Bismillahirrahmanirrahim.
POV BiaSemenjak ayah meninggal, Mas Arfan mengajakku dan ibu tinggal di rumahnya. Tadinya kami sempat menolak, tapi mas Arfan bersikeras, akhirnya dengan berat hati ibu mengabulkan permintaan anak lelakinya. Pun denganku, terpaksa menurut saja. Mana bisa aku jauh dari ibu. Sore itu aku mendapat wejangan dari mbak Nuri. Katanya, kenapa aku tidak ngekos aja di kosan dekat kampus, biar lebih dekat dan tidak capek mesti bolak balik dari rumah ke kampus. Apa yang dikatakan Mbak Nuri ada benarnya.Tapi aku tidak bisa memutuskan sendiri, tanpa bertanya dulu pada Mas Arfan. Belum tentu kakak lelakiku itu menyetujui saran istrinya.Sepulangnya mas Arfan dari kantor, aku mengungkapkan keinginan untuk tinggal dekat kampus dengan alasan yang tepat tentunya. Meskipun berat berpisah dengan ibu. Saran Mbak Nuri itu seolah menegaskan dia tidak mau aku ikut tinggal dengannya. Itu yang terpikirkan saat itu. Selain itu aku juga tidak mau berprasangka buruk. Belum tentu juga seperti dugaanku. Makanya aku katakan dengan alasan yang jelas. Biar waktu yang menjelaskan kebenarannya Mas Arfan menyetujui, asalkan aku bisa jaga diri dan sekali dalam sepekan harus pulang ke rumah. Saat itu aku dan mas Arfan tidak mengetahui niat jahat mbak Nuri. Jadinya mas Arfan menyetujui saja keinginanku.Semenjak itu, aku tinggal di kosan bareng teman-teman.Ternyata benar kata mbak Nuri kumpul dengan teman itu sungguh menyenangkan. Aku begitu bahagia mempunyai kakak ipar yang sangat mengerti dan bisa memahami remaja labil kayak aku.Tak terasa aku tinggal di kosan mendekati bulan ke 6. Aku sangat betah tinggal bareng teman yang sering bekerja sama saat mengerjakan tugas. Tak pernah terpikirkan, setelah itu aku harus kembali ke rumah. Tak menyangka kakak ipar yang aku kira baik setengah mati, ternyata mempunyai maksud lain memintaku tinggal di kosan. Supaya dia bisa leluasa menyiksa ibu.Andai aku tahu dari awal, memintaku tinggal di kosan bagian dari rencana gilanya, tentu aku akan menolak mentah-mentah. Semua ini sudah terjadi, penyesalan pun tiada gunanya.Sungguh miris bukan?Sebelum ibu dibawa mbak Nuri ke rumah sakit. Sebenarnya mas Arfan memintaku mengunjungi ibu dan sangat berharap aku membawa makanan kesukaan wanita yang telah melahirkanku. Waktu itu kuliahku sedang padat-padatnya, aku tidak bisa izin. Terpaksa aku memundurkan waktu untuk pulang menjelang sore. Pukul tiga sore, aku dapat telpon dari mas Arfan, mengabarkan kalau ibu masuk rumah sakit.Tentu saja aku panik, jangan-jangan mag ibu kambuh pikirku saat itu. Sempat juga menghubungkan permintaan mas Arfan dengan berita sakitnya ibu. Aku menyesal mengabaikan permintaan mas Arfan kala itu. Andai aku pulang dan bawakan makanan, bekum tentu ibu sakit.Sesampainya di rumah sakit, barulah aku mengetahui semuanya.Ternyata mbak Nuri hanya baik di depan tapi busuk di belakang. Mbak Nuri seakan menusuk belati ke dalam tubuhku. Aku tidak menyangka, wanita yang sangat disayangi ibu itu, ternyata bermuka dua.Mas Arfan menceritakan semua yang dilihatnya hari itu, barulah aku mengerti, kenapa mas Arfan memintaku membawa makanan kesukaan ibu. Mbak Nuri tidak membolehkan beliau makan. Ya Tuhan, sungguh kejam wanita yang kukira berhati malaikat ternyata berjiwa iblis.Tiga hari kemudian, ibu sudah diperbolehkan pulang. Saat merapikan barang ibu, mas Arfan mendekatiku dan memintaku untuk balik ke rumah, supaya ada yang menjaga dan mengawasi ibu. Aku mengerti dan tidak menolak permintaan mas Arfan. Aku tahu, mas Arfan tentu khawatir meninggalkan ibu dengan menantu yang pasti akan menyiksanya lagi.Baru saja kami sampai di rumah, kami dikejutkan dengan kehadiran bang Handi kakak mbak Nuri. Aku tahu betul sifat lelaki itu yang mata keranjang dan terkadang suka bersikap genit. Aku tidak menyukainya. Dia sering memandangku secara diam-diam, bahkan kedapatan mengerlingkan mata padaku. Aku semakin takut dan ilfil melihatnya.Saat berjabatan tangan dia mengusap tanganku lama sekali, seakan tidak mau dia lepaskan. Sekuat tenaga, aku berhasil melepaskan jabatan tangan erat bang Handi.Aku menyusul mas Arfan ke kamar ibu, lalu aku menceritakan semuanya. Mas Arfan justru tidak percaya, katanya aku tidak boleh suudzon sama orang, sebelum ada bukti.Setelah cukup lama berada di kamar ibu, kami pun segera keluar, supaya ibu bisa istirahat dengan tenang dan nyaman tanpa gangguan.Baru saja mendekati ruang tamu, kami mendengar percakapan Mbak Nuri dan Bang Handi. Kami putuskan menguping, sekarang harus lebih awas dan mempertebal telinga. Supaya rencana jahat mereka bisa kami atasi.Allah sungguh penyayang, itu bisa kurasakan dengan cepatnya terbongkar pengkhianatan mbak Nuri. Setidaknya kami mengetahui meskipun baru sedikit. Rupanya semua perlakuan jahat Mbak Nuri berawal dari dendam lama. Entah dendam apa yang ingin mereka lampiaskan pada ibu. Ibu juga tidak pernahmenyinggung masa lalunya.Kamilah yang harus mencari tahu ada apa dibalik dendam itu.Supaya lebih mudah memantau pergerakan mereka, aku menyarankan mas Arfan memasang cctv, mas Arfan menyetujui dan berjanji akan memasang secepat mungkin.Malam ini aku sendirian di kamar, biasanya ibu menemani dan mengobrol apa saja. Tapi berhubung beliau baru keluar dari rumah sakit, terpaksa malam ini aku tidur sendirian. Aku juga tidak ingin menahan ibu untuk tidur di kamarku, bisa-bisa istirahatnya terganggu.Malam itu rasanya aku gelisah sekali, seperti ada firasat, sesuatu yang buruk akan menimpaku. Ya, semenjak kami tinggal dengan orang jahat, pikiran buruk itu selalu hadir tanpa permisi. Setiap detik, menit berlalu dengan perasaan dihantui kecemasan tiada henti.Untuk mengurangi kegelisahan ku, aku sempatkan membaca sebuah novel “Wajah Kakakku Meleleh dan melepuh” Karya Authar Firda Wati di aplikasi GoodNovel. Siapa tahu dengan membaca novel, bisa mengurangi rasa ketakutan dan kegelisahanku.Tengah asyik membaca, aku mendengar pergerakan mencurigakan dari jendela. Tak sempat berpikir lama, pintu jendela terbuka dengan cepat. Dua lelaki masuk dan langsung menyekap mulutku. Aku masih sempat teriak minta tolong, tapi tidak ada yang menolongku. Mungkin saja orang rumah sudah tidur pulas.Aku pingsan karena mulutku disekap. Sepertinya aku dibius dan tidak sadarkan diri, supaya mereka dengan mudah membawaku pergi.Aku tidak bisa mengira berapa lama diperjalanan, tau-tau saat sadar aku berada di sebuah tempat yang kumuh dan juga bau. Dua tangan terikat ke belakang, begitu pun kaki. Mulutku di sumpal dengan lakban hitam. Untung mataku tidak ditutup, jika iya, maka aku tidak akan mengetahui tempat aku disekap.Aku menangis sesenggukan, karena takut dan khawatir dengan keselamatanku. Aku juga takut dilecehkan, ya Allah lindungi aku desisku dalam hati.Aku tidak tahu malam ini pukul berapa, apa masih malam atau sudah pagi. Suasana sepi mencekam dan juga dingin. Sepertinya ini masih tengah malam, karena tidak ada sedikit pun cahaya yang menerobos ke dalam. Di dalam hanya cahaya remang-remang, yang berasal dari cahaya lilin. Aku berusaha melepaskan ikatan tangan di bagian belakang sandaran kursi yang aku duduki. Jangankan terbuka, bergeser pun tidak. Ikatannya sangat kencang. Bila aku paksakan, bisa-bisa tanganku lecet dan terluka.Aku hanya bisa pasrah dan berharap pertolongan segera datang.Baru saja mata ini hendak terpejam, terdengar pembicaraan dari luar.“Bagaimana keadaan wanita itu,” tanya seorang pria, entah siapa. Tapi tunggu, aku kayak mengenal suara lelaki itu, mirip dengan suara bang Handi. Apa bang Handi yang menculikku semalam.“Kayaknya dia belum sadarkan diri, dari tadi tidak terdengar teriakan meminta tolong.”“Gobl*k kamu. Bagaimana mungkin dia teriak, kalau mulutnya disumpal.”“Eh iya, maaf Bos, saya lupa.”“Coba kamu cek ke dalam, siapa tahu dia sudah bangun.”“Kenapa tidak bos langsung yang cek ke dalam. Bukannya bos menyukai wanita itu.”Mataku jelas terperanjat mendengar perkataan lelaki itu. Bosnya menyukaiku, siapa dia sebenarnya. Siapa pengagum misteriusku itu. Apa Panji? Lelaki yang selalu ingin berada di sisiku. Atau bang Handi? Hanya dua pria itu yang jelas-jelas menunjukkan ketertarikan padaku.“Gokl*k jangan dipelihara. Nanti dia tahu siapa aku, beg*.”“Oh iya, Bos emang jenius. Baiklah aku cek segera.”Tidak ada lagi suara yang terdengar, hanya langkah kaki yang mulai mendekat. Sebaiknya aku pura-pura pingsan dan belum sadarkan diri saja, supaya mudah mengetahui siapa yang telah menyekapku.”Tak lama pintu terbuka dari luar, aku merasa tengah diamati.Tak lama pintu ditutup lagi dan langkah kaki mulai menjauh.“Belum sadarkan diri Bos,” lapor pria yang masuk tadi.“Kamu jaga terus malam ini, jangan sampai kalian berbuat yang tidak pantas untuknya. Mengerti,” pesan sang Bos.“Siap Bos.”“Bos mau kemana?” tanya pria itu lagi.“Pulang ke rumah lah, kemana lagi.”“Kabari aku secepatnya, kalau dia siuman.” Tak lama terdengar langkah kaki pergi menjauh. Aku pikir lelaki itu akan masuk ke dalam, dengan begitu aku bisa tahu siapa orang dibalik penyekapanku. Ternyata dugaanku salah, lelaki itu malah pergi.Dingin mulai menusuk tulang, aku menggigil karenanya. Tak ada yang bisa aku lakukan selain diam dan pasrah, seraya meminta perlindungan pada Allah.Tak terasa cuaca hangat mulai terasa, aku bisa lihat cahaya terang dan sinar matahari menerobos dari celah dinding. Aku tak bisa memperkirakan di mana aku di sekap, apa di tengah hutan belantara atau di sebuah rumah kosong yang jauh dari masyarakat.Aku mulai tak nyaman dengan posisiku, kedua tangan dan kaki rasanya kebas dan pegal-pegal, dari semalam posisiku tak berubah.Bersambung....Bagaimana kelanjutan kisah Bia, berhasilkah dia selamat dan kabur dari tempat penyekapan, bagaimana juga dengan Arfan dan ibunya, berhasilkah mereka menemukan Bia? Yuk ikuti terus kisahnya, part berikutnya masih POV Bia ya, karena rahasia dan balas dendam itu diceritakan pada Bia. Sedikit keterangan sudah diperoleh oleh Bia.Bismillahirrahmanirrahim.POV BiaAku mulai tak nyaman dengan posisiku, kedua tangan dan kaki rasanya kebas dan pegal-pegal, dari semalam posisiku tak berubah.Perut rasanya mulai bergejolak minta dimuntahkan. Bau ini sangat menggangguku, kenapa aku disekap di tempat yang sangat tidak layak seperti ini. Kencing juga mulai terasa, tak mungkin aku keluarkan di sini, yang ada tambah bau. Aku semakin gelisah menahan hajat yang ingin segera dikeluarkan.Orang yang menyekapku ini sepertinya hanya ingin menyiksaku saja. Tapi itu lebih baik, daripada aku dilecehkan apalagi secara bergantian. Membayangkan itu saja, membuatku bergidik ngeri. Jangan sampai peristiwa memilukan itu menimpaku. Tak ayal rasa khawatir itu datang secara tiba-tiba. Ya Allah semoga hal buruk itu tidak menimpaku, kalau hanya diikat dan disekap begini, masih bisa kutanggung. Tapi jangan hal yang satu itu, itu hanya akanku persembahkan untuk suamiku nanti. Meskipun sampai hari ini aku tidak tahu siapa yang akan menjadi pen
Bismillahirrahmanirrahim.POV ArfanAku pandangi lelaki yang berada persis di depanku tanpa berkedip. Apa perkataannya bisa dipercaya. Sulit rasanya mempercayai omongan lelaki ini, dia seolah-olah benar pergi olahraga. Bukan kembali dari suatu tempat. Kenapa hati kecilku mengatakan, kalau lelaki ini telah berbohong.Hati kecil dan firasatku selalu benar, apa yang ada dalam hatiku kadang itulah yang sebenarnya. Makanya aku tidak mudah percaya begitu saja, atas perlakuan Nuri pada ibu. Apa yang terlihat di depan mata, belum tentu benar. Allah memberiku kelebihan itu. Sudah sering aku merasakan kejadian itu. Firasatku tidak pernah salah. Entah kali ini.Mungkin orang akan memandang heran atas sikapku yang tidak bisa mengambil keputusan cepat. Terlalu berbelit-belit dan terkesan santai, sedangkan nyawa seseorang tengah terancam. Apa lagi ini, bukan nyawa sembarang orang, melainkan nyawa perempuan yang mempertaruhkan hidupnya untuk melahirkanku. Apakah aku tidak memikirkan itu.Aku mengge
Bismillahirrahmanirrahim.“Ibu! Boleh aku menanyakan sesuatu yang pribadi,” tanyaku dengan napas tercekat.Ibu menoleh, lalu memandangku sesaat. Kemudian tatapannya beralih ke gelas yang tengah ia isi dengan es batu. Tak lama kemudian, ibu melangkah ke kulkas dan meletakkan kotak berisi es batu ke tempat semula, Lalu berbalik lagi ke meja makan. Reaksi ibu tampak biasa saja. Tak seperti yang aku bayangkan. Ibu harusnya kaget dengan pertanyaanku. Ibu kembali menatapku.“Mau tanya apa? Tanya saja.”“Tapi ibu jangan marah ya,” pintaku lagi dengan perasaan takut dan cemas serta dahi berkerut.Ibu menghentikan pergerakannya, memandangku sesaat, lalu diam sebentar seakan tengah berpikir. Tak lama ibu menyodorkan gelas berisi teh dingin ke hadapanku.“Duduk dan minumlah dulu, setelah itu kamu bisa menanyakan apa pun,” balas ibu seraya menarik kursi dan mendaratkan bokongnya di sana. Akupun ikut duduk di sebelah ibu. Setelah menandaskan minuman, aku menatap perempuanyang kukasihi itu sejenak.
Bismillahirrahmanirrahim.Tampilan bermula ketika terdengar panggilan dari Nuri.“Bu! Keluar! Jangan di kamar terus. Cucian menumpuk ini,” teriak Nuri cepat.“Iya Nak, sebentar,” sahut ibu seraya menutup mushaf Al-Qur’an dan meletakkan di meja. Kemudian melipat mukena, lalu membuka pintu. Cctv yang aku pasang memang lebih banyak mengarah ke pintu. Tujuanku supaya bisa melihat langsung perlakuan Nuri pada ibu.Baru saja pintu dibuka, ibu mendapat serangan pakaian mengenai wajahnya. Persis seperti yang aku lihat pertama kali. Oh jadi begitu ceritanya, aku mangguk-mangguk mengerti. Mataku terus saja menatap layar laptop.“Bau Nak, kenapa harus dilemparkan ke wajah ibu, kamu kan bisa letakkan aja di lantai,” sanggah ibu tak terima perlakuan Nuri.“Letakkan di lantai? Ibu tidak salah. Lihat! Lantai kamar ibu saja kotor begitu. Masak aku taruh baju di sana. Lihat Bu, ini gak sembarang baju, baju mahal,” ucap Nuri menekan kata mahal.“Ibu tahu, Nak. Tapi tidak dilempar juga ke muka ibu, baj
Bismillahirrahmanirrahim.“Kamu mau bukti, hah! Ini, akan kutunjukkan sekarang juga.” Kini tidak ada lagi sikap lembut yang selalu aku tunjukkan padanya. Sudah cukup rasanya melihat ibu menderita. Pelan namun pasti, cinta yang aku jaga selama ini mulai luntur.Aku segera mengambil laptop yang tadi aku bawa dari kantor, dan membawanya ke dalam rumah lalu menunjukkan semuanya pada Nuri.Nuri tampak syok dan pastinya kaget, badannya limbung kebelakang. Wanita itu pasti tidak menduganya, bukan? Tak sabar rasanya melihat perempuan itu terkejut.“Ba-bagaimana cara Mas mendapatkan bukti itu,” lirihnya gugup dengan napas tercekat.“Tak penting bagaimana caraku mendapatkan bukti ini. Kenyataannya, sekarang aku tau, kamu selama ini ternyata bermuka dua. Lain depan lain belakang. Kenapa Nuri? kenapa kamu tega memperlakukan ibu dengan buruk. Apa kurangnya aku, aku selalu menomorsatukan kamu dalam setiap hal. Apa kurang cukup cinta dan kasih sayang yang kuberikan padamu. Hingga kamu tega memperlak
Bismillahirrahmanirrahim.Sekali lagi Mbak bilang Laili, Mbak tidak pernah memfitnah Ranti.Jika mau jujur mbak juga ikut bersedih kehilangan kakakmu itu. Dia sahabat yang sangat baik dan mengerti kesulitan temannya.”"Apapun kata Mbak, aku lebih percaya perkataan Kakakku. Katanya, Mbak Asti yang telah menuduhnya.""Kata siapa, bagaimana Ranti bisa mengatakan aku yang memfitnahnya. Siapa yang mengatakan itu," sanggah ibu tak terima dituduh oleh sahabat baiknya.“Sebentar Mbak Asti, kenapa setelah kejadian itu? Mbak pindah kerja, seakan-akan Mbak ingin kabur dari jeratan hukum. Kepergian mbak Asti waktu itu menambah daftar kecurigaan kami."“Mbak pindah kerja karena mengikuti suami dan mbak juga ingin melupakan peristiwa kelam itu. Kalau Mbak masih di sana, mungkin Mbak masih terus teringat Ranti.”“Percayalah! Mbak tidak sejahat itu, kami hanya korban.”“Korban? Maksud Mbak?”“Iya korban, kami hanya korban orang yang tidak senang melihat kedekatan kami.”“Siapa?”“Maaf Laili, mbak juga
Bismillahirrahmanirrahim."Mas! Jangan menakut-nakutiku," lirih Bia tampak cemas. Wajah adikku mengerucut menggemaskan."Bisa jadi-kan, bukan bermaksud membuatmu takut. Kewaspadaan itu penting, di mana pun kamu berada, di rumah sekalipun. Kamu masih ingatkan, di mana kamu diculik waktu itu. Tempat yang aman menurut orang, belum tentu aman untuk kita, kalau kita tidak hati-hati dan meningkatkan kewaspadaan. Jangan dianggap angin lalu. Kamu itu perempuan, perlu waspada dan hati-hati tingkat tinggi. Kamu mengerti-kan apa yang Mas maksud,” pintaku dengan raut khawatir, karena Bia terlalu menyepelekan keselamatan diri. Terlalu abai dengan keadaan sekitar, dia pikir orang tidak mungkin berbuat jahat padanya.“Iya Mas, aku mengerti, maaf." Lirih Bia tampak menyesali ucapannya. Melihat Bia menunduk dalam, kini giliranku merutuki perkataanku yang terlalu mengintimidasi Bia. "Maaf Bia, perkataan mas terlalu tajam ya." Kuperhatikan wajahnya dengan seksama mencari tanggapan atas perkataanku."Ti
Bismillahirrahmanirrahim.POV Author“Gimana? Arfan kasih tahu posisinya di mana?”Nuri menggeleng cepat seraya meneteskan air mata. Tangannya sibuk mengusap bulir air mata yang meleleh di pipi. Tak pernah perempuan itu bayangkan, bahwa tindakannya memperlakukan ibu mertua dengan sangat kejam itu berimbas pada dirinya sendiri. Nuri pikir perbuatannya itu tidak akan diketahui oleh suaminya secepat ini. Bak kata pepatah, bangkai busuk lama-lama pasti tercium juga. Kini Nuri begitu terluka, ternyata didiamkan oleh suami sendiri begitu menyakitkan. Ia tidak tahu lagi bagaimana membuat Arfan memaafkannya. Kebencian Arfan padanya, membuat Nuri sangat menyesali perbuatannya. Pikirannya selama ini salah, bahwa Arfan akan memaafkannya, karena cinta lelaki itu begitu besar padanya. Ternyata buktinya, cinta itu telah luntur dalam hati suaminya, akibat perbuatan buruknya menyiksa ibu mertuanya, wanita yang teramat disayang oleh Arfan suaminya.“Bu, Mas Arfan masih marah padaku. Bukannya menjawa