Bismillahirrahmanirrahim.
"Bu! Kenapa masih ada noda di sini? ibu tidak bersih ya mencucinya," hardik istriku dengan mata melotot tajam."Ini! Ibu cuci lagi sampai bersih! Awas saja, kalau tidak bersih, ibu tanggung akibatnya," seru Nuri seraya melempar baju ke wajah perempuan yang telah melahirkanku. Baju itu luruh jatuh ke lantai, sedangkan Ibu tertunduk diam.Kukepalkan kedua tangan dengan napas memburu dan menderu kencang, menyaksikan perlakuan Nuri istriku pada wanita tercintaku. Wanita yang aku sayang dan aku kasihi dengan segenap jiwa, mendapat perlakuan semena-mena oleh perempuan yang bergelar istriku. Tak pernah kubayangkan ibuku diperlakukan seperti itu, sungguh tidak manusiawi.Aku sungguh tidak menyangka, akan mengalami nasib seperti cerita KBM yang sering aku baca. Meskipun ceritanya bertolak belakang dengan keadaan yang menimpaku, di mana kebanyakan cerita mertua kejam. Tapi kenyataan yang kuhadapi menantu kurang ajar."Iya Nak, nanti ibu cuci lagi. Sekarang tidak bisa, ibu lagi sakit perut." Sahut wanita tua itu meringis menahan sakit seraya menekan perutnya."Alasan saja, gih buruan cuci, mau aku pakai besok Bu," desak Nuri mendorong tubuh ringkih ibu ke kamar mandi."Sudah sering aku bilang, kalau cuci baju itu yang bersih. Ini masih saja ada noda. Tidak sekali dua kali ibu lakukan, tapi sudah sering banget. Kenapa sih Bu, ibu enggan mencucikan bajuku." Lanjut Nuri menambahkan.Mataku membelalak sempurna, benarkah ibu jadi buruh cuci di rumah anaknya sendiri. Berarti selama ini yang mencuci bajuku itu ibu, bukan Nuri. Pantas saja, beberapakali aku melihat masih ada noda yang tampak samar. Selama ini aku diam saja, takut Nuri tersinggung. Sebagai seorang suami yang baik, tidak perlu mendikte atau komplen atas kelelahan yang dirasakan istriku."Tidak Nak, bukan begitu. Kamu kan tahu sendiri, mata ibu sudah tidak jelas lagi melihat noda itu. Makanya kenapa tidak kamu saja yang mengerjakan.""Apa ibu bilang, aku cuci sendiri! Tidak akan, itu sudah jadi bagian dari tugas ibu. Ibu bisa lihat nih, nanti kukuku bisa patah dan jadi jelek.""Gih! buruan cuci sana, tunggu apa lagi." Sentak Nuri tanpa ampun."Ibu lapar Nak, izinkan ibu makan dulu ya, biar ibu ada tenaga. Dari pagi kamu tidak boleh-in ibu makan, setelah itu baru ibu cuci ulang.” ucap ibu penuh harap dengan meringis menahan lapar.Mataku membelalak sempurna untuk kedua kalinya, benarkah apa yang dikatakan ibu, kalau Nuri tidak mengizinkan beliau makan. Kenapa? Kenapa Nuri melarang ibu makan? Apa kesalahan ibu. Banyak pertanyaan muncul dibenakku.Tadi pagi, karena buru-buru, aku tidak sempat sarapan. Makanya terasa aneh, kalau sudah jam segini ibu belum makan. Sudah pukul 10 menjelang siang lho ini. Pantas saja ibu mengeluhkan sakit. Aku tahu betul gaya makan ibu, dia terbiasa sarapan nasi di pagi hari. Kalau tidak, mag-Nya bisa kambuh."Tidak bisa, harus sekarang." Lagi hardikan yang ibu terima.“Ibu mohon Nak, ibu sudah tidak kuat.”"Cuci dulu sampai bersih, baru ibu boleh makan.""Tapi Nak, i--" ucapan ibu terpotong dengan perkataan Nuri."Tidak ada tapi-tapian, pokoknya ibu cuci dulu sampai noda itu hilang dan tidak meninggalkan bekas. Setelah itu, baru ibu boleh makan. Titik tidak pakai koma, mengerti!" Seru Nuri dengan mata nyalang, wanita itu kembali mendorong tubuh ibu hingga jatuh terduduk, tepat di sebelah pakaian yang dilempar perempuan yang berstatus istriku.Dengan menunduk menahan perih, kulihat ibu memungut stelan putih yang tergeletak di lantai. Tangan kirinya memegang perut. Kaki wanita tua itu gemetaran, saking menahan lapar. Ibu berusaha bangkit perlahan-lahan dengan sisa tenaga yang ia miliki dan melenggang ke kamar mandi.Rasa hatiku tak bisa terima perlakuan Nuri pada ibuku. Sejak kapan dia perlakukan ibu seperti itu. Apa semenjak menikah? Kalau iya, Ya Allah maafkan anakmu ini Bu, karena telah membuatmu sengsara.Kenapa baru sekarang aku melihat kenyataan ini. Ya Allah, kenapa ibu tidak pernah cerita. Apa diancam oleh Nuri. Ternyata Nuri terlalu pintar bersandiwara. Selama ini Nuri selalu bersikap penuh kasih sayang pada ibu, tidak terlintas sedikit pun dalam hatiku, ibu akan mendapat perlakuan sekejam itu. Di depanku Nuri bersikap layaknya menantu yang baik, tapi dibelakangku, inilah kenyataan yang aku terima.Aku mendesah kecewa, kenapa baru sekarang aku mengetahui sepak terjang wanita yang paling aku sayang dan paling aku cinta. Mendapatkannya saja, aku harus berjuang sekuat tenaga. Akhirnya wanita itu luruh dan mau menerima pinanganku.Sekarang apa yang harus aku lakukan. Diam saja atau bertindak. Entahlah, aku tidak bisa berpikir jernih saat ini.Aku sungguh menyayangkan sikap ibu yang lebih menutupi dan menerima saja perbuatan Nuri padanya. Tidak sedikit pun ibu menceritakan perlakuan Nuri padaku. Ibu selalu bilang bahagia berada di rumah ini, berkumpul dengan anak dan menantu."Ibu bahagiakan tinggal denganku," tanyaku ketika itu, setelah ibu menetap seminggu di rumah. Aku terpaksa mengajak ibu tinggal bersamaku, karena tak tega melihat ibu tinggal, sendiri setelah sebulan pernikahanku bapak dipanggil menghadapnya."Tentu saja ibu bahagia Nak, ibu mana yang tidak bahagia bisa kumpul dengan anak dan menantunya.""Apalagi kalau nanti, kalian memiliki keturunan, lengkap sudah kebahagiaan ibu. Jangan khawatirkan ibu, kalian fokus saja dengan pernikahan kalian yang seumur jagung ini. Jangan sampai program hamil yang kalian gadang-gadangkan jadi berantakan. Gimana caranya supaya bisa bertahan, kemudian memberikan ibu cucu yang banyak.” Canda ibu waktu itu.Aku urungkan langkah masuk ke dalam, tadinya aku pulang kerumah mengambil berkas yang tertinggal. Sesampainya di rumah, kenyataan ini yang aku saksikan. Selama hampir tujuh bulan aku menikah dengan Nuri, sekalipun aku tidak pernah melihat dia memperlakukan ibu sekejam itu. Sedangkan ibu tampak baik-baik saja selama tinggal di rumah dengan menantunya. Tidak mengeluh atau mengadukan sikap buruk Nuri. Jangan-jangan ibu diancam. Entahlah! Sungguh membingungkan.Kenapa hari ini aku melihat kenyataan yang berbeda. Sepertinya Allah memberiku petunjuk, agar ibu tidak menderita lebih lama lagi.Tapi tetap saja, aku menyayangkan, kenapa baru sekarang aku mengetahui belang dan sikap kurang ajar Nuri pada ibu.Apa Nuri tengah dirasuki roh halus sampai bertindak tidak sepantasnya untuk ibu mertuanya. Rasanya aku masih tidak bisa mempercayainya, tapi melihat kenyataan di depan mata tak bisa dipungkiri. Hatiku begitu sakit melihat wanita yang aku sanjung sedemikian rupa, mendapat perlakuan sekejam itu dari menantunya.Sebaiknya aku tidak perlu gegabah mengambil tindakan, kejadian tadi ku anggap sebagai peringatan awal dan harus segera diselidiki.Aku kembali ke mobil, Nuri tidak perlu tahu, kalau suaminya ini mengetahui sepak terjangnya barusan. Sebaiknya pura-pura tidak dulu tahu, sampai aku dapatkan bukti yang cukup. Setelah itu baru aku mengambil keputusanyang tepat.Meskipun tidak tega melihat ibu kelaparan, aku harus terpaksa bersikap tidak peduli. Demi mendapatkan bukti sebanyak-banyaknya hingga Nuri tidak memiliki alasan untuk berkelit.Aku segera merogoh ponsel dalam balik saku jas, lalu menelpon Nuri."Iya kenapa Mas," tanya Nuri dari balik sambungan telepon."Tolong ambil berkas Mas, map warna merah di ruang kerja, terus anter ke depan sekarang juga.""A-apa Mas," sahut Nuri gagap seperti orang ketakutan.Bersambung...Ini cerita terbaruku, mohon dukungan semua ya teman, untuk subscribe, like dan komen. Terima kasih atas kemurahan hatinya, semoga suka dengan ceritaku.Bismillahirrahmanirrahim."Tolong ambil berkas Mas, map warna merah di ruang kerja, terus anter ke depan sekarang juga.""A-apa Mas," sahut Nuri gagap seperti orang ketakutan. Jelas sekali terdengar dari nada bicaranya. Aku menyunggingkan senyum sekilas, puas rasanya mendengar ia ketakutan.Tapi tunggu dulu.Wanita itu tampak gugup memenuhi permintaanku, apa mungkin dia mengira aku mengetahui perangainya tadi. Kalau ia, tentu aku akan kesulitan untuk menyelidiki lebih jauh. Duh! Bagaimana ini, seharusnya tadi tunggu beberapa menit dulu, baru telpon. Tapi ya sudahlah, semua sudah terjadi. Semoga saja Nuri tidak mengetahui, kalau suaminya ini telah menangkap basah sifat buruknya.“Kamu kenapa gugup begitu? Ada sesuatukah!”“Ti-tidak, tidak ada apa-apa Mas. Tadi Mas bilang apa?”“Ambil berkas map warna merah di ruang kerja, terus anter ke depan. Kamu sedang apa sih, kok tidak fokus begini." Selidikku lebih jauh."I-iya Mas, sejak kapan Mas berada di depan?” tanya Nuri dengan napas tercek
Bismillahirrahmanirrahim."Apa kamu bilang? Ibu sakit! tadi pagi ibu baik-baik sajaaku tinggal. Kenapa tiba-tiba sakit?""Tidak tahu Mas,” lirih Nuri pelan.“Jangan bercanda kamu, tidak mungkin ibu tiba-tiba sakit,tanpa sebab. Pasti telah terjadi sesuatu pada ibu, jatuh atau apa gitu, katakan sebenarnya Nuri, apa yang terjadi pada ibu, kenapa ibu bisa sakit.”“Aku tidak mengerti Mas, aku tidak berbuat yang aneh-anehpada ibu. Makanan yang disantap ibu juga sehat. Ibu juga tidak jatuh.” Sahut Nuriberkelit.“Lalu ibu sakit apa?”“Sakit perut Mas, ibu tidak berhenti memegang perutnya.” LaporNuri seraya terisak kecil.“Jangan-jangan mag ibu kambuh, tadi saat mas pergi, kamusudah pastikan ibu sarapan?”“Jangan-jangan kamu lupa mengingatkan ibu.”“Tidak Mas, tadi ibu menolak sarapan bareng aku, katanyasebentar lagi. Setelah sarapan, aku tinggal ke kamar. Sedangkan ibu berada ditaman belakang sedang menyiram tanaman. Entah ibu sudah sarapan apa belum, akutidak tahu pasti Mas. Ibu bilang akan
Bismillahirrahmanirrahim.“Apa Mas? Tidak mungkin Mbak Nuri setega itu. Selama ini aku melihat ibu sangat menyayangi Mbak Nuri. Mana mungkin istri Mas itu sanggupmelakukan hal serendah itu.”“Tadinya Mas juga menyangsikan, tapi itulah kenyataannya Dek. Saat melihat kejadian waktu itu, mbakmu itu seperti orang kerasukan, seakan-akan bukan Nuri yang bicara, tapi orang lain tengah mempengaruhi akal sehatnya.”“Ini tidak bisa dibiarkan Mas, harus dibawa ke orang pintar, atau tanya langsung sama Mbak Nuri, apa maksudnya bertindak kejam pada ibu, pasti dia punya alasan.”"Apapun alasannya, apa pantas dia bersikap kurang ajar pada orang, apalagi orang itu adalah mertuanya sendiri. Kamu tahu nggak betapa hati Mas hancur mengetahui orang yang Mas cintai dengan segenap jiwa ternyata bermuka dua. Lain di depan lain di belakang.""Sabar Mas, mungkin ini ujian pernikahan. Kita tidak tahu, ujian apa yang kita hadapi. Bisa jadi ujian itu untuk mempererat tali pernikahan."“Mengenai perkataanmu tadi,
Bismillahirrahmanirrahim.Alhamdulillah kami baik, hanya ibu saja yang kurang sehat, mag-Nya kambuh karena telat makan.”“Maaf Mas, aku ralat, Ibu sakit bukan karena telat makan ya, tapi ibu sedang kehilangan nafsu makan.” jelas Nuri tak terima aku bilang ibu telat makan.Aku spontan melongo mendengar ucapan Nuri. Berani juga dia menyanggah perkataanku. Padahal sebenarnya aku tahu banget sepak terjangnya. Sekarang berlagak tidak mau disalahkan karena gagal melayani semua kebutuhan ibu. Aku hanya bisa menggelengkan pasrah.“Tergantung, kalau lauknya menggiurkan, pasti ibu nafsu makan.” balasku lagi.“Maksud Mas, masakanku tidak menerbitkan selera ibu gitu,” sanggah Nuri sedikit kesal.“Bukannya berterima kasih telah dimasakin, sekarang bisanya menghina.” Lanjut Nuri menambahkan dengan raut cemberut.Aku tersentak mendengar jawaban Nuri, sejak kapan dia mulai berani menjawab dan menentang perkataanku. Jadi semua ini bukan karena pengaruh hasutan seseorang. Ini murni Nuri telah banyak b
Bismillahirrahmanirrahim.“Dendam lama.” Bia mencengkeram lenganku kuat sekali. Hampir saja aku teriak kesakitan, untungnya aku masih sadar tengah menguping. Jika tidak! Pastilah Nuri dan Bang Handi mengetahui aksi kami. Aku dan Bia saling melirik dan bertanya-tanya dalam hati.Pikiranku berkelana mencocokkan fuzle yang terserak dengan perilaku dan sikap buruk Nuri yang baru saja aku ketahui. Secercah keterangan mulai terlihat.Ternyata ada dendam yang tersembunyi. Pantas saja ia berbuat senekad itu. Benar-benar berniat menyakiti hati dan perasaan ibu.“Kamu dengar-kan Dek, perkataan mereka. Mas tidak salah dengar bukan?”“Iya Mas! Ternyata semua itu karena dendam lama. Aku takut Mas, takut ibu kenapa-napa, takut kita dibunuh tengah malam buta. Kita tidak akan bisa tidur dengan nyaman. Kita pasti dihantui ketakutan."Aku menyugar rambut kasar, tak menyangka wanita yang aku nikahi berhati iblis. Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan, hamba terlanjur mencintainya.Hening kembali, hanya
Bismillahirrahmanirrahim.Ibu tampak mengangguk, lalu masuk ke kamar. “Jangan lupa kunci pintu,” pesanku cepat sebelum melangkah pergi. Keselamatan ibu lebih penting dari apapun.Lega terpancar dari raut wajahku, ibu dalam keadaan baik-baik saja.Aku bergegas pergi ke kamar Bia. Sama halnya yang kulakukan di depan pintu kamar ibu, aku ketuk pintu itu pelan dan memanggil nama Bia. Namun sayang, beberapa kali ketukan, tidak ada sahutan dari dalam. Apa Bia sudah tidur? terus tadi itu suara teriakan siapa? Apa mungkin itu hanya halusinasiku saja. Aku bermonolog sendiri. Belakangan ini, karena saking khawatir dengan keselamatan ibu dan Bia, aku sering berpikir yang aneh-aneh. Bahkan kadang muncul bayangan, seolah ibu dan Bia tengah dianiaya.Terkadang sampai terbawa ke alam mimpi. Aneh bukan!!“Gimana Mas? Apa Bia yang teriak? “ tanya Nuri menyusulku keluar kamar tak lama kemudian.“Tidak tahu, soalnya Bia tidak menjawab, mungkin sudah tidur.”“Nah! Apa kubilang, itu bukan teriakan dari ru
Bismillahirrahmanirrahim.POV BiaSemenjak ayah meninggal, Mas Arfan mengajakku dan ibu tinggal di rumahnya. Tadinya kami sempat menolak, tapi mas Arfan bersikeras, akhirnya dengan berat hati ibu mengabulkan permintaan anak lelakinya. Pun denganku, terpaksa menurut saja. Mana bisa aku jauh dari ibu. Sore itu aku mendapat wejangan dari mbak Nuri. Katanya, kenapa aku tidak ngekos aja di kosan dekat kampus, biar lebih dekat dan tidak capek mesti bolak balik dari rumah ke kampus. Apa yang dikatakan Mbak Nuri ada benarnya.Tapi aku tidak bisa memutuskan sendiri, tanpa bertanya dulu pada Mas Arfan. Belum tentu kakak lelakiku itu menyetujui saran istrinya.Sepulangnya mas Arfan dari kantor, aku mengungkapkan keinginan untuk tinggal dekat kampus dengan alasan yang tepat tentunya. Meskipun berat berpisah dengan ibu. Saran Mbak Nuri itu seolah menegaskan dia tidak mau aku ikut tinggal dengannya. Itu yang terpikirkan saat itu. Selain itu aku juga tidak mau berprasangka buruk. Belum tentu juga
Bismillahirrahmanirrahim.POV BiaAku mulai tak nyaman dengan posisiku, kedua tangan dan kaki rasanya kebas dan pegal-pegal, dari semalam posisiku tak berubah.Perut rasanya mulai bergejolak minta dimuntahkan. Bau ini sangat menggangguku, kenapa aku disekap di tempat yang sangat tidak layak seperti ini. Kencing juga mulai terasa, tak mungkin aku keluarkan di sini, yang ada tambah bau. Aku semakin gelisah menahan hajat yang ingin segera dikeluarkan.Orang yang menyekapku ini sepertinya hanya ingin menyiksaku saja. Tapi itu lebih baik, daripada aku dilecehkan apalagi secara bergantian. Membayangkan itu saja, membuatku bergidik ngeri. Jangan sampai peristiwa memilukan itu menimpaku. Tak ayal rasa khawatir itu datang secara tiba-tiba. Ya Allah semoga hal buruk itu tidak menimpaku, kalau hanya diikat dan disekap begini, masih bisa kutanggung. Tapi jangan hal yang satu itu, itu hanya akanku persembahkan untuk suamiku nanti. Meskipun sampai hari ini aku tidak tahu siapa yang akan menjadi pen