Bismillahirrahmanirrahim."Mas! Jangan menakut-nakutiku," lirih Bia tampak cemas. Wajah adikku mengerucut menggemaskan."Bisa jadi-kan, bukan bermaksud membuatmu takut. Kewaspadaan itu penting, di mana pun kamu berada, di rumah sekalipun. Kamu masih ingatkan, di mana kamu diculik waktu itu. Tempat yang aman menurut orang, belum tentu aman untuk kita, kalau kita tidak hati-hati dan meningkatkan kewaspadaan. Jangan dianggap angin lalu. Kamu itu perempuan, perlu waspada dan hati-hati tingkat tinggi. Kamu mengerti-kan apa yang Mas maksud,” pintaku dengan raut khawatir, karena Bia terlalu menyepelekan keselamatan diri. Terlalu abai dengan keadaan sekitar, dia pikir orang tidak mungkin berbuat jahat padanya.“Iya Mas, aku mengerti, maaf." Lirih Bia tampak menyesali ucapannya. Melihat Bia menunduk dalam, kini giliranku merutuki perkataanku yang terlalu mengintimidasi Bia. "Maaf Bia, perkataan mas terlalu tajam ya." Kuperhatikan wajahnya dengan seksama mencari tanggapan atas perkataanku."Ti
Bismillahirrahmanirrahim.POV Author“Gimana? Arfan kasih tahu posisinya di mana?”Nuri menggeleng cepat seraya meneteskan air mata. Tangannya sibuk mengusap bulir air mata yang meleleh di pipi. Tak pernah perempuan itu bayangkan, bahwa tindakannya memperlakukan ibu mertua dengan sangat kejam itu berimbas pada dirinya sendiri. Nuri pikir perbuatannya itu tidak akan diketahui oleh suaminya secepat ini. Bak kata pepatah, bangkai busuk lama-lama pasti tercium juga. Kini Nuri begitu terluka, ternyata didiamkan oleh suami sendiri begitu menyakitkan. Ia tidak tahu lagi bagaimana membuat Arfan memaafkannya. Kebencian Arfan padanya, membuat Nuri sangat menyesali perbuatannya. Pikirannya selama ini salah, bahwa Arfan akan memaafkannya, karena cinta lelaki itu begitu besar padanya. Ternyata buktinya, cinta itu telah luntur dalam hati suaminya, akibat perbuatan buruknya menyiksa ibu mertuanya, wanita yang teramat disayang oleh Arfan suaminya.“Bu, Mas Arfan masih marah padaku. Bukannya menjawa
“Bismillahirrahmaanirrahiim.Tadi ibu menyebut nama Asti, benarkan?” kejarku lagi setelah wanita ini mengelak.Tanpa menjawab pertanyaanku, tiba-tiba wanita itu menutup pintu dengan cepat. Aku hanya bisa melongo melihatnya, hampir saja jariku kejepit pintu bila tidak kutarik dengan cepat. Ada apa dengannya, kenapa dia seperti ketakutan.“Mas! Kenapa ibu itu kaget melihatku, apa dia pikir aku hantu,” protes Bia memberengut kesal.Aku terkekeh ringan mendengar perkataan Bia, kenapa dia berpikir, dirinya hantu. Ada-ada saja."Kenapa Mas malah tertawa, senang ya dikira aku hantu," ketus Bia kesal.“Bukan begitu Dek, kayaknya dia melihat sosok ibu di wajahmu, makanya dia kaget. Kayaknya dia sangat mengenal ibu, buktinya meskipun telah berlalu sekian lama, wajah ibu tetap teringat olehnya.Bia mengangguk membenarkan perkataan kakaknya.“Kamu dengar gak tadi dia menyebutkan nama Ibu, jangan-jangan dia mengenal ibu dengan baik.”“Tapi responsnya kok anedia kayak takut gitu. Kalau dia mengena
Bismillahirrahmaanireahiim.Hari telah berganti. Dua hati telah berlalu semenjak kedatanganku menemui pak Irwan. Tidak ada info apa pun yang aku dapatkan. Apalagi dari orang suruhanku. Bertanya pada ibu juga belum sempat karena banyak pekerjaan kantor yang belum aku selesaikan. Sementara kasus ini aku tangguhkan dulu. Pagi ini seperti biasa, Nuri berusaha mencuri perhatianku.Tapi tetap saja hatiku belum goyah sedikit pun. Hari bila terlanjur sakit, kemana obat hendak dicari.“Ini tehnya Mas,” ucap Nuri meletakkan cangkir bermotif sepasang angsa di atas meja kerjaku.Melihat cangkir bermotif sepasang angsa yang terlihat mesraitu, sesaat kenangan itu sempat melintas dalam benakku. Tercenung dalam diam, terbayang sudah.Bagaimana perjuanganku dulu mendapatkan sepasang cangkir itu. Berdesak-desakan dengan banyak orang. Penuh intrik dan drama. Waktu itu kami tengah menikmati saat masa pacaran yang begitu menggebu-gebu. Hari terasa berjalan begitu cepat. Setiap saat kami habiskan waktu be
Bismillahirrahmanirrahim.POV AuthorKedekatan kami sebenarnya mengundang kebencian dari pegawai lain. Tapi kami tidak memperdulikan nya. Selama kami tidak mengganggu mereka apa yang harus ditakutkan.“Kebencian dari pegawai lain? Maksud ibu ada yang tidak seneng melihat keakraban ibu dan teman-teman.” Arfan bertanya dengan gusar.“Jangan-jangan orang itu yang telah menjebak ibu mengatasnamakan Bu Ranti. Tujuannya untuk memecah belah hubungan kalian.” Sambung Arfan penasaran.“Saat itu ibu juga sempat berpikir seperti yang kamu katakan tadi Arfan. Masalahnya tidak semudah itu. Ibu tidak tahu siapa yang telah berani memfitnah ibu dan menyebabkan Ranti jadi membenci ibu.”Nuri menyimak, sesekali matanya menerawang, seakan mengingat sesuatu.Suasana hening sejenak.Tak lama Nuri memulai percakapan kembali.“Di buku diary mama, aku baca setiap halaman yang ditulis di sana. Mama mengatakan semua isi hatinya dan mencurahkan segala rasa. Di sana juga tertulis kebencian mama pada perempuan ya
Rumahnya sepi, kayak tidak ada orang. Lirih Asti kecut. Padahal dari tadi dia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Bu Silfiorang yang selalu baik dan ramah padanya. Perempuan itu pun keluar dari mobil lalu mendekati Arfan.“Tidak ada orang kayaknya ya,” tanya Bu Asti melirik kepintu.“Iya Bu, pada kemana ya.”“Coba kamu tanya tetangga sebelah itu,” tunjuk Bu Asti padarumah persis sebelah rumah yang hendak mereka tuju. “Kebetulan itu ada orangnyatuh,” sambung Bu Asti tampak lega.Arfan bergegas menemui lelaki yang ditunjuk ibunya barusan. Kemudian menanyakan keberadaan pak Irwan.Arfan mangguk-mangguk mendengar penjelasan lelaki itu. Setelah mengucapkanterima kasih Arfan kembali ke tempat ibunya berada.Arfan pun menjelaskan keberadaan pak Irwan pada ibunya.“Jadi gimana, apa perlu kita membesuknya ke rumah sakit?”Arfan menimbang baik tidaknya mengajak ibunya ke rumahsakit. Rasanya kok kurang baik bila mengganggu keadaan pak Irwan yang sedangdalam masa perawatan.“Kita pulang saja
Baru saja Arfan dan Bu Asti meninggalkan restoran, ada panggilan masuk dari ponsel milik Arfan.Arfan segera mengangkatnya setelah mengetahui siapa yang menelpon.“Apa?! Astagfirullah. Kamu serius Bia!” lirih Arfan tercekat. Asti pun tak kalah kagetnya melihat anaknya terkejut.“Iya baiklah! Mas akan pulang secepatnya.” Setelah mengatakan itu, Arfan langsung mematikan sambungan telepon dan menatap ibunya sejenak.“Kita pulang sekarang Bu, tadi kata Bia Nuri jatuh dari tangga.”“Apa?” kini gantian Asti yang terperangah. “Terus bagaimana kondisi istrimu? Apa dia baik-baik saja?”“Nuri dibawa ke rumah sakit, kondisinya sedang tidak baik-baik saja. Katanya pingsan cukup lama, bahkan tadi belum siuman juga.”“Ya Allah, semoga Nuri baik-baik saja.”“Ya sudah! Jangan ngobrol di sini. Ayo kita pulang sekarang juga,” Asti menarik tangan Arfan dengan cepat menuju mobil. Perempuan itu tak sabar ingin mengetahui dan melihat langsung kondisi menantunya. Betapa pun pahit yang dirasakannya, akibat u
Bismillahirrahmanirrahim."Bu! Kenapa masih ada noda di sini? ibu tidak bersih ya mencucinya," hardik istriku dengan mata melotot tajam."Ini! Ibu cuci lagi sampai bersih! Awas saja, kalau tidak bersih, ibu tanggung akibatnya," seru Nuri seraya melempar baju ke wajah perempuan yang telah melahirkanku. Baju itu luruh jatuh ke lantai, sedangkan Ibu tertunduk diam.Kukepalkan kedua tangan dengan napas memburu dan menderu kencang, menyaksikan perlakuan Nuri istriku pada wanita tercintaku. Wanita yang aku sayang dan aku kasihi dengan segenap jiwa, mendapat perlakuan semena-mena oleh perempuan yang bergelar istriku. Tak pernah kubayangkan ibuku diperlakukan seperti itu, sungguh tidak manusiawi.Aku sungguh tidak menyangka, akan mengalami nasib seperti cerita KBM yang sering aku baca. Meskipun ceritanya bertolak belakang dengan keadaan yang menimpaku, di mana kebanyakan cerita mertua kejam. Tapi kenyataan yang kuhadapi menantu kurang ajar."Iya Nak, nanti ibu cuci lagi. Sekarang tidak bisa,