Bismillahirrahmanirrahim.
"Apa kamu bilang? Ibu sakit! tadi pagi ibu baik-baik sajaaku tinggal. Kenapa tiba-tiba sakit?""Tidak tahu Mas,” lirih Nuri pelan.“Jangan bercanda kamu, tidak mungkin ibu tiba-tiba sakit,tanpa sebab. Pasti telah terjadi sesuatu pada ibu, jatuh atau apa gitu, katakan sebenarnya Nuri, apa yang terjadi pada ibu, kenapa ibu bisa sakit.”“Aku tidak mengerti Mas, aku tidak berbuat yang aneh-anehpada ibu. Makanan yang disantap ibu juga sehat. Ibu juga tidak jatuh.” Sahut Nuriberkelit.“Lalu ibu sakit apa?”“Sakit perut Mas, ibu tidak berhenti memegang perutnya.” LaporNuri seraya terisak kecil.“Jangan-jangan mag ibu kambuh, tadi saat mas pergi, kamusudah pastikan ibu sarapan?”“Jangan-jangan kamu lupa mengingatkan ibu.”“Tidak Mas, tadi ibu menolak sarapan bareng aku, katanyasebentar lagi. Setelah sarapan, aku tinggal ke kamar. Sedangkan ibu berada ditaman belakang sedang menyiram tanaman. Entah ibu sudah sarapan apa belum, akutidak tahu pasti Mas. Ibu bilang akan makan kalau sudah lapar. Apa yangdilakukan ibu setelah itu, aku tidak tahu lagi. Tak lama kemudian, tiba-tiba ibu teriak bilang sakit.”Sandiwara apa lagi yang kamu mainkan Nuri, pura-puramenangis, padahal kamu sendiri yang menyebabkan ibu seperti ini.Kamu itu cocoknya jadi penulis, pintar mengarang cerita."Buruan susul ke rumah sakit Mas, kasihan melihat ibusangat menderita," pintanya dengan deraian air mata.Preet....Kasihan katanya, tadi kenapa melarang ibu makan.“Iya, Rumah Sakit mana?”Setelah mendapatkan jawaban, aku segera mematikan sambungantelepon dan merapikan berkas kerja dan menyimpannya di lemari.Tanpa membuang waktu, aku segera berangkat ke rumah sakitBunda, tempat yang diberitahu Nuri tadi. Aku mengemudi mobil dengan kecepatanpenuh, jangan sampai ibu pergi dan meninggalkanku untuk selamanya. Tak lupa akumengabari Bia, supaya menyusul ke rumah sakit.Tak lama kemudian. Kini aku telah berada di ruang tempat ibudirawat. Dokter baru saja selesai memeriksa."Bagaimana kondisi ibu saya Dok?""Mag ibu anda kambuh, sepertinya beliau telat makan.Alhamdulillah sekarang beliau telah melewati masa kritis, tolong lebihperhatikan makannya. Jangan sampai telat lagi," nasehat dokter sebelumpergi.“Terima kasih banyak Dok.” Sahutku ramah. Kemudian berpalingke arah Nuri.Aku pandangi Nuri dengan perasaan marah dan kecewa. Tegasekali dia melarang ibu makan. Karena perbuatannya, ibu harus menginap di sini.Rasanya mau kucakar saja mukanya, melampiaskan amarah yang sudah sampai diubun-ubun. Namun sayang, aku tak memiliki keberanian bertindak karena belum adabukti.Meskipun tadi pagi, aku menyaksikan langsung, bisa saja Nuriberkilah dan minta pembenaran pada ibu."Nuri! Kamu dengar kata dokter tadi bukan, kenapa ibusampai telat makan. Apa kamu tidak mengingatkan ibu supaya sarapan.""Sudah Mas, tapi ibu menolaknya.""Kenapa? Lauknya tidak enak?""Kata ibu, beliau tidak berselera," dalih Nuriberalasan.Entah kebohongan apalagi yang Nuri tunjukkan di depanku.Padahal sangat jelas, Nuri yang tidak mengizinkan ibu makan. Aku lihat sendiri,bagaimana wanita tua itu memohon supaya diizinkan makan."Nuri, rasanya tidak mungkin ibu bilang tidakberselera, sejak kapan ibu pilih-pilih makanan. Setahu ku, ibu akan memakan apasaja tanpa pantangan."“Mungkin ibu lagi kurang sehat Mas, aku telah berusahamembujuk ibu, tapi ibu tetap tidak mau makan.”Kulihat pergerakan di tempat tidur, rupanya ibu bangunmendengar pembicaraan kami.“Kalau Mas tidak percaya, tanyakan saja pada ibu. Itu lihat!ibu sudah bangun.”“Bu, kenapa mag-Nya sakit lagi. Ibu telat makan,” tanyakuseraya mengusap bahu ibu pelan. Berharap beliau berkata jujur.“Ibu tidak berselera makan Nak, entah kenapa belakangan iniibu merasa tidak enak badan.”“Nah! Mas dengar sendiri-kan perkataan ibu.” Ketus Nuri.Ya Allah, lagi dan lagi ibu tidak mau berterus terang. ApaNuri selalu mengancamnya dan harus berkata sesuai instruksinya. Aku semakincuriga dengan sikap ibu dan Nuri, bisa-bisanya mereka bersekongkol. Akupura-pura saja sementara waktu, sampai aku dapatkan bukti kuat, saat itu tibakamu tidak akan bisa berkilah. Aku ikuti permainanmu Nuri.“Baiklah Bu, sekarang ibu istirahat saja.”Suasana hening sejenak.Tak lama berdiam diri, seorang perawat masuk membawa sebuahnampan yang berisi makanan untuk ibu.“Maaf Pak, Bu, ini saya anterin makanan untuk pasien, tolongdimakan sekarang juga. Itu pesan Dokter,” ucap perawat seraya meletakkan nampandi nakas di sebelah kanan tempat tidur.“Baik Sus, terima kasih.”Nuri serta merta mengambil piring yang berisi nasi lembekalias bubur dan menyiramnya dengan sayur bening. “Biar aku yang suapi ibu Mas,”pinta wanita licik itu.Aku hanya mengangguk lemah. Sesekali mataku menatapinteraksi Nuri dan ibuku.“Ayo Bu dimakan, meskipun ibu tidak berselera, kali iniharus ibu paksakan. Biar ibu segera keluar dari rumah sakit.”“Iya Nak, sahut ibu lemah.”Nuri mulai menyuapi ibu dengan setengah hati terpaksakayaknya. Itu dilakukannya, karena ada aku di depannya. Andai aku tidak ada disini, entah apa yang diperbuatnya. Bisa saja ibu dipaksa makan sendiri.Tak lama kemudian, terdengar pintu di dorong dari luar. Biamuncul dengan raut cemas dan khawatir."Mas! Kenapa dengan ibu?" Tanyanya langsungmendekati tempat tidur ibu."Mag ibu kambuh." Sahutku pelan.“Kok bisa, emang Mbak Nuri tidak mengingatkan ibu untuk sarapan!”Nuri kesal dituduh oleh Bia, saking kesalnya sendok jatuhmental ke bawah.“Apaan sih kamu Bia, datang-datang main tuduh sembarangan. Bukanmbak tidak mengingatkan ibu, itu karena ibu sedang tidak berselera makan saja.”Nuri, ada yang perlu aku bicarakan dengan Bia sebentar.Tolong suapi ibu sampai selesai ya. Paksa ibu untuk menghabiskan makannya.“Baik Mas,” sahut Nuri pelan."Kamu ikut Mas sebentar," tanpa menunggu jawabanBia, aku langsung menarik tangan adikku untuk ikut denganku. Setelah cukupjauh, kutatap wajah Bia dengan sendu."Kenapa Mas? Mengapa menatapku begitu?""Kamu gak datang ke rumah siang tadi, seperti yang Masinstruksikan."Bia menggeleng dengan raut heran."Kenapa? Apa perkataan Mas kurang jelas.""Maaf Mas, aku belum sempat, karena sedangkuliah.""Kamu lebih mementingkan kuliahmu dari pada kesehatanibu. Kalau saja kamu tadi siang datang ke rumah, maka ibu tidak akan dibawa kesini. Mag ibu tidak akan kambuh.""Aku jadi tidak mengerti, kenapa Mas justru memintakudatang ke rumah. Kenapa tidak meminta Mbak Nuri saja yang melakukan."“Mbak Nuri bisa meminta ibu makan, kenapa harus aku yangpulang.” Cerocos Bisa melanjutkan.“Emangnya Mbak Nuri tidak masak, hingga perlu aku bawakanmakanan.”“Bukan begitu, harusnya kamu kerjakan dulu permintaan Mas.”Aku menyugar rambutku kasar. Bia tidak mau disalahkan atasapa yang terjadi pada ibu.Aku mengerti, mana Bia tahu apa yang selama ini di deritaibu. Aku yang tinggal se-rumah saja, baru mengetahui hari ini. Apatah Bia yangtinggal jauh dari ibu."Kamu seharusnya bilang Dek, kalau sedang kuliah. Masbisa minta tolong orang lain.""Sebenarnya ada apa sih, Mas. Jangan membuatku bingung,”tanya Bia mengernyitkan kening."Baiklah! Mas akan cerita. Tapi tolong rahasiakan duludari Mbak Nuri, jangan beberkan padanya."Aku ceritakan semua hal yang aku saksikan dan aku lihat dirumah pagi tadi, tidak ada yang aku tutupi.“Apa Mas, tidak mungkin Mbak Nuri setega itu. Selama ini akumelihat ibu sangat menyayangi Mbak Nuri. Mana mungkin Mbak Nuri sanggupmelakukan hal serendah itu.“Tapi itulah kenyataannya Dek.”Bersambung...Bismillahirrahmanirrahim.“Apa Mas? Tidak mungkin Mbak Nuri setega itu. Selama ini aku melihat ibu sangat menyayangi Mbak Nuri. Mana mungkin istri Mas itu sanggupmelakukan hal serendah itu.”“Tadinya Mas juga menyangsikan, tapi itulah kenyataannya Dek. Saat melihat kejadian waktu itu, mbakmu itu seperti orang kerasukan, seakan-akan bukan Nuri yang bicara, tapi orang lain tengah mempengaruhi akal sehatnya.”“Ini tidak bisa dibiarkan Mas, harus dibawa ke orang pintar, atau tanya langsung sama Mbak Nuri, apa maksudnya bertindak kejam pada ibu, pasti dia punya alasan.”"Apapun alasannya, apa pantas dia bersikap kurang ajar pada orang, apalagi orang itu adalah mertuanya sendiri. Kamu tahu nggak betapa hati Mas hancur mengetahui orang yang Mas cintai dengan segenap jiwa ternyata bermuka dua. Lain di depan lain di belakang.""Sabar Mas, mungkin ini ujian pernikahan. Kita tidak tahu, ujian apa yang kita hadapi. Bisa jadi ujian itu untuk mempererat tali pernikahan."“Mengenai perkataanmu tadi,
Bismillahirrahmanirrahim.Alhamdulillah kami baik, hanya ibu saja yang kurang sehat, mag-Nya kambuh karena telat makan.”“Maaf Mas, aku ralat, Ibu sakit bukan karena telat makan ya, tapi ibu sedang kehilangan nafsu makan.” jelas Nuri tak terima aku bilang ibu telat makan.Aku spontan melongo mendengar ucapan Nuri. Berani juga dia menyanggah perkataanku. Padahal sebenarnya aku tahu banget sepak terjangnya. Sekarang berlagak tidak mau disalahkan karena gagal melayani semua kebutuhan ibu. Aku hanya bisa menggelengkan pasrah.“Tergantung, kalau lauknya menggiurkan, pasti ibu nafsu makan.” balasku lagi.“Maksud Mas, masakanku tidak menerbitkan selera ibu gitu,” sanggah Nuri sedikit kesal.“Bukannya berterima kasih telah dimasakin, sekarang bisanya menghina.” Lanjut Nuri menambahkan dengan raut cemberut.Aku tersentak mendengar jawaban Nuri, sejak kapan dia mulai berani menjawab dan menentang perkataanku. Jadi semua ini bukan karena pengaruh hasutan seseorang. Ini murni Nuri telah banyak b
Bismillahirrahmanirrahim.“Dendam lama.” Bia mencengkeram lenganku kuat sekali. Hampir saja aku teriak kesakitan, untungnya aku masih sadar tengah menguping. Jika tidak! Pastilah Nuri dan Bang Handi mengetahui aksi kami. Aku dan Bia saling melirik dan bertanya-tanya dalam hati.Pikiranku berkelana mencocokkan fuzle yang terserak dengan perilaku dan sikap buruk Nuri yang baru saja aku ketahui. Secercah keterangan mulai terlihat.Ternyata ada dendam yang tersembunyi. Pantas saja ia berbuat senekad itu. Benar-benar berniat menyakiti hati dan perasaan ibu.“Kamu dengar-kan Dek, perkataan mereka. Mas tidak salah dengar bukan?”“Iya Mas! Ternyata semua itu karena dendam lama. Aku takut Mas, takut ibu kenapa-napa, takut kita dibunuh tengah malam buta. Kita tidak akan bisa tidur dengan nyaman. Kita pasti dihantui ketakutan."Aku menyugar rambut kasar, tak menyangka wanita yang aku nikahi berhati iblis. Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan, hamba terlanjur mencintainya.Hening kembali, hanya
Bismillahirrahmanirrahim.Ibu tampak mengangguk, lalu masuk ke kamar. “Jangan lupa kunci pintu,” pesanku cepat sebelum melangkah pergi. Keselamatan ibu lebih penting dari apapun.Lega terpancar dari raut wajahku, ibu dalam keadaan baik-baik saja.Aku bergegas pergi ke kamar Bia. Sama halnya yang kulakukan di depan pintu kamar ibu, aku ketuk pintu itu pelan dan memanggil nama Bia. Namun sayang, beberapa kali ketukan, tidak ada sahutan dari dalam. Apa Bia sudah tidur? terus tadi itu suara teriakan siapa? Apa mungkin itu hanya halusinasiku saja. Aku bermonolog sendiri. Belakangan ini, karena saking khawatir dengan keselamatan ibu dan Bia, aku sering berpikir yang aneh-aneh. Bahkan kadang muncul bayangan, seolah ibu dan Bia tengah dianiaya.Terkadang sampai terbawa ke alam mimpi. Aneh bukan!!“Gimana Mas? Apa Bia yang teriak? “ tanya Nuri menyusulku keluar kamar tak lama kemudian.“Tidak tahu, soalnya Bia tidak menjawab, mungkin sudah tidur.”“Nah! Apa kubilang, itu bukan teriakan dari ru
Bismillahirrahmanirrahim.POV BiaSemenjak ayah meninggal, Mas Arfan mengajakku dan ibu tinggal di rumahnya. Tadinya kami sempat menolak, tapi mas Arfan bersikeras, akhirnya dengan berat hati ibu mengabulkan permintaan anak lelakinya. Pun denganku, terpaksa menurut saja. Mana bisa aku jauh dari ibu. Sore itu aku mendapat wejangan dari mbak Nuri. Katanya, kenapa aku tidak ngekos aja di kosan dekat kampus, biar lebih dekat dan tidak capek mesti bolak balik dari rumah ke kampus. Apa yang dikatakan Mbak Nuri ada benarnya.Tapi aku tidak bisa memutuskan sendiri, tanpa bertanya dulu pada Mas Arfan. Belum tentu kakak lelakiku itu menyetujui saran istrinya.Sepulangnya mas Arfan dari kantor, aku mengungkapkan keinginan untuk tinggal dekat kampus dengan alasan yang tepat tentunya. Meskipun berat berpisah dengan ibu. Saran Mbak Nuri itu seolah menegaskan dia tidak mau aku ikut tinggal dengannya. Itu yang terpikirkan saat itu. Selain itu aku juga tidak mau berprasangka buruk. Belum tentu juga
Bismillahirrahmanirrahim.POV BiaAku mulai tak nyaman dengan posisiku, kedua tangan dan kaki rasanya kebas dan pegal-pegal, dari semalam posisiku tak berubah.Perut rasanya mulai bergejolak minta dimuntahkan. Bau ini sangat menggangguku, kenapa aku disekap di tempat yang sangat tidak layak seperti ini. Kencing juga mulai terasa, tak mungkin aku keluarkan di sini, yang ada tambah bau. Aku semakin gelisah menahan hajat yang ingin segera dikeluarkan.Orang yang menyekapku ini sepertinya hanya ingin menyiksaku saja. Tapi itu lebih baik, daripada aku dilecehkan apalagi secara bergantian. Membayangkan itu saja, membuatku bergidik ngeri. Jangan sampai peristiwa memilukan itu menimpaku. Tak ayal rasa khawatir itu datang secara tiba-tiba. Ya Allah semoga hal buruk itu tidak menimpaku, kalau hanya diikat dan disekap begini, masih bisa kutanggung. Tapi jangan hal yang satu itu, itu hanya akanku persembahkan untuk suamiku nanti. Meskipun sampai hari ini aku tidak tahu siapa yang akan menjadi pen
Bismillahirrahmanirrahim.POV ArfanAku pandangi lelaki yang berada persis di depanku tanpa berkedip. Apa perkataannya bisa dipercaya. Sulit rasanya mempercayai omongan lelaki ini, dia seolah-olah benar pergi olahraga. Bukan kembali dari suatu tempat. Kenapa hati kecilku mengatakan, kalau lelaki ini telah berbohong.Hati kecil dan firasatku selalu benar, apa yang ada dalam hatiku kadang itulah yang sebenarnya. Makanya aku tidak mudah percaya begitu saja, atas perlakuan Nuri pada ibu. Apa yang terlihat di depan mata, belum tentu benar. Allah memberiku kelebihan itu. Sudah sering aku merasakan kejadian itu. Firasatku tidak pernah salah. Entah kali ini.Mungkin orang akan memandang heran atas sikapku yang tidak bisa mengambil keputusan cepat. Terlalu berbelit-belit dan terkesan santai, sedangkan nyawa seseorang tengah terancam. Apa lagi ini, bukan nyawa sembarang orang, melainkan nyawa perempuan yang mempertaruhkan hidupnya untuk melahirkanku. Apakah aku tidak memikirkan itu.Aku mengge
Bismillahirrahmanirrahim.“Ibu! Boleh aku menanyakan sesuatu yang pribadi,” tanyaku dengan napas tercekat.Ibu menoleh, lalu memandangku sesaat. Kemudian tatapannya beralih ke gelas yang tengah ia isi dengan es batu. Tak lama kemudian, ibu melangkah ke kulkas dan meletakkan kotak berisi es batu ke tempat semula, Lalu berbalik lagi ke meja makan. Reaksi ibu tampak biasa saja. Tak seperti yang aku bayangkan. Ibu harusnya kaget dengan pertanyaanku. Ibu kembali menatapku.“Mau tanya apa? Tanya saja.”“Tapi ibu jangan marah ya,” pintaku lagi dengan perasaan takut dan cemas serta dahi berkerut.Ibu menghentikan pergerakannya, memandangku sesaat, lalu diam sebentar seakan tengah berpikir. Tak lama ibu menyodorkan gelas berisi teh dingin ke hadapanku.“Duduk dan minumlah dulu, setelah itu kamu bisa menanyakan apa pun,” balas ibu seraya menarik kursi dan mendaratkan bokongnya di sana. Akupun ikut duduk di sebelah ibu. Setelah menandaskan minuman, aku menatap perempuanyang kukasihi itu sejenak.