"Kakek!" teriaknya memanggil Pak Norman. Laki-laki itu memeluk dan menciumi sang cucu. Kemudian Moana melepaskan diri dan berlari masuk rumah. "Om, mana adeknya?" tanya Moana sambil bersandar pada Saga."Itu adeknya lagi dipangku sama Mbah Tami." Saga menggendong Moana dan mengajaknya mendekat pada Budhe Tami."Moa, papa pulang dulu, ya. Nanti sore papa jemput lagi." Akbar bicara dari depan pintu.Moana mengangguk. "Mas, tidak masuk dulu?" tanya Saga."Nanti saja aku datang lagi. Aku mau ke perkebunan karena ada barang yang akan diambil siang ini.""Oke."Akbar memandang ke arah Tini yang duduk di sebelah Melati. "Tin, jagain Moa. Jangan biarkan ganggu adeknya yang lagi tidur.""Njih, Mas Akbar.""Ga, Mel, aku pamit dulu!" Akbar juga menyapa beberapa orang yang ada di dalam rumah. Orang-orang yang bagi Akbar menatapnya dengan pandangan aneh. Entah tatapan iba, mengejek, atau tertawa dalam hati melihat kenyataan hidupnya sekarang ini."Pa, aku pergi dulu," pamitnya pada sang papa."Iy
Waktu yang Hilang- Waktunya PulangAkbar masih diam menunggu keputusan mamanya. Beberapa orang tetangga yang di undang, memperhatikan mobil Akbar yang berhenti di sebelah mobilnya suami Yuli. Mereka sempat saling berbisik.Untung terhalang mobil itu, jadi tidak semua orang bisa melihatnya. Akbar paham perasaan sang mama. Butuh nyali besar untuk mampu berhadapan dengan keluarganya Bu Ariani. Perempuan yang selalu disakitinya selama ini. "Kita pulang saja, Bar," ajak Bu Rista."Ini kesempatan kita bertemu dengan mereka, Ma. Moana dan Tini juga ada di dalam," bujuk Akbar sekali lagi. Walaupun nyalinya juga masih dipertanyakan. Keluarga besar Saga akhirnya bakal tahu kalau dirinya mantan suami Melati. Kakak dari Saga sendiri. Akbar juga butuh menata hati."Jangan sekarang. Suatu hari nanti saja, kita bisa pergi ke Jogja. Sambil nganterin Moana bertemu sama adiknya."Akbar termenung sejenak mendengar keputusan sang mama. "Baiklah, Ma." Akbar melajukan mobilnya lagi. Dia yang memahami pe
Akbar pun tidak memungkiri ucapan laki-laki di hadapannya itu. Karena dia pun mengenal bagaimana Saga. Dia memang pendengar yang baik. Meski awalnya mungkin karena suaranya tidak berarti di tengah keluarganya. Namun hal itu akhirnya menjadi sisi positif yang sangat dibutuhkan dalam karir Saga yang sekarang. Akbar mendapatkan pelajaran penting, bahwa segala sesuatu tidak ada yang sia-sia. Jam setengah sepuluh Akbar mengajak Moana dan Tini pulang. Gadis kecil yang telah mengantuk itu menurut. Melati menciumi putrinya. "Besok ke sini lagi, ya. Adek masih di sini."Moana mengangguk. "Iya, Ma."Moana minta gendong pada papanya setelah bersalaman dengan semua orang yang ada di sana.Akbar pamitan pada kerabat Saga dan Melati. Juga mempersilakan mereka singgah ke perkebunan besok sebelum kembali ke Jogja.Sementara di rumah almarhumah Bu Ariani. Pak Norman sempat mendengar kedua mertuanya masih terjaga, meski waktu sudah menunjukkan jam dua belas malam."Apa dulu Ariani bahagia tinggal di
Waktu yang Hilang- LDMAkbar menghentikan mobil di tempat biasanya. Di jalan depan rumah Budhe Tami. Moana mencium tangan sang papa sebelum diturunkan oleh Tini."Jangan nakal, ya. Kalau adeknya bobok, Moa jangan gangguin. Nanti adek Shaka rewel, loh. Kasihan karena papanya sudah pulang ke Jogja," pesan Akbar pada putrinya."Loh, papanya adek, Papa Akbar, 'kan?" tanya Moana polos. Mata beningnya menatap penuh tanya pada sang papa.Mendengar hal itu Akbar tersenyum. Dijelaskan sekarang pun Moana pasti belum bisa memahami. Di dalam pikirannya, kalau itu adek dia, berarti memiliki papa yang sama.Jika memaksakan diri dijelaskan panjang lebar, khawatir Moana justru salah pengertian. Anak sekecil itu adalah perekam yang baik, takut jika persepsi yang salah akan diingat dan diyakininya sampai dia dewasa nanti."Sayang, papanya adek Shaka itu Om Saga," jawab Akbar pelan."Kok bisa? Kalau Shaka adeknya Moa, berarti papa kita sama. Seperti temanku. Sheren dan adiknya punya mama dan papa yang
"Kalau Mas nggak kecewa dengan Nara, apa mungkin Mas akan mengajakku rujuk? Belum tentu, kan?" Masih teringat jelas kalimat Melati kala itu. Kalimat wajar yang dianggapnya seolah menyudutkan dirinya karena kesalahan yang telah dibuat olehnya. Padahal sangat lumrah kalau Melati berkata seperti itu, karena dia sangat tersakiti."Sudah waktunya kamu memikirkan pendamping hidup. Mumpung Moana masih kecil, Bar. Gampang adaptasinya dengan ibu baru." Tadi malam sang mama bicara seperti itu, saat mereka duduk berbincang di balkon lantai dua."Aku belum kepikiran, Ma. Lagian sama siapa? Siapa yang bisa menerima, menyayangi, dan merawat Moana dengan baik.""Kamu jangan khawatir, Moana biar sama mama saja. Kamu carilah kebahagiaanmu.""Nggak bisa, Ma. Moana itu segalanya bagiku. Dia akan bersamaku sampai kapanpun. Seperti aku dan mama sekarang ini."Tidak mungkin demi wanita lain, Akbar akan membiarkan Moana dirawat dan tinggal sama neneknya. Dia tidak ingin mengulang kesalahan yang sama. Lagi p
Waktu yang Hilang- Sebuah Pilihan Saga meletakkan kotak kembali ke tempatnya. Nanti saja ditanyakan kalau Melati sudah kembali ke Jogja. Atau pas ketika mereka sedang telepon.Tatapannya beralih pada sudut ruangan. Di sana menumpuk beberapa perlengkapan bayi yang telah disiapkannya bersama Melati jauh-jauh hari. Ternyata jagoan mereka tidak mau lahir di Jogja. Setelah berganti celana, Saga menjatuhkan diri di pembaringan. Tidak menunggu lama ia langsung terlelap. Bahkan dia lupa kalau telah disiapkan kopi di meja televisi oleh Mbak Harti. Capek di perjalanan, lelah juga begadang tiap malam menemani si baby yang melek hingga menjelang pagi. Walaupun tidak rewel, tapi Saga tidak tega membiarkan anaknya begadang sendirian.Sementara Melati yang lelah, tetap tidur dan terbangun jika Shaka minta ASI.***LS***"Nduk Moana, itu udah dijemput sama papa," teriak Budhe Tami yang duduk di teras sambil menunggui baby Shaka yang tidur di stroller-nya. Stroller yang dibelikan oleh Bu Benowo keti
Saga keluar dari ruangan Pak Benowo, setelah setengah jam sempat berbincang dengan bos sekaligus pakdenya. Tergesa menuju parkiran karena harus segera ke kampus."Selamat ya, udah jadi bapak sekarang!" Saga yang tengah memakai helm menoleh. Gama berdiri tidak jauh darinya. Sudah dua kali ini mereka bertemu berdua di tempat parkir."Makasih," jawab Saga."Bebas sekarang. Istri di Malang, kamunya di sini. Bisa main-main sejenak. Nakal sementara nggak masalah. Laki-laki mah sudah biasa. Papamu dulu juga melakukannya, kan?"Saga yang sudah naik di atas motor kembali turun. Membuka lagi kaca helm teropongnya. Dia berdiri tepat di hadapan sepupunya dan menatap tajam Gama. "Lain kali jangan pakai celana dan kemeja. Pakai saja daster atau bikini." Selesai bicara Saga mundur dan kembali naik kendaraannya.Gama berdiri tegak. Wajahnya merah padam, tidak terima dengan ucapan Saga. Ia merasa terhina."Kalau kamu tidak terima. Besok atau lusa kita bisa bertemu lagi. Urusanku lebih penting daripad
Waktu yang Hilang- Resah"Mas Saga, mau makan apa?" tanya Mbak Harti menghampiri. Hanya wanita itu atau karyawan laki-laki yang berani mendekat Kalau para karyawan cewek pada segan. Karena Saga tidak pernah mengajak mereka bicara kalau tidak ada hal penting."Nanti saja, Mbak," tolaknya sambil terus sibuk mengetik pesan untuk Melati. Padahal tadi perutnya sampai berbunyi karena lapar, tapi karena istrinya tidak menjawab panggilan. Saga lupa kalau sedang lapar.Mbak Harti kemudian pergi karena melihat Saga yang begitu serius menatap layar ponsel. Namun ia tetap membuatkan segelas teh hangat untuk Saga. Karena Melati sering menyiapkan minuman itu saat suaminya pulang."Tehnya, Mas.""Makasih, Mbak. Tunggu sebentar!" tahan Saga ketika wanita itu berbalik."Iya, Mas.""Tadi Melati nelepon sama Mbak Harti apa tidak?""Jam delapan tadi telepon saya. Nanyain Mas Saga sudah pulang apa belum. Saya jawab belum.""Itu saja?""Sama tanya tentang kafe, Mas.""Oke, Mbak." Saga kembali fokus ke po