Bismillahirrahmanirrahim."Bu! Kenapa masih ada noda di sini? ibu tidak bersih ya mencucinya," hardik istriku dengan mata melotot tajam."Ini! Ibu cuci lagi sampai bersih! Awas saja, kalau tidak bersih, ibu tanggung akibatnya," seru Nuri seraya melempar baju ke wajah perempuan yang telah melahirkanku. Baju itu luruh jatuh ke lantai, sedangkan Ibu tertunduk diam.Kukepalkan kedua tangan dengan napas memburu dan menderu kencang, menyaksikan perlakuan Nuri istriku pada wanita tercintaku. Wanita yang aku sayang dan aku kasihi dengan segenap jiwa, mendapat perlakuan semena-mena oleh perempuan yang bergelar istriku. Tak pernah kubayangkan ibuku diperlakukan seperti itu, sungguh tidak manusiawi.Aku sungguh tidak menyangka, akan mengalami nasib seperti cerita KBM yang sering aku baca. Meskipun ceritanya bertolak belakang dengan keadaan yang menimpaku, di mana kebanyakan cerita mertua kejam. Tapi kenyataan yang kuhadapi menantu kurang ajar."Iya Nak, nanti ibu cuci lagi. Sekarang tidak bisa,
Bismillahirrahmanirrahim."Tolong ambil berkas Mas, map warna merah di ruang kerja, terus anter ke depan sekarang juga.""A-apa Mas," sahut Nuri gagap seperti orang ketakutan. Jelas sekali terdengar dari nada bicaranya. Aku menyunggingkan senyum sekilas, puas rasanya mendengar ia ketakutan.Tapi tunggu dulu.Wanita itu tampak gugup memenuhi permintaanku, apa mungkin dia mengira aku mengetahui perangainya tadi. Kalau ia, tentu aku akan kesulitan untuk menyelidiki lebih jauh. Duh! Bagaimana ini, seharusnya tadi tunggu beberapa menit dulu, baru telpon. Tapi ya sudahlah, semua sudah terjadi. Semoga saja Nuri tidak mengetahui, kalau suaminya ini telah menangkap basah sifat buruknya.“Kamu kenapa gugup begitu? Ada sesuatukah!”“Ti-tidak, tidak ada apa-apa Mas. Tadi Mas bilang apa?”“Ambil berkas map warna merah di ruang kerja, terus anter ke depan. Kamu sedang apa sih, kok tidak fokus begini." Selidikku lebih jauh."I-iya Mas, sejak kapan Mas berada di depan?” tanya Nuri dengan napas tercek
Bismillahirrahmanirrahim."Apa kamu bilang? Ibu sakit! tadi pagi ibu baik-baik sajaaku tinggal. Kenapa tiba-tiba sakit?""Tidak tahu Mas,” lirih Nuri pelan.“Jangan bercanda kamu, tidak mungkin ibu tiba-tiba sakit,tanpa sebab. Pasti telah terjadi sesuatu pada ibu, jatuh atau apa gitu, katakan sebenarnya Nuri, apa yang terjadi pada ibu, kenapa ibu bisa sakit.”“Aku tidak mengerti Mas, aku tidak berbuat yang aneh-anehpada ibu. Makanan yang disantap ibu juga sehat. Ibu juga tidak jatuh.” Sahut Nuriberkelit.“Lalu ibu sakit apa?”“Sakit perut Mas, ibu tidak berhenti memegang perutnya.” LaporNuri seraya terisak kecil.“Jangan-jangan mag ibu kambuh, tadi saat mas pergi, kamusudah pastikan ibu sarapan?”“Jangan-jangan kamu lupa mengingatkan ibu.”“Tidak Mas, tadi ibu menolak sarapan bareng aku, katanyasebentar lagi. Setelah sarapan, aku tinggal ke kamar. Sedangkan ibu berada ditaman belakang sedang menyiram tanaman. Entah ibu sudah sarapan apa belum, akutidak tahu pasti Mas. Ibu bilang akan
Bismillahirrahmanirrahim.“Apa Mas? Tidak mungkin Mbak Nuri setega itu. Selama ini aku melihat ibu sangat menyayangi Mbak Nuri. Mana mungkin istri Mas itu sanggupmelakukan hal serendah itu.”“Tadinya Mas juga menyangsikan, tapi itulah kenyataannya Dek. Saat melihat kejadian waktu itu, mbakmu itu seperti orang kerasukan, seakan-akan bukan Nuri yang bicara, tapi orang lain tengah mempengaruhi akal sehatnya.”“Ini tidak bisa dibiarkan Mas, harus dibawa ke orang pintar, atau tanya langsung sama Mbak Nuri, apa maksudnya bertindak kejam pada ibu, pasti dia punya alasan.”"Apapun alasannya, apa pantas dia bersikap kurang ajar pada orang, apalagi orang itu adalah mertuanya sendiri. Kamu tahu nggak betapa hati Mas hancur mengetahui orang yang Mas cintai dengan segenap jiwa ternyata bermuka dua. Lain di depan lain di belakang.""Sabar Mas, mungkin ini ujian pernikahan. Kita tidak tahu, ujian apa yang kita hadapi. Bisa jadi ujian itu untuk mempererat tali pernikahan."“Mengenai perkataanmu tadi,
Bismillahirrahmanirrahim.Alhamdulillah kami baik, hanya ibu saja yang kurang sehat, mag-Nya kambuh karena telat makan.”“Maaf Mas, aku ralat, Ibu sakit bukan karena telat makan ya, tapi ibu sedang kehilangan nafsu makan.” jelas Nuri tak terima aku bilang ibu telat makan.Aku spontan melongo mendengar ucapan Nuri. Berani juga dia menyanggah perkataanku. Padahal sebenarnya aku tahu banget sepak terjangnya. Sekarang berlagak tidak mau disalahkan karena gagal melayani semua kebutuhan ibu. Aku hanya bisa menggelengkan pasrah.“Tergantung, kalau lauknya menggiurkan, pasti ibu nafsu makan.” balasku lagi.“Maksud Mas, masakanku tidak menerbitkan selera ibu gitu,” sanggah Nuri sedikit kesal.“Bukannya berterima kasih telah dimasakin, sekarang bisanya menghina.” Lanjut Nuri menambahkan dengan raut cemberut.Aku tersentak mendengar jawaban Nuri, sejak kapan dia mulai berani menjawab dan menentang perkataanku. Jadi semua ini bukan karena pengaruh hasutan seseorang. Ini murni Nuri telah banyak b
Bismillahirrahmanirrahim.“Dendam lama.” Bia mencengkeram lenganku kuat sekali. Hampir saja aku teriak kesakitan, untungnya aku masih sadar tengah menguping. Jika tidak! Pastilah Nuri dan Bang Handi mengetahui aksi kami. Aku dan Bia saling melirik dan bertanya-tanya dalam hati.Pikiranku berkelana mencocokkan fuzle yang terserak dengan perilaku dan sikap buruk Nuri yang baru saja aku ketahui. Secercah keterangan mulai terlihat.Ternyata ada dendam yang tersembunyi. Pantas saja ia berbuat senekad itu. Benar-benar berniat menyakiti hati dan perasaan ibu.“Kamu dengar-kan Dek, perkataan mereka. Mas tidak salah dengar bukan?”“Iya Mas! Ternyata semua itu karena dendam lama. Aku takut Mas, takut ibu kenapa-napa, takut kita dibunuh tengah malam buta. Kita tidak akan bisa tidur dengan nyaman. Kita pasti dihantui ketakutan."Aku menyugar rambut kasar, tak menyangka wanita yang aku nikahi berhati iblis. Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan, hamba terlanjur mencintainya.Hening kembali, hanya
Bismillahirrahmanirrahim.Ibu tampak mengangguk, lalu masuk ke kamar. “Jangan lupa kunci pintu,” pesanku cepat sebelum melangkah pergi. Keselamatan ibu lebih penting dari apapun.Lega terpancar dari raut wajahku, ibu dalam keadaan baik-baik saja.Aku bergegas pergi ke kamar Bia. Sama halnya yang kulakukan di depan pintu kamar ibu, aku ketuk pintu itu pelan dan memanggil nama Bia. Namun sayang, beberapa kali ketukan, tidak ada sahutan dari dalam. Apa Bia sudah tidur? terus tadi itu suara teriakan siapa? Apa mungkin itu hanya halusinasiku saja. Aku bermonolog sendiri. Belakangan ini, karena saking khawatir dengan keselamatan ibu dan Bia, aku sering berpikir yang aneh-aneh. Bahkan kadang muncul bayangan, seolah ibu dan Bia tengah dianiaya.Terkadang sampai terbawa ke alam mimpi. Aneh bukan!!“Gimana Mas? Apa Bia yang teriak? “ tanya Nuri menyusulku keluar kamar tak lama kemudian.“Tidak tahu, soalnya Bia tidak menjawab, mungkin sudah tidur.”“Nah! Apa kubilang, itu bukan teriakan dari ru
Bismillahirrahmanirrahim.POV BiaSemenjak ayah meninggal, Mas Arfan mengajakku dan ibu tinggal di rumahnya. Tadinya kami sempat menolak, tapi mas Arfan bersikeras, akhirnya dengan berat hati ibu mengabulkan permintaan anak lelakinya. Pun denganku, terpaksa menurut saja. Mana bisa aku jauh dari ibu. Sore itu aku mendapat wejangan dari mbak Nuri. Katanya, kenapa aku tidak ngekos aja di kosan dekat kampus, biar lebih dekat dan tidak capek mesti bolak balik dari rumah ke kampus. Apa yang dikatakan Mbak Nuri ada benarnya.Tapi aku tidak bisa memutuskan sendiri, tanpa bertanya dulu pada Mas Arfan. Belum tentu kakak lelakiku itu menyetujui saran istrinya.Sepulangnya mas Arfan dari kantor, aku mengungkapkan keinginan untuk tinggal dekat kampus dengan alasan yang tepat tentunya. Meskipun berat berpisah dengan ibu. Saran Mbak Nuri itu seolah menegaskan dia tidak mau aku ikut tinggal dengannya. Itu yang terpikirkan saat itu. Selain itu aku juga tidak mau berprasangka buruk. Belum tentu juga
Baru saja Arfan dan Bu Asti meninggalkan restoran, ada panggilan masuk dari ponsel milik Arfan.Arfan segera mengangkatnya setelah mengetahui siapa yang menelpon.“Apa?! Astagfirullah. Kamu serius Bia!” lirih Arfan tercekat. Asti pun tak kalah kagetnya melihat anaknya terkejut.“Iya baiklah! Mas akan pulang secepatnya.” Setelah mengatakan itu, Arfan langsung mematikan sambungan telepon dan menatap ibunya sejenak.“Kita pulang sekarang Bu, tadi kata Bia Nuri jatuh dari tangga.”“Apa?” kini gantian Asti yang terperangah. “Terus bagaimana kondisi istrimu? Apa dia baik-baik saja?”“Nuri dibawa ke rumah sakit, kondisinya sedang tidak baik-baik saja. Katanya pingsan cukup lama, bahkan tadi belum siuman juga.”“Ya Allah, semoga Nuri baik-baik saja.”“Ya sudah! Jangan ngobrol di sini. Ayo kita pulang sekarang juga,” Asti menarik tangan Arfan dengan cepat menuju mobil. Perempuan itu tak sabar ingin mengetahui dan melihat langsung kondisi menantunya. Betapa pun pahit yang dirasakannya, akibat u
Rumahnya sepi, kayak tidak ada orang. Lirih Asti kecut. Padahal dari tadi dia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Bu Silfiorang yang selalu baik dan ramah padanya. Perempuan itu pun keluar dari mobil lalu mendekati Arfan.“Tidak ada orang kayaknya ya,” tanya Bu Asti melirik kepintu.“Iya Bu, pada kemana ya.”“Coba kamu tanya tetangga sebelah itu,” tunjuk Bu Asti padarumah persis sebelah rumah yang hendak mereka tuju. “Kebetulan itu ada orangnyatuh,” sambung Bu Asti tampak lega.Arfan bergegas menemui lelaki yang ditunjuk ibunya barusan. Kemudian menanyakan keberadaan pak Irwan.Arfan mangguk-mangguk mendengar penjelasan lelaki itu. Setelah mengucapkanterima kasih Arfan kembali ke tempat ibunya berada.Arfan pun menjelaskan keberadaan pak Irwan pada ibunya.“Jadi gimana, apa perlu kita membesuknya ke rumah sakit?”Arfan menimbang baik tidaknya mengajak ibunya ke rumahsakit. Rasanya kok kurang baik bila mengganggu keadaan pak Irwan yang sedangdalam masa perawatan.“Kita pulang saja
Bismillahirrahmanirrahim.POV AuthorKedekatan kami sebenarnya mengundang kebencian dari pegawai lain. Tapi kami tidak memperdulikan nya. Selama kami tidak mengganggu mereka apa yang harus ditakutkan.“Kebencian dari pegawai lain? Maksud ibu ada yang tidak seneng melihat keakraban ibu dan teman-teman.” Arfan bertanya dengan gusar.“Jangan-jangan orang itu yang telah menjebak ibu mengatasnamakan Bu Ranti. Tujuannya untuk memecah belah hubungan kalian.” Sambung Arfan penasaran.“Saat itu ibu juga sempat berpikir seperti yang kamu katakan tadi Arfan. Masalahnya tidak semudah itu. Ibu tidak tahu siapa yang telah berani memfitnah ibu dan menyebabkan Ranti jadi membenci ibu.”Nuri menyimak, sesekali matanya menerawang, seakan mengingat sesuatu.Suasana hening sejenak.Tak lama Nuri memulai percakapan kembali.“Di buku diary mama, aku baca setiap halaman yang ditulis di sana. Mama mengatakan semua isi hatinya dan mencurahkan segala rasa. Di sana juga tertulis kebencian mama pada perempuan ya
Bismillahirrahmaanireahiim.Hari telah berganti. Dua hati telah berlalu semenjak kedatanganku menemui pak Irwan. Tidak ada info apa pun yang aku dapatkan. Apalagi dari orang suruhanku. Bertanya pada ibu juga belum sempat karena banyak pekerjaan kantor yang belum aku selesaikan. Sementara kasus ini aku tangguhkan dulu. Pagi ini seperti biasa, Nuri berusaha mencuri perhatianku.Tapi tetap saja hatiku belum goyah sedikit pun. Hari bila terlanjur sakit, kemana obat hendak dicari.“Ini tehnya Mas,” ucap Nuri meletakkan cangkir bermotif sepasang angsa di atas meja kerjaku.Melihat cangkir bermotif sepasang angsa yang terlihat mesraitu, sesaat kenangan itu sempat melintas dalam benakku. Tercenung dalam diam, terbayang sudah.Bagaimana perjuanganku dulu mendapatkan sepasang cangkir itu. Berdesak-desakan dengan banyak orang. Penuh intrik dan drama. Waktu itu kami tengah menikmati saat masa pacaran yang begitu menggebu-gebu. Hari terasa berjalan begitu cepat. Setiap saat kami habiskan waktu be
“Bismillahirrahmaanirrahiim.Tadi ibu menyebut nama Asti, benarkan?” kejarku lagi setelah wanita ini mengelak.Tanpa menjawab pertanyaanku, tiba-tiba wanita itu menutup pintu dengan cepat. Aku hanya bisa melongo melihatnya, hampir saja jariku kejepit pintu bila tidak kutarik dengan cepat. Ada apa dengannya, kenapa dia seperti ketakutan.“Mas! Kenapa ibu itu kaget melihatku, apa dia pikir aku hantu,” protes Bia memberengut kesal.Aku terkekeh ringan mendengar perkataan Bia, kenapa dia berpikir, dirinya hantu. Ada-ada saja."Kenapa Mas malah tertawa, senang ya dikira aku hantu," ketus Bia kesal.“Bukan begitu Dek, kayaknya dia melihat sosok ibu di wajahmu, makanya dia kaget. Kayaknya dia sangat mengenal ibu, buktinya meskipun telah berlalu sekian lama, wajah ibu tetap teringat olehnya.Bia mengangguk membenarkan perkataan kakaknya.“Kamu dengar gak tadi dia menyebutkan nama Ibu, jangan-jangan dia mengenal ibu dengan baik.”“Tapi responsnya kok anedia kayak takut gitu. Kalau dia mengena
Bismillahirrahmanirrahim.POV Author“Gimana? Arfan kasih tahu posisinya di mana?”Nuri menggeleng cepat seraya meneteskan air mata. Tangannya sibuk mengusap bulir air mata yang meleleh di pipi. Tak pernah perempuan itu bayangkan, bahwa tindakannya memperlakukan ibu mertua dengan sangat kejam itu berimbas pada dirinya sendiri. Nuri pikir perbuatannya itu tidak akan diketahui oleh suaminya secepat ini. Bak kata pepatah, bangkai busuk lama-lama pasti tercium juga. Kini Nuri begitu terluka, ternyata didiamkan oleh suami sendiri begitu menyakitkan. Ia tidak tahu lagi bagaimana membuat Arfan memaafkannya. Kebencian Arfan padanya, membuat Nuri sangat menyesali perbuatannya. Pikirannya selama ini salah, bahwa Arfan akan memaafkannya, karena cinta lelaki itu begitu besar padanya. Ternyata buktinya, cinta itu telah luntur dalam hati suaminya, akibat perbuatan buruknya menyiksa ibu mertuanya, wanita yang teramat disayang oleh Arfan suaminya.“Bu, Mas Arfan masih marah padaku. Bukannya menjawa
Bismillahirrahmanirrahim."Mas! Jangan menakut-nakutiku," lirih Bia tampak cemas. Wajah adikku mengerucut menggemaskan."Bisa jadi-kan, bukan bermaksud membuatmu takut. Kewaspadaan itu penting, di mana pun kamu berada, di rumah sekalipun. Kamu masih ingatkan, di mana kamu diculik waktu itu. Tempat yang aman menurut orang, belum tentu aman untuk kita, kalau kita tidak hati-hati dan meningkatkan kewaspadaan. Jangan dianggap angin lalu. Kamu itu perempuan, perlu waspada dan hati-hati tingkat tinggi. Kamu mengerti-kan apa yang Mas maksud,” pintaku dengan raut khawatir, karena Bia terlalu menyepelekan keselamatan diri. Terlalu abai dengan keadaan sekitar, dia pikir orang tidak mungkin berbuat jahat padanya.“Iya Mas, aku mengerti, maaf." Lirih Bia tampak menyesali ucapannya. Melihat Bia menunduk dalam, kini giliranku merutuki perkataanku yang terlalu mengintimidasi Bia. "Maaf Bia, perkataan mas terlalu tajam ya." Kuperhatikan wajahnya dengan seksama mencari tanggapan atas perkataanku."Ti
Bismillahirrahmanirrahim.Sekali lagi Mbak bilang Laili, Mbak tidak pernah memfitnah Ranti.Jika mau jujur mbak juga ikut bersedih kehilangan kakakmu itu. Dia sahabat yang sangat baik dan mengerti kesulitan temannya.”"Apapun kata Mbak, aku lebih percaya perkataan Kakakku. Katanya, Mbak Asti yang telah menuduhnya.""Kata siapa, bagaimana Ranti bisa mengatakan aku yang memfitnahnya. Siapa yang mengatakan itu," sanggah ibu tak terima dituduh oleh sahabat baiknya.“Sebentar Mbak Asti, kenapa setelah kejadian itu? Mbak pindah kerja, seakan-akan Mbak ingin kabur dari jeratan hukum. Kepergian mbak Asti waktu itu menambah daftar kecurigaan kami."“Mbak pindah kerja karena mengikuti suami dan mbak juga ingin melupakan peristiwa kelam itu. Kalau Mbak masih di sana, mungkin Mbak masih terus teringat Ranti.”“Percayalah! Mbak tidak sejahat itu, kami hanya korban.”“Korban? Maksud Mbak?”“Iya korban, kami hanya korban orang yang tidak senang melihat kedekatan kami.”“Siapa?”“Maaf Laili, mbak juga
Bismillahirrahmanirrahim.“Kamu mau bukti, hah! Ini, akan kutunjukkan sekarang juga.” Kini tidak ada lagi sikap lembut yang selalu aku tunjukkan padanya. Sudah cukup rasanya melihat ibu menderita. Pelan namun pasti, cinta yang aku jaga selama ini mulai luntur.Aku segera mengambil laptop yang tadi aku bawa dari kantor, dan membawanya ke dalam rumah lalu menunjukkan semuanya pada Nuri.Nuri tampak syok dan pastinya kaget, badannya limbung kebelakang. Wanita itu pasti tidak menduganya, bukan? Tak sabar rasanya melihat perempuan itu terkejut.“Ba-bagaimana cara Mas mendapatkan bukti itu,” lirihnya gugup dengan napas tercekat.“Tak penting bagaimana caraku mendapatkan bukti ini. Kenyataannya, sekarang aku tau, kamu selama ini ternyata bermuka dua. Lain depan lain belakang. Kenapa Nuri? kenapa kamu tega memperlakukan ibu dengan buruk. Apa kurangnya aku, aku selalu menomorsatukan kamu dalam setiap hal. Apa kurang cukup cinta dan kasih sayang yang kuberikan padamu. Hingga kamu tega memperlak