Bismillahirrahmanirrahim.
Alhamdulillah kami baik, hanya ibu saja yang kurang sehat, mag-Nya kambuh karena telat makan.”“Maaf Mas, aku ralat, Ibu sakit bukan karena telat makan ya, tapi ibu sedang kehilangan nafsu makan.” jelas Nuri tak terima aku bilang ibu telat makan.Aku spontan melongo mendengar ucapan Nuri. Berani juga dia menyanggah perkataanku. Padahal sebenarnya aku tahu banget sepak terjangnya. Sekarang berlagak tidak mau disalahkan karena gagal melayani semua kebutuhan ibu. Aku hanya bisa menggelengkan pasrah.“Tergantung, kalau lauknya menggiurkan, pasti ibu nafsu makan.” balasku lagi.“Maksud Mas, masakanku tidak menerbitkan selera ibu gitu,” sanggah Nuri sedikit kesal.“Bukannya berterima kasih telah dimasakin, sekarang bisanya menghina.” Lanjut Nuri menambahkan dengan raut cemberut.Aku tersentak mendengar jawaban Nuri, sejak kapan dia mulai berani menjawab dan menentang perkataanku. Jadi semua ini bukan karena pengaruh hasutan seseorang. Ini murni Nuri telah banyak berubah. Apakah ini bagian dari rencana jahatnya.“Kamu jangan salah paham begitu Nuri, Mas tidak bermaksud mengecilkan usaha dan kelelahanmu merawat dan melayani semua kebutuhan ibu. Masalah selera, sebenarnya bisa saja dipancing. Apalagi buat ibu yang menderita mag akut. Tidak seharusnya membiarkan ibu telat makan.”“Harusnya kamu bujuk rayu ibu, supaya mau makan. Bukan hanya diam saja seakan tidak peduli dengan penyakit ibu.”“Cukup Mas, jangan salahkan aku terus. Kamu kenapa sih Mas, apa ada sesuatu hal yang kamu ketahui, tapi tidak bisa mengatakannya.”"Kenapa aku yang disalahkan, ibu sakit karena sedang tidak nafsu makan. Bukan karena telat makan. Ingat Mas, aku sudah berupaya untuk merawat dan menjaga ibu, jangan lupakan jerih payahku," lirihnya dengan wajah keruh dan tak enak dilihat."Tidak! Jangan salah paham.""Terus kenapa mas mudah marah dan tersinggung?"“Sudah! Sudah! Kenapa kalian jadi perang mulut. Terpenting sekarang ibu tidak apa-apa, jadi jangan berantem lagi. Malu tau,” ucap bang Hamdi melerai perdebatan antara aku dan Nuri.“Maaf Bang,” ucapku menyesal.Sejak aku melihat perlakuan Nuri pada ibu, emosiku suka kepancing sendiri. Bila tak ingat dia adalah tanggung jawabku, dan sungguh akupun sangat mencintainya, rasanya sulit bagiku untuk melepaskannya.“Arfan, ibu mau istirahat. Tolong antar ibu ke kamar.”“Silakan masuk Bang, maaf saya antar ibu istirahat kekamar.”“Silakan.”Aku segera menuntun ibu ke kamar, pisiknya belumlah stabil dan tenaganya masih lemah. Apalagi tadi sempat berdiri lama, salahku juga justru berdebat dengan Nuri. Bukannya mengantar ibu ke kamar untuk istirahat. Jadi ibu tidak perlu ikut melayani tamu yang datang. Cukup Nuri atau Bia saja yang menemani.Mumpung di kamar berdua ibu saja, mending aku korek info lebih banyak lagi. Siapa tahu ibu mau cerita. Setelah menatap wajah perempuan itu lekat-lekat, aku mulai menghirup napas perlahan-lahan sebelum mulai bertanya.“Kenapa kamu menatap ibu seperti itu, seakan-akan kamu hendak menguliti ibu hidup-hidup.”“Hhmm, begini Bu, aku masih penasaran, kenapa ibu bisa masuk rumah sakit. Aku curiga ibu telah berbohong, apa ada yang ibu tutupi dari aku. Biasanya ibu akan memakan apa pun itu demi kesehatan ibu. Tapi kenapa karena kurang berselera saja, ibu tidak memaksakan makan seperti biasanya. Padahal ibu tahu betul, jika telat makan mah ibu pasti kambuh. Ini terasa ada yang mengganjal, ibu berbohongkan padaku, dengan mengatakan “lagi tidak berselera makan.”“Benarkan dugaanku Bu, bicaralah terus terang, tidak ada siapa-siapa di sini."“Benar Nak, ibu tidak bohong.”“Mau sampai kapan ibu menutupi ini dari aku. Asal ibu tahu, kemaren aku melihat dengan mata kepala sendiri, apa yang dilakukan Nuri pada ibu.”Kulihat rona terkejut di wajah ibu. Tak lama kemudian,wajahnya tenang dan biasa seperti semula.“Kamu tidak perlu cemas Arfan. Apa yang kamu lihat dan apayang kamu dengar tidak semuanya benar. Kemaren memang salah ibu yang tidakbersih mencuci baju Nuri. Tadinya Nuri mau cuci sendiri, tapi melihat diamemijit kepalanya, ibu menawarkan diri untuk membantunya. Hanya itu saja kok, percayasama ibu.”Aku hanya bisa mematung mendengar pembelaan ibu pada Nuri, padahal Nuri telah memperlakukannya sangat kejam. Tapi ibu tetap saja membelanya. Itulah ibuku, orang yang tidak pernah mau menyimpan dendam. Jika dikelahiran berikutnya, aku tetap ingin dilahirkan dari rahim wanita seperti ibu. Rela mati-matian dan bekerja keras untuk membiayai semua keperluan kamu anak-anaknya. Hidup damai dan bahagia dengan ayah. Kebahagiaan yang mereka tunjukkan, adalah mimpi yang sangat ingin kuraih bersama Nuri. Tapi setelah melihat kenyataan di depan mata, apa masih mungkin aku bisa meraih mimpi hidup bahagia dengan istriku. Sekarang saja, aku sudah mulai merasa pernikahan kami sedang di ujung tanduk.“Baiklah! Aku percaya sama ibu. Ingat ya Bu, jika Nurimemperlakukan ibu semena-mena, jangan diam saja. Ibu harus bilang padaku. Akutidak mau ibu menderita sedikit pun.”“Bagiku, kebahagiaan ibu adalah kebahagiaanku.”“Baiklah Nak, kamu tidak perlu khawatir. Ibu pasti akancerita dan bilang terus terang, bila ibu diperlakukan tidak sepantasnya olehNuri.”Tengah asyik bicara dengan ibu, Bia muncul dengan wajahditekuk.“Loh! Itu kenapa wajahmu tak enak dilihat begitu, adamasalah?”Bia memberengut dan mendengkus kasar.“Tau tuh bang Handi, masak salaman pegangan tanganku lamabanget, kok perasaanku tidak enak ya Bang.”“Jangan berpikiran buruk dulu, belum tentu benar. Tidak baikberburuk sangka, dosa besar.”“Habisnya bikin kesal, cengar-cengir gak jelas.” Tukas Biacemberut tak suka.“Ayo Mas anter ambil pakaianmu. Mulai sekarang kamu tinggaldi rumah ini, biar ada yang mengawasi ibu.”“Mas tidak khawatir meninggalkan ibu bersama Mbak Nuri dan BangHandi. Bisa jadi Mbak Nuri meminta Bang Handi datang untuk mencelakakan ibu.”“Oh iya, kamu ada benarnya juga, baiklah kamu saja yang mengambilsendiri. Sementara Mas akan tetap tinggal.”“Yuk keluar, biarkan ibu istirahat.” Kugandeng tangan Biapelan. Tapi sayang, Bisa menahannya.“Kenapa?” tanyaku heran.“Malas ah ketemu cowok aneh itu, aku di sini saja. Lagianngapain dia ke sini. Kurang kerjaan saja.” ucap bisa menggerutu.Aku terkekeh ringan melihat gerutuan Via, hingga mulutnyamenyong sana menyong sini.“Gak boleh begitu, tamu itu harus dihormati.”Aku dan Bia keluar beriringan melangkah ke ruang tamu, takbaik saat ada tamu, tuan rumah malah sembunyi di kamar.”Baru saja kaki ini menginjak satu undakan menuju ruang tamu,telingaku menangkap suara bisik-bisik pelan antara Nuri dan abangnya. Urungkakiku melangkah lebih jauh, tanganku serta Merta menyeret tangan Bia untukikut mundur ke belakang.“Hampir saja rencana kita ketahuan Bang, untungnya mas Arfanorangnya lambat berpikir dan terlalu percaya padaku.”“Kamu ini sudah tau mertuamu itu mengidap penyakit mag,kenapa kamu larang makan.”Sontak Bia mencengkeram tanganku dengan kuat. “Kamu dengarsendiri-kan Dek, mereka itu tengah merencanakan sesuatu yang jahat,” ucapkuberbisik.“Iya Mas.”“Sstt... Kita dengarkan dulu pembicaraan mereka.”“Aku juga tidak menyangka Bang, bakal kejadian begini.Selama ini aku pikir ibu menderita mag biasa, tidak berbahaya seperti kemaren.”“Untungnya lagi cepat kamu bawa dia ke rumah sakit.”“Eh sebentar, harusnya kamu biarkan saja dia menderita, bilaperlu mati sekalian. Biar dendam lama kita terbayarkan.”“Yah! Gak bisa gitu Bang, nanti aku yang disalahkan. Pastibakal ketahuan ibu meninggal karena penyakit mag-Nya kambuh.” Aku dan Bia salingmelirik dan bertanya-tanya dalam hati. Sebenarnya ada dendam apa yang inginmereka lampiaskan pada ibu. Apa kesalahan ibu sebenarnya pada mereka.“Mas! Apa maksud perkataan mereka, ada dendam apa merekapada ibu, kasihan ibu Mas, menjadi sasaran balas dendam mereka.” Bisik Bia ketelingaku.Bersambung ..Terima kasih teman sahabat yang telah berkenan mampir, mohon dukungannya untuk subscribe,like dan komen ya, biar aothor semakin semangat menulisnya.Bismillahirrahmanirrahim.“Dendam lama.” Bia mencengkeram lenganku kuat sekali. Hampir saja aku teriak kesakitan, untungnya aku masih sadar tengah menguping. Jika tidak! Pastilah Nuri dan Bang Handi mengetahui aksi kami. Aku dan Bia saling melirik dan bertanya-tanya dalam hati.Pikiranku berkelana mencocokkan fuzle yang terserak dengan perilaku dan sikap buruk Nuri yang baru saja aku ketahui. Secercah keterangan mulai terlihat.Ternyata ada dendam yang tersembunyi. Pantas saja ia berbuat senekad itu. Benar-benar berniat menyakiti hati dan perasaan ibu.“Kamu dengar-kan Dek, perkataan mereka. Mas tidak salah dengar bukan?”“Iya Mas! Ternyata semua itu karena dendam lama. Aku takut Mas, takut ibu kenapa-napa, takut kita dibunuh tengah malam buta. Kita tidak akan bisa tidur dengan nyaman. Kita pasti dihantui ketakutan."Aku menyugar rambut kasar, tak menyangka wanita yang aku nikahi berhati iblis. Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan, hamba terlanjur mencintainya.Hening kembali, hanya
Bismillahirrahmanirrahim.Ibu tampak mengangguk, lalu masuk ke kamar. “Jangan lupa kunci pintu,” pesanku cepat sebelum melangkah pergi. Keselamatan ibu lebih penting dari apapun.Lega terpancar dari raut wajahku, ibu dalam keadaan baik-baik saja.Aku bergegas pergi ke kamar Bia. Sama halnya yang kulakukan di depan pintu kamar ibu, aku ketuk pintu itu pelan dan memanggil nama Bia. Namun sayang, beberapa kali ketukan, tidak ada sahutan dari dalam. Apa Bia sudah tidur? terus tadi itu suara teriakan siapa? Apa mungkin itu hanya halusinasiku saja. Aku bermonolog sendiri. Belakangan ini, karena saking khawatir dengan keselamatan ibu dan Bia, aku sering berpikir yang aneh-aneh. Bahkan kadang muncul bayangan, seolah ibu dan Bia tengah dianiaya.Terkadang sampai terbawa ke alam mimpi. Aneh bukan!!“Gimana Mas? Apa Bia yang teriak? “ tanya Nuri menyusulku keluar kamar tak lama kemudian.“Tidak tahu, soalnya Bia tidak menjawab, mungkin sudah tidur.”“Nah! Apa kubilang, itu bukan teriakan dari ru
Bismillahirrahmanirrahim.POV BiaSemenjak ayah meninggal, Mas Arfan mengajakku dan ibu tinggal di rumahnya. Tadinya kami sempat menolak, tapi mas Arfan bersikeras, akhirnya dengan berat hati ibu mengabulkan permintaan anak lelakinya. Pun denganku, terpaksa menurut saja. Mana bisa aku jauh dari ibu. Sore itu aku mendapat wejangan dari mbak Nuri. Katanya, kenapa aku tidak ngekos aja di kosan dekat kampus, biar lebih dekat dan tidak capek mesti bolak balik dari rumah ke kampus. Apa yang dikatakan Mbak Nuri ada benarnya.Tapi aku tidak bisa memutuskan sendiri, tanpa bertanya dulu pada Mas Arfan. Belum tentu kakak lelakiku itu menyetujui saran istrinya.Sepulangnya mas Arfan dari kantor, aku mengungkapkan keinginan untuk tinggal dekat kampus dengan alasan yang tepat tentunya. Meskipun berat berpisah dengan ibu. Saran Mbak Nuri itu seolah menegaskan dia tidak mau aku ikut tinggal dengannya. Itu yang terpikirkan saat itu. Selain itu aku juga tidak mau berprasangka buruk. Belum tentu juga
Bismillahirrahmanirrahim.POV BiaAku mulai tak nyaman dengan posisiku, kedua tangan dan kaki rasanya kebas dan pegal-pegal, dari semalam posisiku tak berubah.Perut rasanya mulai bergejolak minta dimuntahkan. Bau ini sangat menggangguku, kenapa aku disekap di tempat yang sangat tidak layak seperti ini. Kencing juga mulai terasa, tak mungkin aku keluarkan di sini, yang ada tambah bau. Aku semakin gelisah menahan hajat yang ingin segera dikeluarkan.Orang yang menyekapku ini sepertinya hanya ingin menyiksaku saja. Tapi itu lebih baik, daripada aku dilecehkan apalagi secara bergantian. Membayangkan itu saja, membuatku bergidik ngeri. Jangan sampai peristiwa memilukan itu menimpaku. Tak ayal rasa khawatir itu datang secara tiba-tiba. Ya Allah semoga hal buruk itu tidak menimpaku, kalau hanya diikat dan disekap begini, masih bisa kutanggung. Tapi jangan hal yang satu itu, itu hanya akanku persembahkan untuk suamiku nanti. Meskipun sampai hari ini aku tidak tahu siapa yang akan menjadi pen
Bismillahirrahmanirrahim.POV ArfanAku pandangi lelaki yang berada persis di depanku tanpa berkedip. Apa perkataannya bisa dipercaya. Sulit rasanya mempercayai omongan lelaki ini, dia seolah-olah benar pergi olahraga. Bukan kembali dari suatu tempat. Kenapa hati kecilku mengatakan, kalau lelaki ini telah berbohong.Hati kecil dan firasatku selalu benar, apa yang ada dalam hatiku kadang itulah yang sebenarnya. Makanya aku tidak mudah percaya begitu saja, atas perlakuan Nuri pada ibu. Apa yang terlihat di depan mata, belum tentu benar. Allah memberiku kelebihan itu. Sudah sering aku merasakan kejadian itu. Firasatku tidak pernah salah. Entah kali ini.Mungkin orang akan memandang heran atas sikapku yang tidak bisa mengambil keputusan cepat. Terlalu berbelit-belit dan terkesan santai, sedangkan nyawa seseorang tengah terancam. Apa lagi ini, bukan nyawa sembarang orang, melainkan nyawa perempuan yang mempertaruhkan hidupnya untuk melahirkanku. Apakah aku tidak memikirkan itu.Aku mengge
Bismillahirrahmanirrahim.“Ibu! Boleh aku menanyakan sesuatu yang pribadi,” tanyaku dengan napas tercekat.Ibu menoleh, lalu memandangku sesaat. Kemudian tatapannya beralih ke gelas yang tengah ia isi dengan es batu. Tak lama kemudian, ibu melangkah ke kulkas dan meletakkan kotak berisi es batu ke tempat semula, Lalu berbalik lagi ke meja makan. Reaksi ibu tampak biasa saja. Tak seperti yang aku bayangkan. Ibu harusnya kaget dengan pertanyaanku. Ibu kembali menatapku.“Mau tanya apa? Tanya saja.”“Tapi ibu jangan marah ya,” pintaku lagi dengan perasaan takut dan cemas serta dahi berkerut.Ibu menghentikan pergerakannya, memandangku sesaat, lalu diam sebentar seakan tengah berpikir. Tak lama ibu menyodorkan gelas berisi teh dingin ke hadapanku.“Duduk dan minumlah dulu, setelah itu kamu bisa menanyakan apa pun,” balas ibu seraya menarik kursi dan mendaratkan bokongnya di sana. Akupun ikut duduk di sebelah ibu. Setelah menandaskan minuman, aku menatap perempuanyang kukasihi itu sejenak.
Bismillahirrahmanirrahim.Tampilan bermula ketika terdengar panggilan dari Nuri.“Bu! Keluar! Jangan di kamar terus. Cucian menumpuk ini,” teriak Nuri cepat.“Iya Nak, sebentar,” sahut ibu seraya menutup mushaf Al-Qur’an dan meletakkan di meja. Kemudian melipat mukena, lalu membuka pintu. Cctv yang aku pasang memang lebih banyak mengarah ke pintu. Tujuanku supaya bisa melihat langsung perlakuan Nuri pada ibu.Baru saja pintu dibuka, ibu mendapat serangan pakaian mengenai wajahnya. Persis seperti yang aku lihat pertama kali. Oh jadi begitu ceritanya, aku mangguk-mangguk mengerti. Mataku terus saja menatap layar laptop.“Bau Nak, kenapa harus dilemparkan ke wajah ibu, kamu kan bisa letakkan aja di lantai,” sanggah ibu tak terima perlakuan Nuri.“Letakkan di lantai? Ibu tidak salah. Lihat! Lantai kamar ibu saja kotor begitu. Masak aku taruh baju di sana. Lihat Bu, ini gak sembarang baju, baju mahal,” ucap Nuri menekan kata mahal.“Ibu tahu, Nak. Tapi tidak dilempar juga ke muka ibu, baj
Bismillahirrahmanirrahim.“Kamu mau bukti, hah! Ini, akan kutunjukkan sekarang juga.” Kini tidak ada lagi sikap lembut yang selalu aku tunjukkan padanya. Sudah cukup rasanya melihat ibu menderita. Pelan namun pasti, cinta yang aku jaga selama ini mulai luntur.Aku segera mengambil laptop yang tadi aku bawa dari kantor, dan membawanya ke dalam rumah lalu menunjukkan semuanya pada Nuri.Nuri tampak syok dan pastinya kaget, badannya limbung kebelakang. Wanita itu pasti tidak menduganya, bukan? Tak sabar rasanya melihat perempuan itu terkejut.“Ba-bagaimana cara Mas mendapatkan bukti itu,” lirihnya gugup dengan napas tercekat.“Tak penting bagaimana caraku mendapatkan bukti ini. Kenyataannya, sekarang aku tau, kamu selama ini ternyata bermuka dua. Lain depan lain belakang. Kenapa Nuri? kenapa kamu tega memperlakukan ibu dengan buruk. Apa kurangnya aku, aku selalu menomorsatukan kamu dalam setiap hal. Apa kurang cukup cinta dan kasih sayang yang kuberikan padamu. Hingga kamu tega memperlak