Rumahnya sepi, kayak tidak ada orang. Lirih Asti kecut. Padahal dari tadi dia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Bu Silfiorang yang selalu baik dan ramah padanya. Perempuan itu pun keluar dari mobil lalu mendekati Arfan.“Tidak ada orang kayaknya ya,” tanya Bu Asti melirik kepintu.“Iya Bu, pada kemana ya.”“Coba kamu tanya tetangga sebelah itu,” tunjuk Bu Asti padarumah persis sebelah rumah yang hendak mereka tuju. “Kebetulan itu ada orangnyatuh,” sambung Bu Asti tampak lega.Arfan bergegas menemui lelaki yang ditunjuk ibunya barusan. Kemudian menanyakan keberadaan pak Irwan.Arfan mangguk-mangguk mendengar penjelasan lelaki itu. Setelah mengucapkanterima kasih Arfan kembali ke tempat ibunya berada.Arfan pun menjelaskan keberadaan pak Irwan pada ibunya.“Jadi gimana, apa perlu kita membesuknya ke rumah sakit?”Arfan menimbang baik tidaknya mengajak ibunya ke rumahsakit. Rasanya kok kurang baik bila mengganggu keadaan pak Irwan yang sedangdalam masa perawatan.“Kita pulang saja
Baru saja Arfan dan Bu Asti meninggalkan restoran, ada panggilan masuk dari ponsel milik Arfan.Arfan segera mengangkatnya setelah mengetahui siapa yang menelpon.“Apa?! Astagfirullah. Kamu serius Bia!” lirih Arfan tercekat. Asti pun tak kalah kagetnya melihat anaknya terkejut.“Iya baiklah! Mas akan pulang secepatnya.” Setelah mengatakan itu, Arfan langsung mematikan sambungan telepon dan menatap ibunya sejenak.“Kita pulang sekarang Bu, tadi kata Bia Nuri jatuh dari tangga.”“Apa?” kini gantian Asti yang terperangah. “Terus bagaimana kondisi istrimu? Apa dia baik-baik saja?”“Nuri dibawa ke rumah sakit, kondisinya sedang tidak baik-baik saja. Katanya pingsan cukup lama, bahkan tadi belum siuman juga.”“Ya Allah, semoga Nuri baik-baik saja.”“Ya sudah! Jangan ngobrol di sini. Ayo kita pulang sekarang juga,” Asti menarik tangan Arfan dengan cepat menuju mobil. Perempuan itu tak sabar ingin mengetahui dan melihat langsung kondisi menantunya. Betapa pun pahit yang dirasakannya, akibat u
Bismillahirrahmanirrahim."Bu! Kenapa masih ada noda di sini? ibu tidak bersih ya mencucinya," hardik istriku dengan mata melotot tajam."Ini! Ibu cuci lagi sampai bersih! Awas saja, kalau tidak bersih, ibu tanggung akibatnya," seru Nuri seraya melempar baju ke wajah perempuan yang telah melahirkanku. Baju itu luruh jatuh ke lantai, sedangkan Ibu tertunduk diam.Kukepalkan kedua tangan dengan napas memburu dan menderu kencang, menyaksikan perlakuan Nuri istriku pada wanita tercintaku. Wanita yang aku sayang dan aku kasihi dengan segenap jiwa, mendapat perlakuan semena-mena oleh perempuan yang bergelar istriku. Tak pernah kubayangkan ibuku diperlakukan seperti itu, sungguh tidak manusiawi.Aku sungguh tidak menyangka, akan mengalami nasib seperti cerita KBM yang sering aku baca. Meskipun ceritanya bertolak belakang dengan keadaan yang menimpaku, di mana kebanyakan cerita mertua kejam. Tapi kenyataan yang kuhadapi menantu kurang ajar."Iya Nak, nanti ibu cuci lagi. Sekarang tidak bisa,
Bismillahirrahmanirrahim."Tolong ambil berkas Mas, map warna merah di ruang kerja, terus anter ke depan sekarang juga.""A-apa Mas," sahut Nuri gagap seperti orang ketakutan. Jelas sekali terdengar dari nada bicaranya. Aku menyunggingkan senyum sekilas, puas rasanya mendengar ia ketakutan.Tapi tunggu dulu.Wanita itu tampak gugup memenuhi permintaanku, apa mungkin dia mengira aku mengetahui perangainya tadi. Kalau ia, tentu aku akan kesulitan untuk menyelidiki lebih jauh. Duh! Bagaimana ini, seharusnya tadi tunggu beberapa menit dulu, baru telpon. Tapi ya sudahlah, semua sudah terjadi. Semoga saja Nuri tidak mengetahui, kalau suaminya ini telah menangkap basah sifat buruknya.“Kamu kenapa gugup begitu? Ada sesuatukah!”“Ti-tidak, tidak ada apa-apa Mas. Tadi Mas bilang apa?”“Ambil berkas map warna merah di ruang kerja, terus anter ke depan. Kamu sedang apa sih, kok tidak fokus begini." Selidikku lebih jauh."I-iya Mas, sejak kapan Mas berada di depan?” tanya Nuri dengan napas tercek
Bismillahirrahmanirrahim."Apa kamu bilang? Ibu sakit! tadi pagi ibu baik-baik sajaaku tinggal. Kenapa tiba-tiba sakit?""Tidak tahu Mas,” lirih Nuri pelan.“Jangan bercanda kamu, tidak mungkin ibu tiba-tiba sakit,tanpa sebab. Pasti telah terjadi sesuatu pada ibu, jatuh atau apa gitu, katakan sebenarnya Nuri, apa yang terjadi pada ibu, kenapa ibu bisa sakit.”“Aku tidak mengerti Mas, aku tidak berbuat yang aneh-anehpada ibu. Makanan yang disantap ibu juga sehat. Ibu juga tidak jatuh.” Sahut Nuriberkelit.“Lalu ibu sakit apa?”“Sakit perut Mas, ibu tidak berhenti memegang perutnya.” LaporNuri seraya terisak kecil.“Jangan-jangan mag ibu kambuh, tadi saat mas pergi, kamusudah pastikan ibu sarapan?”“Jangan-jangan kamu lupa mengingatkan ibu.”“Tidak Mas, tadi ibu menolak sarapan bareng aku, katanyasebentar lagi. Setelah sarapan, aku tinggal ke kamar. Sedangkan ibu berada ditaman belakang sedang menyiram tanaman. Entah ibu sudah sarapan apa belum, akutidak tahu pasti Mas. Ibu bilang akan
Bismillahirrahmanirrahim.“Apa Mas? Tidak mungkin Mbak Nuri setega itu. Selama ini aku melihat ibu sangat menyayangi Mbak Nuri. Mana mungkin istri Mas itu sanggupmelakukan hal serendah itu.”“Tadinya Mas juga menyangsikan, tapi itulah kenyataannya Dek. Saat melihat kejadian waktu itu, mbakmu itu seperti orang kerasukan, seakan-akan bukan Nuri yang bicara, tapi orang lain tengah mempengaruhi akal sehatnya.”“Ini tidak bisa dibiarkan Mas, harus dibawa ke orang pintar, atau tanya langsung sama Mbak Nuri, apa maksudnya bertindak kejam pada ibu, pasti dia punya alasan.”"Apapun alasannya, apa pantas dia bersikap kurang ajar pada orang, apalagi orang itu adalah mertuanya sendiri. Kamu tahu nggak betapa hati Mas hancur mengetahui orang yang Mas cintai dengan segenap jiwa ternyata bermuka dua. Lain di depan lain di belakang.""Sabar Mas, mungkin ini ujian pernikahan. Kita tidak tahu, ujian apa yang kita hadapi. Bisa jadi ujian itu untuk mempererat tali pernikahan."“Mengenai perkataanmu tadi,
Bismillahirrahmanirrahim.Alhamdulillah kami baik, hanya ibu saja yang kurang sehat, mag-Nya kambuh karena telat makan.”“Maaf Mas, aku ralat, Ibu sakit bukan karena telat makan ya, tapi ibu sedang kehilangan nafsu makan.” jelas Nuri tak terima aku bilang ibu telat makan.Aku spontan melongo mendengar ucapan Nuri. Berani juga dia menyanggah perkataanku. Padahal sebenarnya aku tahu banget sepak terjangnya. Sekarang berlagak tidak mau disalahkan karena gagal melayani semua kebutuhan ibu. Aku hanya bisa menggelengkan pasrah.“Tergantung, kalau lauknya menggiurkan, pasti ibu nafsu makan.” balasku lagi.“Maksud Mas, masakanku tidak menerbitkan selera ibu gitu,” sanggah Nuri sedikit kesal.“Bukannya berterima kasih telah dimasakin, sekarang bisanya menghina.” Lanjut Nuri menambahkan dengan raut cemberut.Aku tersentak mendengar jawaban Nuri, sejak kapan dia mulai berani menjawab dan menentang perkataanku. Jadi semua ini bukan karena pengaruh hasutan seseorang. Ini murni Nuri telah banyak b
Bismillahirrahmanirrahim.“Dendam lama.” Bia mencengkeram lenganku kuat sekali. Hampir saja aku teriak kesakitan, untungnya aku masih sadar tengah menguping. Jika tidak! Pastilah Nuri dan Bang Handi mengetahui aksi kami. Aku dan Bia saling melirik dan bertanya-tanya dalam hati.Pikiranku berkelana mencocokkan fuzle yang terserak dengan perilaku dan sikap buruk Nuri yang baru saja aku ketahui. Secercah keterangan mulai terlihat.Ternyata ada dendam yang tersembunyi. Pantas saja ia berbuat senekad itu. Benar-benar berniat menyakiti hati dan perasaan ibu.“Kamu dengar-kan Dek, perkataan mereka. Mas tidak salah dengar bukan?”“Iya Mas! Ternyata semua itu karena dendam lama. Aku takut Mas, takut ibu kenapa-napa, takut kita dibunuh tengah malam buta. Kita tidak akan bisa tidur dengan nyaman. Kita pasti dihantui ketakutan."Aku menyugar rambut kasar, tak menyangka wanita yang aku nikahi berhati iblis. Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan, hamba terlanjur mencintainya.Hening kembali, hanya