Saga meletakkan ponsel di jok samping. Beberapa kali membunyikan klakson tapi juga percuma. Kemacetan sudah memanjang mulai dari depan. Macet total karena ada perbaikan jalan. Bisa jalan hanya bergerak maju sendikit, lantas berhenti lagi.Sabar sabar. Ini bukan di film India yang dia bisa meninggalkan mobilnya di sana dan lari secepat Cetah yang melompat dari mobil ke mobil lainnya, bahkan melangkahi bangunan tinggi. Adegan film yang rasanya sangat mustahil dan tidak masuk akal itu, ingin rasanya di tiru saat ini.Melihat ponselnya kembali berpendar, membuat Saga menyambar benda itu. "Halo, Sayang. Bagaimana?""Aku sudah sampai rumah sakit, Mas. Barusan di periksa dokter.""Lalu ....""Ternyata ini sudah bukaan lima. Dan aku bisa lahiran normal.""Loh, katanya beresiko kalau lahiran normal? Mana dokternya biar mas ngomong sama dia.""Dokternya sudah kembali ke kantor. Katanya nggak apa-apa aku lahiran normal. Barusan di cek semua baik-baik saja. Tensiku juga normal. Mas, jangan khawati
Waktu yang Hilang Part 1 Dia Bukan Anak Haram"Urusin anak haram itu, Pah. Jangan sampai bikin malu keluarga. Dia tawuran lagi katanya. Awas saja kalau sampai kita berurusan dengan polisi." Wanita yang biasa dipanggil Bu Rista itu berkata dengan nada geram disertai ancaman pada sang suami di ruang kerjanya.Wajahnya merah menahan amarah setelah mendengarkan laporan dari salah seorang karyawan mereka di perkebunan. Kalau Saga terlibat tawuran tadi pagi."Siapa yang bilang?" "Sentot," jawab Bu Rista ketus."Nggak ada habis-habisnya anak haram itu nyusahin kita.""Astaghfirullah, Ma. Kenapa selalu menyebutnya anak haram. Dia lahir dari pernikahan yang sah," bantah sang suami tidak terima, walaupun sadar akan kesalahannya.Bu Rista menatap nanar. Pak Norman, begitulah warga sekitar dan para karyawan memanggilnya.Wanita itu masih menyimpan kobar kemarahan akhibat peristiwa yang telah berlalu hampir tiga puluh tahun yang lalu. Dia tidak akan pernah lupa, noda hitam dalam pernikahannya.
Waktu yang HilangPart 2 LukaDari jendela kamarnya yang terbuka lebar, Saga menghirup udara segar menjelang senja. Hawa yang terasa sejuk di kulit. Di kejauhan ia bisa melihat kabut telah turun menyelimuti pemukiman penduduk dan perbukitan nun jauh di sana. Di langit barat, senja sudah semerah saga.Laki-laki itu mendesis menahan sakit di punggungnya tadi. Badannya juga mulai meriang efek dari luka. Dia tidak mandi dan hanya mengelap tubuhnya mengenakan wash lap.Suara tawa anak kecil membuatnya melongok ke luar. Moana duduk di bangku taman bersama sang kakek. Tampaknya ada hal lucu yang membuat bocah kecil itu tertawa puas.Dia cantik seperti ibunya. Imut dan menggemaskan. Matanya sebening milik Melati.Saga memandang Melati yang menghampiri mereka sambil membawa sebotol susu untuk Moana. Perempuan itu menyapa sang mertua dan berbincang sejenak. Entah bicara apa, kemudian tertawa.Tawa perempuan yang jarang sekali dilihat oleh Saga sekarang. Mendung telah menyelimuti hidup Melati se
Waktu yang HilangPart 3 Menjaga JarakJam sembilan malam keluarga Alita pamitan. Mereka menolak saat ditawari untuk menginap, karena Senin besok sibuk dengan rutinitas pekerjaan. "Kok badanmu panas? Kamu sakit?" tanya Alita saat menyalami Saga di halaman rumah. Telapak tangan pria itu terasa panas di kulitnya. Nara mendongak menatap lelaki di hadapannya."Aku nggak apa-apa," jawab Saga sambil santai.Melati yang berada tidak jauh dari mereka, memerhatikan Saga yang memang kelihatan pucat. Cahaya lampu di halaman menyoroti wajahnya yang tampak lelah."Ga, minumlah obat. Wajahmu kelihatan pucat gitu. Tadi sudah kubilang, sebaiknya kamu pergi ke dokter saja." Melati berkata lirih setelah mereka masuk rumah dan bertemu di ruang makan."Biasanya juga gini. Dua, tiga hari pasti sembuh sendiri.""Tapi lukamu kali ini parah. Aku serius. Beda dengan sebelumnya." Melati mencoba meyakinkan Saga."Nggak apa-apa, jangan khawatir. Aku nggak akan mati semudah dan secepat itu, Mel. Oke, tidurlah."
Waktu yang Hilang- Bukan Prioritas "Mbak, ayo makan dulu!" ajak Ana setelah mengambil piring dan sendok dari rak pantry kantor."Kamu makan dulu. Aku belum lapar ini, An," jawab Melati. Masih sibuk meneliti deretan angka yang tertera di layar komputernya."Aku ambilin, ya."Melati menatap saudaranya. "Aku belum lapar. Aku makan nanti saja.""Kalau waktunya makan harus makan, Mbak. Biar nggak sakit, biar kuat menghadapi kenyataan," canda gadis muda itu."Apalagi kenyataan hidup Mbak Melati yang membuatku nyaris gila meski hanya melihatnya saja," tambah Ana."Bisa saja kamu." Melati berdiri dari duduknya, kemudian mendekati Ana yang tengah mengambil nasi di meja kosong sudut ruangan.Biasanya ada karyawan yang mengambilkan makan siang untuknya, sekalian untuk para pekerja lain. Tapi sudah beberapa waktu ini, Melati membawa bekalnya sendiri "Kita makan di belakang, yuk, Mbak!" ajak Ana.Keduanya melangkah ke belakang. Duduk di tempat biasanya. Sebuah balai-balai dari bambu yang ada di
Dikiranya dulu, Melati akan jadian dengan Saga. Mengingat mereka sangat dekat dan akrab sejak kecil. Rumah Melati di ujung desa bagian utara, sedangkan Saga berada di ujung Selatan. Bu Ariani, mamanya Saga adalah teman baik ibunya Melati. Namun kenyataan berkata lain, Melati akhirnya menikah dengan Akbar."Aku pergi dulu, Mel," ucap Saga menepis hening. Ia melihat jam digital di layar ponselnya. Meski dia anak bos yang mengawasi dan mengurus karyawan, tapi tidak boleh seenaknya saja. Baginya dia bukan siapa-siapa. Hanya seorang pekerja yang bisa dikatakan memiliki jabatan lebih tinggi daripada mereka, itu saja."Oh ya, tadi Mas Akbar bilang hendak pergi ke mana?" tanya Saga setelah berdiri."Aku nggak nanya."Saga menatap Melati sejenak, kemudian beranjak dari sana. Tinggallah dua perempuan itu menikmati semilir angin siang membawa aroma daun teh ke penciuman. Hawa dingin membuat Melati di serang rasa kantuk. Namun ia ingat harus kembali ke ruangan dan menyelesaikan pekerjaannya.***L
Melati berdiri sambil mengelap sisa air mata di pipinya. "An, kamu keluar dulu temui Mas Akbar. Bilang kalau aku masih di belakang sebentar," perintah Melati dengan nada pelan."Iya." Ana bergegas ke depan. Sedangkan Melati melangkah ke belakang diikuti oleh budhenya. Dilepaskan jilbab, menaruhnya di sandaran kursi, dan membasuh wajahnya di wastafel. Budhe Tami mendekat. "Nduk, apapun keputusan yang kamu ambil nanti. Bicarakan dengan baik-baik. Ketika hubunganmu dulu di awali secara baik, biarlah berakhir dengan baik-baik juga. Menjadi janda tidaklah semenakutkan bayanganmu. Biar, biarkan orang di luar sana yang mendukung keluarga itu bicara apapun terhadapmu. Tapi asal kamu tahu, banyak warga desa yang bersimpati daripada menghujatmu. Keinginan Akbar yang di dukung oleh mamanya sudah diketahui mereka. Justru mereka menganggapmu bodoh jika masih terus bertahan di sana. "Banyak yang mendukungmu, Nduk. Kamu jangan takut. Tapi jika kamu rasa bisa bertahan, budhe juga nggak bisa mengha
Astagfirullahaladzim. Melati beristighfar dalam hati. Apa suaminya benar-benar sudah memahami apa itu poligami? Yang tidak hanya membahas hubungan biologis saja, tapi banyak lagi hal-hal yang akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di alam akhirat.Melati menengadah. Menatap bayang-bayang malam di penghujung senja ini. Ternyata sudah cukup lama mereka berada di tengah kebun sayur itu."Mel, jika kamu mengatakan hal ini dikala Nara pergi. Apakah ini semacam ancaman agar mas nggak lagi mencarinya?"Senyum paling getir menghiasi bibir pucat Melati. "Ancama apa? Kenapa aku harus mengancammu, Mas? Hati itu milikmu, bagaimana aku bisa mengendalikan apa yang kamu inginkan dan rasakan di dalam sana." Melati menunjuk dada Akbar dengan gerakan dagunya."Sedangkan mas sendiri bilang nggak bisa mengawalnya lagi. Apalagi aku ...." Nada suara Melati mengambang."Mungkin kemarin aku sanggup menyetujui keinginanmu. Namun setelah Nara pergi dan Mas sekalut ini, berarti rasamu hanya milik dia sekaran
Saga meletakkan ponsel di jok samping. Beberapa kali membunyikan klakson tapi juga percuma. Kemacetan sudah memanjang mulai dari depan. Macet total karena ada perbaikan jalan. Bisa jalan hanya bergerak maju sendikit, lantas berhenti lagi.Sabar sabar. Ini bukan di film India yang dia bisa meninggalkan mobilnya di sana dan lari secepat Cetah yang melompat dari mobil ke mobil lainnya, bahkan melangkahi bangunan tinggi. Adegan film yang rasanya sangat mustahil dan tidak masuk akal itu, ingin rasanya di tiru saat ini.Melihat ponselnya kembali berpendar, membuat Saga menyambar benda itu. "Halo, Sayang. Bagaimana?""Aku sudah sampai rumah sakit, Mas. Barusan di periksa dokter.""Lalu ....""Ternyata ini sudah bukaan lima. Dan aku bisa lahiran normal.""Loh, katanya beresiko kalau lahiran normal? Mana dokternya biar mas ngomong sama dia.""Dokternya sudah kembali ke kantor. Katanya nggak apa-apa aku lahiran normal. Barusan di cek semua baik-baik saja. Tensiku juga normal. Mas, jangan khawati
Waktu yang Hilang- Best MomentSaga membantu Melati menyiapkan segala perlengkapan untuk persalinan Minggu depan. Dokter kandungan sudah menyarankan supaya Melati melahirkan secara cesar saja untuk persalinan bayi kembarnya. Melati menolak, tapi Saga memintanya untuk menyetujui. Mengingat dua bulan terakhir ini Melati dua kali opname karena demam tinggi. Minggu depan genap 38 minggu usia kehamilannya. Dokter kandungan sudah menetapkan jadwal operasi untuknya.Kedua janinnya sehat. Masing-masing memiliki plasenta dan air ketuban. Jadi sudah siap dilahirkan di Minggu ke 38."Budhe Tami sampai sini sekitar jam setengah tiga sore, Mas. Tadi siang beliau ngabari," kata Melati sambil melipat baju yang hendak di masukkan ke dalam travel bag."Oke, besok mas akan pulang lebih awal dan langsung jemput budhe ke stasiun."Budhe Tami memang akan menemani Melati pada persalinan nanti. Rencananya wanita itu akan tinggal di Jogja sampai si kembar umur selapan."Mulai besok nggak usah lama-lama di
Melati tersenyum. Jagoan kecilnya sudah tebar pesona. Melihat Shaka, ia jadi teringat masa kecil suaminya. Begitulah Saga waktu kecil. Tapi Shaka memang lebih bersih dan terawat, karena jarang bermain di kebun. Kalau Saga dulu, keluyuran di kebun sampai kulitnya lecet-lecet. Berenang di kali bersama teman-teman, termasuk dirinya juga. Melati paling kecil di antara mereka."Kenapa senyum-senyum?" senggol Saga."Aku ingat masa kecilmu, Mas."Saga hendak menggoda sang istri, tapi mereka dikejutkan oleh suara salam dari pintu depan."Itu Gama datang!" Bu Ariana bangkit dari duduknya dan melangkah ke ruang tamu. Wanita itu tercekat sejenak saat melihat Gama datang bersama seorang wanita tinggi semampai. Memakai celana bahan warna krem dan blouse warna putih. Diakah pacar Saga? Gadis itu tersenyum ramah dan mencium tangan Bu Ariana. "Selamat malam, Tante.""Selamat malam.""Namanya Alita, Bulek." Gama memperkenalkan gadis itu pada sang bulek. Membuat Bu Ariana kaget, tapi tidak menunjukkan
Waktu yang Hilang- Gama dan Perempuan ItuAkbar melongok ke luar jendela. Meninggalkan sejenak laptopnya untuk melihat apa yang tengah dilakukan oleh Moana dan Shaka di luar sana.Tampak dua bocah itu sedang duduk di bawah pohon mangga. Bermain masak-masakan. Moana menuangkan sesuatu dari teko kecil ke dalam cangkir mainan. Shaka lantas pura-pura meminumnya. "Manis?"Shaka mengangguk-angguk. Moana kemudian memberikan piring kecil berisi biji-bijian. "Di makan, ya!"Bocah laki-laki itu mengikuti perintah sang kakak. Pura-pura memakan benda di piring kecil yang sama sekali memang tidak boleh di konsumsi.Pertama kali diajak bermain masak-masakan oleh Moana, Shaka sempat bingung. Dia tidak pernah bermain seperti itu, bahkan melihatnya pun belum pernah, karena mainannya di rumah hanya mobil-mobilan, robot, puzzle, dan buku mewarnai.Akbar tersenyum melihat tingkah mereka. Bahagia karena mereka sangat rukun. Shaka juga penurut. Dia juga kerasan tinggal di Malang. Tapi di Jogja sana, Saga
Sebenarnya Melati berharap kalau Moana yang akan tinggal di Jogja selama liburan. Ternyata Shaka yang justru ingin ikut ke Malang. Baik Saga maupun Melati hanya khawatir kalau anak itu tiba-tiba rewel dan minta pulang. Sebab selama ini jarang sekali berjauhan dari kedua orang tuanya. Paling seharian main ke rumah Bu Ariana dan sorenya sudah di antar pulang."Lasmi kamu suruh ikut?""Ya, Bulek. Mak Lasmi sendiri juga pengen ke Malang.""Uti bakalan kangen sama kamu." Bu Ariana mengusap kepala Shaka."Uti, mau ikut?" Ah, malah ditawari pula."Enggak. Uti nunggu Shaka di sini saja."Bu Ariana mengusap permukaan perut Melati. "Kemarin jadi pergi ke dokter?""Ya.""Cowok apa cewek?""Cowok lagi dua-duanya," jawab Melati sambil tersenyum."MasyaAllah. Moana bakalan cantik sendiri."Melati tersenyum. Akbar yang duduk tidak jauh dari mereka mendengar jelas percakapan itu. Dia juga tidak sabar ingin segera melihat bayi kembar Melati lahir ke dunia. Dalam hati turut juga merasakan kebahagiaan i
Waktu yang Hilang- Terbongkarnya Rahasia "Aku paham bagaimana perasaan Mbak Melati, Mas. Dulu saja dia sempat stres saat berpisah dengan Moana, setelah kalian resmi bercerai." Tini berusaha memberikan pengertian pada Akbar. Sebab dia tahu betul bagaimana sedihnya Melati kala itu."Kamu tahu?""Ya, aku tahu." Tini menarik diri dan duduk tegak menghadap sang suami. "Maafkan aku. Dulu aku diam-diam membalas pesan yang dikirimkan Mbak Melati. Hampir tiap saat aku mengirimkan foto kegiatan Moana."Akbar juga menegakkan duduknya. Serius mendengarkan istrinya bicara. Baru kali ini ia tahu kenyataan yang sudah lewat kurang lebih empat tahun yang lalu."Aku nggak sampe hati melihat Mbak Melati menangis setiap hari dan menderita, Mas. Tiap malam telepon aku dengan suaranya yang serak. Aku bisa merasakan bagaimana sakitnya berpisah dari anak. Aku saja yang hanya pengasuh Moana, selalu terbayang-bayang jika aku izin pulang. "Dia cerita mengalami hal tersulit setelah meninggalkan Wonosari. Data
"Mas, cepetnya dapat buah ini!" Melati berbinar-binar melihat dua pack nectarin di atas meja makan setelah ia turun dari lantai dua.Saga tersenyum menghampiri. Tubuh laki-laki itu basah berkeringat setelah joging dan push up di teras samping.Melati membuka bungkusnya dan langsung meletakkan di wadah untuk dicuci. Kembali duduk dan menikmati buah yang semalam membuatnya ngiler saat melihat review seorang food vlogger."Sayang, kamu nggak sarapan dulu. Kamu bisa mules nanti.""Habis ini aku langsung sarapan.""Gimana, manis?" tanya Saga yang duduk di depan sang istri dan memerhatikan Melati yang tengah menikmati buah yang diidamkan."Manis, juicy, padet, tapi masih ada sedikit asemnya. Mas, coba saja!" Melati menyodorkan wadah buah ke hadapan sang suami.Saga tersenyum. Lagak istrinya sudah meniru seperti seorang food vlogger yang tengah bikin konten. Diambilnya sebiji dan memperhatikannya sebelum digigit. Donut Nectarine. Memang bentuknya seperti donat, tapi tidak berlubang tengahnya
Waktu yang Hilang- Keputusan SagaSaga meletakkan ponselnya setelah mengetik balasan untuk pesan dari sang kakak. Laki-laki itu menatakan bantal agar sang istri lekas berbaring.Dibantunya Melati merebahkan diri. Begitu payahnya kehamilan kali ini. Untuk berbaring saja kesulitan. Tiap tidur berulang kali merubah posisi karena terasa engap."Gimana, nyaman begini?" tanya Saga setelah meletakkan satu bantal di belakang punggung Melati dan meletakkan bantal tipis sebagai penyangga perut, karena Melati tidur agak miring."Ya."Saga juga berbaring setelah menarik selimut hingga sebatas perut Melati. Mereka saling berhadapan."Tadi yang ngirim pesan Mas Akbar. Besok keluarga Malang datang ke sini karena Moana sudah mulai libur sekolah." Saga bicara dengan nada lembut, khawatir Melati kaget.Kalau dulu mereka pasti bahagia jika keluarga dari Malang datang berkunjung. Mungkin kali ini berbeda setelah Melati mengetahui keinginan kakak ipar sekaligus mantan suaminya.Tampak ada binar bahagia s
Tiga tahun kemudian ....Seorang bocah laki-laki umur tiga tahun setengah tengah asyik bermain mobil balap. Duduk anteng di bangku besi sebelah kanan sang papa. Seorang wanita yang tengah hamil duduk di sebelah kiri dari pria tampan itu.Saga dan Melati memang tengah antri di dokter kandungan. Malam ini jadwal pemeriksaan kehamilannya yang ketiga. Makanya Saga mengusahakan pulang lebih awal, supaya bisa menemani sang istri ke dokter.Kehamilan Melati sudah memasuki usia lima bulan. Namun besar perutnya seperti tengah mengandung usia tujuh bulan. Sejak awal pemeriksaan, dokter sudah memberitahu kalau mereka akan memiliki bayi kembar. Dan pemeriksaan kali ini, mereka sepakat ingin mengetahui jenis kelamin kedua calon anak kembarnya.Bapaknya Melati juga terlahir kembar. Tapi kembarannya meninggal sehari setelah dilahirkan.Ketika diberitahu tengah mengandung janin kembar. Kebahagiaan Saga dan Melati tiada terlukiskan. Rasa syukur tiada tara di ucapkan nyaris setiap waktu. Janin kembar y