Akbar berdiri di balkon lantai dua. Menatap di kejauhan sambil mendengarkan orang yang berbicara di seberang sana.
"Bos, aku sudah dapat kabar tentang Nara. Dia masih di Surabaya sebenarnya. Cuman belum tahu di mana pastinya dia tinggal. Orang-orangku tengah mencari tahu alamatnya ini.""Oke," jawab Akbar singkat. Lantas mematikan panggilan.Gadis itu, nekat pergi menjelang pernikahan yang telah disiapkan secara matang. Apa yang membuatnya membatalkan acara itu? Bahkan dia nekat pergi dari keluarganya juga. Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?Tatapan Akbar menjangkau jauh dalam pekat malam. Semua percakapan Melati sore tadi masih terngiang di pendengaran. Cerai. Melati tak ragu lagi meminta itu darinya. Akbar mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Kemudian kembali ke dalam."Mbak Melati sudah kembali ke kamar, Pak." Tini yang masih membereskan mainan Moana memberitahu Akbar.Laki-laki itu mengangguk lantas melangkah pergi. Tini menutup pintu dan ingin segera tidur.Dalam kamar, Melati berbaring miring menghadap ke tembok. Akbar duduk perlahan di sisi satunya. Menatap dinding yang ada foto pernikahan mereka dalam ukuran besar. Melati yang memakai baju pengantin warna lemon chiffon sangat anggun dan cantik. Seluruh pelaminan bernuansa kuning keemasan dan berseling warna keperakan saat mereka menikah dulu. Sangat megah dan meriah. Tamu undangan membludak. Mulai dari warga desa, para karyawan, relasi, kenalan, teman-teman kuliahnya, dan para pejabat daerah pun ada.Perayaan tiga hari dua malam itu sangat melelahkan. Membuat Melati jatuh sakit sehari setelah resepsi. Terpaksa mereka harus menunda rencana bulan madu hingga seminggu kemudian setelah Melati sembuh.Akbar menunduk ingat perjalanan kisah mereka. Lantas sekarang dia telah tega membagi cinta. Mengabaikan perempuan yang bergantung hidup padanya. Yang mengabdikan diri sepenuh hati enam tahun belakangan ini.Dia menoleh. Menatap Melati yang masih berada di posisi semula. Menyentuh pundak itu, tapi sang istri yang masih terjaga bergeming.Bagi Melati permintaan maaf saja tidak cukup untuk mengembalikan hatinya yang telah retak. Ini bukan perselingkuhan biasa. Karena jenuh atau butuh variasi. Perselingkuhan yang bisa kembali ditoleransi dan diiperbaiki. Saling memaafkan dan mereka kembali baik-baik saja meneruskan pernikahan. Membina rumah tangga yang lebih kokoh setelah diterjang badai. Membesarkan anak bersama, melupakan pengkhianatan dan rasa sakit.Namun apa yang dilakukan sang suami tidak sekedar mencari hiburan semata. Bermain-main sejenak di luar, lantas kembali pulang. Tidak seperti itu. Akbar telah membawa perempuan itu masuk menjadi bagian dalam kehidupan mereka. Berharap untuk selama-lamanya. Kalau perselingkuhan biasa, perempuan itu pergi tak akan dicari. Tapi ini?Apa yang membuat Akbar tidak bisa lepas dari gadis itu? Apa mereka telah terlanjur melakukannya? Hati Melati terasa tercabik-cabik.Melati merasakan tangan Akbar menyentuh pundaknya lagi. Mungkin kemarin-kemarin ia masih mau meladeni, kali ini hati kecilnya berontak. Sadar hanya sebagai pelampiasan saja. Walaupun ia tahu jika menolak ajakan suami itu dosa, karena Akbar masih berhak penuh atas dirinya. Namun Melati nekat melanggarnya. Hati tak lagi bisa berkompromi.***LS***"Kamu beneran mantap untuk menikah dengan Alita?" tanya seorang laki-laki pada Saga. Saat itu mereka tengah duduk berdua di sebuah kafe pinggiran kota.Saga yang tengah menikmati rokoknya mengangguk samar."Kamu bukan orang yang memutuskan sesuatu dengan ragu-ragu, Ga," sanggah Izam. Yang tahu bagaimana Saga. Mereka berteman sejak duduk di bangku SMA hingga kuliah. Laki-laki itu kenal Alita juga ketika mereka sama-sama di kampus."Kadang kita memang tidak bisa mastiin semuanya sesuai apa yang kita mau. Contohnya aku ini. Kalau ikutkan kata hati, aku ingin segera angkat kaki dari rumah itu. Tapi ada yang membuatku berat melakukan itu.""Karena papamu?"Tatapan Saga menerawang. Jatuh pada bulan separuh dan satu bintang terang yang tidak jauh dari sang rembulan, si penguasa malam."Bagaimana dengan kakak dan iparmu?""Masih sama. Melati terlalu lembut, Zam. Kadang baik dan bodoh itu nggak bisa dibedakan untuk kasus mereka. Aku kasihan sama dia." Saga meraih cangkir kopi dan menyesap isinya.Izam tersenyum menatap sahabatnya. "Kasihan apa ada faktor lain?" tanya Izam menggoda Saga.Saga kembali mengisap rokoknya. Membiarkan hening menjadi jeda yang panjang. Izam pun meraih sebatang rokok dan menyalakannya. Dia tidak heran dengan Saga. Sudah hafal kebiasaan sahabatnya itu. Tiap kali bertemu, bukan untuk berbicara panjang lebar, terkadang hanya duduk diam berdua menikmati sepi. Ditemani rokok dan kopi.Sejak dulu Saga memang pendiam, bahkan terkesan sangat dingin. Namun dia sosok yang tegar. Masa lalu telah menciptakan karakternya seperti itu. Untungnya dia bukan laki-laki yang gampang terpengaruh pergaulan bebas. Nar koba dan alkohol. Memang sewaktu kuliah dia gemar ikut balapan liar, agar mendapatkan uang lebih jika menang. Sebab uang saku dari mama tirinya kadang tak cukup untuk makan sebulan. Makanya dia sering menerima tawaran menjadi joki di balapan liar.Kalau dipikir, apa artinya uang makan untuk Saga dibandingkan dengan kekayaan yang dimiliki keluarganya. Tapi Saga tidak terpenuhi kebutuhannya, karena sang papa sangat percaya kalau istrinya akan mengurus dengan baik keperluan Saga.Namun menjelang akhir perkuliahannya, sang papa mendapati Saga menjadi kuli panggul di sebuah pasar rakyat. Disitulah laki-laki itu baru tahu apa yang dialami putra bungsunya selama ini.Saga konyol juga. Padahal banyak pekerjaan paruh waktu yang bisa ia lakukan, yang jauh lebih baik daripada memanggul berkarung-karung sayuran. Akan tetapi Saga lebih memilih kerja seperti itu. Cepat dapat uang karena langsung diberikan upah. Para pedagang perempuan itu tak segan memberinya upah lebih, karena suka dengan wajah tampan dan body bagus kulinya. Akhirnya Izam pun ikut-ikutan pekerjaan itu."Ga, kamu ingat nggak waktu kita jadi kuli panggul?" Izam membuka perbincangan."Ya. Kenapa?"Izam tersenyum kemudian menerawang mengingat masa-masa itu. "Kita pergi ke pasar menjelang jam sepuluh malam. Menunggu truk sayur datang, kemudian memindahkan barang-barang itu ke dalam pasar hingga jam dua pagi. Pulang ke kosan tepar dan pergi kampus selalu kesiangan.""Aku ingat.""Ingat nggak sama anak gadis pedagang sayur yang jatuh hati sama kamu. Tiap malam menemani ibunya di pasar. Padahal katanya sebelum itu dia nggak mau ke pasar. Dia selalu memberikan kita makanan. Nasi padang, soto, sate, rawon, kue cucur. Gadis itu bahkan tahu kamu suka kue cucur."Saga tersenyum di sudut bibir. Mendengarkan cerita Izam yang mengulas kehidupan mereka beberapa tahun yang lalu."Bahkan ibu itu pun menginginkanmu jadi menantunya setelah kamu lulus kuliah. Saking ngebetnya sama kamu, membuatmu kabur dari sana dan berhenti jadi kuli." Izam tertawa di akhir kalimatnya."Kamu ketakutan dikejar anak sama ibunya. Persis seperti laki-laki yang ngehamilin anak gadis orang dan dikejar untuk dimintai pertanggungjawaban."Senyum Saga makin lebar."Aku masih ingat juga ketika kita lari lintang pukang, saat digerebek polisi waktu balapan liar di jalan Gunung Anyar. Kita sembunyi di tambak dan diteriaki pemiliknya karena disangka hendak mencuri ikan. Lengkap sudah hidupmu, Ga.""Tak hanya lengkap, tapi sempurna, Zam," jawab Saga menatap malam.Izam memerhatikan sekeliling. Para pengunjung kafe sudah pergi, tinggal mereka dan ada satu meja berisi tiga orang remaja. "Ga, udah malam. Kita pulang! Bentar lagi kafe tutup," ajak laki-laki itu.Mereka segera berdiri dan pergi ke arah motor masing-masing."Gimana kalau nginap saja di rumahku Lagian bahaya kalau kamu pulang larut. Aku khawatir para preman itu menghadangmu lagi. Mereka seperti punya seribu mata. Ke mana pun kamu pergi, selalu terdeteksi," kata Izam."Tidak usah, aku mau pulang saja.""Nggak bahaya?""Semoga saja tidak," jawab Saga sambil memakai helmnya. Laki-laki itu tampak tenang, justru Izam yang khawatir."Aku pulang dulu, Zam. Lusa kita ngopi lagi.""Oke, Bro. Hati-hati. Sampai rumah nanti jangan lupa kabari."Saga mengangguk, lantas melaju pelan keluar parkiran kafe.Hening sepanjang perjalanan menuju perkebunan. Dia memutuskan untuk tidak pulang ke rumah. Tapi akan tidur di kebun. Toh, di sana juga ada Pak Radi dan sang istri yang memang dipercaya oleh papanya
Alangkah lega hati Melati melihat motor Saga berada di bangunan terbuka tempat parkir kendaraan para pekerja. Berarti tadi malam Saga tidur di kantor."Mel," panggil seseorang yang membuat Melati menoleh. Wanita itu mencabut kontak motor dan menghampiri laki-laki yang berdiri di belakangnya. Saga masih memakai bajunya yang kemarin sore ia pakai. "Kamu dari mana kemarin? Aku khawatir terjadi apa-apa sama kamu," omel Melati. "Papa juga gelisah kulihat tadi."Saga tersenyum. Dia berdiri tegak dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jaketnya. "Barusan papa chat aku. Sudah kubalas.""Kamu nggak bilang ya pas kemarin mau pergi?""Aku cuman bilang mau ke luar sebentar." Saga tidak mungkin akan memberitahu papanya kalau dia pergi ke kota. Kecuali kondisinya sudah kembali pulih. Andai ada preman yang biasa mengusiknya, ia bisa mempertahankan diri."Kamu sudah sarapan?""Sudah. Dibuatkan nasi goreng oleh Mak Radi tadi. Mas Akbar mana, apa nggak ke kebun dia?""Mas Akbar pamitan ke luar ta
Hening. Dia sendirian di kantor. Di luar sana, terdengar canda tawa para pekerja. Pemetik teh kebanyakan kaum ibu-ibu, para warga desa. Perempuan memang lebih telaten. Pemetikan tidak boleh dilakukan sembarangan, karena bisa mempengaruhi rasa teh. Itulah kenapa papa mertuanya tidak suka memetik daun teh dengan cara semi mekanis, menggunakan waring atau gunting. Terlebih menghindari pemakaian mesin petik. Sejak dulu pemetikan teh dilakukan secara manual menggunakan tangan.Sampai siang Melati sibuk sendirian di kantor. Saga juga sibuk bolak-balik antara gudang dan kantor. Apalagi tiga hari lagi, waktunya gajian untuk para karyawan.Tepat jam makan siang Akbar baru kembali. Pria itu tersenyum pada Melati yang tengah makan di mejanya. Dikecupnya puncak kepala sang istri. Siang ini sikap Akbar sangat manis. Bahkan ikut makan satu piring dengannya sambil ngobrol."Jam berapa truk berangkat tadi?""Masih pagi, Mas. Nasinya mau tambah lagi?"Akbar mengangguk. Melati menambah satu centong na
"Kamu serius, Nduk?" tanya Budhe Tami.Melati mengangguk mantap. Kemudian menceritakan serentetan peristiwa dalam beberapa hari ini. Sepulangnya dia dari rumah budhenya empat hari yang lalu."Budhe ganti baju dulu." Wanita itu masuk ke dalam rumah.Sementara Melati memperhatikan sekeliling. Di sebelah rumah budhe, ada rumah lama yang masih sangat terawat. Melati melangkah ke sana. Ke rumah peninggalan kedua orang tuanya. Walaupun banyak dindingnya yang sudah mengelupas, tapi rumah itu selalu bersih dari dedaunan kering dan rumput liar. Tiap malam lampu juga dinyalakan.Melati hanya berdiri di emperan. Memperhatikan rimbunan bunga melati di halaman depan dan samping sebelah kanan rumah. Mungkin nanti setelah bercerai dia akan kembali menempati rumah itu. Bisa juga menemani budhenya. Atau merantau jauh untuk sementara. Mencari bekal untuk masa depannya juga Moana.Dihelanya napas panjang. Beberapa hari ini dia sudah memikirkannya. Nara sudah ketemu. Dan dia sering mendengar Akbar menelp
"Kamu dari mana, Mel?" tanya Saga ketika Melati masuk ke kantor. Ana yang sudah duduk di meja kerjanya juga memandang ke arah saudaranya."Ada urusan sebentar," jawab Melati lalu duduk di kursinya. Kemudian membuka buku besar, catatan absensi para karyawan. Mereka tidak boleh salah menghitung bayaran."Hari ini orang-orang gajian, Ga. Mas Akbar nggak di rumah." Melati bicara pada Saga. "Uangnya sudah kubawa semua. Memangnya Mas Akbar pergi ke mana?""Aku nggak tahu. Apa kamu tadi juga nggak nanya?""Dia cuman bilang mau ke luar."Hening. Mereka kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Bunyi keyboard, suara mouse, dan desir angin yang mendominasi pesekitaran kantor. Hingga seorang pekerja datang memberitahu Saga kalau ada tamu yang menunggu di ruang tamu dekat gudang.Tinggal Melati dan Ana dalam ruangan. "Mbak, kamu tadi dari mana?" tanya Ana lirih. "Ada urusan sebentar," jawab Melati. Sesuai dengan apa yang dikatakan dengan Budhe Tami tadi. Dia tidak akan memberitahu siapapun
Akbar baru saja meletakkan ponselnya ketika Melati masuk kamar. Wanita itu menaruh teh di atas meja kecil pojok ruangan. "Tehnya, Mas,"ucapnya tanpa menoleh pada sang suami. Lalu mengambil pakaian kotor di keranjang dan membawanya turun. Perasaannya makin porak-poranda. Dalam hati terasa ada benda yang menyumbat, menyesakkan nafasnya."Mel, kamu sakit," tegur Saga saat Melati lewat hendak ke belakang. Tempat para asisten rumah tangga mengerjakan cucian."Aku nggak apa-apa.""Kamu tampak pucat."Melati berhenti dan memandang adik iparnya. "Aku nggak apa-apa, Ga," ulang Melati sambil tersenyum, lantas melangkah lagi ke belakang.Saga memandang ke arah tangga. Kakaknya baru saja pulang, apa mereka kembali ribut. Kalau saja tidak ingat larangan Melati, mungkin sudah dihajarnya sang kakak sejak terang-terangan menyampaikan niatnya untuk menikah lagi waktu itu. Dia tidak peduli akan nasibnya sendiri setelahnya. Toh, sejak kecil sudah menjadi anak terbuang dan tersisihkan. Jika membela Melat
Jadi, sebenarnya dia menjauh selama ini bukan ingin mundur. Tapi ada rencana lain yang tengah di susunnya. Jika kemarin Nara tidak ingin dinikahi secara siri, kali ini malah menginginkan menjadi istri satu-satunya. Kalau kemarin Akbar berani terang-terangan, kali ini dia memilih backstreet karena Melati sudah bilang ingin bercerai jika Akbar kembali menemukan Nara dan melanjutkan hubungan mereka. Atau Akbar masih menunggu waktu yang tepat untuk membicarakan hal itu padanya."Serius banget, Mas. Dari relasi, ya," tegur Melati saat Akbar sibuk dengan ponselnya.Pria itu tersenyum lantas meletakkan ponselnya di atas meja. Tidak menjawab ucapan sang istri."Ingat nggak kita mas ngajak kamu lunch di tempat ini?" "Tentu aku masih ingat," jawab Melati sebiasa mungkin meski isi kepalanya terasa hampir meledak. Kata-kata manis itu hanya omong kosong belaka sekarang. Ia coba mengingat apa saja yang pernah membuat mereka bahagia selama ini, agar hatinya bisa terkendali dengan baik dan rencanany
Melati sedang membuat susu untuk Moana di dapur ketika Saga menenteng helmnya keluar lewat pintu belakang. Lelaki itu memakai celana jeans warna hitam, jaket kulit, dan sneaker warna serupa."Sepagi ini kamu berangkat ke Surabaya?" tanya Melati lirih. Di dapur memang ada mbok Sarwi, tapi perempuan itu bisa lebih dipercaya daripada Mbok Kiyem yang sangat dekat dengan mama mertuanya."Biar aku bisa cepat pulang," jawab Saga sambil memakai sarung tangannya. "Kamu sudah pamitan sama papa?"Saga menggeleng. "Nanti saja di tengah perjalanan, aku berhenti untuk meneleponnya. Jangan bilang sama siapapun kalau aku menemui Alita.""Oke. Hati-hati kalau gitu.""Makasih, Mel.""Semoga usahamu dipermudah. Alita nggak mempermasalahkan apapun tentangmu."Saga tersenyum samar, lantas melangkah ke luar setelah pamitan dengan Mbok Sarwi yang tengah memotong sayur."Hati-hati, Mas Saga," ucap perempuan itu tulus. Dia yang selama ini memiliki rasa welas asih pada Saga, yang mengurus makan, pakaian, dan