Share

Part 06

Bismillahirrahmanirrahim.

“Dendam lama.” Bia mencengkeram lenganku kuat sekali. Hampir saja aku teriak kesakitan, untungnya aku masih sadar tengah menguping. Jika tidak! Pastilah Nuri dan Bang Handi mengetahui aksi kami. Aku dan Bia saling melirik dan bertanya-tanya dalam hati.

Pikiranku berkelana mencocokkan fuzle yang terserak dengan perilaku dan sikap buruk Nuri yang baru saja aku ketahui. Secercah keterangan mulai terlihat.Ternyata ada dendam yang tersembunyi. Pantas saja ia berbuat senekad itu. Benar-benar berniat menyakiti hati dan perasaan ibu.

“Kamu dengar-kan Dek, perkataan mereka. Mas tidak salah dengar bukan?”

“Iya Mas! Ternyata semua itu karena dendam lama. Aku takut Mas, takut ibu kenapa-napa, takut kita dibunuh tengah malam buta. Kita tidak akan bisa tidur dengan nyaman. Kita pasti dihantui ketakutan."

Aku menyugar rambut kasar, tak menyangka wanita yang aku nikahi berhati iblis. Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan, hamba terlanjur mencintainya.

Hening kembali, hanya dengusan napas yang terdengar.

“Dan kini mereka ingin membalas dendam. Aku jadi bingung Mas. Dendam apa?” Keluh Bia seraya berpikir panjang.

“Apa Mas pernah dengar cerita mengenai masa lalu ibu.”

“Tidak,” sahutku menggeleng.

"Coba ingat-ingat Mas, kali aja ibu pernah menyebut atau keceplosan mengatakan sesuatu."

Aku menggeleng, ingatan terasa buntu.

“Aku makin tidak mengerti, Sebenarnya ada dendam apa yang ingin mereka lampiaskan pada ibu. Memangnya apa salah wanita yang telah melahirkan ku itu.”

“Mas juga tidak tahu Dek, tugas kita sekarang mencari tahu ada rahasia apa dibalik sikap Nuri pada ibu.”

“Bagaimana cara kita mencari tahu rencana mereka.”

“Nanti kita pikirkan.”

“Pikirkan dari sekarang Mas, kasihan ibu, pasti akan menderita lebih banyak lagi. Seharusnya di hari tuanya itu, ibu menikmati hidup dengan tenang,  memperbanyak ibadah kepada Allah. Bukan menghadapi balas dendam mbak Nuri. Kapan ibu beribadah dengan tenang kalau begitu.”

“Pelan-pelan bicaranya, nanti kedengaran mereka.” Cegah kucepat, jangan sampai mereka tahu kami menguping.

“Ops, iya maaf Mas, itu karena bentuk pelampiasanku saja, karena ulah mbak Nuri.

“Mas juga bingung Dek, kita lihat saja nanti. Sekarang kita harus lebih hati-hati. Jangan sampai lengah, penjagaan pada ibu harus lebih diperketat.”

“Oh iya Mas, apa perlu kita pasang cctv, supaya lebih mudah memantau rencana jahat mereka.”

“Ide kamu ada benarnya juga, baiklah siang nanti Mas akan cari kesempatan untuk memasangnya.”

“Pasang di tempat yang tak mungkin bisa diduga oleh mbak Nuri, Mas.”

“Pasti Dek, kamu tenang saja.”

Percakapan bisik-bisik antara aku dan Bia terhenti, saat suara bang Handi mulai terdengar lagi.

“Nuri, kok mereka lama amat di kamar. Jangan-jangan adik iparmu itu ngadu lagi sama kakaknya.”

“Mungkin saja, lagian Abang juga yang salah, ngapain coba merayu gadis ingusan itu. Ingat Bang, jangan sampai rencana kita gagal gara-gara Abang tidak bisa menahan diri.”

Aku semakin menggeram marah mendengar perkataan mereka yang tiada habisnya meremehkan Bia. Meskipun adikku gadis ingusan, seperti katanya, tapi Bia cukup mandiri.

“Gih kamu susul, jangan-jangan mereka sedang membicarakan kita. Paling tidak kita tahu isi pikiran mereka.” Saran Bang Handi.

“Oh iya Abang benar juga, ya udah aku susul sekarang juga,” ucap Nuri seraya bangkit berdiri.

Sementara aku dan Bia mulai kelimpungan, jangan sampai mereka tahu kalau kami tengah mencuri dengar pembicaraan mereka.

“Mas, mau sampai kapan kita berada di sini, yuk ke sana. Biar mereka ketangkap basah sedang membicarakan kita.” Tanya Bia menyentuh bahuku

“Lihat tuh, Mbak Nuri dah jalan ke sini. Buruan, nanti kita ketahuan.”  

“Ya udah! Yuk kita ke keluar sekarang.”

Sebelum Nuri melihat kami, aku langsung menjawab perkataan Bang Handi. Seolah-olah kami baru saja keluar dari kamar ibu, bertepatan dengan pertanyaan yang dilontarkan pria itu.

“Iya, Bang Handi benar. Bia tadi mengadu pada ibu. Dia merasa tak nyaman dengan sikap Abang. Jadi tolong Bang, jangan ganggu adikku.”

“Ya Allah Fan, Abang hanya bercanda. Tidak ada maksud lain. Biar makin akrab saja, dia ini kan sekarang sudah menjadi bagian keluarga. Masa begitu saja, Abang dikira mengganggunya. Oh iya Bia, Abang minta maaf ya, jangan tersinggung.”Ucap bang Handi menyesal seraya seringai kecil tampak jelas di wajahnya. Bia yang melihat itu tampak syok, bisa kulihat jelas wajahnya yang jengah di candai Bang Handi. Semoga saja tidak ada rencana atau pikiran buruk dibenak Bang Handi pada Bia. Niatnya ingin menjaga ibu, tapi masalah baru yang muncul.

“Iya Bang,” sahut Bia pelan dengan raut datar. “Mas, aku jalan sekarang ya.”

Aku mengangguk saja, lebih cepat ambil barang itu lebih baik. Besok ibu aku tinggal kerja dengan hati tenang. Tidak was-was, seperti hari itu hingga sampai mengganggu konsentrasi kerja. Untung orangnya baik hati, tidak merasa diremehkan.

“Mau kemana? Bi?”

“Ambil barang-barang di tempat kos.”

“Maksudnya?” tanya Nuri kepo.

“Bia aku minta tinggal di rumah mulai sekarang, supaya bisa mengingatkan ibu. Kejadian ibu masuk rumah sakit, tidak boleh terjadi lagi.”

“Kan ada aku Mas, kenapa minta Bia.”

“Mas tidak mau mengganggu dan merepotkan kamu lagi. Aku harap kamu mengerti Nuri.”

“Siapa yang merasa terganggu, aku hanya lupa se kali, Mas. Jangan dianggap kesalahan fatal dong.”

“Kamu keberatan kalau Bia tinggal di sini?”

“Tidak!”

“Lalu apa salahnya Bila tinggal di sini?”

“Bukan begitu juga maksudku, aku merasa tidak dianggap lagi dong.”

“Jangan khawatir berlebihan, kamu bisa bagi tugas kerjaan rumah tangga dengan Bia. Jadi kamu tidak capek sendiri.”

“Itulah tujuanku bawa Bia tinggal di sini, biar ada yang bantuin kamu bekerja. Lagian kenapa kamu menolak asisten rumah tangga yang Mas tawarkan.

“Aku langsung berangkat ya Mas.” Perdebatan antara aku dan Nuri terhenti ketika Bia minta pamit. Semoga saja setelah ini adu mulut ini tidak lagi terulang. Malas meladeni Nuri yang semakin tidak jelas saja maunya.

“Bagaimana kalau aku anter,” tawar bang Handi.

“Ti-tidak perlu. Aku bisa sendiri.” Sahut Nuri singkat dan langsung pergi dari hadapan kakak iparnya.

“Kamu kenapa sih Bia, kayak takut banget dengan bang Handi.”

“Tidak ada apa-apa Mbak.”

“Maaf Bang Handi, kayaknya Bia tidak nyaman dengan abang, jadi sebaiknya biarkan dia pergi sendiri.”

Bang Handi hanya mengedikkan bahu.

 

***

Malam baru saja menjelang. Suara jangkrik terdengar saling bersahutan. Aku hampir saja memejamkan mata, hingga terdengar teriakan seorang perempuan.

“Nuri, kamu dengar sesuatu tidak. Itu siapa yang berteriak malam-malam.”

Terlihat Nuri memasang telinga baik-baik.

“Tidak, aku tidak dengar teriakan siapa-siapa Mas, mungkin kamu salah dengar. Ya udah tidur lagi saja, kalau ada yang aneh, nanti aku bangunkan.”

Aku kembali memejamkan mata, maksudnya pura-pura tidur. Aku yakin sekali, pendengaranku tidak bermasalah. Tidak mungkin aku salah dengar, itu tadi kayak teriakan Bia. Atau mungkin juga teriakan ibu, aku harus pastikan ke dua perempuan yang kukasihi itu, baik-baik saja.

“Loh! Mau ke mana Mas?”

“Mau mengecek ke kamar ibu dan Bia.”

“Untuk apa Mas, mungkin saja mereka sudah tidur. Jangan aneh-aneh deh Mas.”

Tanpa menghiraukan perkataan Nuri, aku tetap pergi ke kamar ibu lebih dulu. Sesampainya di depan kamar ibu, aku ketuk pelan pintunya.

Tak lama pintu terbuka.

“Loh Arfan kamu belum tidur, mau ngapain ke sini malam-malam.”

Aku melongok ke dalam kamar ibu, tampak di sana baik-baik saja. Syukurlah tidak terjadi sesuatu yang membahayakan nyawa ibu.

“Belum mengantuk Bu. Maaf mengganggu waktu istirahat ibu. Tadi saat mataku hampir terpejam, lamat-lamat terdengar suara perempuan teriak, aku pikir itu suara ibu. Makanya aku cek ke sini. Eh ternyata bukan.”

“Apa mungkin itu suara Bia ya. Ya udah Bu, istirahat lagi aja. Aku mau mastiin ke kamar Bia dulu.”

Ibu tampak mengangguk lalu masuk lagi ke kamar. “Jangan lupa kunci pintu Bu,” pesanku cepat sebelum melangkah pergi.

Aku bergegas pergi ke kamar adik perempuanku satu-satunya itu. 

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status