Dikiranya dulu, Melati akan jadian dengan Saga. Mengingat mereka sangat dekat dan akrab sejak kecil. Rumah Melati di ujung desa bagian utara, sedangkan Saga berada di ujung Selatan. Bu Ariani, mamanya Saga adalah teman baik ibunya Melati. Namun kenyataan berkata lain, Melati akhirnya menikah dengan Akbar.
"Aku pergi dulu, Mel," ucap Saga menepis hening. Ia melihat jam digital di layar ponselnya. Meski dia anak bos yang mengawasi dan mengurus karyawan, tapi tidak boleh seenaknya saja. Baginya dia bukan siapa-siapa. Hanya seorang pekerja yang bisa dikatakan memiliki jabatan lebih tinggi daripada mereka, itu saja."Oh ya, tadi Mas Akbar bilang hendak pergi ke mana?" tanya Saga setelah berdiri."Aku nggak nanya."Saga menatap Melati sejenak, kemudian beranjak dari sana. Tinggallah dua perempuan itu menikmati semilir angin siang membawa aroma daun teh ke penciuman. Hawa dingin membuat Melati di serang rasa kantuk. Namun ia ingat harus kembali ke ruangan dan menyelesaikan pekerjaannya.***LS***Kabut turun menyelimuti perkebunan, meski jarum jam baru menunjukkan pukul dua siang. Suasana lebih cepat redup daripada di dataran rendah sana.Melati menatap ke luar dari jendela di sampingnya. Tempat biasanya Akbar memarkir mobilnya masih kosong. Entah ke mana suaminya pergi. Dia sudah terbiasa tanpa kabar. Melati bukan lagi sebagai prioritas, jadi tak ada keharusan untuk sang suami mengabari keberadaannya pada Melati. Benar kata Saga, ia harus mulai membiasakan diri tidak berharap dan bergantung pada Akbar. Sadar kalau dirinya hanya dihargai ketika dibutuhkan saja."An, aku ikut kamu. Mau ke rumah Budhe sekarang saja," kata Melati pada Ana yang telah berkemas-kemas. Mereka tiap hari memang pulang jam dua siang. Kecuali banyak yang harus di kerjakan. Misalnya ketika mendekati tanggal gajian para pegawai atau disaat hendak mengirimkan teh ke pabrik."Nanti suamimu nggak nyariin, Mbak?""Aku akan ngirim pesan." Melati meraih ponselnya dan mengetik pesan untuk Akbar. Tanpa menunggu balasan, wanita itu bangkit dari duduknya sambil meraih tas. "Aku pamitan dulu sama Saga."Ana duduk menunggu di teras kantor saat Melati melangkah ke arah gudang. Saat itu Saga tengah menerima telepon. Dilihat dari percakapannya, dia bicara dengan pihak pabrik."Ada apa, Mel?" tanya Saga menghampiri sang ipar yang menunggu di luar gudang."Aku mau ke rumah Budhe Tami. Nanti kasih tahu Mas Akbar misalnya nanyain. Tadi sudah kukirimkan pesan tapi belum di balas.""Oke. Tapi jam tiga nanti aku mau ke Singosari.""Untuk apa?""Bertemu teman.""Tapi lukamu belum sembuh.""Nggak apa-apa. Ini sudah mendingan.""Bagaimana kalau para preman itu menghadangmu lagi? Kamu hanya aman jika berada di perkebunan, Ga.""Lalu apa aku tidak boleh ke mana-mana?""Setidaknya sampai lukamu sembuh. Ingat juga kalau bulan depan kamu tunangan."Saga diam sejenak. "Baiklah, kupikirkan lagi nanti. Makasih kamu sudah peduli."Melati tersenyum sebelum berlalu dari sana. Dengan orang yang tidak tahu menghargainya saja, Melati masih bisa tetap bersikap baik dan peduli. Apalagi pada Saga yang selama ini begitu care dengan apa yang di alaminya. Ada kalanya dia memang tidak butuh teman dengan segala nasehat yang memecahkan kepala, tapi sesekali hanya butuh orang yang mau mendengarkan dan memahami kondisinya.Nasehat dibutuhkan ketika hati telah dingin dan redam dari emosi. Orang yang emosi, nasehat apapun tidak akan masuk ke dalam pikirannya. Begitu juga dengan Akbar, ketika sang suami tergila-gila dengan gadis itu. Nasehat dari papanya hanya dianggap angin lalu. Lebih-lebih papanya pun melakukan hal yang sama tiga puluh tahun yang lalu. Lantas apa bedanya dengan dirinya?Apa mungkin sang papa dianggap lebih parah dari dirinya. Sebab menikah diam-diam sebelum jujur pada istrinya. Sementara Akbar meminta izin baik-baik pada Melati.Ana memboceng Melati menuju desa mereka. Terus ke arah utara melewati kebun teh dan kebun sayur. Lalu berhenti di depan rumah sederhana di ujung jalan.Perempuan umur enam puluhan yang tengah mengambil jemuran di samping rumah tersenyum senang melihat kedatangan Melati."Assalamu'alaikum, Budhe.""Wa'alaikumsalam, Nduk. Alhamdulillah, kamu datang. Budhe kangen sama kamu." Perempuan itu meletakkan keranjang cucian lalu mengelap tangannya ke daster yang dipakai dan menerima uluran tangan Melati."Ayo, masuk. Budhe masak ayam kecap sama urap. Tadi sudah budhe tata di rantang biar Ana yang mengantarkan. Tapi syukurlah kamu datang. Mari makan bareng-bareng." Wanita itu mengajak Melati dan Ana masuk ke rumahnya. Menatakan piring, lauk, dan nasi."Kemarin Ana sudah cerita banyak sama budhe," kata Budhe Tami sambil makan."Mundur wae to, Nduk. Budhe kasihan sama kamu. Jangan pertaruhkan sepanjang hidupmu dalam hubungan seperti ini. Kamu berhak bahagia, Nduk. Budhe tahu kamu khawatir nggak bisa bertemu Moana. Tapi berkorban sementara nggak apa-apa. Kelak Moana akan mencari ibunya. Percayalah."Ambil sisi baiknya saja. Jika bersama mereka, Moana akan mendapatkan kehidupan yang layak, yang lebih baik. Bisa sekolah tinggi-tinggi. Bersamamu belum tentu bisa. Berpikirlah seperti itu supaya hatimu lapang. Yang terpenting doakan saja, karena doa seorang ibu bisa tembus ke langit. Budhe yakin, Moana akan mencarimu jika sudah mengerti nanti."Mungkin kamu bertahan karena nggak ingin anakmu kehilangan sosok kedua orang tuanya. Tidak ingin membuat Moana patah hati. Tapi tahukah kamu, dalam keadaan kamu bertahan pun, anakmu tetap merasakan broken home. Karena ketidakharmonisan kedua orang tuanya. Anakmu secara nggak langsung sudah patah hati, Nduk. Apalagi jika perempuan itu kembali dan menikah dengan Akbar, bisakah hidupmu tenang lahir batin?"Nasehat budhenya yang pensiunan guru SD itu membuat Melati terdiam. Benar yang dikatakannya. Seumur hidup terlalu lama.Sekarang saja ia masih merasakan sakit, padahal perempuan itu memilih pergi. Namun hati suaminya juga ikut pergi. Jika mereka memang masih saling mencintai, tidak mustahil akan kembali saling mencari. Apalagi Melati sudah memberikan restunya. Tanda tangan di atas materai sebagai bukti kalau ia rela dipoligami."Nduk, pikirno, yo. Jangan mengorbankan usiamu. Waktu yang hilang tidak akan bisa kembali. Sekarang kamu akan terluka seketika, tapi kamu bisa meraih bahagiamu selanjutnya. Budhe tahu, kalau menyuruh suami istri bercerai itu dosa besar. Namun untuk apa bertahan jika kamu sebenarnya terpaksa menjalaninya."Nduk, anggap saja kamu nggak punya siapa-siapa di dunia ini. Jadi, buatlah sendiri hidupmu bahagia. Budhe sudah tua dan nggak punya apa-apa, yang bisa budhe berikan hanya doa serta nasehat."Melati meletakkan sendoknya dan menghapus air mata dengan ujung jilbabnya. "Makasih, Budhe," jawabnya di tengah isak tangis.Ana yang duduk di sebelah, merangkul bahu saudaranya. Netranya ikut berkaca-kaca.Hening itu akhirnya tersibak oleh suara mobil yang berhenti di halaman rumah Budhe Tami."Mbak, sepertinya Mas Akbar menjemputmu," ucap Ana sambil menatap pintu depan.* * *Melati berdiri sambil mengelap sisa air mata di pipinya. "An, kamu keluar dulu temui Mas Akbar. Bilang kalau aku masih di belakang sebentar," perintah Melati dengan nada pelan."Iya." Ana bergegas ke depan. Sedangkan Melati melangkah ke belakang diikuti oleh budhenya. Dilepaskan jilbab, menaruhnya di sandaran kursi, dan membasuh wajahnya di wastafel. Budhe Tami mendekat. "Nduk, apapun keputusan yang kamu ambil nanti. Bicarakan dengan baik-baik. Ketika hubunganmu dulu di awali secara baik, biarlah berakhir dengan baik-baik juga. Menjadi janda tidaklah semenakutkan bayanganmu. Biar, biarkan orang di luar sana yang mendukung keluarga itu bicara apapun terhadapmu. Tapi asal kamu tahu, banyak warga desa yang bersimpati daripada menghujatmu. Keinginan Akbar yang di dukung oleh mamanya sudah diketahui mereka. Justru mereka menganggapmu bodoh jika masih terus bertahan di sana. "Banyak yang mendukungmu, Nduk. Kamu jangan takut. Tapi jika kamu rasa bisa bertahan, budhe juga nggak bisa mengha
Astagfirullahaladzim. Melati beristighfar dalam hati. Apa suaminya benar-benar sudah memahami apa itu poligami? Yang tidak hanya membahas hubungan biologis saja, tapi banyak lagi hal-hal yang akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di alam akhirat.Melati menengadah. Menatap bayang-bayang malam di penghujung senja ini. Ternyata sudah cukup lama mereka berada di tengah kebun sayur itu."Mel, jika kamu mengatakan hal ini dikala Nara pergi. Apakah ini semacam ancaman agar mas nggak lagi mencarinya?"Senyum paling getir menghiasi bibir pucat Melati. "Ancama apa? Kenapa aku harus mengancammu, Mas? Hati itu milikmu, bagaimana aku bisa mengendalikan apa yang kamu inginkan dan rasakan di dalam sana." Melati menunjuk dada Akbar dengan gerakan dagunya."Sedangkan mas sendiri bilang nggak bisa mengawalnya lagi. Apalagi aku ...." Nada suara Melati mengambang."Mungkin kemarin aku sanggup menyetujui keinginanmu. Namun setelah Nara pergi dan Mas sekalut ini, berarti rasamu hanya milik dia sekaran
Akbar berdiri di balkon lantai dua. Menatap di kejauhan sambil mendengarkan orang yang berbicara di seberang sana."Bos, aku sudah dapat kabar tentang Nara. Dia masih di Surabaya sebenarnya. Cuman belum tahu di mana pastinya dia tinggal. Orang-orangku tengah mencari tahu alamatnya ini.""Oke," jawab Akbar singkat. Lantas mematikan panggilan.Gadis itu, nekat pergi menjelang pernikahan yang telah disiapkan secara matang. Apa yang membuatnya membatalkan acara itu? Bahkan dia nekat pergi dari keluarganya juga. Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?Tatapan Akbar menjangkau jauh dalam pekat malam. Semua percakapan Melati sore tadi masih terngiang di pendengaran. Cerai. Melati tak ragu lagi meminta itu darinya. Akbar mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Kemudian kembali ke dalam."Mbak Melati sudah kembali ke kamar, Pak." Tini yang masih membereskan mainan Moana memberitahu Akbar. Laki-laki itu mengangguk lantas melangkah pergi. Tini menutup pintu dan ingin segera tidur.Dalam kam
Izam memerhatikan sekeliling. Para pengunjung kafe sudah pergi, tinggal mereka dan ada satu meja berisi tiga orang remaja. "Ga, udah malam. Kita pulang! Bentar lagi kafe tutup," ajak laki-laki itu.Mereka segera berdiri dan pergi ke arah motor masing-masing."Gimana kalau nginap saja di rumahku Lagian bahaya kalau kamu pulang larut. Aku khawatir para preman itu menghadangmu lagi. Mereka seperti punya seribu mata. Ke mana pun kamu pergi, selalu terdeteksi," kata Izam."Tidak usah, aku mau pulang saja.""Nggak bahaya?""Semoga saja tidak," jawab Saga sambil memakai helmnya. Laki-laki itu tampak tenang, justru Izam yang khawatir."Aku pulang dulu, Zam. Lusa kita ngopi lagi.""Oke, Bro. Hati-hati. Sampai rumah nanti jangan lupa kabari."Saga mengangguk, lantas melaju pelan keluar parkiran kafe.Hening sepanjang perjalanan menuju perkebunan. Dia memutuskan untuk tidak pulang ke rumah. Tapi akan tidur di kebun. Toh, di sana juga ada Pak Radi dan sang istri yang memang dipercaya oleh papanya
Alangkah lega hati Melati melihat motor Saga berada di bangunan terbuka tempat parkir kendaraan para pekerja. Berarti tadi malam Saga tidur di kantor."Mel," panggil seseorang yang membuat Melati menoleh. Wanita itu mencabut kontak motor dan menghampiri laki-laki yang berdiri di belakangnya. Saga masih memakai bajunya yang kemarin sore ia pakai. "Kamu dari mana kemarin? Aku khawatir terjadi apa-apa sama kamu," omel Melati. "Papa juga gelisah kulihat tadi."Saga tersenyum. Dia berdiri tegak dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jaketnya. "Barusan papa chat aku. Sudah kubalas.""Kamu nggak bilang ya pas kemarin mau pergi?""Aku cuman bilang mau ke luar sebentar." Saga tidak mungkin akan memberitahu papanya kalau dia pergi ke kota. Kecuali kondisinya sudah kembali pulih. Andai ada preman yang biasa mengusiknya, ia bisa mempertahankan diri."Kamu sudah sarapan?""Sudah. Dibuatkan nasi goreng oleh Mak Radi tadi. Mas Akbar mana, apa nggak ke kebun dia?""Mas Akbar pamitan ke luar ta
Hening. Dia sendirian di kantor. Di luar sana, terdengar canda tawa para pekerja. Pemetik teh kebanyakan kaum ibu-ibu, para warga desa. Perempuan memang lebih telaten. Pemetikan tidak boleh dilakukan sembarangan, karena bisa mempengaruhi rasa teh. Itulah kenapa papa mertuanya tidak suka memetik daun teh dengan cara semi mekanis, menggunakan waring atau gunting. Terlebih menghindari pemakaian mesin petik. Sejak dulu pemetikan teh dilakukan secara manual menggunakan tangan.Sampai siang Melati sibuk sendirian di kantor. Saga juga sibuk bolak-balik antara gudang dan kantor. Apalagi tiga hari lagi, waktunya gajian untuk para karyawan.Tepat jam makan siang Akbar baru kembali. Pria itu tersenyum pada Melati yang tengah makan di mejanya. Dikecupnya puncak kepala sang istri. Siang ini sikap Akbar sangat manis. Bahkan ikut makan satu piring dengannya sambil ngobrol."Jam berapa truk berangkat tadi?""Masih pagi, Mas. Nasinya mau tambah lagi?"Akbar mengangguk. Melati menambah satu centong na
"Kamu serius, Nduk?" tanya Budhe Tami.Melati mengangguk mantap. Kemudian menceritakan serentetan peristiwa dalam beberapa hari ini. Sepulangnya dia dari rumah budhenya empat hari yang lalu."Budhe ganti baju dulu." Wanita itu masuk ke dalam rumah.Sementara Melati memperhatikan sekeliling. Di sebelah rumah budhe, ada rumah lama yang masih sangat terawat. Melati melangkah ke sana. Ke rumah peninggalan kedua orang tuanya. Walaupun banyak dindingnya yang sudah mengelupas, tapi rumah itu selalu bersih dari dedaunan kering dan rumput liar. Tiap malam lampu juga dinyalakan.Melati hanya berdiri di emperan. Memperhatikan rimbunan bunga melati di halaman depan dan samping sebelah kanan rumah. Mungkin nanti setelah bercerai dia akan kembali menempati rumah itu. Bisa juga menemani budhenya. Atau merantau jauh untuk sementara. Mencari bekal untuk masa depannya juga Moana.Dihelanya napas panjang. Beberapa hari ini dia sudah memikirkannya. Nara sudah ketemu. Dan dia sering mendengar Akbar menelp
"Kamu dari mana, Mel?" tanya Saga ketika Melati masuk ke kantor. Ana yang sudah duduk di meja kerjanya juga memandang ke arah saudaranya."Ada urusan sebentar," jawab Melati lalu duduk di kursinya. Kemudian membuka buku besar, catatan absensi para karyawan. Mereka tidak boleh salah menghitung bayaran."Hari ini orang-orang gajian, Ga. Mas Akbar nggak di rumah." Melati bicara pada Saga. "Uangnya sudah kubawa semua. Memangnya Mas Akbar pergi ke mana?""Aku nggak tahu. Apa kamu tadi juga nggak nanya?""Dia cuman bilang mau ke luar."Hening. Mereka kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Bunyi keyboard, suara mouse, dan desir angin yang mendominasi pesekitaran kantor. Hingga seorang pekerja datang memberitahu Saga kalau ada tamu yang menunggu di ruang tamu dekat gudang.Tinggal Melati dan Ana dalam ruangan. "Mbak, kamu tadi dari mana?" tanya Ana lirih. "Ada urusan sebentar," jawab Melati. Sesuai dengan apa yang dikatakan dengan Budhe Tami tadi. Dia tidak akan memberitahu siapapun