Share

Wajah Asli Istriku
Wajah Asli Istriku
Penulis: Firdawati

WAI Part 01

Bismillahirrahmanirrahim.

"Bu! Kenapa masih ada noda di sini? ibu tidak bersih ya mencucinya," hardik istriku dengan mata melotot tajam.

"Ini! Ibu cuci lagi sampai bersih! Awas saja, kalau tidak bersih, ibu tanggung akibatnya," seru Nuri seraya melempar baju ke wajah perempuan yang telah melahirkanku. Baju itu luruh jatuh ke lantai, sedangkan Ibu tertunduk diam.

Kukepalkan kedua tangan dengan napas memburu dan  menderu kencang, menyaksikan perlakuan Nuri istriku pada wanita tercintaku. Wanita yang aku sayang dan aku kasihi dengan segenap jiwa, mendapat perlakuan semena-mena oleh perempuan yang bergelar istriku. Tak pernah kubayangkan ibuku diperlakukan seperti itu, sungguh tidak manusiawi.

Aku sungguh tidak menyangka, akan mengalami nasib seperti cerita KBM yang sering aku baca. Meskipun ceritanya bertolak belakang dengan keadaan yang menimpaku, di mana kebanyakan cerita mertua kejam. Tapi kenyataan yang kuhadapi menantu kurang ajar.

"Iya Nak, nanti ibu cuci lagi. Sekarang tidak bisa, ibu lagi sakit perut." Sahut wanita tua itu meringis menahan sakit seraya menekan perutnya.

"Alasan saja, gih buruan cuci, mau aku pakai besok Bu," desak Nuri mendorong tubuh ringkih ibu ke kamar mandi.

"Sudah sering aku bilang, kalau cuci baju itu yang bersih. Ini masih saja ada noda. Tidak sekali dua kali ibu lakukan, tapi sudah sering banget. Kenapa sih Bu, ibu enggan mencucikan bajuku." Lanjut Nuri menambahkan.

Mataku membelalak sempurna, benarkah ibu jadi buruh cuci di rumah anaknya sendiri. Berarti selama ini yang mencuci bajuku itu ibu, bukan Nuri. Pantas saja, beberapakali aku melihat masih ada noda yang tampak samar. Selama ini aku diam saja, takut Nuri tersinggung. Sebagai seorang suami yang baik, tidak perlu mendikte atau komplen atas kelelahan yang dirasakan istriku.

"Tidak Nak, bukan begitu. Kamu kan tahu sendiri, mata ibu sudah tidak jelas lagi melihat noda itu. Makanya kenapa tidak kamu saja yang mengerjakan."

"Apa ibu bilang, aku cuci sendiri! Tidak akan, itu sudah jadi bagian dari tugas ibu. Ibu bisa lihat nih, nanti kukuku bisa patah dan jadi jelek."

"Gih! buruan cuci sana, tunggu apa lagi." Sentak Nuri tanpa ampun.

"Ibu lapar Nak, izinkan ibu makan dulu ya, biar ibu ada tenaga. Dari pagi kamu tidak boleh-in ibu makan, setelah itu baru ibu cuci ulang.” ucap ibu penuh harap dengan meringis menahan lapar.

Mataku membelalak sempurna untuk kedua kalinya, benarkah apa yang dikatakan ibu, kalau Nuri tidak mengizinkan beliau makan. Kenapa? Kenapa Nuri melarang ibu makan? Apa kesalahan ibu. Banyak pertanyaan muncul dibenakku.

Tadi pagi, karena buru-buru, aku tidak sempat sarapan. Makanya terasa aneh, kalau sudah jam segini ibu belum makan. Sudah pukul 10 menjelang siang lho ini. Pantas saja ibu mengeluhkan sakit. Aku tahu betul gaya makan ibu, dia terbiasa sarapan nasi di pagi hari. Kalau tidak, mag-Nya bisa kambuh.

"Tidak bisa, harus sekarang." Lagi hardikan yang ibu terima.

“Ibu mohon Nak, ibu sudah tidak kuat.”

"Cuci dulu sampai bersih, baru ibu boleh makan."

"Tapi Nak, i--" ucapan ibu terpotong dengan perkataan Nuri.

"Tidak ada tapi-tapian, pokoknya ibu cuci dulu sampai noda itu hilang dan tidak meninggalkan bekas. Setelah itu, baru ibu boleh makan. Titik tidak pakai koma, mengerti!" Seru Nuri dengan mata nyalang, wanita itu kembali mendorong tubuh ibu hingga jatuh terduduk, tepat di sebelah pakaian yang dilempar perempuan yang berstatus istriku.

Dengan menunduk menahan perih, kulihat ibu memungut stelan putih yang tergeletak di lantai. Tangan kirinya memegang perut. Kaki wanita tua itu gemetaran, saking menahan lapar. Ibu berusaha bangkit perlahan-lahan dengan sisa tenaga yang ia miliki dan melenggang ke kamar mandi.

Rasa hatiku tak bisa terima perlakuan Nuri pada ibuku. Sejak kapan dia perlakukan ibu seperti itu. Apa semenjak menikah? Kalau iya, Ya Allah maafkan anakmu ini Bu, karena telah membuatmu sengsara.

Kenapa baru sekarang aku melihat kenyataan ini. Ya Allah, kenapa ibu tidak pernah cerita. Apa diancam oleh Nuri. Ternyata Nuri terlalu pintar bersandiwara. Selama ini Nuri selalu bersikap penuh kasih sayang pada ibu, tidak terlintas sedikit pun dalam hatiku, ibu akan mendapat perlakuan sekejam itu. Di depanku Nuri bersikap layaknya menantu yang baik, tapi dibelakangku, inilah kenyataan yang aku terima.

Aku mendesah kecewa, kenapa baru sekarang aku mengetahui sepak terjang wanita yang paling aku sayang dan paling aku cinta. Mendapatkannya saja, aku harus berjuang sekuat tenaga. Akhirnya wanita itu luruh dan mau menerima pinanganku.

Sekarang apa yang harus aku lakukan. Diam saja atau bertindak. Entahlah, aku tidak bisa berpikir jernih saat ini.

Aku sungguh menyayangkan sikap ibu yang lebih menutupi dan menerima saja perbuatan Nuri padanya. Tidak sedikit pun ibu menceritakan perlakuan Nuri padaku. Ibu selalu bilang bahagia berada di rumah ini, berkumpul dengan anak dan menantu.

"Ibu bahagiakan tinggal denganku," tanyaku ketika itu, setelah ibu menetap seminggu di rumah. Aku terpaksa mengajak ibu tinggal bersamaku, karena tak tega melihat ibu tinggal, sendiri setelah sebulan pernikahanku bapak dipanggil menghadapnya.

"Tentu saja ibu bahagia Nak, ibu mana yang tidak bahagia bisa kumpul dengan anak dan menantunya."

"Apalagi kalau nanti, kalian memiliki keturunan, lengkap sudah kebahagiaan ibu. Jangan khawatirkan ibu, kalian fokus saja dengan pernikahan kalian yang seumur jagung ini. Jangan sampai program hamil yang kalian gadang-gadangkan jadi berantakan. Gimana caranya supaya bisa bertahan, kemudian memberikan ibu cucu yang banyak.” Canda ibu waktu itu.

Aku urungkan langkah masuk ke dalam, tadinya aku pulang kerumah mengambil berkas yang tertinggal. Sesampainya di rumah, kenyataan ini yang aku saksikan. Selama hampir tujuh bulan aku menikah dengan Nuri, sekalipun aku tidak pernah melihat dia memperlakukan ibu sekejam itu. Sedangkan ibu tampak baik-baik saja selama tinggal di rumah dengan menantunya. Tidak mengeluh atau mengadukan sikap buruk Nuri. Jangan-jangan ibu diancam. Entahlah! Sungguh membingungkan.

Kenapa hari ini aku melihat kenyataan yang berbeda. Sepertinya Allah memberiku petunjuk, agar ibu tidak menderita lebih lama lagi.Tapi tetap saja, aku menyayangkan, kenapa baru sekarang aku mengetahui belang dan sikap kurang ajar Nuri pada ibu.

Apa Nuri tengah dirasuki roh halus sampai bertindak tidak sepantasnya untuk  ibu mertuanya. Rasanya aku masih tidak bisa mempercayainya, tapi melihat kenyataan di depan mata tak bisa dipungkiri. Hatiku begitu sakit melihat wanita yang aku sanjung sedemikian rupa, mendapat perlakuan sekejam itu dari menantunya.

Sebaiknya aku tidak perlu gegabah mengambil tindakan, kejadian tadi ku anggap sebagai peringatan awal dan harus segera diselidiki.

Aku kembali ke mobil, Nuri tidak perlu tahu, kalau suaminya ini mengetahui sepak terjangnya barusan. Sebaiknya pura-pura tidak dulu tahu, sampai aku dapatkan bukti yang cukup. Setelah itu baru aku mengambil keputusanyang tepat.

Meskipun tidak tega melihat ibu kelaparan, aku harus terpaksa bersikap tidak peduli. Demi mendapatkan bukti sebanyak-banyaknya hingga Nuri tidak memiliki alasan untuk berkelit.

Aku segera merogoh ponsel dalam balik saku jas, lalu menelpon Nuri.

"Iya kenapa Mas," tanya Nuri dari balik sambungan telepon.

"Tolong ambil berkas Mas, map warna merah di ruang kerja, terus anter ke depan sekarang juga."

"A-apa Mas," sahut Nuri gagap seperti orang ketakutan.

Bersambung...

Ini cerita terbaruku, mohon dukungan semua ya teman, untuk subscribe, like dan komen. 

Terima kasih atas kemurahan hatinya, semoga suka dengan ceritaku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status