Waktu yang Hilang- Welcome, ShakaMelati masih bertahan untuk tidak membangunkan sang suami. Menahan rasa nyeri yang kadang datang kadang menghilang. Ia berharap ini hanya kontraksi palsu dan semoga tidak melahirkan di Malang. Tak bisa membayangkan kalau harus berjauhan dengan sang suami.Terus dia pun tidak membawa perlengkapan lahiran sama sekali. Baju bayi juga tak ada sehelai pun. Bagaimana ini? Pasti akan kalang kabut kalau ia lahiran di Malang."Sabar, Dek. Besok pagi kita pulang," ucapnya lirih sambil terus mengelus perut.Setengah jam kemudian ia sudah tidak tahan lagi. Rasa mulas kerap menghampiri. Dilihatnya jam di dinding kamar. Jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam.Disentuhnya lengan Saga. "Mas," panggilnya pelan.Saga yang telah pulas itu cukup peka. Sontak dia membuka mata kemudian duduk memandang Melati yang bersandar di kepala dipan."Kamu kenapa?" Saga panik melihat Melati yang gelisah dengan keringat membasahi keningnya."Perutku mulas, Mas.""Kita ke dokter. S
Saga menahan tubuh Melati yang menengang, tangan wanita itu merangkul erat lengan sang suami yang berdiri tegak menopang raganya. Kontraksi yang datang membuatnya menghentikan langkah. Ruangan itu lumayan luas untuk berjalan-jalan. Agar seluruh otot panggul serta rahim menjadi lebih rileks, membantu pembukaan lebih cepat. "Mas, kita akan berpisah setelah ini," ucap Melatih lirih."Berpisah bagaimana?" Saga kaget. Pikirkannya sontak ke mana-mana. Bahkan menjangkau hal paling buruk yang menimpa wanita melahirkan. Ia tidak suka mendengar istrinya bicara seperti itu. Tak akan sanggup kehilangan Melati."Nggak mungkin setelah lahiran, aku dan anak kita pulang ke Jogja."Saga bernapas lega. Melati ternyata hanya kepikiran tentang hal itu. "Siapa bilang tidak mungkin? Aku akan membawa kalian langsung pulang."Melati tersenyum getir sambil menahan nyeri. "Nggak mungkin, Mas.""Jangan pikirkan hal itu dulu. Yang penting sekarang kamu bisa melahirkan secara lancar," potong Budhe Tami yang ikut
Waktu yang Hilang- MinderSiang itu kamar perawatan Melati dipenuhi oleh kerabat. Bu Rista, Akbar, Moana, dan Tini belum pulang, sudah kedatangan keluarga Ana. Kemudian Pak Norman, Budhe Tami, dan Pak Slamet yang baru pulang dari belanja. Shaka sama sekali tidak terganggu. Bayi tampan itu rewel kalau ingin minum susu saja. Setelah kenyang juga terlelap kembali. Moana tidak mau jauh-jauh dari adiknya. Bahkan bilang kalau adiknya tidak boleh dibawa pulang ke Jogja.Melati terharu. Dielusnya kepala bocah perempuan yang duduk di sebelahnya. Seorang psikolog anak mengatakan, bahwa anak bisa menjadi pintar itu ada waktunya sendiri. Anak usia dini harus jadi anak yang bahagia, bukan anak yang pintar. Karena yang berkembang pertama kali dari seorang anak adalah perasaannya. Kalau perasaannya bahagia, dia akan gampang menjadi anak yang cerdas.Walaupun ia telah bercerai dari Akbar. Nyatanya Moana tidak kekurangan kasih sayang. Bu Rista sangat mencintai cucunya itu.Akbar yang duduk di pojoka
"Kakek!" teriaknya memanggil Pak Norman. Laki-laki itu memeluk dan menciumi sang cucu. Kemudian Moana melepaskan diri dan berlari masuk rumah. "Om, mana adeknya?" tanya Moana sambil bersandar pada Saga."Itu adeknya lagi dipangku sama Mbah Tami." Saga menggendong Moana dan mengajaknya mendekat pada Budhe Tami."Moa, papa pulang dulu, ya. Nanti sore papa jemput lagi." Akbar bicara dari depan pintu.Moana mengangguk. "Mas, tidak masuk dulu?" tanya Saga."Nanti saja aku datang lagi. Aku mau ke perkebunan karena ada barang yang akan diambil siang ini.""Oke."Akbar memandang ke arah Tini yang duduk di sebelah Melati. "Tin, jagain Moa. Jangan biarkan ganggu adeknya yang lagi tidur.""Njih, Mas Akbar.""Ga, Mel, aku pamit dulu!" Akbar juga menyapa beberapa orang yang ada di dalam rumah. Orang-orang yang bagi Akbar menatapnya dengan pandangan aneh. Entah tatapan iba, mengejek, atau tertawa dalam hati melihat kenyataan hidupnya sekarang ini."Pa, aku pergi dulu," pamitnya pada sang papa."Iy
Waktu yang Hilang- Waktunya PulangAkbar masih diam menunggu keputusan mamanya. Beberapa orang tetangga yang di undang, memperhatikan mobil Akbar yang berhenti di sebelah mobilnya suami Yuli. Mereka sempat saling berbisik.Untung terhalang mobil itu, jadi tidak semua orang bisa melihatnya. Akbar paham perasaan sang mama. Butuh nyali besar untuk mampu berhadapan dengan keluarganya Bu Ariani. Perempuan yang selalu disakitinya selama ini. "Kita pulang saja, Bar," ajak Bu Rista."Ini kesempatan kita bertemu dengan mereka, Ma. Moana dan Tini juga ada di dalam," bujuk Akbar sekali lagi. Walaupun nyalinya juga masih dipertanyakan. Keluarga besar Saga akhirnya bakal tahu kalau dirinya mantan suami Melati. Kakak dari Saga sendiri. Akbar juga butuh menata hati."Jangan sekarang. Suatu hari nanti saja, kita bisa pergi ke Jogja. Sambil nganterin Moana bertemu sama adiknya."Akbar termenung sejenak mendengar keputusan sang mama. "Baiklah, Ma." Akbar melajukan mobilnya lagi. Dia yang memahami pe
Akbar pun tidak memungkiri ucapan laki-laki di hadapannya itu. Karena dia pun mengenal bagaimana Saga. Dia memang pendengar yang baik. Meski awalnya mungkin karena suaranya tidak berarti di tengah keluarganya. Namun hal itu akhirnya menjadi sisi positif yang sangat dibutuhkan dalam karir Saga yang sekarang. Akbar mendapatkan pelajaran penting, bahwa segala sesuatu tidak ada yang sia-sia. Jam setengah sepuluh Akbar mengajak Moana dan Tini pulang. Gadis kecil yang telah mengantuk itu menurut. Melati menciumi putrinya. "Besok ke sini lagi, ya. Adek masih di sini."Moana mengangguk. "Iya, Ma."Moana minta gendong pada papanya setelah bersalaman dengan semua orang yang ada di sana.Akbar pamitan pada kerabat Saga dan Melati. Juga mempersilakan mereka singgah ke perkebunan besok sebelum kembali ke Jogja.Sementara di rumah almarhumah Bu Ariani. Pak Norman sempat mendengar kedua mertuanya masih terjaga, meski waktu sudah menunjukkan jam dua belas malam."Apa dulu Ariani bahagia tinggal di
Waktu yang Hilang- LDMAkbar menghentikan mobil di tempat biasanya. Di jalan depan rumah Budhe Tami. Moana mencium tangan sang papa sebelum diturunkan oleh Tini."Jangan nakal, ya. Kalau adeknya bobok, Moa jangan gangguin. Nanti adek Shaka rewel, loh. Kasihan karena papanya sudah pulang ke Jogja," pesan Akbar pada putrinya."Loh, papanya adek, Papa Akbar, 'kan?" tanya Moana polos. Mata beningnya menatap penuh tanya pada sang papa.Mendengar hal itu Akbar tersenyum. Dijelaskan sekarang pun Moana pasti belum bisa memahami. Di dalam pikirannya, kalau itu adek dia, berarti memiliki papa yang sama.Jika memaksakan diri dijelaskan panjang lebar, khawatir Moana justru salah pengertian. Anak sekecil itu adalah perekam yang baik, takut jika persepsi yang salah akan diingat dan diyakininya sampai dia dewasa nanti."Sayang, papanya adek Shaka itu Om Saga," jawab Akbar pelan."Kok bisa? Kalau Shaka adeknya Moa, berarti papa kita sama. Seperti temanku. Sheren dan adiknya punya mama dan papa yang
"Kalau Mas nggak kecewa dengan Nara, apa mungkin Mas akan mengajakku rujuk? Belum tentu, kan?" Masih teringat jelas kalimat Melati kala itu. Kalimat wajar yang dianggapnya seolah menyudutkan dirinya karena kesalahan yang telah dibuat olehnya. Padahal sangat lumrah kalau Melati berkata seperti itu, karena dia sangat tersakiti."Sudah waktunya kamu memikirkan pendamping hidup. Mumpung Moana masih kecil, Bar. Gampang adaptasinya dengan ibu baru." Tadi malam sang mama bicara seperti itu, saat mereka duduk berbincang di balkon lantai dua."Aku belum kepikiran, Ma. Lagian sama siapa? Siapa yang bisa menerima, menyayangi, dan merawat Moana dengan baik.""Kamu jangan khawatir, Moana biar sama mama saja. Kamu carilah kebahagiaanmu.""Nggak bisa, Ma. Moana itu segalanya bagiku. Dia akan bersamaku sampai kapanpun. Seperti aku dan mama sekarang ini."Tidak mungkin demi wanita lain, Akbar akan membiarkan Moana dirawat dan tinggal sama neneknya. Dia tidak ingin mengulang kesalahan yang sama. Lagi p