Share

Part 11 Keputusan 2

Hening. Dia sendirian di kantor. Di luar sana, terdengar canda tawa para pekerja. Pemetik teh kebanyakan kaum ibu-ibu, para warga desa. Perempuan memang lebih telaten. Pemetikan tidak boleh dilakukan sembarangan, karena bisa mempengaruhi rasa teh. Itulah kenapa papa mertuanya tidak suka memetik daun teh dengan cara semi mekanis, menggunakan waring atau gunting. Terlebih menghindari pemakaian mesin petik. Sejak dulu pemetikan teh dilakukan secara manual menggunakan tangan.

Sampai siang Melati sibuk sendirian di kantor. Saga juga sibuk bolak-balik antara gudang dan kantor. Apalagi tiga hari lagi, waktunya gajian untuk para karyawan.

Tepat jam makan siang Akbar baru kembali. Pria itu tersenyum pada Melati yang tengah makan di mejanya. Dikecupnya puncak kepala sang istri.

Siang ini sikap Akbar sangat manis. Bahkan ikut makan satu piring dengannya sambil ngobrol.

"Jam berapa truk berangkat tadi?"

"Masih pagi, Mas. Nasinya mau tambah lagi?"

Akbar mengangguk. Melati menambah satu centong nasi ke piring, satu potong ayam bakar, dan tumis kangkung. Tumben, biasanya sang suami kalau pulang dari luar, jarang makan kalau siang. Sudah makan dengan relasi yang ditemui, katanya.

Selesai mencuci tangan, Akbar mengambil satu paper bag ukuran besar di mobil. "Untukmu dan Moa."

"Apa ini?" Melati membongkar isinya. Gamis warna maroon yang sama modelnya dengan milik putri mereka. Di dalam juga ada kotak tempat perhiasan. Dua kalung emas untuknya dan Moa. Kedua liontin berinisial nama mereka.

"MasyaAllah, dalam rangka apa Mas ngasih hadiah?" tanya Melati keheranan. Tak biasanya Akbar seperti itu. Dia lebih suka mengajak istrinya ke pusat perbelanjaan dan menyuruh Melati memilih sendiri apa yang diinginkannya.

"Nggak apa-apa. Ada barang bagus, makanya Mas beli," jawab Akbar sambil menge-charge ponselnya.

"Mas, ke gudang dulu, ya!" pamit laki-laki itu.

"Ya."

Selesai mencuci piring Melati duduk di dekat jendela. Mengamati kalung yang kembaran dengan Moana. Padahal dia sudah punya perhiasan itu, tapi kenapa dibelikan lagi. Moana juga sudah memakai kalung yang dibelikan oleh sang nenek. Heran saja, karena Akbar melakukan hal yang tak biasa.

Wanita itu menoleh ketika ponsel milik Akbar berpendar di atas meja. Lantas mengabaikan. Melati tidak pernah menyentuh ponsel milik sang suami. Itulah kenapa perselingkuhannya tidak terdeteksi hingga setahun kemudian. Pertama dia curiga, ketika mendengar Akbar bicara di telepon dengan gadis itu. Lantas dari notif ia membaca pesan dari Nara.

Melati yang curiga akhirnya nekat melihat ponsel milik Akbar. Itulah kali pertama dia tahu sekaligus mendapatkan bukti perselingkuhan suaminya.

Ponsel kembali berpendar. Kali ini seperti panggilan masuk. Melati bangkit dan menghampiri benda pipih yang menyala itu. Benar saja, ada panggilan masuk. Tertera inisial di sana. Huruf N. Dada Melati bergemuruh. Apakah dia Nara?

Dibiarkannya panggilan berhenti. Dengan tangan gemetar, ia memberanikan diri untuk membuka ponsel suaminya. Namun terhalang oleh password. Sejak kapan Akbar memakai password untuk ponselnya? Selama ini Akbar tidak mengunci benda itu.

Satu notif kembali masuk. Ponsel menyala dan di layar tertera jelas sebuah kalimat pesan.

[Maafkan aku, terpaksa mengirimmu pesan, Mas. Kamu sudah sampai di rumah, ya? Padahal kamu tadi melarangku untuk tidak menghubungimu saat kamu di rumah. Tapi aku nggak tahan. Kamu akan tahu alasan apa yang membuatku pergi waktu itu.]

[Ternyata kamu masih terus mencariku. Aku jadi yakin untuk kembali.]

[Aku masih mencintaimu.]

[Save the date, 05 Juni kita bertemu di tempat biasa. Love you.]

Tangan Melati gemetar. Gemuruh di dadanya membahana. Jadi, suaminya telah kembali menemukan perempuan itu? Inikah yang membuatnya berubah sikap, untuk meluluhkan hatinya. Jadi ancaman perceraian tidak menyurutkan langkah Akbar untuk berhenti mencari perempuan itu. Melati sekarang lebih mantap untuk mengambil keputusan. Dia sadar, bukan prioritas sekarang.

Tanggal 5 Juni. Berarti tiga hari lagi.

Ditariknya napas panjang setelah meletakkan ponsel milik Akbar. Meski hatinya kembali berdarah dan menangis, tapi ia tak akan membiarkan air matanya menetes. Cukup sudah. Cukup dalam hati saja ia meratap.

Melati beristighfar berkali-kali, lalu masuk kamar mandi untuk berwudhu. Lebih baik mengadu dan menangis pada Rabb-nya. Semoga diberikan pengampunan atas keputusan yang akan diambilnya.

***LS***

"Nanti sore Mas sudah kembali," kata Akbar di pagi tanggal 5 Juni.

Melati yang membenahi krah baju suaminya menjawab dengan senyuman. Wajahnya juga tidak menunjukkan kegelisahan. Hari ini, walaupun dia tahu Akbar hendak ke mana, tapi Melati tidak akan menunjukkan kesedihannya.

Akbar merangkul pinggang Melati. Memandang mata bening yang menghindari tatapannya. Kemudian mencium rambut basah sang istri beberapa saat. Terbayang hal semalam. Melati tak biasanya semanis itu setelah kemelut melanda rumah tangga mereka.

"Mas pergi dulu, ya."

"Hati-hati di jalan. Semoga dilancarkan urusan Mas hari ini," jawab Melati seraya tersenyum.

Akbar terdiam mendengar jawaban dari istrinya. Padahal Melati tidak tahu ia hendak ke mana. Mungkin Melati berpikir kalau dia akan ke pabrik atau bertemu relasi.

"Aku tahu, Mas adalah laki-laki yang selalu yakin dengan keputusan yang kamu ambil. Mas, sendiri yang pernah bilang begitu 'kan? Semoga sukses." Melati meraih tangan suaminya untuk dicium.

Jika beberapa hari yang lalu Melati merasa aneh dengan sikap suaminya, sejak tadi malam dan pagi ini ganti Akbar yang heran dengan perubahan sikap istrinya.

Laki-laki itu melangkah ke luar kamar. Mencari Moana yang di suapi Tini di taman. Kemudian pamitan pada papa dan mamanya, setelah itu pergi.

Melati memerhatikan mobil sang suami yang meninggalkan rumah dari balkon kamarnya. Air matanya menetes. Biasanya dia tidak tahu ke mana Akbar ke luar, tapi kali ini dia paham betul ke mana suaminya pergi.

Wanita itu masuk dan memakai bergo. Meraih tas lalu tergesa turun. Setelah menciumi Moana cukup lama, Melati melangkah ke arah carport untuk mengambil motor. Kebetulan Saga juga hendak berangkat ke perkebunan.

"Ga, hari ini aku telat ke kebun."

"Kamu mau ke mana?"

"Aku ada urusan. Nggak lama kok."

"Oke. Hati-hati bawa motor."

Melati mengangguk. Saga melihat sahabatnya itu pergi dengan terburu-buru.

***LS***

Budhe Tami yang sedang menyapu halaman kaget dengan kedatangan Melati sepagi itu. Diletakkannya sapu dan menghampiri keponakannya. Melati mencium tangan sang budhe.

"Ada apa, Nduk. Kok kamu kelihatan terburu-buru?" Wanita itu mengajak Melati duduk di kursi teras.

"Aku mau minta tolong sama, Budhe."

"Bilang saja, Budhe akan membantu semampunya."

"Mbak Yuli putri Bu Guru Romlah itu pengacara, 'kan?"

"Iya."

"Bisakah Budhe mempertemukan aku dengannya?"

* * *

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
nikmatilah kegilaanmu dengan wanita itu Akbar... setelah Melati pergi menyesalpun sudah tak berguna
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status