kemudian menceritakan serentetan peristiwa dalam beberapa hari ini. Sepulangnya dia dari rumah budhenya empat hari yang lalu."Budhe ganti baju dulu." Wanita itu masuk ke dalam rumah.Sementara Melati memperhatikan sekeliling. Di sebelah rumah budhe, ada rumah lama yang masih sangat terawat. Melati melangkah ke sana. Ke rumah peninggalan kedua orang tuanya. Walaupun banyak dindingnya yang sudah mengelupas, tapi rumah itu selalu bersih dari dedaunan kering dan rumput liar. Tiap malam lampu juga dinyalakan.Melati hanya berdiri di emperan. Memperhatikan rimbunan bunga melati di halaman depan dan samping sebelah kanan rumah. Mungkin nanti setelah bercerai dia akan kembali menempati rumah itu. Bisa juga menemani budhenya. Atau merantau jauh untuk sementara. Mencari bekal untuk masa depannya juga Moana.Dihelanya napas panjang. Beberapa hari ini dia sudah memikirkannya. Nara sudah ketemu. Dan dia sering mendengar Akbar menelp
"Kamu dari mana, Mel?" tanya Saga ketika Melati masuk ke kantor. Ana yang sudah duduk di meja kerjanya juga memandang ke arah saudaranya."Ada urusan sebentar," jawab Melati lalu duduk di kursinya. Kemudian membuka buku besar, catatan absensi para karyawan. Mereka tidak boleh salah menghitung bayaran."Hari ini orang-orang gajian, Ga. Mas Akbar nggak di rumah." Melati bicara pada Saga. "Uangnya sudah kubawa semua. Memangnya Mas Akbar pergi ke mana?""Aku nggak tahu. Apa kamu tadi juga nggak nanya?""Dia cuman bilang mau ke luar."Hening. Mereka kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Bunyi keyboard, suara mouse, dan desir angin yang mendominasi pesekitaran kantor. Hingga seorang pekerja datang memberitahu Saga kalau ada tamu yang menunggu di ruang tamu dekat gudang.Tinggal Melati dan Ana dalam ruangan. "Mbak, kamu tadi dari mana?" tanya Ana lirih. "Ada urusan sebentar," jawab Melati. Sesuai dengan apa yang dikatakan dengan Budhe Tami tadi. Dia tidak akan memberitahu siapapun
Akbar baru saja meletakkan ponselnya ketika Melati masuk kamar. Wanita itu menaruh teh di atas meja kecil pojok ruangan. "Tehnya, Mas,"ucapnya tanpa menoleh pada sang suami. Lalu mengambil pakaian kotor di keranjang dan membawanya turun. Perasaannya makin porak-poranda. Dalam hati terasa ada benda yang menyumbat, menyesakkan nafasnya."Mel, kamu sakit," tegur Saga saat Melati lewat hendak ke belakang. Tempat para asisten rumah tangga mengerjakan cucian."Aku nggak apa-apa.""Kamu tampak pucat."Melati berhenti dan memandang adik iparnya. "Aku nggak apa-apa, Ga," ulang Melati sambil tersenyum, lantas melangkah lagi ke belakang.Saga memandang ke arah tangga. Kakaknya baru saja pulang, apa mereka kembali ribut. Kalau saja tidak ingat larangan Melati, mungkin sudah dihajarnya sang kakak sejak terang-terangan menyampaikan niatnya untuk menikah lagi waktu itu. Dia tidak peduli akan nasibnya sendiri setelahnya. Toh, sejak kecil sudah menjadi anak terbuang dan tersisihkan. Jika membela Melat
Jadi, sebenarnya dia menjauh selama ini bukan ingin mundur. Tapi ada rencana lain yang tengah di susunnya. Jika kemarin Nara tidak ingin dinikahi secara siri, kali ini malah menginginkan menjadi istri satu-satunya. Kalau kemarin Akbar berani terang-terangan, kali ini dia memilih backstreet karena Melati sudah bilang ingin bercerai jika Akbar kembali menemukan Nara dan melanjutkan hubungan mereka. Atau Akbar masih menunggu waktu yang tepat untuk membicarakan hal itu padanya."Serius banget, Mas. Dari relasi, ya," tegur Melati saat Akbar sibuk dengan ponselnya.Pria itu tersenyum lantas meletakkan ponselnya di atas meja. Tidak menjawab ucapan sang istri."Ingat nggak kita mas ngajak kamu lunch di tempat ini?" "Tentu aku masih ingat," jawab Melati sebiasa mungkin meski isi kepalanya terasa hampir meledak. Kata-kata manis itu hanya omong kosong belaka sekarang. Ia coba mengingat apa saja yang pernah membuat mereka bahagia selama ini, agar hatinya bisa terkendali dengan baik dan rencanany
Melati sedang membuat susu untuk Moana di dapur ketika Saga menenteng helmnya keluar lewat pintu belakang. Lelaki itu memakai celana jeans warna hitam, jaket kulit, dan sneaker warna serupa."Sepagi ini kamu berangkat ke Surabaya?" tanya Melati lirih. Di dapur memang ada mbok Sarwi, tapi perempuan itu bisa lebih dipercaya daripada Mbok Kiyem yang sangat dekat dengan mama mertuanya."Biar aku bisa cepat pulang," jawab Saga sambil memakai sarung tangannya. "Kamu sudah pamitan sama papa?"Saga menggeleng. "Nanti saja di tengah perjalanan, aku berhenti untuk meneleponnya. Jangan bilang sama siapapun kalau aku menemui Alita.""Oke. Hati-hati kalau gitu.""Makasih, Mel.""Semoga usahamu dipermudah. Alita nggak mempermasalahkan apapun tentangmu."Saga tersenyum samar, lantas melangkah ke luar setelah pamitan dengan Mbok Sarwi yang tengah memotong sayur."Hati-hati, Mas Saga," ucap perempuan itu tulus. Dia yang selama ini memiliki rasa welas asih pada Saga, yang mengurus makan, pakaian, dan
"Ayo, masuk!" Gadis itu membuka pintu pagar lebar-lebar. Saga langsung membawa motornya masuk garasi terbuka di samping rumah. Melepaskan helm dan sarung tangan, baru turun dari motornya."Nggak ada orang di rumah, hanya aku sama si Mbak saja," kata Alita setelah mengajak Saga duduk di ruang tamu."Ke mana Om dan Tante?""Ke Tuban. Entar malam baru pulang.""Padahal aku pengen juga bertemu dengan mereka.""Papa mamaku dah tahu kamu ke mari hari ini. Cuman kebetulan mereka juga harus menghadiri nikahan anak dari teman kantornya Papa."Dari dalam muncul wanita umur empat puluhan membawa nampan berisi secangkir kopi, teh, dan sepiring Lapis Surabaya. Menaruhnya di atas meja, kemudian permisi dan kembali ke belakang."Dari kemarin aku penasaran sih, apa yang mau kamu omongin."Saga meraih cangkir dan menyesap sedikit tehnya. "Kamu sebenarnya nggak tahu banyak tentang aku, Ta. Yang kamu tahu selama ini, aku anak pemilik perkebunan, anak dari istri nomer dua." Saga memulai bercerita. Apa y
"Kamu kenapa, Mel?" tanya Saga ketika melihat Melati tampak hanya melamun sejak pagi tadi. Bahkan matanya memerah saat melihat melihat ponselnya."Hei, kamu kenapa?" ulang Saga seraya duduk di kursi depan Melati."Aku nggak apa-apa.""Enggaklah, pasti ada sesuatu." Saga tidak percaya. Apalagi ia sempat curiga dengan kepergian kakak dan mama tirinya tadi pagi. Saat ia bertanya pada sang papa, lelaki itu hanya bilang ada urusan di luar."Mel, kamu nggak percaya padaku lagi?""Bukan masalah percaya atau nggak, Ga. Tapi memang aku baik-baik saja," jawab Melati yang membuat Ana pun heran.Saga hendak mendesak Melati untuk cerita, tapi sayangnya ada mobil papanya datang. Seminggu sekali Pak Norman selalu menyambangi kebun di antar oleh sopirnya. "Aku temui papa dulu," pamit Saga pada Melati, kemudian bangkit dan pergi."Ada apa sih, Mbak?" ganti tanya Ana.Melati menarik napas dalam-dalam, untuk menghalau sesak dalam dadanya. Ia menunjukkan foto pernikahan Akbar dengan Nara, foto yang dikir
Mbok Sarwi masuk ke dalam. Dengan cekatan membuatkan teh panas untuknya. Menaruh segelas teh di meja sebelah Saga."Mbok, bisakah duduk sebentar. Ada yang ingin saya tanyakan.""Tanya apa, Mas." Mbok Sarwi duduk di kursi Pak Norman tadi."Apa Mbok Sarwi tahu cerita tentang Papa dan Ibu saya? Papa selalu cerita tidak tuntas pada saya. Padahal saya ingin tahu, saat papa mangajak ibu tinggal di Malang dan putus hubungan dengan kerabat kami di Jogja.""Saya takut untuk cerita, Mas.""Saya akan menjaga cerita ini. Saya tidak akan membuat si Mbok dimusuhi karena jujur pada saya. Pegang janji saya, Mbok." Saga meyakinkan. "Saya percaya Mas Saga orang yang baik. Sebaik Mbak Ariani."Wanita umur lima puluh lima tahun itu tampak ragu. Dia memperhatikan sekeliling. Menatap dalam rumah lewat jendela kaca yang belum ditutup gordennya. Setelah merasa yakin tak ada orang, karena Bu Rista pasti sudah tidur karena kelelahan setelah kembali dari bepergian. Mbok Sarwi memandang Saga yang menunggunya bic