Izam memerhatikan sekeliling. Para pengunjung kafe sudah pergi, tinggal mereka dan ada satu meja berisi tiga orang remaja. "Ga, udah malam. Kita pulang! Bentar lagi kafe tutup," ajak laki-laki itu.
Mereka segera berdiri dan pergi ke arah motor masing-masing."Gimana kalau nginap saja di rumahku Lagian bahaya kalau kamu pulang larut. Aku khawatir para preman itu menghadangmu lagi. Mereka seperti punya seribu mata. Ke mana pun kamu pergi, selalu terdeteksi," kata Izam."Tidak usah, aku mau pulang saja.""Nggak bahaya?""Semoga saja tidak," jawab Saga sambil memakai helmnya. Laki-laki itu tampak tenang, justru Izam yang khawatir."Aku pulang dulu, Zam. Lusa kita ngopi lagi.""Oke, Bro. Hati-hati. Sampai rumah nanti jangan lupa kabari."Saga mengangguk, lantas melaju pelan keluar parkiran kafe.Hening sepanjang perjalanan menuju perkebunan. Dia memutuskan untuk tidak pulang ke rumah. Tapi akan tidur di kebun. Toh, di sana juga ada Pak Radi dan sang istri yang memang dipercaya oleh papanya untuk menjaga gudang dan kantor.Perjalanan kali ini aman, karena dia tidak lewat jalan seperti biasanya. Saga memilih alternatif jalan lain."Mas Saga, dari mana?" tanya Pak Radi menghampirinya. Laki-laki yang menutupi tubuhnya pakai sarung tampak heran."Saya tadi mau ke Singosari, Pak. Tapi nggak jadi. Akhirnya saya ke rumah teman," jawab Saga sambil melepaskan helm.Kedua laki-laki itu melangkah ke kantor. Pak Radi membuka pintu kantor untuk putra bosnya. Dia sudah hafal karena Saga memang sering menginap di sana."Mas Saga, apa perlu saya bikinkan kopi?""Tak usah, Pak. Makasih banyak, saya sudah minum kopi tadi.""Oh, ya sudah. Kalau gitu saya tinggal dulu ya, Mas!""Silakan, Pak."Setelah laki-laki itu pergi, Saga ke kamar mandi untuk membasuh tangan dan kaki, melepaskan jaket lalu masuk sebuah kamar yang ada spring bed di sana. Biasa memang untuk tempat istirahat siapapun. Termasuk papa dan Akbar. Waktu hamil dulu, Melati juga sering tidur di situ kalau siang. Dia juga lebih nyaman di kebun daripada di rumah. Namun setelah melahirkan, Moana dikuasai ibu mertuanya.Akbar dulu selalu membela sang istri, ketika mama Rista sangat cerewet karena Melati tak kunjung hamil. Namun kenapa, sekarang sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat? Tidak ingatkah bagaimana dulu ia memperjuangkan Melati?Saga merebahkan tubuhnya. Luka di punggung masih terasa sakit kalau dia tidur terlentang.Ponselnya di atas meja kecil itu berpendar. Alita menelepon."Halo.""Hai, Ga. Sudah tidur?""Belum.""Apa kamu sakit? Dari kemarin aku tunggui telepon darimu tapi nggak ada juga kamu hubungi aku." Gadis di seberang menggerutu."Sorry, Lita. Aku sibuk, jadi nggak sempat nelepon. Aku baik-baik saja. Kamu sendiri jam segini belum tidur?" Saga melihat ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas malam."Belum. Aku kepikiran mengenai acara bulan depan.""Kenapa?""Nggak sabar," jawab gadis itu diselingi tawa renyahnya.Saga kembali bangun dari pembaringan. Membuka jendela kamar dan berdiri di sana, menatap bulan yang tersapu awan. Hawa dingin menyerbu masuk, tapi itu sudah biasa baginya."Lita, kamu sudah tahu banyak tentang aku?""Maksudmu?" tanya gadis itu dengan nada tak mengerti."Aku tidak ingin kamu menyesal, Ta. Hidupku tak semanis dilihat orang di luar sana.""Hei, aku nggak paham ini, Ga. Maksudmu apa, sih? Kita kan sudah saling kenal sejak lama. Apa yang nggak aku ketahui tentang kamu, selain kegemaranmu pada balapan liar?""Banyak.""Tentang kamu yang anak istri kedua? Aku sudah tahu, papa mamaku juga sudah tahu itu. Paham banget malah."Saga menarik napas dalam-dalam. Apa dia harus menceritakan semuanya? Sedangkan papanya menutup rapat ketimpangan yang terjadi dalam hubungan di rumah mereka di hadapan keluarga Alita."Ada apa, sih, Ga?""Banyak yang kamu nggak tahu tentang aku, Ta.""Apa itu? Kamu punya kekasih?""Bukan.""Terus ....""Aku usahakan dalam beberapa hari ke depan bisa bertemu denganmu. Lebih baik kita bicara berhadap-hadapan. Aku kabari kalau aku hendak ke Surabaya.""Astaga, Ga. Kamu bikin aku penasaran tau, nggak. Kapan kamu menemuiku?""Nanti kukabari lagi.""Baiklah kalau gitu. Kutunggu, ya!""Ya.""Ya, sudah. Selamat malam. Met tidur."Alita menyudahi panggilan. Saga masih berdiri di sana. Sebelum memulai sebuah hubungan, alangkah baiknya dia jujur. Kelihatannya saja dia anak pemilik perkebunan yang memiliki puluhan karyawan. Namun pada hakekatnya dia bukan siapa-siapa. Dia tidak punya hak apapun di sana. Saga tidak ingin Alita salah sangka dan berharap lebih padanya. Sebab ia tahu, gadis itu sudah terbiasa hidup serba mudah.***LS***Melati menatap pintu kamar Saga yang masih terkunci rapat. Dari jendela ruang makan ia memandang carport. Motor iparnya tidak ada di sana. Lantas ke mana Saga? Apa dia tidak pulang? Apa terjadi sesuatu lagi padanya? Dalam sebulan ini sudah dua kali Saga diserang para preman.Wanita itu menoleh saat tangan kecil Moana menyentuh pundaknya. Akbar menggendong sang anak di sebelah Melati."Hai, sudah bangun anak mama," ujarnya sambil mencium pipi chubby Moana. Gadis kecilnya mengulurkan tangan minta di gendong.Akbar duduk di kursi meja makan, bergabung dengan kedua orang tuanya. Dia juga menarik kursi untuk Melati.Meski Saga tidak tampak, tapi tidak ada yang menanyakan tentangnya. Kecuali Pak Norman yang kerap menatap pintu kamar putranya yang masih tertutup rapat. Tadi ia sempat mendengar laki-laki sepuh itu menanyakan tentang Saga pada Mbok Sarwi di dapur."Hari ini mas mau ke luar. Nanti kamu berangkat sendiri ke kebun, ya," kata Akbar saat mendekati Melati yang tengah menyiapkan bekal. Sesaat setelah mereka selesai sarapan.Melati mengangguk."Tengah hari mas sudah kembali."Melati kembali mengangguk sambil tersenyum. Dia tidak ingin tahu ke mana suaminya pergi, daripada mendapatkan sebuah kebohongan sebagai jawaban. Bukankah semenjak gadis itu menghilang, Akbar sering ke luar?Sabarnya sudah mendekati batasan. Melati hanya menunggu waktu sebagai titik balik keputusannya.Setelah menciumi Moana dan pamitan pada papa mertuanya yang tengah sibuk dengan ponsel, Melati berangkat ke perkebunan. Ia pun masih cemas, khawatir terjadi apa-apa dengan Saga yang tidak pulang semalaman. Mungkin papanya tadi juga sibuk menghubungi putra bungsunya.* * *Alangkah lega hati Melati melihat motor Saga berada di bangunan terbuka tempat parkir kendaraan para pekerja. Berarti tadi malam Saga tidur di kantor."Mel," panggil seseorang yang membuat Melati menoleh. Wanita itu mencabut kontak motor dan menghampiri laki-laki yang berdiri di belakangnya. Saga masih memakai bajunya yang kemarin sore ia pakai. "Kamu dari mana kemarin? Aku khawatir terjadi apa-apa sama kamu," omel Melati. "Papa juga gelisah kulihat tadi."Saga tersenyum. Dia berdiri tegak dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jaketnya. "Barusan papa chat aku. Sudah kubalas.""Kamu nggak bilang ya pas kemarin mau pergi?""Aku cuman bilang mau ke luar sebentar." Saga tidak mungkin akan memberitahu papanya kalau dia pergi ke kota. Kecuali kondisinya sudah kembali pulih. Andai ada preman yang biasa mengusiknya, ia bisa mempertahankan diri."Kamu sudah sarapan?""Sudah. Dibuatkan nasi goreng oleh Mak Radi tadi. Mas Akbar mana, apa nggak ke kebun dia?""Mas Akbar pamitan ke luar ta
Hening. Dia sendirian di kantor. Di luar sana, terdengar canda tawa para pekerja. Pemetik teh kebanyakan kaum ibu-ibu, para warga desa. Perempuan memang lebih telaten. Pemetikan tidak boleh dilakukan sembarangan, karena bisa mempengaruhi rasa teh. Itulah kenapa papa mertuanya tidak suka memetik daun teh dengan cara semi mekanis, menggunakan waring atau gunting. Terlebih menghindari pemakaian mesin petik. Sejak dulu pemetikan teh dilakukan secara manual menggunakan tangan.Sampai siang Melati sibuk sendirian di kantor. Saga juga sibuk bolak-balik antara gudang dan kantor. Apalagi tiga hari lagi, waktunya gajian untuk para karyawan.Tepat jam makan siang Akbar baru kembali. Pria itu tersenyum pada Melati yang tengah makan di mejanya. Dikecupnya puncak kepala sang istri. Siang ini sikap Akbar sangat manis. Bahkan ikut makan satu piring dengannya sambil ngobrol."Jam berapa truk berangkat tadi?""Masih pagi, Mas. Nasinya mau tambah lagi?"Akbar mengangguk. Melati menambah satu centong na
"Kamu serius, Nduk?" tanya Budhe Tami.Melati mengangguk mantap. Kemudian menceritakan serentetan peristiwa dalam beberapa hari ini. Sepulangnya dia dari rumah budhenya empat hari yang lalu."Budhe ganti baju dulu." Wanita itu masuk ke dalam rumah.Sementara Melati memperhatikan sekeliling. Di sebelah rumah budhe, ada rumah lama yang masih sangat terawat. Melati melangkah ke sana. Ke rumah peninggalan kedua orang tuanya. Walaupun banyak dindingnya yang sudah mengelupas, tapi rumah itu selalu bersih dari dedaunan kering dan rumput liar. Tiap malam lampu juga dinyalakan.Melati hanya berdiri di emperan. Memperhatikan rimbunan bunga melati di halaman depan dan samping sebelah kanan rumah. Mungkin nanti setelah bercerai dia akan kembali menempati rumah itu. Bisa juga menemani budhenya. Atau merantau jauh untuk sementara. Mencari bekal untuk masa depannya juga Moana.Dihelanya napas panjang. Beberapa hari ini dia sudah memikirkannya. Nara sudah ketemu. Dan dia sering mendengar Akbar menelp
"Kamu dari mana, Mel?" tanya Saga ketika Melati masuk ke kantor. Ana yang sudah duduk di meja kerjanya juga memandang ke arah saudaranya."Ada urusan sebentar," jawab Melati lalu duduk di kursinya. Kemudian membuka buku besar, catatan absensi para karyawan. Mereka tidak boleh salah menghitung bayaran."Hari ini orang-orang gajian, Ga. Mas Akbar nggak di rumah." Melati bicara pada Saga. "Uangnya sudah kubawa semua. Memangnya Mas Akbar pergi ke mana?""Aku nggak tahu. Apa kamu tadi juga nggak nanya?""Dia cuman bilang mau ke luar."Hening. Mereka kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Bunyi keyboard, suara mouse, dan desir angin yang mendominasi pesekitaran kantor. Hingga seorang pekerja datang memberitahu Saga kalau ada tamu yang menunggu di ruang tamu dekat gudang.Tinggal Melati dan Ana dalam ruangan. "Mbak, kamu tadi dari mana?" tanya Ana lirih. "Ada urusan sebentar," jawab Melati. Sesuai dengan apa yang dikatakan dengan Budhe Tami tadi. Dia tidak akan memberitahu siapapun
Akbar baru saja meletakkan ponselnya ketika Melati masuk kamar. Wanita itu menaruh teh di atas meja kecil pojok ruangan. "Tehnya, Mas,"ucapnya tanpa menoleh pada sang suami. Lalu mengambil pakaian kotor di keranjang dan membawanya turun. Perasaannya makin porak-poranda. Dalam hati terasa ada benda yang menyumbat, menyesakkan nafasnya."Mel, kamu sakit," tegur Saga saat Melati lewat hendak ke belakang. Tempat para asisten rumah tangga mengerjakan cucian."Aku nggak apa-apa.""Kamu tampak pucat."Melati berhenti dan memandang adik iparnya. "Aku nggak apa-apa, Ga," ulang Melati sambil tersenyum, lantas melangkah lagi ke belakang.Saga memandang ke arah tangga. Kakaknya baru saja pulang, apa mereka kembali ribut. Kalau saja tidak ingat larangan Melati, mungkin sudah dihajarnya sang kakak sejak terang-terangan menyampaikan niatnya untuk menikah lagi waktu itu. Dia tidak peduli akan nasibnya sendiri setelahnya. Toh, sejak kecil sudah menjadi anak terbuang dan tersisihkan. Jika membela Melat
Jadi, sebenarnya dia menjauh selama ini bukan ingin mundur. Tapi ada rencana lain yang tengah di susunnya. Jika kemarin Nara tidak ingin dinikahi secara siri, kali ini malah menginginkan menjadi istri satu-satunya. Kalau kemarin Akbar berani terang-terangan, kali ini dia memilih backstreet karena Melati sudah bilang ingin bercerai jika Akbar kembali menemukan Nara dan melanjutkan hubungan mereka. Atau Akbar masih menunggu waktu yang tepat untuk membicarakan hal itu padanya."Serius banget, Mas. Dari relasi, ya," tegur Melati saat Akbar sibuk dengan ponselnya.Pria itu tersenyum lantas meletakkan ponselnya di atas meja. Tidak menjawab ucapan sang istri."Ingat nggak kita mas ngajak kamu lunch di tempat ini?" "Tentu aku masih ingat," jawab Melati sebiasa mungkin meski isi kepalanya terasa hampir meledak. Kata-kata manis itu hanya omong kosong belaka sekarang. Ia coba mengingat apa saja yang pernah membuat mereka bahagia selama ini, agar hatinya bisa terkendali dengan baik dan rencanany
Melati sedang membuat susu untuk Moana di dapur ketika Saga menenteng helmnya keluar lewat pintu belakang. Lelaki itu memakai celana jeans warna hitam, jaket kulit, dan sneaker warna serupa."Sepagi ini kamu berangkat ke Surabaya?" tanya Melati lirih. Di dapur memang ada mbok Sarwi, tapi perempuan itu bisa lebih dipercaya daripada Mbok Kiyem yang sangat dekat dengan mama mertuanya."Biar aku bisa cepat pulang," jawab Saga sambil memakai sarung tangannya. "Kamu sudah pamitan sama papa?"Saga menggeleng. "Nanti saja di tengah perjalanan, aku berhenti untuk meneleponnya. Jangan bilang sama siapapun kalau aku menemui Alita.""Oke. Hati-hati kalau gitu.""Makasih, Mel.""Semoga usahamu dipermudah. Alita nggak mempermasalahkan apapun tentangmu."Saga tersenyum samar, lantas melangkah ke luar setelah pamitan dengan Mbok Sarwi yang tengah memotong sayur."Hati-hati, Mas Saga," ucap perempuan itu tulus. Dia yang selama ini memiliki rasa welas asih pada Saga, yang mengurus makan, pakaian, dan
"Ayo, masuk!" Gadis itu membuka pintu pagar lebar-lebar. Saga langsung membawa motornya masuk garasi terbuka di samping rumah. Melepaskan helm dan sarung tangan, baru turun dari motornya."Nggak ada orang di rumah, hanya aku sama si Mbak saja," kata Alita setelah mengajak Saga duduk di ruang tamu."Ke mana Om dan Tante?""Ke Tuban. Entar malam baru pulang.""Padahal aku pengen juga bertemu dengan mereka.""Papa mamaku dah tahu kamu ke mari hari ini. Cuman kebetulan mereka juga harus menghadiri nikahan anak dari teman kantornya Papa."Dari dalam muncul wanita umur empat puluhan membawa nampan berisi secangkir kopi, teh, dan sepiring Lapis Surabaya. Menaruhnya di atas meja, kemudian permisi dan kembali ke belakang."Dari kemarin aku penasaran sih, apa yang mau kamu omongin."Saga meraih cangkir dan menyesap sedikit tehnya. "Kamu sebenarnya nggak tahu banyak tentang aku, Ta. Yang kamu tahu selama ini, aku anak pemilik perkebunan, anak dari istri nomer dua." Saga memulai bercerita. Apa y