Bismillahirrahmanirrahim.
“Apa Mas? Tidak mungkin Mbak Nuri setega itu. Selama ini aku melihat ibu sangat menyayangi Mbak Nuri. Mana mungkin istri Mas itu sanggupmelakukan hal serendah itu.”“Tadinya Mas juga menyangsikan, tapi itulah kenyataannya Dek. Saat melihat kejadian waktu itu, mbakmu itu seperti orang kerasukan, seakan-akan bukan Nuri yang bicara, tapi orang lain tengah mempengaruhi akal sehatnya.”“Ini tidak bisa dibiarkan Mas, harus dibawa ke orang pintar, atau tanya langsung sama Mbak Nuri, apa maksudnya bertindak kejam pada ibu, pasti dia punya alasan.”"Apapun alasannya, apa pantas dia bersikap kurang ajar pada orang, apalagi orang itu adalah mertuanya sendiri. Kamu tahu nggak betapa hati Mas hancur mengetahui orang yang Mas cintai dengan segenap jiwa ternyata bermuka dua. Lain di depan lain di belakang.""Sabar Mas, mungkin ini ujian pernikahan. Kita tidak tahu, ujian apa yang kita hadapi. Bisa jadi ujian itu untuk mempererat tali pernikahan."“Mengenai perkataanmu tadi, menanyakan langsung ke mbak Nuri juga tidak mudah Dek, samasaja kita menuduh tanpa bukti. Sementara ibu tidak mau berterus terang, bahkanibu lebih cenderung membela mbak Nuri.” Jelasku panjang kali lebar.“Iya juga ya Mas, aku aja heran, kok bisa ibu menyayangimbak Nuri seperti anak kandung sendiri. Padahal mbak Nuri itu telahmemperlakukannya sangat kejam.”“Makanya Dek, kita harus cari bukti dulu, setelah bukti kitakumpulkan barulah kita bertindak.”"Emang kejadian kemaren tidak bisa dijadikan bukti, kan mas sendiri yang melihatnya. Mas mau cari bukti apalagi?""Tidak segampang itu Dek, bisa saja mbak Nuri berkelit, kamu kayak gak tahu Nuri saja, Dia-kan pintar bersilat lidah. Kita harus punya rekaman cctv atau rekaman suara Nuri sedang memaharahi ibu.""Terus bagaimana cara kita melakukan semua itu, mbak Nuri aja berada di rumah terus jarang keluar. Sekalinya keluar, mas juga ikut. Lalu siapa yang bisa bantu kita.""Kalau masalah itu kamu tenang saja, Mas sudah bicarakan dengan seseorang yang bisa membantu kita. Kamu setujuoan dengan rencana Mas.""Iya Mas, aku ikut apa yang terbaik menurut Mas."“Baiklah, masalah ini tidak perlu kita bahas lagi, yang penting sekarang ibu sudah melewati masa kritisnya.”“Yuk! Masuk ke dalam, nanti Nuri bisa curiga, kalau kitakelamaan di luar.”“Iya Mas, sebaiknya sekarang kita ke dalam, jangan buat ibu kebingunganmencari kita.”Kemi bergegas kembali ke rumah rawat ibu.Sesampainya di dalam, aku terkejut melihat ibu makansendiri. Tadi Nuri bersikeras akan menyuapi inu,,tapi lihat sekarang, ibu dibiarkan makan sendiri. Padahal ia tahu, ibu belum memiliki kekuatan untuk makan sendiri.Ya Allah apa yang harus kulakukan, untuk membalikkan keadaan.“Loh ibu, kenapa makan sendiri? Mana Nuri?”“Istrimu sedang di kamar mandi.”“Ibu tidak mau cerita, kenapa ibu tidak berselera makan.Tidak biasanya ibu seperti itu. Biasanya selalu semangat, apalagi kalau untukkesehatan.”“Apa ada yang ibu rahasiakan dariku,” kejarku penasaran.Ibu menatap sekilas ke pintu kamar mandi, seakan-akan sedangmemastikan sesuatu. Aku menatap ibu curiga, jangan-jangan ibu ingin berterusterang, tapi khawatir Nuri mengetahui, kalau ibu berniat membuka rahasia.Bunyi derit pintu terdengar, tak lama Nuri keluar dari kamarmandi.“Tidak ada rahasia apa pun Nak, jangan berpikiran yangbukan-bukan. Ini murni karena ibu sedang tidak ingin makan saja.”Kayak kamu tidak pernah ngalamin aja, sedari kecil kamu jugabegitu, waktu ibu suruh makan, kamu malah bilang lagi tak nafsu. Ya kek gitujugalah yang ibu rasa.”Nuri tampak tersenyum miring mendengar pengakuan ibu, akubisa lihat dari lirikan mataku.Fix ini, antara ibu dan Nuri ada perjanjian hitam di atasputih.“Sini Bu, aku lanjutkan menyuapi ibu.”Kulihat ibu hanya mengangguk, lalu menyerahkan sendok ketangan Nuri.***Sore baru saja menjelang. Kini aku tengah berada di ruanganlain di rumah sakit. Aku curiga, kalau Nuri memaksa ibu makan sendiri. Itu bisaaku lihat dari gaya bicara ibu.Setelah sampai di ruangan yang ditunjuk salah seorangperawat, aku segera mengetuk pintu.Aku masuk ke dalam, setelah mendapat izin. Di dalam tampakseorang pria dewasa yang rambutnya mulai kelihatan ubannya, tengah mengawasilayar besar di laptop.“Maaf mengganggu waktunya Pak,” sapaku ramah.“Iya, ada tujuan apa Mas ganteng ini datang kemari?” tanyanyasedikit bercanda, membalas senyumku seraya berjabat tangan.Lagi aku tersenyum sumringah mendengar candaan sang bapak.“Hm, Bapak bisa aja.”“Hidup itu dibawa santai Mas, biar tenang dan damai.”“Ada angin apa nih datang dimari?”“Gini Pak, saya sudah mendapat izin dari pimpinan rumah sakit,untuk mengecek cctv di ruangan ibu saya di rawat. Kamar 235 ruang rawat gladiol.“Ok, sebentar Mas ganteng. Silakan duduk. Saya siapkanterlebih dahulu. Sekian menunggu, barulah data cctv itu bisa terlihat denganjelas.”Aku perhatikan dengan seksama, di mulai dari perawat yangmengantar makanan. Lalu Bia muncul dan kuajak keluar. Hatiku tak sabar inginmelihat perlakuan Nuri ke ibu setelah aku dan. Bia pergi keluar.Benar saja dugaanku. Ternyata Nuri melampiaskan kemarahannyasetelah kami berada di luar. Setelah memastikan kami menjauh, Nuri mulaimenunjukkan belangnya.“Nih ibu makan sendiri, enak saja aku yang jadi repot.”“ingat ya Bu, jangan sekali-kali ibu ngadu pada mas Arfan, kalauketahuan ibu ngadu, lihat saja, anak perempuan ibu itu hanya tinggal nama.”Spontan aku menutup mulutku dengan telapak tanganku. Takmenyangka Nuri bisa bertindak sejauh itu. Sebenarnya ada masalah apa antara ibudan Nuri. Sampai-sampai Nuri berubah.“Pak saya bisa mendapatkan rekaman cctv barusan, ingin sayajadikan bukti, bila suatu saat diperlukan.”“Oh bisa Mas, saya kirim sekarang juga ya.”“Terima kasih atas kerja samanya Pak, mohon maaf bila sayamengganggu jam kerja bapak.”“Oh iya Pak, tolong rahasiakan ke semua orang terlebihistriku, apa yang kita lihat barusan.”“Siap Mas ganteng,” sahut lelaki yang masih bugar, diusianya yang tidak lagi muda.***Tiga hari lamanya ibu harus menginap di rumah sakit. Kini saatnyaia pulang ke rumah.Rekaman cctv itu masih tersimpan rapi dalam ponselku, bilasaatnya dibutuhkan pasti akan aku tunjukkan.Tidak mungkin juga bagiku melabrak Nuri di rumah sakit,tidak mudah memang menyelesaikan masalah yang cukup pelik di mataku. Aku tidakboleh gegabah memutuskan. Aku harus pikirkan matang-matang sebelum bertindak.Untuk jaga-jaga dan memastikan, supaya ibu tidak teraniayalagi oleh menantunya, aku meminta Bia untuk tinggal di rumah. Untungnya gadisberkerudung itu menyanggupinya.Setelah semua rapi, kami pun segera meninggalkan rumahsakit.Tak lama kemudian, kami sampai di kediaman. Saat membukapintu mobil, kami dikejutkan oleh seorang pria yang muncul dari teras.“Nuri! Itu Bang Handi bukan sih!” seruku kaget.“Iya Mas, maaf aku lupa kasih tahu, kalau hari ini bangHandi mau datang ke rumah.”Kulihat Nuri bergegas turun dari mobil dan menghampirisaudaranya.“Maaf Bang, menunggu lama ya.”“Iya, bahkan Abang sempat ketiduran tadi. Saat dengar suaramobil masuk halaman, barulah Abang terjaga.”“Apa kabar Arfan, ibu, dan kamu, gadis kecil yang imut,” sapa bang Handi serayamenjabat tangan ibu “Alhamdulillah kami baik-baik saja Bang, hanya ibu saja yang kurang sehat, mag-Nyakambuh karena telat makan.”“Silakan masuk Bang, maaf saya antar ibu istirahat kekamar.”Bersambung...Terima kasih sudah berkenan mampir, jangan lupa tekan tombol subscribe, like dan komen ya pemirsa, terima kasih atas kemurahan hatinya.Bismillahirrahmanirrahim.Alhamdulillah kami baik, hanya ibu saja yang kurang sehat, mag-Nya kambuh karena telat makan.”“Maaf Mas, aku ralat, Ibu sakit bukan karena telat makan ya, tapi ibu sedang kehilangan nafsu makan.” jelas Nuri tak terima aku bilang ibu telat makan.Aku spontan melongo mendengar ucapan Nuri. Berani juga dia menyanggah perkataanku. Padahal sebenarnya aku tahu banget sepak terjangnya. Sekarang berlagak tidak mau disalahkan karena gagal melayani semua kebutuhan ibu. Aku hanya bisa menggelengkan pasrah.“Tergantung, kalau lauknya menggiurkan, pasti ibu nafsu makan.” balasku lagi.“Maksud Mas, masakanku tidak menerbitkan selera ibu gitu,” sanggah Nuri sedikit kesal.“Bukannya berterima kasih telah dimasakin, sekarang bisanya menghina.” Lanjut Nuri menambahkan dengan raut cemberut.Aku tersentak mendengar jawaban Nuri, sejak kapan dia mulai berani menjawab dan menentang perkataanku. Jadi semua ini bukan karena pengaruh hasutan seseorang. Ini murni Nuri telah banyak b
Bismillahirrahmanirrahim.“Dendam lama.” Bia mencengkeram lenganku kuat sekali. Hampir saja aku teriak kesakitan, untungnya aku masih sadar tengah menguping. Jika tidak! Pastilah Nuri dan Bang Handi mengetahui aksi kami. Aku dan Bia saling melirik dan bertanya-tanya dalam hati.Pikiranku berkelana mencocokkan fuzle yang terserak dengan perilaku dan sikap buruk Nuri yang baru saja aku ketahui. Secercah keterangan mulai terlihat.Ternyata ada dendam yang tersembunyi. Pantas saja ia berbuat senekad itu. Benar-benar berniat menyakiti hati dan perasaan ibu.“Kamu dengar-kan Dek, perkataan mereka. Mas tidak salah dengar bukan?”“Iya Mas! Ternyata semua itu karena dendam lama. Aku takut Mas, takut ibu kenapa-napa, takut kita dibunuh tengah malam buta. Kita tidak akan bisa tidur dengan nyaman. Kita pasti dihantui ketakutan."Aku menyugar rambut kasar, tak menyangka wanita yang aku nikahi berhati iblis. Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan, hamba terlanjur mencintainya.Hening kembali, hanya
Bismillahirrahmanirrahim.Ibu tampak mengangguk, lalu masuk ke kamar. “Jangan lupa kunci pintu,” pesanku cepat sebelum melangkah pergi. Keselamatan ibu lebih penting dari apapun.Lega terpancar dari raut wajahku, ibu dalam keadaan baik-baik saja.Aku bergegas pergi ke kamar Bia. Sama halnya yang kulakukan di depan pintu kamar ibu, aku ketuk pintu itu pelan dan memanggil nama Bia. Namun sayang, beberapa kali ketukan, tidak ada sahutan dari dalam. Apa Bia sudah tidur? terus tadi itu suara teriakan siapa? Apa mungkin itu hanya halusinasiku saja. Aku bermonolog sendiri. Belakangan ini, karena saking khawatir dengan keselamatan ibu dan Bia, aku sering berpikir yang aneh-aneh. Bahkan kadang muncul bayangan, seolah ibu dan Bia tengah dianiaya.Terkadang sampai terbawa ke alam mimpi. Aneh bukan!!“Gimana Mas? Apa Bia yang teriak? “ tanya Nuri menyusulku keluar kamar tak lama kemudian.“Tidak tahu, soalnya Bia tidak menjawab, mungkin sudah tidur.”“Nah! Apa kubilang, itu bukan teriakan dari ru
Bismillahirrahmanirrahim.POV BiaSemenjak ayah meninggal, Mas Arfan mengajakku dan ibu tinggal di rumahnya. Tadinya kami sempat menolak, tapi mas Arfan bersikeras, akhirnya dengan berat hati ibu mengabulkan permintaan anak lelakinya. Pun denganku, terpaksa menurut saja. Mana bisa aku jauh dari ibu. Sore itu aku mendapat wejangan dari mbak Nuri. Katanya, kenapa aku tidak ngekos aja di kosan dekat kampus, biar lebih dekat dan tidak capek mesti bolak balik dari rumah ke kampus. Apa yang dikatakan Mbak Nuri ada benarnya.Tapi aku tidak bisa memutuskan sendiri, tanpa bertanya dulu pada Mas Arfan. Belum tentu kakak lelakiku itu menyetujui saran istrinya.Sepulangnya mas Arfan dari kantor, aku mengungkapkan keinginan untuk tinggal dekat kampus dengan alasan yang tepat tentunya. Meskipun berat berpisah dengan ibu. Saran Mbak Nuri itu seolah menegaskan dia tidak mau aku ikut tinggal dengannya. Itu yang terpikirkan saat itu. Selain itu aku juga tidak mau berprasangka buruk. Belum tentu juga
Bismillahirrahmanirrahim.POV BiaAku mulai tak nyaman dengan posisiku, kedua tangan dan kaki rasanya kebas dan pegal-pegal, dari semalam posisiku tak berubah.Perut rasanya mulai bergejolak minta dimuntahkan. Bau ini sangat menggangguku, kenapa aku disekap di tempat yang sangat tidak layak seperti ini. Kencing juga mulai terasa, tak mungkin aku keluarkan di sini, yang ada tambah bau. Aku semakin gelisah menahan hajat yang ingin segera dikeluarkan.Orang yang menyekapku ini sepertinya hanya ingin menyiksaku saja. Tapi itu lebih baik, daripada aku dilecehkan apalagi secara bergantian. Membayangkan itu saja, membuatku bergidik ngeri. Jangan sampai peristiwa memilukan itu menimpaku. Tak ayal rasa khawatir itu datang secara tiba-tiba. Ya Allah semoga hal buruk itu tidak menimpaku, kalau hanya diikat dan disekap begini, masih bisa kutanggung. Tapi jangan hal yang satu itu, itu hanya akanku persembahkan untuk suamiku nanti. Meskipun sampai hari ini aku tidak tahu siapa yang akan menjadi pen
Bismillahirrahmanirrahim.POV ArfanAku pandangi lelaki yang berada persis di depanku tanpa berkedip. Apa perkataannya bisa dipercaya. Sulit rasanya mempercayai omongan lelaki ini, dia seolah-olah benar pergi olahraga. Bukan kembali dari suatu tempat. Kenapa hati kecilku mengatakan, kalau lelaki ini telah berbohong.Hati kecil dan firasatku selalu benar, apa yang ada dalam hatiku kadang itulah yang sebenarnya. Makanya aku tidak mudah percaya begitu saja, atas perlakuan Nuri pada ibu. Apa yang terlihat di depan mata, belum tentu benar. Allah memberiku kelebihan itu. Sudah sering aku merasakan kejadian itu. Firasatku tidak pernah salah. Entah kali ini.Mungkin orang akan memandang heran atas sikapku yang tidak bisa mengambil keputusan cepat. Terlalu berbelit-belit dan terkesan santai, sedangkan nyawa seseorang tengah terancam. Apa lagi ini, bukan nyawa sembarang orang, melainkan nyawa perempuan yang mempertaruhkan hidupnya untuk melahirkanku. Apakah aku tidak memikirkan itu.Aku mengge
Bismillahirrahmanirrahim.“Ibu! Boleh aku menanyakan sesuatu yang pribadi,” tanyaku dengan napas tercekat.Ibu menoleh, lalu memandangku sesaat. Kemudian tatapannya beralih ke gelas yang tengah ia isi dengan es batu. Tak lama kemudian, ibu melangkah ke kulkas dan meletakkan kotak berisi es batu ke tempat semula, Lalu berbalik lagi ke meja makan. Reaksi ibu tampak biasa saja. Tak seperti yang aku bayangkan. Ibu harusnya kaget dengan pertanyaanku. Ibu kembali menatapku.“Mau tanya apa? Tanya saja.”“Tapi ibu jangan marah ya,” pintaku lagi dengan perasaan takut dan cemas serta dahi berkerut.Ibu menghentikan pergerakannya, memandangku sesaat, lalu diam sebentar seakan tengah berpikir. Tak lama ibu menyodorkan gelas berisi teh dingin ke hadapanku.“Duduk dan minumlah dulu, setelah itu kamu bisa menanyakan apa pun,” balas ibu seraya menarik kursi dan mendaratkan bokongnya di sana. Akupun ikut duduk di sebelah ibu. Setelah menandaskan minuman, aku menatap perempuanyang kukasihi itu sejenak.
Bismillahirrahmanirrahim.Tampilan bermula ketika terdengar panggilan dari Nuri.“Bu! Keluar! Jangan di kamar terus. Cucian menumpuk ini,” teriak Nuri cepat.“Iya Nak, sebentar,” sahut ibu seraya menutup mushaf Al-Qur’an dan meletakkan di meja. Kemudian melipat mukena, lalu membuka pintu. Cctv yang aku pasang memang lebih banyak mengarah ke pintu. Tujuanku supaya bisa melihat langsung perlakuan Nuri pada ibu.Baru saja pintu dibuka, ibu mendapat serangan pakaian mengenai wajahnya. Persis seperti yang aku lihat pertama kali. Oh jadi begitu ceritanya, aku mangguk-mangguk mengerti. Mataku terus saja menatap layar laptop.“Bau Nak, kenapa harus dilemparkan ke wajah ibu, kamu kan bisa letakkan aja di lantai,” sanggah ibu tak terima perlakuan Nuri.“Letakkan di lantai? Ibu tidak salah. Lihat! Lantai kamar ibu saja kotor begitu. Masak aku taruh baju di sana. Lihat Bu, ini gak sembarang baju, baju mahal,” ucap Nuri menekan kata mahal.“Ibu tahu, Nak. Tapi tidak dilempar juga ke muka ibu, baj