Waktu yang Hilang
Part 2 LukaDari jendela kamarnya yang terbuka lebar, Saga menghirup udara segar menjelang senja. Hawa yang terasa sejuk di kulit. Di kejauhan ia bisa melihat kabut telah turun menyelimuti pemukiman penduduk dan perbukitan nun jauh di sana. Di langit barat, senja sudah semerah saga.Laki-laki itu mendesis menahan sakit di punggungnya tadi. Badannya juga mulai meriang efek dari luka. Dia tidak mandi dan hanya mengelap tubuhnya mengenakan wash lap.Suara tawa anak kecil membuatnya melongok ke luar. Moana duduk di bangku taman bersama sang kakek. Tampaknya ada hal lucu yang membuat bocah kecil itu tertawa puas.Dia cantik seperti ibunya. Imut dan menggemaskan. Matanya sebening milik Melati.Saga memandang Melati yang menghampiri mereka sambil membawa sebotol susu untuk Moana. Perempuan itu menyapa sang mertua dan berbincang sejenak. Entah bicara apa, kemudian tertawa.Tawa perempuan yang jarang sekali dilihat oleh Saga sekarang. Mendung telah menyelimuti hidup Melati setahun belakangan ini. Ketika sang kakak menghadirkan wanita lain di antara mereka."Kakakmu punya kekasih lagi." Melati memberitahunya dengan wajah sembab suatu siang di kantor perkebunan.Kala itu Saga yang baru pulang dari luar kota terkejut. "Kamu serius?"Melati mengangguk."Bagaimana kamu tahu?""Aku baca semua chat-nya dengan wanita itu." Suara Melati sangau menahan pedih."Aku sudah menanyakannya. Masmu mengakui. Katanya sudah beberapa bulan ini menjalin hubungan dengan gadis itu. Dia seorang staf di PT Adi Karsa."PT Adi Karsa adalah perusahaan yang bekerjasama dengan perkebunan papanya."Apa yang akan kamu lakukan sekarang?""Aku nggak tahu," jawab Melati dalam nada keputusasaan dan terluka. Matanya menampakkan kilat amarah yang terpendam dan hanya bisa dirasakannya sendiri."Kalian butuh bicara serius. Mas Akbar harus melepaskan perempuan itu. Dukung dia, Mel. Supaya kembali ke pangkal jalan." Saga sedapat mungkin memberikan saran pada iparnya. Sebab bicara dengan Akbar jelas tidak mungkin. Selama ini mereka berdua tidak pernah ikut campur urusan pribadi masing-masing.Hingga permasalahan itu bagai api dalam sekam selama berbulan-bulan. Kemudian Melati kembali mengajaknya bicara. Di tempat yang sama."Kamu bodoh, Mel. Kenapa kamu ngizinin Mas Akbar menikah lagi. Kamu akan menyesal nanti," ujar Saga dengan menahan geram.Melati tersenyum getir. "Daripada mereka berzina, Ga. Lagian Mama Rista juga mendukung Mas Akbar untuk menikahi Nara. Aku bisa apa? Apa mungkin aku akan bercerai diusia pernikahanku yang baru menginjak usia enam tahun. Jika cerai, aku nggak bisa bawa Moana. Aku nggak punya apa-apa. Pasti aku kalah dalam hak penjagaan anak karena aku yang meminta berpisah. Aku nggak bisa jauh dari Moa, Ga."Saga menarik napas dalam-dalam. Ingat tentang percakapannya dengan Melati. Ingat keluh kesahnya wanita itu. Dia bisa merasakan luka teramat dalam dari matanya yang bening.Dia tidak habis pikir dengan pemikiran sang kakak. Bagaimana bisa di pernikahannya yang baru berjalan enam tahun, Akbar menghadirkan perempuan lain dalam perkawinannya. Apa kurangnya Melati? Istri yang penurut, penyayang keluarga, baik, dan saleha. Kenapa kakaknya begitu tega? Di mana kobaran cinta yang membara ketika dulu? Cinta menggebu yang membuatnya nekat menikahi perempuan itu, meski jelas Akbar tahu kalau mamanya menentang keras.Kenapa sekarang begitu mudahnya menduakan. Apakah ini karma? Kutukan keturunan? Sebab papa mereka juga memiliki dua istri. Dan mirisnya, dirinya adalah anak dari istri kedua yang selalu dipandang hina.Perhatian Saga beralih pada pria berkemeja putih yang menghampiri mereka. Moana berlari menyambutnya. "Papa," teriaknya.Akbar langsung mengendong dan menciumi gadis kecilnya. Melati menghampiri untuk mencium tangannya.Melihat itu semua membuat Saga merasa sedih. Kebahagiaan yang tampak di depan mata hanya fatamorgana. Jelas hubungan yang retak itu tak lagi utuh seperti dulu. Meski katanya, perempuan bernama Nara telah memilih membatalkan pernikahannya dengan Akbar.Entah apa yang ada di otak sang kakak. Sadarkah dia, ibarat seenaknya saja melempar batu ke laut. Namun tidak memikirkan sedalam apa batu itu bisa tenggelam. Seperti luka Melati. Apa tidak terpikirkan sama sekali, sakit seperti apa yang dialami istrinya.Senja kian pekat. Senja pergi, kini malam telah menghampiri. Papa, kakak, Melati, dan Moana masuk ke dalam rumah. Sementara Saga masih setia menatap senja yang hampir lenyap.***LS***Di dalam kamar, Melati menyiapkan pakaian ganti untuk Akbar yang tengah mandi. Hanya berdua saja, karena Moana bersama neneknya. Moana memang sangat dekat dengan kakek dan neneknya sejak kecil. Sebagai cucu pertama, perempuan pula, makanya sang mertua sangat menyayanginya.Itulah kenapa, andai terjadi perpisahan, sudah jelas kalau Melati tidak akan pernah mendapatkan hak asuh putrinya.Akbar yang tampak segar telah keluar dari kamar mandi. Melati mengambil jepit untuk mengikat rambutnya. "Aku wudhu dulu, Mas!"Tiga rakaat dijalani dengan khusuk. Mereka melangitkan doa yang bisa jadi permintaannya pun bertolak belakang. Melati ingin kehidupan rumah tangganya kembali tenteram seperti dulu, tapi Akbar mungkin meminta hal lain. Minta agar Nara bisa ditemukan lagi dan mereka melanjutkan pernikahan yang pernah di rencanakan. Toh, Melati sudah menandatangani surat persetujuan untuk menikah lagi, berpoligami.Semakin ia berteriak dalam hati meminta suaminya kembali seperti dulu, tapi apakah sang suami juga berdoa hal yang sama?Bagi Melati sekarang, ia seperti menunggu tapi tidak tahu apa yang ditunggu. Sedang bertahan, tapi entah sampai kapan. Hubungan mereka tak lagi sehangat dulu."Mas, dapat kabar tentang Nara?" tanya Melati lirih setelah mencium tangan suaminya. Pertanyaan konyol yang sebenarnya sangat menyakiti dirinya sendiri. Apakah dirinya sudah mendekati gila?Akbar menggeleng dengan wajah sendu dan kehilangan. Ternyata sudah sedalam itu perasaannya pada sosok gadis bernama Nara. Bahkan sampai istri yang mendampinginya selama enam tahun ini seolah tak punya hati dan perasaan lagi. Wanita di depannya itu dianggap apa? Patung?"Mas." Melati meraih jemari sang suami. "Carilah sampai ketemu. Jika dia ingin menjadi istrimu satu-satunya, aku ... aku siap mundur."Akbar kaget dengan perkataan sang istri. Ditatapnya lekat perempuan yang menggenggam tangannya."Apa yang kamu katakan, Mel. Mas nggak pernah berniat menceraikan kamu. Sekalipun ada Nara di antara kita. Mungkin Mas memang egois. Tapi Mas nggak bisa kehilangan kamu."Melati tersenyum getir. Menunduk dan menggigit bibir bawahnya untuk menahan tangis supaya tidak pecah.Ditariknya napas dalam-dalam. "Jika dia menginginkan menjadi ratu satu-satunya, aku bisa apa? Melihatmu terluka seperti ini, aku tahu betapa dalamnya perasaanmu padanya. Jika Mas masih mencintaiku, nggak akan ada perempuan lain di antara kita. Nggak perlu Mas jelaskan rasamu padaku sekarang seperti apa? Aku sudah tahu tanpa kamu ungkapkan.""Mel." Akbar hendak meraih Melati dalam dekapannya. Namun wanita itu menolak. Kemudian melepaskan mukenanya."Kita harus bersiap, Mas. Sebentar lagi akan ada tamu. Ayo!" Melati berdiri sambil mengusap air matanya. Melipat mukena dan menaruhnya di rak pojok kamar.Akbar memperhatikan wanita yang pernah membuatnya tergila-gila tujuh tahun yang lalu. Gadis cantik yang saat menikah dengannya baru berumur dua puluh tahun. Perempuan yatim piatu yang sederhana dan sopan. Karyawan kantor papanya dengan ijazah lulusan D1.Meski sang mama menolak mentah-mentah karena Melati tak sepadan dengan putranya yang lulusan S2. Juga karena status sosial mereka yang jauh berbeda. Namun Akbar sangat gigih memperjuangkannya hingga mereka bisa menikah. Namun perkenalannya dengan Nara yang modern, ceria, kekinian, dengan tutur katanya yang manis dan manja, telah membuatnya kembali terjatuh dalam lembah asmara. Bersamanya Akbar merasakan bagaimana pandangan hidup yang berbeda. Yang tidak di dapatnya dari Melati.Laki-laki itu bangkit dan melepaskan sarungnya. Dia menghampiri Melati yang tengah membuka lemari dan memilih busana untuk mereka berdua.Baru saja melingkarkan lengan di pinggang ramping sang istri, Melati melepasnya pelan. "Aku mau ganti baju dulu, Mas," kata perempuan itu sambil tersenyum menatap suaminya. Kemudian bergegas masuk ke kamar mandi."Mel, kenapa nggak ganti baju di sini?"Tidak ada jawaban dari dalam.Sudah beberapa pekan ini, Melati merubah kebiasaannya. Tak pernah lagi lepas pakaian di hadapan Akbar. Kecuali di kala mereka hendak berhubungan. Bahkan setelah itu pun, sang istri lekas kembali mengenakan pakaiannya. Tidak seperti dulu, hanya di tutupi selimut dan Akbar bebas menyentuhnya.Sementara di kamar mandi, Melati menepuk-nepuk pipinya di depan kaca. Menghalau kaca-kaca yang hendak menghambur keluar. Entah sampai kapan dia kuat bertahan. Rasanya sekarang saja sudah hendak tumbang.Melati membasuh wajah. Melepaskan pakaian dan menggantinya dengan gamis warna biru dongker.Wanita itu keluar kamar dengan senyum yang menghiasi bibirnya. Seolah tak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Sebab ia tahu, lelaki yang dulu begitu menginginkannya belum tentu menginginkan selamanya. Lelaki yang pernah memperjuangkannya, belum tentu akan terus mencintainya. Melati sudah merasakannya sendiri detik ini. Dan ia harus belajar untuk mengikhlaskan."Ganti bajumu dulu, Mas," kata wanita itu sambil duduk di depan meja rias. Mulai mengaplikasikan make up sekedarnya dan memakai jilbab.Akbar mengganti baju koko yang biasa dipakai untuk salat dengan hem warna senada gamis yang dipakai oleh Melati.Selesai bersiap, mereka keluar kamar. Disambut si kecil Moana yang sudah cantik dengan rok tutu warna merah jambu dan bando warna senada. Ada Tini yang mendandani tadi. Gadis yang menjadi pengasuhnya Moana."Mama."Melati menggendong Moana, menciumi, dan mengajaknya melangkah ke ruang tamu. Di mana kedua mertuanya sudah duduk di sana. Namun Saga, yang memiliki kepentingan malah belum ada di situ."Tini," panggil Pak Norman pada perempuan yang baru saja menyuguhkan cemilan. Gadis itu berbalik."Panggilkan Mas Saga. Suruh ke sini cepat.""Njih, Pak." Gadis itu terburu-buru melangkah ke belakang. Belum juga sampai ke kamar Saga, Tini berhenti. Sebab anak majikannya telah keluar kamar sambil mengancingkan ujung lengan kemejanya. "Bapak minta Mas Saga segera ke ruang tamu," kata Tini sopan."Ya.""Om Aga, mo ke mana?" Moana turun dari pangkuan Melati kemudian memeluk kaki sang paman. Batita itu memang suka kalau diajak Saga keliling perkebunan dengan motor besarnya.Saga meraih Moana dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Suara tawanya yang lucu begitu menggemaskan. Saga mengendong gadis kecil itu seraya menciuminya. Membuat Moana makin terkekeh geli.Baru saja Saga duduk, suara mobil yang memasuki halaman membuat mereka semua menoleh. Pak Norman bangkit dari duduknya, diikuti oleh Bu Rista. Mereka menyambut tamu di teras.Seorang gadis berambut sebahu, yang memakai celana jeans dan kaus lengan panjang turun dari pintu belakang. Diikuti perempuan seumuran Bu Rista. Dari samping kemudi turun laki-laki sepantaran Pak Norman. Mereka memang teman dekat waktu masih kuliah dulu. Kebetulan anak-anak mereka juga seumuran dan kuliah di tempat yang sama."Ayo, masuk!" Pak Norman merangkul pundak teman lamanya."Dua keluarga saling bersalaman dan bertanya kabar. Alita tersenyum bahagia bersitatap dengan Saga. Tatapan gadis itu begitu memuja. Sementara Saga membalasnya dengan tatapan biasa. Baginya pertemuan malam ini tidak diinginkannya. Namun ia tidak bisa membantah kehendak sang papa.Mereka berbincang-bincang sejenak. Pak Norman mengajak tamunya langsung ke ruang makan. Menjamu mereka lebih dulu karena dari perjalanan jauh, pasti sudah lapar. Dari Jogjakarta langsung ke Malang dan nanti pulang ke Surabaya."Moa, sini ikut mama." Melati mengambil si kecil dari gendongan Saga."Mbak Alita cantik, Ga," ucapnya lirih pada adik ipar.Saga memandang perempuan yang melangkah di sebelahnya. Tanpa menanggapi ucapan Melati.Canda tawa mewarnai jamuan makan malam. Sekaligus membicarakan rencana lamaran Saga untuk Alita ke Surabaya."Kira-kira kapan waktu yang tepat untuk menerima kedatangan kami ke Surabaya?" tanya Pak Norman di tengah-tengah mereka menikmati hidangan."Kapan, Ma?" Laki-laki berkepala botak itu memandang ke arah sang istri."Minggu depan ini kami masih ada acara nikahan kan, Pa. Gimana kalau dua Minggu saja dari sekarang? Atau coba kita serahkan pada Alita dan Saga untuk memutuskan?" Bu Handoyo menatap putrinya dan Saga secara bergantian."Oke, gimana, Ga?" Pak Norman memandang sang anak."Jangan dalam waktu dekat, Pa.""Lebih cepat lebih baik, 'kan," bantah sang papa.Saga memandang Alita. Gadis yang tampak kecewa karena perkataan Saga tadi, hanya diam memandanginya. Kenapa lelaki yang membuat hatinya terpikat semenjak di bangku kuliah itu terlihat tidak seantusias dirinya. Padahal kalau ngobrol di telepon, Saga sangat hangat berbincang dengannya."Kenapa di undur? Yang penting kalian tunangan dulu. Biar ada ikatan gitu." Bu Rista yang semenjak tadi diam, akhirnya ikut bicara. Meski hanya sekedar basa-basi. Ingin menunjukkan bahwa ia juga peduli meski Saga bukan dari dagingnya sendiri."Betul kata Jeng Rista. Lagian pernikahan bisa dilaksanakan setelah Alita wisuda S2 nanti. Tinggal setengah tahun lagi Lita lulus." Bu Handoyo menimpali. Wajah wanita umur lima puluh lima tahun itu terlihat semringah. Dia memang menyukai Saga sejak dulu. Ketika anak-anak masih duduk di bangku kuliah. Saga itu anaknya sopan dan tidak banyak tingkah. Walaupun ia tahu betul kalau Saga hanya putra dari istrinya Pak Norman yang lain."Gini aja, bulan depan kan ulang tahunnya Alita. Sekalian kita langsungkan pertunangan mereka di tanggal itu. Gimana?" saran Pak Handoyo, yang langsung disetujui oleh Pak Norman.Pada akhirnya kesepakatan telah di buat. Saga akur pada keputusan. Walaupun entah kenapa, sisi hatinya yang lain merasa bimbang.* * *Waktu yang HilangPart 3 Menjaga JarakJam sembilan malam keluarga Alita pamitan. Mereka menolak saat ditawari untuk menginap, karena Senin besok sibuk dengan rutinitas pekerjaan. "Kok badanmu panas? Kamu sakit?" tanya Alita saat menyalami Saga di halaman rumah. Telapak tangan pria itu terasa panas di kulitnya. Nara mendongak menatap lelaki di hadapannya."Aku nggak apa-apa," jawab Saga sambil santai.Melati yang berada tidak jauh dari mereka, memerhatikan Saga yang memang kelihatan pucat. Cahaya lampu di halaman menyoroti wajahnya yang tampak lelah."Ga, minumlah obat. Wajahmu kelihatan pucat gitu. Tadi sudah kubilang, sebaiknya kamu pergi ke dokter saja." Melati berkata lirih setelah mereka masuk rumah dan bertemu di ruang makan."Biasanya juga gini. Dua, tiga hari pasti sembuh sendiri.""Tapi lukamu kali ini parah. Aku serius. Beda dengan sebelumnya." Melati mencoba meyakinkan Saga."Nggak apa-apa, jangan khawatir. Aku nggak akan mati semudah dan secepat itu, Mel. Oke, tidurlah."
Waktu yang Hilang- Bukan Prioritas "Mbak, ayo makan dulu!" ajak Ana setelah mengambil piring dan sendok dari rak pantry kantor."Kamu makan dulu. Aku belum lapar ini, An," jawab Melati. Masih sibuk meneliti deretan angka yang tertera di layar komputernya."Aku ambilin, ya."Melati menatap saudaranya. "Aku belum lapar. Aku makan nanti saja.""Kalau waktunya makan harus makan, Mbak. Biar nggak sakit, biar kuat menghadapi kenyataan," canda gadis muda itu."Apalagi kenyataan hidup Mbak Melati yang membuatku nyaris gila meski hanya melihatnya saja," tambah Ana."Bisa saja kamu." Melati berdiri dari duduknya, kemudian mendekati Ana yang tengah mengambil nasi di meja kosong sudut ruangan.Biasanya ada karyawan yang mengambilkan makan siang untuknya, sekalian untuk para pekerja lain. Tapi sudah beberapa waktu ini, Melati membawa bekalnya sendiri "Kita makan di belakang, yuk, Mbak!" ajak Ana.Keduanya melangkah ke belakang. Duduk di tempat biasanya. Sebuah balai-balai dari bambu yang ada di
Dikiranya dulu, Melati akan jadian dengan Saga. Mengingat mereka sangat dekat dan akrab sejak kecil. Rumah Melati di ujung desa bagian utara, sedangkan Saga berada di ujung Selatan. Bu Ariani, mamanya Saga adalah teman baik ibunya Melati. Namun kenyataan berkata lain, Melati akhirnya menikah dengan Akbar."Aku pergi dulu, Mel," ucap Saga menepis hening. Ia melihat jam digital di layar ponselnya. Meski dia anak bos yang mengawasi dan mengurus karyawan, tapi tidak boleh seenaknya saja. Baginya dia bukan siapa-siapa. Hanya seorang pekerja yang bisa dikatakan memiliki jabatan lebih tinggi daripada mereka, itu saja."Oh ya, tadi Mas Akbar bilang hendak pergi ke mana?" tanya Saga setelah berdiri."Aku nggak nanya."Saga menatap Melati sejenak, kemudian beranjak dari sana. Tinggallah dua perempuan itu menikmati semilir angin siang membawa aroma daun teh ke penciuman. Hawa dingin membuat Melati di serang rasa kantuk. Namun ia ingat harus kembali ke ruangan dan menyelesaikan pekerjaannya.***L
Melati berdiri sambil mengelap sisa air mata di pipinya. "An, kamu keluar dulu temui Mas Akbar. Bilang kalau aku masih di belakang sebentar," perintah Melati dengan nada pelan."Iya." Ana bergegas ke depan. Sedangkan Melati melangkah ke belakang diikuti oleh budhenya. Dilepaskan jilbab, menaruhnya di sandaran kursi, dan membasuh wajahnya di wastafel. Budhe Tami mendekat. "Nduk, apapun keputusan yang kamu ambil nanti. Bicarakan dengan baik-baik. Ketika hubunganmu dulu di awali secara baik, biarlah berakhir dengan baik-baik juga. Menjadi janda tidaklah semenakutkan bayanganmu. Biar, biarkan orang di luar sana yang mendukung keluarga itu bicara apapun terhadapmu. Tapi asal kamu tahu, banyak warga desa yang bersimpati daripada menghujatmu. Keinginan Akbar yang di dukung oleh mamanya sudah diketahui mereka. Justru mereka menganggapmu bodoh jika masih terus bertahan di sana. "Banyak yang mendukungmu, Nduk. Kamu jangan takut. Tapi jika kamu rasa bisa bertahan, budhe juga nggak bisa mengha
Astagfirullahaladzim. Melati beristighfar dalam hati. Apa suaminya benar-benar sudah memahami apa itu poligami? Yang tidak hanya membahas hubungan biologis saja, tapi banyak lagi hal-hal yang akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di alam akhirat.Melati menengadah. Menatap bayang-bayang malam di penghujung senja ini. Ternyata sudah cukup lama mereka berada di tengah kebun sayur itu."Mel, jika kamu mengatakan hal ini dikala Nara pergi. Apakah ini semacam ancaman agar mas nggak lagi mencarinya?"Senyum paling getir menghiasi bibir pucat Melati. "Ancama apa? Kenapa aku harus mengancammu, Mas? Hati itu milikmu, bagaimana aku bisa mengendalikan apa yang kamu inginkan dan rasakan di dalam sana." Melati menunjuk dada Akbar dengan gerakan dagunya."Sedangkan mas sendiri bilang nggak bisa mengawalnya lagi. Apalagi aku ...." Nada suara Melati mengambang."Mungkin kemarin aku sanggup menyetujui keinginanmu. Namun setelah Nara pergi dan Mas sekalut ini, berarti rasamu hanya milik dia sekaran
Akbar berdiri di balkon lantai dua. Menatap di kejauhan sambil mendengarkan orang yang berbicara di seberang sana."Bos, aku sudah dapat kabar tentang Nara. Dia masih di Surabaya sebenarnya. Cuman belum tahu di mana pastinya dia tinggal. Orang-orangku tengah mencari tahu alamatnya ini.""Oke," jawab Akbar singkat. Lantas mematikan panggilan.Gadis itu, nekat pergi menjelang pernikahan yang telah disiapkan secara matang. Apa yang membuatnya membatalkan acara itu? Bahkan dia nekat pergi dari keluarganya juga. Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?Tatapan Akbar menjangkau jauh dalam pekat malam. Semua percakapan Melati sore tadi masih terngiang di pendengaran. Cerai. Melati tak ragu lagi meminta itu darinya. Akbar mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Kemudian kembali ke dalam."Mbak Melati sudah kembali ke kamar, Pak." Tini yang masih membereskan mainan Moana memberitahu Akbar. Laki-laki itu mengangguk lantas melangkah pergi. Tini menutup pintu dan ingin segera tidur.Dalam kam
Izam memerhatikan sekeliling. Para pengunjung kafe sudah pergi, tinggal mereka dan ada satu meja berisi tiga orang remaja. "Ga, udah malam. Kita pulang! Bentar lagi kafe tutup," ajak laki-laki itu.Mereka segera berdiri dan pergi ke arah motor masing-masing."Gimana kalau nginap saja di rumahku Lagian bahaya kalau kamu pulang larut. Aku khawatir para preman itu menghadangmu lagi. Mereka seperti punya seribu mata. Ke mana pun kamu pergi, selalu terdeteksi," kata Izam."Tidak usah, aku mau pulang saja.""Nggak bahaya?""Semoga saja tidak," jawab Saga sambil memakai helmnya. Laki-laki itu tampak tenang, justru Izam yang khawatir."Aku pulang dulu, Zam. Lusa kita ngopi lagi.""Oke, Bro. Hati-hati. Sampai rumah nanti jangan lupa kabari."Saga mengangguk, lantas melaju pelan keluar parkiran kafe.Hening sepanjang perjalanan menuju perkebunan. Dia memutuskan untuk tidak pulang ke rumah. Tapi akan tidur di kebun. Toh, di sana juga ada Pak Radi dan sang istri yang memang dipercaya oleh papanya
Alangkah lega hati Melati melihat motor Saga berada di bangunan terbuka tempat parkir kendaraan para pekerja. Berarti tadi malam Saga tidur di kantor."Mel," panggil seseorang yang membuat Melati menoleh. Wanita itu mencabut kontak motor dan menghampiri laki-laki yang berdiri di belakangnya. Saga masih memakai bajunya yang kemarin sore ia pakai. "Kamu dari mana kemarin? Aku khawatir terjadi apa-apa sama kamu," omel Melati. "Papa juga gelisah kulihat tadi."Saga tersenyum. Dia berdiri tegak dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jaketnya. "Barusan papa chat aku. Sudah kubalas.""Kamu nggak bilang ya pas kemarin mau pergi?""Aku cuman bilang mau ke luar sebentar." Saga tidak mungkin akan memberitahu papanya kalau dia pergi ke kota. Kecuali kondisinya sudah kembali pulih. Andai ada preman yang biasa mengusiknya, ia bisa mempertahankan diri."Kamu sudah sarapan?""Sudah. Dibuatkan nasi goreng oleh Mak Radi tadi. Mas Akbar mana, apa nggak ke kebun dia?""Mas Akbar pamitan ke luar ta