Bismillahirrahmanirrahim.“Ibu! Boleh aku menanyakan sesuatu yang pribadi,” tanyaku dengan napas tercekat.Ibu menoleh, lalu memandangku sesaat. Kemudian tatapannya beralih ke gelas yang tengah ia isi dengan es batu. Tak lama kemudian, ibu melangkah ke kulkas dan meletakkan kotak berisi es batu ke tempat semula, Lalu berbalik lagi ke meja makan. Reaksi ibu tampak biasa saja. Tak seperti yang aku bayangkan. Ibu harusnya kaget dengan pertanyaanku. Ibu kembali menatapku.“Mau tanya apa? Tanya saja.”“Tapi ibu jangan marah ya,” pintaku lagi dengan perasaan takut dan cemas serta dahi berkerut.Ibu menghentikan pergerakannya, memandangku sesaat, lalu diam sebentar seakan tengah berpikir. Tak lama ibu menyodorkan gelas berisi teh dingin ke hadapanku.“Duduk dan minumlah dulu, setelah itu kamu bisa menanyakan apa pun,” balas ibu seraya menarik kursi dan mendaratkan bokongnya di sana. Akupun ikut duduk di sebelah ibu. Setelah menandaskan minuman, aku menatap perempuanyang kukasihi itu sejenak.
Bismillahirrahmanirrahim.Tampilan bermula ketika terdengar panggilan dari Nuri.“Bu! Keluar! Jangan di kamar terus. Cucian menumpuk ini,” teriak Nuri cepat.“Iya Nak, sebentar,” sahut ibu seraya menutup mushaf Al-Qur’an dan meletakkan di meja. Kemudian melipat mukena, lalu membuka pintu. Cctv yang aku pasang memang lebih banyak mengarah ke pintu. Tujuanku supaya bisa melihat langsung perlakuan Nuri pada ibu.Baru saja pintu dibuka, ibu mendapat serangan pakaian mengenai wajahnya. Persis seperti yang aku lihat pertama kali. Oh jadi begitu ceritanya, aku mangguk-mangguk mengerti. Mataku terus saja menatap layar laptop.“Bau Nak, kenapa harus dilemparkan ke wajah ibu, kamu kan bisa letakkan aja di lantai,” sanggah ibu tak terima perlakuan Nuri.“Letakkan di lantai? Ibu tidak salah. Lihat! Lantai kamar ibu saja kotor begitu. Masak aku taruh baju di sana. Lihat Bu, ini gak sembarang baju, baju mahal,” ucap Nuri menekan kata mahal.“Ibu tahu, Nak. Tapi tidak dilempar juga ke muka ibu, baj
Bismillahirrahmanirrahim.“Kamu mau bukti, hah! Ini, akan kutunjukkan sekarang juga.” Kini tidak ada lagi sikap lembut yang selalu aku tunjukkan padanya. Sudah cukup rasanya melihat ibu menderita. Pelan namun pasti, cinta yang aku jaga selama ini mulai luntur.Aku segera mengambil laptop yang tadi aku bawa dari kantor, dan membawanya ke dalam rumah lalu menunjukkan semuanya pada Nuri.Nuri tampak syok dan pastinya kaget, badannya limbung kebelakang. Wanita itu pasti tidak menduganya, bukan? Tak sabar rasanya melihat perempuan itu terkejut.“Ba-bagaimana cara Mas mendapatkan bukti itu,” lirihnya gugup dengan napas tercekat.“Tak penting bagaimana caraku mendapatkan bukti ini. Kenyataannya, sekarang aku tau, kamu selama ini ternyata bermuka dua. Lain depan lain belakang. Kenapa Nuri? kenapa kamu tega memperlakukan ibu dengan buruk. Apa kurangnya aku, aku selalu menomorsatukan kamu dalam setiap hal. Apa kurang cukup cinta dan kasih sayang yang kuberikan padamu. Hingga kamu tega memperlak
Bismillahirrahmanirrahim.Sekali lagi Mbak bilang Laili, Mbak tidak pernah memfitnah Ranti.Jika mau jujur mbak juga ikut bersedih kehilangan kakakmu itu. Dia sahabat yang sangat baik dan mengerti kesulitan temannya.”"Apapun kata Mbak, aku lebih percaya perkataan Kakakku. Katanya, Mbak Asti yang telah menuduhnya.""Kata siapa, bagaimana Ranti bisa mengatakan aku yang memfitnahnya. Siapa yang mengatakan itu," sanggah ibu tak terima dituduh oleh sahabat baiknya.“Sebentar Mbak Asti, kenapa setelah kejadian itu? Mbak pindah kerja, seakan-akan Mbak ingin kabur dari jeratan hukum. Kepergian mbak Asti waktu itu menambah daftar kecurigaan kami."“Mbak pindah kerja karena mengikuti suami dan mbak juga ingin melupakan peristiwa kelam itu. Kalau Mbak masih di sana, mungkin Mbak masih terus teringat Ranti.”“Percayalah! Mbak tidak sejahat itu, kami hanya korban.”“Korban? Maksud Mbak?”“Iya korban, kami hanya korban orang yang tidak senang melihat kedekatan kami.”“Siapa?”“Maaf Laili, mbak juga
Bismillahirrahmanirrahim."Mas! Jangan menakut-nakutiku," lirih Bia tampak cemas. Wajah adikku mengerucut menggemaskan."Bisa jadi-kan, bukan bermaksud membuatmu takut. Kewaspadaan itu penting, di mana pun kamu berada, di rumah sekalipun. Kamu masih ingatkan, di mana kamu diculik waktu itu. Tempat yang aman menurut orang, belum tentu aman untuk kita, kalau kita tidak hati-hati dan meningkatkan kewaspadaan. Jangan dianggap angin lalu. Kamu itu perempuan, perlu waspada dan hati-hati tingkat tinggi. Kamu mengerti-kan apa yang Mas maksud,” pintaku dengan raut khawatir, karena Bia terlalu menyepelekan keselamatan diri. Terlalu abai dengan keadaan sekitar, dia pikir orang tidak mungkin berbuat jahat padanya.“Iya Mas, aku mengerti, maaf." Lirih Bia tampak menyesali ucapannya. Melihat Bia menunduk dalam, kini giliranku merutuki perkataanku yang terlalu mengintimidasi Bia. "Maaf Bia, perkataan mas terlalu tajam ya." Kuperhatikan wajahnya dengan seksama mencari tanggapan atas perkataanku."Ti
Bismillahirrahmanirrahim.POV Author“Gimana? Arfan kasih tahu posisinya di mana?”Nuri menggeleng cepat seraya meneteskan air mata. Tangannya sibuk mengusap bulir air mata yang meleleh di pipi. Tak pernah perempuan itu bayangkan, bahwa tindakannya memperlakukan ibu mertua dengan sangat kejam itu berimbas pada dirinya sendiri. Nuri pikir perbuatannya itu tidak akan diketahui oleh suaminya secepat ini. Bak kata pepatah, bangkai busuk lama-lama pasti tercium juga. Kini Nuri begitu terluka, ternyata didiamkan oleh suami sendiri begitu menyakitkan. Ia tidak tahu lagi bagaimana membuat Arfan memaafkannya. Kebencian Arfan padanya, membuat Nuri sangat menyesali perbuatannya. Pikirannya selama ini salah, bahwa Arfan akan memaafkannya, karena cinta lelaki itu begitu besar padanya. Ternyata buktinya, cinta itu telah luntur dalam hati suaminya, akibat perbuatan buruknya menyiksa ibu mertuanya, wanita yang teramat disayang oleh Arfan suaminya.“Bu, Mas Arfan masih marah padaku. Bukannya menjawa
“Bismillahirrahmaanirrahiim.Tadi ibu menyebut nama Asti, benarkan?” kejarku lagi setelah wanita ini mengelak.Tanpa menjawab pertanyaanku, tiba-tiba wanita itu menutup pintu dengan cepat. Aku hanya bisa melongo melihatnya, hampir saja jariku kejepit pintu bila tidak kutarik dengan cepat. Ada apa dengannya, kenapa dia seperti ketakutan.“Mas! Kenapa ibu itu kaget melihatku, apa dia pikir aku hantu,” protes Bia memberengut kesal.Aku terkekeh ringan mendengar perkataan Bia, kenapa dia berpikir, dirinya hantu. Ada-ada saja."Kenapa Mas malah tertawa, senang ya dikira aku hantu," ketus Bia kesal.“Bukan begitu Dek, kayaknya dia melihat sosok ibu di wajahmu, makanya dia kaget. Kayaknya dia sangat mengenal ibu, buktinya meskipun telah berlalu sekian lama, wajah ibu tetap teringat olehnya.Bia mengangguk membenarkan perkataan kakaknya.“Kamu dengar gak tadi dia menyebutkan nama Ibu, jangan-jangan dia mengenal ibu dengan baik.”“Tapi responsnya kok anedia kayak takut gitu. Kalau dia mengena
Bismillahirrahmaanireahiim.Hari telah berganti. Dua hati telah berlalu semenjak kedatanganku menemui pak Irwan. Tidak ada info apa pun yang aku dapatkan. Apalagi dari orang suruhanku. Bertanya pada ibu juga belum sempat karena banyak pekerjaan kantor yang belum aku selesaikan. Sementara kasus ini aku tangguhkan dulu. Pagi ini seperti biasa, Nuri berusaha mencuri perhatianku.Tapi tetap saja hatiku belum goyah sedikit pun. Hari bila terlanjur sakit, kemana obat hendak dicari.“Ini tehnya Mas,” ucap Nuri meletakkan cangkir bermotif sepasang angsa di atas meja kerjaku.Melihat cangkir bermotif sepasang angsa yang terlihat mesraitu, sesaat kenangan itu sempat melintas dalam benakku. Tercenung dalam diam, terbayang sudah.Bagaimana perjuanganku dulu mendapatkan sepasang cangkir itu. Berdesak-desakan dengan banyak orang. Penuh intrik dan drama. Waktu itu kami tengah menikmati saat masa pacaran yang begitu menggebu-gebu. Hari terasa berjalan begitu cepat. Setiap saat kami habiskan waktu be