Bismillahirrahmanirrahim.
“Dendam lama.” Bia mencengkeram lenganku kuat sekali. Hampir saja aku teriak kesakitan, untungnya aku masih sadar tengah menguping. Jika tidak! Pastilah Nuri dan Bang Handi mengetahui aksi kami. Aku dan Bia saling melirik dan bertanya-tanya dalam hati.Pikiranku berkelana mencocokkan fuzle yang terserak dengan perilaku dan sikap buruk Nuri yang baru saja aku ketahui. Secercah keterangan mulai terlihat.Ternyata ada dendam yang tersembunyi. Pantas saja ia berbuat senekad itu. Benar-benar berniat menyakiti hati dan perasaan ibu.“Kamu dengar-kan Dek, perkataan mereka. Mas tidak salah dengar bukan?”“Iya Mas! Ternyata semua itu karena dendam lama. Aku takut Mas, takut ibu kenapa-napa, takut kita dibunuh tengah malam buta. Kita tidak akan bisa tidur dengan nyaman. Kita pasti dihantui ketakutan."Aku menyugar rambut kasar, tak menyangka wanita yang aku nikahi berhati iblis. Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan, hamba terlanjur mencintainya.Hening kembali, hanya dengusan napas yang terdengar.“Dan kini mereka ingin membalas dendam. Aku jadi bingung Mas. Dendam apa?” Keluh Bia seraya berpikir panjang.“Apa Mas pernah dengar cerita mengenai masa lalu ibu.”“Tidak,” sahutku menggeleng."Coba ingat-ingat Mas, kali aja ibu pernah menyebut atau keceplosan mengatakan sesuatu."Aku menggeleng, ingatan terasa buntu.“Aku makin tidak mengerti, Sebenarnya ada dendam apa yang ingin mereka lampiaskan pada ibu. Memangnya apa salah wanita yang telah melahirkan ku itu.”“Mas juga tidak tahu Dek, tugas kita sekarang mencari tahu ada rahasia apa dibalik sikap Nuri pada ibu.”“Bagaimana cara kita mencari tahu rencana mereka.”“Nanti kita pikirkan.”“Pikirkan dari sekarang Mas, kasihan ibu, pasti akan menderita lebih banyak lagi. Seharusnya di hari tuanya itu, ibu menikmati hidup dengan tenang, memperbanyak ibadah kepada Allah. Bukan menghadapi balas dendam mbak Nuri. Kapan ibu beribadah dengan tenang kalau begitu.”“Pelan-pelan bicaranya, nanti kedengaran mereka.” Cegah kucepat, jangan sampai mereka tahu kami menguping.“Ops, iya maaf Mas, itu karena bentuk pelampiasanku saja, karena ulah mbak Nuri.“Mas juga bingung Dek, kita lihat saja nanti. Sekarang kita harus lebih hati-hati. Jangan sampai lengah, penjagaan pada ibu harus lebih diperketat.”“Oh iya Mas, apa perlu kita pasang cctv, supaya lebih mudah memantau rencana jahat mereka.”“Ide kamu ada benarnya juga, baiklah siang nanti Mas akan cari kesempatan untuk memasangnya.”“Pasang di tempat yang tak mungkin bisa diduga oleh mbak Nuri, Mas.”“Pasti Dek, kamu tenang saja.”Percakapan bisik-bisik antara aku dan Bia terhenti, saat suara bang Handi mulai terdengar lagi.“Nuri, kok mereka lama amat di kamar. Jangan-jangan adik iparmu itu ngadu lagi sama kakaknya.”“Mungkin saja, lagian Abang juga yang salah, ngapain coba merayu gadis ingusan itu. Ingat Bang, jangan sampai rencana kita gagal gara-gara Abang tidak bisa menahan diri.”Aku semakin menggeram marah mendengar perkataan mereka yang tiada habisnya meremehkan Bia. Meskipun adikku gadis ingusan, seperti katanya, tapi Bia cukup mandiri.“Gih kamu susul, jangan-jangan mereka sedang membicarakan kita. Paling tidak kita tahu isi pikiran mereka.” Saran Bang Handi.“Oh iya Abang benar juga, ya udah aku susul sekarang juga,” ucap Nuri seraya bangkit berdiri.Sementara aku dan Bia mulai kelimpungan, jangan sampai mereka tahu kalau kami tengah mencuri dengar pembicaraan mereka.“Mas, mau sampai kapan kita berada di sini, yuk ke sana. Biar mereka ketangkap basah sedang membicarakan kita.” Tanya Bia menyentuh bahuku“Lihat tuh, Mbak Nuri dah jalan ke sini. Buruan, nanti kita ketahuan.” “Ya udah! Yuk kita ke keluar sekarang.”Sebelum Nuri melihat kami, aku langsung menjawab perkataan Bang Handi. Seolah-olah kami baru saja keluar dari kamar ibu, bertepatan dengan pertanyaan yang dilontarkan pria itu.“Iya, Bang Handi benar. Bia tadi mengadu pada ibu. Dia merasa tak nyaman dengan sikap Abang. Jadi tolong Bang, jangan ganggu adikku.”“Ya Allah Fan, Abang hanya bercanda. Tidak ada maksud lain. Biar makin akrab saja, dia ini kan sekarang sudah menjadi bagian keluarga. Masa begitu saja, Abang dikira mengganggunya. Oh iya Bia, Abang minta maaf ya, jangan tersinggung.”Ucap bang Handi menyesal seraya seringai kecil tampak jelas di wajahnya. Bia yang melihat itu tampak syok, bisa kulihat jelas wajahnya yang jengah di candai Bang Handi. Semoga saja tidak ada rencana atau pikiran buruk dibenak Bang Handi pada Bia. Niatnya ingin menjaga ibu, tapi masalah baru yang muncul.“Iya Bang,” sahut Bia pelan dengan raut datar. “Mas, aku jalan sekarang ya.”Aku mengangguk saja, lebih cepat ambil barang itu lebih baik. Besok ibu aku tinggal kerja dengan hati tenang. Tidak was-was, seperti hari itu hingga sampai mengganggu konsentrasi kerja. Untung orangnya baik hati, tidak merasa diremehkan.“Mau kemana? Bi?”“Ambil barang-barang di tempat kos.”“Maksudnya?” tanya Nuri kepo.“Bia aku minta tinggal di rumah mulai sekarang, supaya bisa mengingatkan ibu. Kejadian ibu masuk rumah sakit, tidak boleh terjadi lagi.”“Kan ada aku Mas, kenapa minta Bia.”“Mas tidak mau mengganggu dan merepotkan kamu lagi. Aku harap kamu mengerti Nuri.”“Siapa yang merasa terganggu, aku hanya lupa se kali, Mas. Jangan dianggap kesalahan fatal dong.”“Kamu keberatan kalau Bia tinggal di sini?”“Tidak!”“Lalu apa salahnya Bila tinggal di sini?”“Bukan begitu juga maksudku, aku merasa tidak dianggap lagi dong.”“Jangan khawatir berlebihan, kamu bisa bagi tugas kerjaan rumah tangga dengan Bia. Jadi kamu tidak capek sendiri.”“Itulah tujuanku bawa Bia tinggal di sini, biar ada yang bantuin kamu bekerja. Lagian kenapa kamu menolak asisten rumah tangga yang Mas tawarkan.“Aku langsung berangkat ya Mas.” Perdebatan antara aku dan Nuri terhenti ketika Bia minta pamit. Semoga saja setelah ini adu mulut ini tidak lagi terulang. Malas meladeni Nuri yang semakin tidak jelas saja maunya.“Bagaimana kalau aku anter,” tawar bang Handi.“Ti-tidak perlu. Aku bisa sendiri.” Sahut Nuri singkat dan langsung pergi dari hadapan kakak iparnya.“Kamu kenapa sih Bia, kayak takut banget dengan bang Handi.”“Tidak ada apa-apa Mbak.”“Maaf Bang Handi, kayaknya Bia tidak nyaman dengan abang, jadi sebaiknya biarkan dia pergi sendiri.”Bang Handi hanya mengedikkan bahu. ***Malam baru saja menjelang. Suara jangkrik terdengar saling bersahutan. Aku hampir saja memejamkan mata, hingga terdengar teriakan seorang perempuan.“Nuri, kamu dengar sesuatu tidak. Itu siapa yang berteriak malam-malam.”Terlihat Nuri memasang telinga baik-baik.“Tidak, aku tidak dengar teriakan siapa-siapa Mas, mungkin kamu salah dengar. Ya udah tidur lagi saja, kalau ada yang aneh, nanti aku bangunkan.”Aku kembali memejamkan mata, maksudnya pura-pura tidur. Aku yakin sekali, pendengaranku tidak bermasalah. Tidak mungkin aku salah dengar, itu tadi kayak teriakan Bia. Atau mungkin juga teriakan ibu, aku harus pastikan ke dua perempuan yang kukasihi itu, baik-baik saja.“Loh! Mau ke mana Mas?”“Mau mengecek ke kamar ibu dan Bia.”“Untuk apa Mas, mungkin saja mereka sudah tidur. Jangan aneh-aneh deh Mas.”Tanpa menghiraukan perkataan Nuri, aku tetap pergi ke kamar ibu lebih dulu. Sesampainya di depan kamar ibu, aku ketuk pelan pintunya.Tak lama pintu terbuka.“Loh Arfan kamu belum tidur, mau ngapain ke sini malam-malam.”Aku melongok ke dalam kamar ibu, tampak di sana baik-baik saja. Syukurlah tidak terjadi sesuatu yang membahayakan nyawa ibu.“Belum mengantuk Bu. Maaf mengganggu waktu istirahat ibu. Tadi saat mataku hampir terpejam, lamat-lamat terdengar suara perempuan teriak, aku pikir itu suara ibu. Makanya aku cek ke sini. Eh ternyata bukan.”“Apa mungkin itu suara Bia ya. Ya udah Bu, istirahat lagi aja. Aku mau mastiin ke kamar Bia dulu.”Ibu tampak mengangguk lalu masuk lagi ke kamar. “Jangan lupa kunci pintu Bu,” pesanku cepat sebelum melangkah pergi.Aku bergegas pergi ke kamar adik perempuanku satu-satunya itu. Bersambung...Bismillahirrahmanirrahim.Ibu tampak mengangguk, lalu masuk ke kamar. “Jangan lupa kunci pintu,” pesanku cepat sebelum melangkah pergi. Keselamatan ibu lebih penting dari apapun.Lega terpancar dari raut wajahku, ibu dalam keadaan baik-baik saja.Aku bergegas pergi ke kamar Bia. Sama halnya yang kulakukan di depan pintu kamar ibu, aku ketuk pintu itu pelan dan memanggil nama Bia. Namun sayang, beberapa kali ketukan, tidak ada sahutan dari dalam. Apa Bia sudah tidur? terus tadi itu suara teriakan siapa? Apa mungkin itu hanya halusinasiku saja. Aku bermonolog sendiri. Belakangan ini, karena saking khawatir dengan keselamatan ibu dan Bia, aku sering berpikir yang aneh-aneh. Bahkan kadang muncul bayangan, seolah ibu dan Bia tengah dianiaya.Terkadang sampai terbawa ke alam mimpi. Aneh bukan!!“Gimana Mas? Apa Bia yang teriak? “ tanya Nuri menyusulku keluar kamar tak lama kemudian.“Tidak tahu, soalnya Bia tidak menjawab, mungkin sudah tidur.”“Nah! Apa kubilang, itu bukan teriakan dari ru
Bismillahirrahmanirrahim.POV BiaSemenjak ayah meninggal, Mas Arfan mengajakku dan ibu tinggal di rumahnya. Tadinya kami sempat menolak, tapi mas Arfan bersikeras, akhirnya dengan berat hati ibu mengabulkan permintaan anak lelakinya. Pun denganku, terpaksa menurut saja. Mana bisa aku jauh dari ibu. Sore itu aku mendapat wejangan dari mbak Nuri. Katanya, kenapa aku tidak ngekos aja di kosan dekat kampus, biar lebih dekat dan tidak capek mesti bolak balik dari rumah ke kampus. Apa yang dikatakan Mbak Nuri ada benarnya.Tapi aku tidak bisa memutuskan sendiri, tanpa bertanya dulu pada Mas Arfan. Belum tentu kakak lelakiku itu menyetujui saran istrinya.Sepulangnya mas Arfan dari kantor, aku mengungkapkan keinginan untuk tinggal dekat kampus dengan alasan yang tepat tentunya. Meskipun berat berpisah dengan ibu. Saran Mbak Nuri itu seolah menegaskan dia tidak mau aku ikut tinggal dengannya. Itu yang terpikirkan saat itu. Selain itu aku juga tidak mau berprasangka buruk. Belum tentu juga
Bismillahirrahmanirrahim.POV BiaAku mulai tak nyaman dengan posisiku, kedua tangan dan kaki rasanya kebas dan pegal-pegal, dari semalam posisiku tak berubah.Perut rasanya mulai bergejolak minta dimuntahkan. Bau ini sangat menggangguku, kenapa aku disekap di tempat yang sangat tidak layak seperti ini. Kencing juga mulai terasa, tak mungkin aku keluarkan di sini, yang ada tambah bau. Aku semakin gelisah menahan hajat yang ingin segera dikeluarkan.Orang yang menyekapku ini sepertinya hanya ingin menyiksaku saja. Tapi itu lebih baik, daripada aku dilecehkan apalagi secara bergantian. Membayangkan itu saja, membuatku bergidik ngeri. Jangan sampai peristiwa memilukan itu menimpaku. Tak ayal rasa khawatir itu datang secara tiba-tiba. Ya Allah semoga hal buruk itu tidak menimpaku, kalau hanya diikat dan disekap begini, masih bisa kutanggung. Tapi jangan hal yang satu itu, itu hanya akanku persembahkan untuk suamiku nanti. Meskipun sampai hari ini aku tidak tahu siapa yang akan menjadi pen
Bismillahirrahmanirrahim.POV ArfanAku pandangi lelaki yang berada persis di depanku tanpa berkedip. Apa perkataannya bisa dipercaya. Sulit rasanya mempercayai omongan lelaki ini, dia seolah-olah benar pergi olahraga. Bukan kembali dari suatu tempat. Kenapa hati kecilku mengatakan, kalau lelaki ini telah berbohong.Hati kecil dan firasatku selalu benar, apa yang ada dalam hatiku kadang itulah yang sebenarnya. Makanya aku tidak mudah percaya begitu saja, atas perlakuan Nuri pada ibu. Apa yang terlihat di depan mata, belum tentu benar. Allah memberiku kelebihan itu. Sudah sering aku merasakan kejadian itu. Firasatku tidak pernah salah. Entah kali ini.Mungkin orang akan memandang heran atas sikapku yang tidak bisa mengambil keputusan cepat. Terlalu berbelit-belit dan terkesan santai, sedangkan nyawa seseorang tengah terancam. Apa lagi ini, bukan nyawa sembarang orang, melainkan nyawa perempuan yang mempertaruhkan hidupnya untuk melahirkanku. Apakah aku tidak memikirkan itu.Aku mengge
Bismillahirrahmanirrahim.“Ibu! Boleh aku menanyakan sesuatu yang pribadi,” tanyaku dengan napas tercekat.Ibu menoleh, lalu memandangku sesaat. Kemudian tatapannya beralih ke gelas yang tengah ia isi dengan es batu. Tak lama kemudian, ibu melangkah ke kulkas dan meletakkan kotak berisi es batu ke tempat semula, Lalu berbalik lagi ke meja makan. Reaksi ibu tampak biasa saja. Tak seperti yang aku bayangkan. Ibu harusnya kaget dengan pertanyaanku. Ibu kembali menatapku.“Mau tanya apa? Tanya saja.”“Tapi ibu jangan marah ya,” pintaku lagi dengan perasaan takut dan cemas serta dahi berkerut.Ibu menghentikan pergerakannya, memandangku sesaat, lalu diam sebentar seakan tengah berpikir. Tak lama ibu menyodorkan gelas berisi teh dingin ke hadapanku.“Duduk dan minumlah dulu, setelah itu kamu bisa menanyakan apa pun,” balas ibu seraya menarik kursi dan mendaratkan bokongnya di sana. Akupun ikut duduk di sebelah ibu. Setelah menandaskan minuman, aku menatap perempuanyang kukasihi itu sejenak.
Bismillahirrahmanirrahim.Tampilan bermula ketika terdengar panggilan dari Nuri.“Bu! Keluar! Jangan di kamar terus. Cucian menumpuk ini,” teriak Nuri cepat.“Iya Nak, sebentar,” sahut ibu seraya menutup mushaf Al-Qur’an dan meletakkan di meja. Kemudian melipat mukena, lalu membuka pintu. Cctv yang aku pasang memang lebih banyak mengarah ke pintu. Tujuanku supaya bisa melihat langsung perlakuan Nuri pada ibu.Baru saja pintu dibuka, ibu mendapat serangan pakaian mengenai wajahnya. Persis seperti yang aku lihat pertama kali. Oh jadi begitu ceritanya, aku mangguk-mangguk mengerti. Mataku terus saja menatap layar laptop.“Bau Nak, kenapa harus dilemparkan ke wajah ibu, kamu kan bisa letakkan aja di lantai,” sanggah ibu tak terima perlakuan Nuri.“Letakkan di lantai? Ibu tidak salah. Lihat! Lantai kamar ibu saja kotor begitu. Masak aku taruh baju di sana. Lihat Bu, ini gak sembarang baju, baju mahal,” ucap Nuri menekan kata mahal.“Ibu tahu, Nak. Tapi tidak dilempar juga ke muka ibu, baj
Bismillahirrahmanirrahim.“Kamu mau bukti, hah! Ini, akan kutunjukkan sekarang juga.” Kini tidak ada lagi sikap lembut yang selalu aku tunjukkan padanya. Sudah cukup rasanya melihat ibu menderita. Pelan namun pasti, cinta yang aku jaga selama ini mulai luntur.Aku segera mengambil laptop yang tadi aku bawa dari kantor, dan membawanya ke dalam rumah lalu menunjukkan semuanya pada Nuri.Nuri tampak syok dan pastinya kaget, badannya limbung kebelakang. Wanita itu pasti tidak menduganya, bukan? Tak sabar rasanya melihat perempuan itu terkejut.“Ba-bagaimana cara Mas mendapatkan bukti itu,” lirihnya gugup dengan napas tercekat.“Tak penting bagaimana caraku mendapatkan bukti ini. Kenyataannya, sekarang aku tau, kamu selama ini ternyata bermuka dua. Lain depan lain belakang. Kenapa Nuri? kenapa kamu tega memperlakukan ibu dengan buruk. Apa kurangnya aku, aku selalu menomorsatukan kamu dalam setiap hal. Apa kurang cukup cinta dan kasih sayang yang kuberikan padamu. Hingga kamu tega memperlak
Bismillahirrahmanirrahim.Sekali lagi Mbak bilang Laili, Mbak tidak pernah memfitnah Ranti.Jika mau jujur mbak juga ikut bersedih kehilangan kakakmu itu. Dia sahabat yang sangat baik dan mengerti kesulitan temannya.”"Apapun kata Mbak, aku lebih percaya perkataan Kakakku. Katanya, Mbak Asti yang telah menuduhnya.""Kata siapa, bagaimana Ranti bisa mengatakan aku yang memfitnahnya. Siapa yang mengatakan itu," sanggah ibu tak terima dituduh oleh sahabat baiknya.“Sebentar Mbak Asti, kenapa setelah kejadian itu? Mbak pindah kerja, seakan-akan Mbak ingin kabur dari jeratan hukum. Kepergian mbak Asti waktu itu menambah daftar kecurigaan kami."“Mbak pindah kerja karena mengikuti suami dan mbak juga ingin melupakan peristiwa kelam itu. Kalau Mbak masih di sana, mungkin Mbak masih terus teringat Ranti.”“Percayalah! Mbak tidak sejahat itu, kami hanya korban.”“Korban? Maksud Mbak?”“Iya korban, kami hanya korban orang yang tidak senang melihat kedekatan kami.”“Siapa?”“Maaf Laili, mbak juga