Bismillahirrahmanirrahim.
Ibu tampak mengangguk, lalu masuk ke kamar. “Jangan lupa kunci pintu,” pesanku cepat sebelum melangkah pergi. Keselamatan ibu lebih penting dari apapun.Lega terpancar dari raut wajahku, ibu dalam keadaan baik-baik saja.Aku bergegas pergi ke kamar Bia. Sama halnya yang kulakukan di depan pintu kamar ibu, aku ketuk pintu itu pelan dan memanggil nama Bia. Namun sayang, beberapa kali ketukan, tidak ada sahutan dari dalam. Apa Bia sudah tidur? terus tadi itu suara teriakan siapa? Apa mungkin itu hanya halusinasiku saja. Aku bermonolog sendiri. Belakangan ini, karena saking khawatir dengan keselamatan ibu dan Bia, aku sering berpikir yang aneh-aneh. Bahkan kadang muncul bayangan, seolah ibu dan Bia tengah dianiaya.Terkadang sampai terbawa ke alam mimpi. Aneh bukan!!“Gimana Mas? Apa Bia yang teriak? “ tanya Nuri menyusulku keluar kamar tak lama kemudian.“Tidak tahu, soalnya Bia tidak menjawab, mungkin sudah tidur.”“Nah! Apa kubilang, itu bukan teriakan dari rumah ini. Mungkin dari tempat lain, suaranya sampai ke sini karena dibawa angin, bisa jadi-kan.”“Mungkin kamu benar, sebaiknya kita kembali ke kamar.” Ajakku pada Nuri, Nuri bergelayut mesra di tanganku. Inilah yang kusuka dari istriku, tak sungkan menunjukkan kemesraan. Bagaimana aku semakin tidak cinta padanya. Sementara aku lelaki yang kurang romantis.Pagi baru saja menjelang, suara kicau burung terdengar saling bersahutan. Dari mana lagi suara burung itu, kalau bukan dari rumah pak Atmo tetangga blok yang memelihara banyak macam burung. Di garasi dan terasnya banyak kandang burung yang berjejer manis di gantungan. Suara kicauan burung itu menjadi hiburan tersendiri bagiku.Setelah menunaikan sholat subuh, aku bergegas ke ruang keluarga dan meminta Nuri menyiapkan secangkir kopi. Sambil menunggu kopi datang, kusibukkan diri membaca berita di sosmed.“Ini kopinya Mas,” ucap Nuri sambil meletakkan kopi di atas meja. Aroma kopi sungguh menggelora dan memantik semangatku untuk segera meminumnya.“Masih panas Mas, awas nanti mulutnya ke bakar.” Cegah Nuri dengan mimik lucu.Perkataan Nuri kubalas dengan anggukan seraya tersenyum kecil. Candaan Nuri tidak membuatku lupa, wajah aslinya kini telah ada dalam genggaman. Tentu saja tidak sama lagi, bagaimana pun dia berusaha membuatku senang dan bahagia, kini bagiku tiada artinya lagi.Aku segera meraih cangkir dan hendak meminumnya. Baru saja, cangkir itu mengenai ujung bibir, terdengar teriakan dari ibu dari arah kamar Bia.“Arfan sini, Bia tidak ada di kamarnya.” Jerit ibu histeris.Aku terkejut, spontan berdiri. Hampir saja kopi panas yang berada di tanganku tumpah. Untunglah hanya mengenai beberapa ruas jari saja. Kaget, itulah reaksiku atas teriakan ibu. Segera kuletakkan kopi di meja dan kuayunkan langkah sedikit berlari menyusul ibu ke kamar.Dengan napas ngos-ngosan aku sampai di dekat ibu. Wanita itu tengah berurai air mata.“Yang benar saja Bu, semalam kami ngobrol banyak. Masak pagi begini tidak ada di kamarnya,” ucapku sangsi.“Benaran, lihat saja. Dia tidak ada di mana-mana? Ibu sudah cari di semua tempat, terakhir ya kamar ini, tapi tidak ada.”“Mungkin joging di lapangan.”“Tidak mungkin, adikmu itu tidak senang lari pagi.”Aku segera masuk kamar, memperhatikan dengan seksama. Siapa tahu ada petunjuk hilangnya Bia. Tempat tidur acak-acakan, belum sempat dirapikan. Seperti ada yang terasa mengganjal, terasa aneh. Penghuninya entah di mana? Masak bangun tidur tidak sempat merapikan tempat tidur. Bisa jadi semalam itu benar teriakan Bia.Sempat terpikir, apa bang Handi yang membawa paksa Bia dari rumah ini. Supaya Nuri leluasa menyiksa ibu. Jika benar begitu, tiada kata maaf untukmu Nuri. Lihat saja, aku akan buktikan, bahwa kamu pelaku di atas hilangnya Bia. Bisa jadi bukan, Bia hilang atas suruhan Nuri.Tetiba mataku melihat sesuatu yang mencurigakan di bawah tempat tidur. Aku bergegas membungkuk dan meraihnya. Setelah kudapatkan, Ternyata hanya kertas kosong tanpa ada petunjuk.“Cari adikmu Arfan, jangan biarkan dia hilang.”“Nuri! Apa kamu pelaku hilangnya Bia?” tanya ibu menatap Nuri curiga.“Maksud ibu?”“Kamu kan tidak suka Bia tinggal di sini?”“Itu tidak benar Bu, kata siapa aku tidak menyukai Bia, ia bisa tinggal bebas sesuka hatinya.”“Kamu sendiri-kan bilang waktu itu, kamu lupa ya.”“Ibu jangan memfitnahku,” sanggah Nuri mendelik kesal.Aku hanya bisa tercenung. Kemana harus kucari adikku itu.Tak ada petunjuk sama sekali. Apa mungkin Nuri pelakunya, seperti dugaan ibu.Berarti yang teriak minta tolong semalam itu pasti Bia, coba semalam itu aku buka pintu dan mengecek langsung ke dalam. Tentu hal ini tidak akan terjadi, hilangnya Bia akan cepat diketahui. Aku menyesal kenapa semalam tidak kepikiran untuk membuka pintu. Sekarang, kemana harus kucari keberadaan adikku itu.Aku mencoba telpon teman sekamar Bia saat ngekos, waktu itu Bia sempat memberi tahu nomor ponsel salah satu temannya.Tak lama sambungan telepon tersambung.“Assalamualaikum. Maaf, apa benar ini nomor Kinara?” tanyaku.“Iya benar Mas, ini siapa ya,” tanyanya balik.“Saya Arfan, kakak Bia. Maaf, apa Bia bersamamu.”“Maaf Mas, sejak Bia pindah kemaren, sampai hari ini kami tidak ketemu, emang kenapa Mas?”“Ini, Bia menghilang dari kamarnya pagi ini, siapa tahu dia bersamamu.”“Jangan panik dulu Mas, mungkin Bia keluar sebentar dan lupa pamit. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu yang membahayakan dirinya.”Aku segera memutuskan sambungan telepon setelah mengucapkan terima kasih. Mungkin benar juga perkataan Kinara, Bia hanya lupa pamit.Aku pandangi wajah ibu yang cemas memikirkan nasib anak gadisnya. Tak tega melihat mendung di matanya.“Ibu tenang ya, jangan khawatir, Bia pasti bisa jaga diri. Kita doakan, semoga Bia baik-baik saja.”“Gimana ibu bisa tenang Arfan, adikmu di mana? Kamu harus cari terus sampai ketemu.”“Iya Bu itu sudah pasti, sekarang sebaiknya ibu istirahat. Jangan banyak pikiran, aku tidak mau ibu jatuh sakit.”Ibu mengangguk lemah, kemudian beranjak keluar dari kamar Bia. Begitu pun aku diikuti oleh Nuri.Aku menyugar rambutku kasar dan beranjak ke ruang keluarga. Sementara Nuri pergi ke kamar atau ke dapur, entahlah, aku tidak memperhatikan.Aku duduk terpekur seraya berdoa Bia baik-baik saja. Tengah asyik sendiri, terdengar panggilan telpon masuk. Nomor yang tidak dikenal.Mungkin itu telpon dari Bia, bisa saja ponselnya lowbat dan dia meminta bantuan orang lain.“Assalamualaikum,” salamku memulai menjawab panggilan.“Jika ingin adikmu selamat, tebus dia dengan nominal 100 juta.”Sontak wajahku menegang, kaget tentu saja. Aku pikir itu telpon dari Bia, ternyata perkiraanku salah. Orang yang menelpon, seorang pria yang meminta tebusan, dengan nominal yang tidak sedikit pula.“Siapa kamu? Kenapa kamu menculik adik saya.”“Kamu tidak perlu tahu siapa saya, siapkan saja uang sesuai permintaan saya.”“Tolong jangan lukai adik saya, saya akan siapkan uang sesuai permintaan anda. Silakan sharelok alamatnya, sekarang juga akan saya usahakan mencari uangnya.”“Ingat! Jangan sampai lapor polisi, jika anda coba-coba menghubungi aparat polisi, maka saya pastikan adikmu tidak selamat.”Belum sempat aku mengabulkan permintaannya, sambungan telepon dimatikan.Kini aku sungguh menyesal, andai aku kemaren sore sempat memasang cctv pastilah aku mengetahui siapa dalang dibalik semua ini.Jangan-jangan ini perbuatan Nuri dan Abangnya.Untuk memastikan dugaanku, aku melangkah ke kamar Bang Handi. Kini aku telah berada di depan pintu ruang tamu, tempat Bang Handi menginap sementara waktu.Belum sempat aku mengetuk pintu, aku dikejutkan oleh pertanyaan dari lelaki yang baru muncul dari luar. Lelaki yang sedang berpakaian kaos olahraga dan celana training dengan sepatu sport lengkap.“Mau cari Abang ya,” tanyanya dengan tersenyum ramah.“Abang dari mana?”“Kamu gak bisa lihat pakaian yang Abang kenakan. Ya habis olahraga dan lari pagi sekitaran komplek lah. Mau ngapain lagi!” serunya jenaka.“Semalam Abang pergi ya,” tanyaku curiga.“Pergi, pergi kemana?” sahut bang Handi mengernyit bingung.“Abang yang pergi, kenapa tanya aku.”"Abang gak pergi ke mana-mana?""Sudah ngaku aja, Bang. Buktinya tak lama setelah subuh Abang tidak muncul, ketika ibu teriak.Teriakan ibu kencang loh, itu membuktikan dari semalam Abang tidak di rumah.”"Selesai sholat subuh Abang langsung jalan, ya tentu saja Abang tidak mendengar teriakan ibu."“Oh iya, kenapa teriak?” tanya bang Handi memgenryit bingung.“Bia hilang.”“Kok bisa.”“Karena Abang membawanya pergi, benarkan dugaanku. Lalu pagi ini Abang pulang, karena kepergok olehku, Abang pura-pura habis olahraga, biar aku tidak menduganya. Benarkan Bang!” "Pintar juga Abang bersandiwara, sengaja mengenakan kaos olah raga, bila ketahuan pulang pagi, Abang akan berkelit, seakan-akan Abang habis lari pagi, supaya aksi Abang tidak ketahuan." Sambungku mendengkus kasar. Tidak salah lagi, teriakan Bisa semalam karena perbuatan Bang Handi. Hanya dia yang aku curigai saat ini.Siapa lagi yang patut aku curigai kali ini.Bersambung...Terima kasih sobat semua, bila suka dengan ceritanya, bisa bantu subscribe dan rate lima ya. Sekali lagi, terima kasih atas perhatiannya.Bismillahirrahmanirrahim.POV BiaSemenjak ayah meninggal, Mas Arfan mengajakku dan ibu tinggal di rumahnya. Tadinya kami sempat menolak, tapi mas Arfan bersikeras, akhirnya dengan berat hati ibu mengabulkan permintaan anak lelakinya. Pun denganku, terpaksa menurut saja. Mana bisa aku jauh dari ibu. Sore itu aku mendapat wejangan dari mbak Nuri. Katanya, kenapa aku tidak ngekos aja di kosan dekat kampus, biar lebih dekat dan tidak capek mesti bolak balik dari rumah ke kampus. Apa yang dikatakan Mbak Nuri ada benarnya.Tapi aku tidak bisa memutuskan sendiri, tanpa bertanya dulu pada Mas Arfan. Belum tentu kakak lelakiku itu menyetujui saran istrinya.Sepulangnya mas Arfan dari kantor, aku mengungkapkan keinginan untuk tinggal dekat kampus dengan alasan yang tepat tentunya. Meskipun berat berpisah dengan ibu. Saran Mbak Nuri itu seolah menegaskan dia tidak mau aku ikut tinggal dengannya. Itu yang terpikirkan saat itu. Selain itu aku juga tidak mau berprasangka buruk. Belum tentu juga
Bismillahirrahmanirrahim.POV BiaAku mulai tak nyaman dengan posisiku, kedua tangan dan kaki rasanya kebas dan pegal-pegal, dari semalam posisiku tak berubah.Perut rasanya mulai bergejolak minta dimuntahkan. Bau ini sangat menggangguku, kenapa aku disekap di tempat yang sangat tidak layak seperti ini. Kencing juga mulai terasa, tak mungkin aku keluarkan di sini, yang ada tambah bau. Aku semakin gelisah menahan hajat yang ingin segera dikeluarkan.Orang yang menyekapku ini sepertinya hanya ingin menyiksaku saja. Tapi itu lebih baik, daripada aku dilecehkan apalagi secara bergantian. Membayangkan itu saja, membuatku bergidik ngeri. Jangan sampai peristiwa memilukan itu menimpaku. Tak ayal rasa khawatir itu datang secara tiba-tiba. Ya Allah semoga hal buruk itu tidak menimpaku, kalau hanya diikat dan disekap begini, masih bisa kutanggung. Tapi jangan hal yang satu itu, itu hanya akanku persembahkan untuk suamiku nanti. Meskipun sampai hari ini aku tidak tahu siapa yang akan menjadi pen
Bismillahirrahmanirrahim.POV ArfanAku pandangi lelaki yang berada persis di depanku tanpa berkedip. Apa perkataannya bisa dipercaya. Sulit rasanya mempercayai omongan lelaki ini, dia seolah-olah benar pergi olahraga. Bukan kembali dari suatu tempat. Kenapa hati kecilku mengatakan, kalau lelaki ini telah berbohong.Hati kecil dan firasatku selalu benar, apa yang ada dalam hatiku kadang itulah yang sebenarnya. Makanya aku tidak mudah percaya begitu saja, atas perlakuan Nuri pada ibu. Apa yang terlihat di depan mata, belum tentu benar. Allah memberiku kelebihan itu. Sudah sering aku merasakan kejadian itu. Firasatku tidak pernah salah. Entah kali ini.Mungkin orang akan memandang heran atas sikapku yang tidak bisa mengambil keputusan cepat. Terlalu berbelit-belit dan terkesan santai, sedangkan nyawa seseorang tengah terancam. Apa lagi ini, bukan nyawa sembarang orang, melainkan nyawa perempuan yang mempertaruhkan hidupnya untuk melahirkanku. Apakah aku tidak memikirkan itu.Aku mengge
Bismillahirrahmanirrahim.“Ibu! Boleh aku menanyakan sesuatu yang pribadi,” tanyaku dengan napas tercekat.Ibu menoleh, lalu memandangku sesaat. Kemudian tatapannya beralih ke gelas yang tengah ia isi dengan es batu. Tak lama kemudian, ibu melangkah ke kulkas dan meletakkan kotak berisi es batu ke tempat semula, Lalu berbalik lagi ke meja makan. Reaksi ibu tampak biasa saja. Tak seperti yang aku bayangkan. Ibu harusnya kaget dengan pertanyaanku. Ibu kembali menatapku.“Mau tanya apa? Tanya saja.”“Tapi ibu jangan marah ya,” pintaku lagi dengan perasaan takut dan cemas serta dahi berkerut.Ibu menghentikan pergerakannya, memandangku sesaat, lalu diam sebentar seakan tengah berpikir. Tak lama ibu menyodorkan gelas berisi teh dingin ke hadapanku.“Duduk dan minumlah dulu, setelah itu kamu bisa menanyakan apa pun,” balas ibu seraya menarik kursi dan mendaratkan bokongnya di sana. Akupun ikut duduk di sebelah ibu. Setelah menandaskan minuman, aku menatap perempuanyang kukasihi itu sejenak.
Bismillahirrahmanirrahim.Tampilan bermula ketika terdengar panggilan dari Nuri.“Bu! Keluar! Jangan di kamar terus. Cucian menumpuk ini,” teriak Nuri cepat.“Iya Nak, sebentar,” sahut ibu seraya menutup mushaf Al-Qur’an dan meletakkan di meja. Kemudian melipat mukena, lalu membuka pintu. Cctv yang aku pasang memang lebih banyak mengarah ke pintu. Tujuanku supaya bisa melihat langsung perlakuan Nuri pada ibu.Baru saja pintu dibuka, ibu mendapat serangan pakaian mengenai wajahnya. Persis seperti yang aku lihat pertama kali. Oh jadi begitu ceritanya, aku mangguk-mangguk mengerti. Mataku terus saja menatap layar laptop.“Bau Nak, kenapa harus dilemparkan ke wajah ibu, kamu kan bisa letakkan aja di lantai,” sanggah ibu tak terima perlakuan Nuri.“Letakkan di lantai? Ibu tidak salah. Lihat! Lantai kamar ibu saja kotor begitu. Masak aku taruh baju di sana. Lihat Bu, ini gak sembarang baju, baju mahal,” ucap Nuri menekan kata mahal.“Ibu tahu, Nak. Tapi tidak dilempar juga ke muka ibu, baj
Bismillahirrahmanirrahim.“Kamu mau bukti, hah! Ini, akan kutunjukkan sekarang juga.” Kini tidak ada lagi sikap lembut yang selalu aku tunjukkan padanya. Sudah cukup rasanya melihat ibu menderita. Pelan namun pasti, cinta yang aku jaga selama ini mulai luntur.Aku segera mengambil laptop yang tadi aku bawa dari kantor, dan membawanya ke dalam rumah lalu menunjukkan semuanya pada Nuri.Nuri tampak syok dan pastinya kaget, badannya limbung kebelakang. Wanita itu pasti tidak menduganya, bukan? Tak sabar rasanya melihat perempuan itu terkejut.“Ba-bagaimana cara Mas mendapatkan bukti itu,” lirihnya gugup dengan napas tercekat.“Tak penting bagaimana caraku mendapatkan bukti ini. Kenyataannya, sekarang aku tau, kamu selama ini ternyata bermuka dua. Lain depan lain belakang. Kenapa Nuri? kenapa kamu tega memperlakukan ibu dengan buruk. Apa kurangnya aku, aku selalu menomorsatukan kamu dalam setiap hal. Apa kurang cukup cinta dan kasih sayang yang kuberikan padamu. Hingga kamu tega memperlak
Bismillahirrahmanirrahim.Sekali lagi Mbak bilang Laili, Mbak tidak pernah memfitnah Ranti.Jika mau jujur mbak juga ikut bersedih kehilangan kakakmu itu. Dia sahabat yang sangat baik dan mengerti kesulitan temannya.”"Apapun kata Mbak, aku lebih percaya perkataan Kakakku. Katanya, Mbak Asti yang telah menuduhnya.""Kata siapa, bagaimana Ranti bisa mengatakan aku yang memfitnahnya. Siapa yang mengatakan itu," sanggah ibu tak terima dituduh oleh sahabat baiknya.“Sebentar Mbak Asti, kenapa setelah kejadian itu? Mbak pindah kerja, seakan-akan Mbak ingin kabur dari jeratan hukum. Kepergian mbak Asti waktu itu menambah daftar kecurigaan kami."“Mbak pindah kerja karena mengikuti suami dan mbak juga ingin melupakan peristiwa kelam itu. Kalau Mbak masih di sana, mungkin Mbak masih terus teringat Ranti.”“Percayalah! Mbak tidak sejahat itu, kami hanya korban.”“Korban? Maksud Mbak?”“Iya korban, kami hanya korban orang yang tidak senang melihat kedekatan kami.”“Siapa?”“Maaf Laili, mbak juga
Bismillahirrahmanirrahim."Mas! Jangan menakut-nakutiku," lirih Bia tampak cemas. Wajah adikku mengerucut menggemaskan."Bisa jadi-kan, bukan bermaksud membuatmu takut. Kewaspadaan itu penting, di mana pun kamu berada, di rumah sekalipun. Kamu masih ingatkan, di mana kamu diculik waktu itu. Tempat yang aman menurut orang, belum tentu aman untuk kita, kalau kita tidak hati-hati dan meningkatkan kewaspadaan. Jangan dianggap angin lalu. Kamu itu perempuan, perlu waspada dan hati-hati tingkat tinggi. Kamu mengerti-kan apa yang Mas maksud,” pintaku dengan raut khawatir, karena Bia terlalu menyepelekan keselamatan diri. Terlalu abai dengan keadaan sekitar, dia pikir orang tidak mungkin berbuat jahat padanya.“Iya Mas, aku mengerti, maaf." Lirih Bia tampak menyesali ucapannya. Melihat Bia menunduk dalam, kini giliranku merutuki perkataanku yang terlalu mengintimidasi Bia. "Maaf Bia, perkataan mas terlalu tajam ya." Kuperhatikan wajahnya dengan seksama mencari tanggapan atas perkataanku."Ti