"Apa kamu jadi babu di sini?" tanyanya lagi penuh selidik. Dia melihatku dari atas sampai bawah. Dan kebetulan hari ini aku hanya memakai daster saja karena sibuk di dapur. Dia duduk bak ratu."Loh, Dina, kamu ke sini sama siapa?" tanya Mamah Atik. Oh, rupanya dia namanya Dina.Istri Wira buru-buru berdiri dan salim dengan Mamah Atik."Bulek ... enggak nyangka loh, kita ketemu di sini. Oh, jadi ini rumah Bulek Atik. Bagus sekali ya, kayak rumah orang kota," kata Dina."Kalau ditanya itu jawab yang benar. Bukan malah balik tanya!" sahut Mamah Atik."Oh, aku ke sini sama suamiku. Dia lagi ke belakang numpang kamar mandi, Bulek," jawab Dina. Kemudian dia duduk lagi dengan pongah sambil melirik padaku."Bulek, apa rumah Bulek yang seperti istana ini sumurnya kekeringan? Dari tadi enggak ada air minum sama sekali. Itu fungsinya pembantu apa kalau diam berdiri di situ seperti manekin saja," sindir Dina padaku dan juga pada Mamah Atik."Ck, kamu masih saja enggak berubah, Din. Sombong dan as
"Lah, ya, enggak ada maksud apa-apa, Dik. Ini memang rumah Kakakku. Mbak Ita. Jadi yang berhak mengusir kita atau tidaknya bukan Nenek tua ini, tapi Kakakku," jawab Wira. Dia tersenyum sinis pada Mamah Atik."Ja—di benar ini rumah Mbak Ita?" tanya Dina seolah meyakinkan pendengarannya."Iya, Sayang. Jadi ini rumah Mbak Ita. Kamu enggak perlu takut begitu. Kan, Nenek tua itu tida berhak ngusir kita," jawab Wira santai. Kini dia duduk dengan mengangkat satu kakinya ke atas meja."Apa Saya tidak salah dengar? Anda adik saya? Bukankah dulu Anda tidak mau mengakui saya ini saudara bahkan kata-kata kasar terucap dari bibir Anda," sahutku. Wira pasti tidak menyangka aku akan berkata seperti itu. Kini gantian Mamah Atik yang tersenyum sinis."Giliran kaya ngaku saudara, dulu gubuknya pun mau dibakar. Dasar tidak tahu malu!," sindir Mamah Atik."Tega sekali kamu bicara seperti itu Mbak, aku ini adikmu. Kita satu ibu dan satu bapak ....""Cukup! Tanpa Anda penjelasan apa pun, saya sudah paham.
“Ada apa, Dik?” Mas Danu sepertinya heran kenapa kami semua ke luar rumah. Dia baru saja pulang dari toko bersama bapak. Sekarang Mas Danu sudah bawa mobil. Meski belum lancar, tapi setiap hari selalu bawa sekalian untuk latihan.“Itu Dan, si Asih berantem sama suaminya. Roni bawa selingkuhannya ke rumah babak belur mereka berdua digebukin sama Asih,” jawab Mamah Atik.“Astaghfirullah ... kenapa mereka kelakuannya seperti binatang semua,” gumam Mas Danu, dia mengelus dada.“Loh, kamu ....” Pasti Mas Danu heran ada Wira di sini.“Mas, apa kabar? Kenalin ini istriku.” Mas Danu sedikit kaget karena Wira salim pada Mas Danu bahkan tangan Mas Danu diciumnya. Ini kali pertama aku lihat Wira begitu pada suamiku sejak kami resmi jadi suami istri. Dina pun ikut-ikutan seperti yang dilakukan suaminya.“Halah giliran udah kaya aja di cium-cium tangannya. Ditanyain kabarnya. Dulu ke mana aja? Memang ya, harta itu bisa merubah segalanya yang tadinya ketemu orang jahat tiba-tiba orang jahat itu bis
“Aduh-duh, Mas, maaf. Maaf skeali sepertinya memang terjadi kesalah pahaman dan miskomunikasi. Ayo-ayo, sini Mas Danu Duduk dulu! Pasti capek ya? Kan, baru pulang kerja. Oh, iya, Mas kenalin ini Dina istriku dan Dina ini ternyata sepupu ibunya Mas Danu. Enggak nyangka ya, ternyata kita sudah ada ikatan keluarga dari pasangan hidupku. Aku senang sekali,” ucap Wira tanpa rasa malu sedikit pun. Dia berusaha menguasai keadaan.“Oh, gitu. Jadi, kapan kalian akan pergi dari sini bukankah sudah aku usir?” Wira kaget mendengar pertanyaan Mas Danu.“Ka—kami ingin sila—tu—rahmi, Mas. Seka—lian mau mengucapkan belasungkawa atas meninggalnya bapaknya Mas Danu,” jawab Wira terbata.Mas Danu melengos kemudian masuk rumah mengabaikan Wira dan istrinya.“Sayang, Kia mana? Aku kangen nih. Lapar juga. Yuk, temani aku makan!” ajak Mas Danu. Kami masuk rumah Wira dan istrinya masih saja membuntuti kami.“Mas, kami boleh main ke sini, kan?” tanya Wira lagi.“Main? Boleh dengan syarat kamu harus sopan di s
Brugh!“Aaauu!” Dina teriak kuat sekali. Hingga jadi pusat perhatian. Mas Danu mendorong Dina hingga dia terjatuh cukup kuat.“Tidak tahu malu!” umpat Mas Danu.“Ada apa, Dan?” tanya Mamah Atik.“Enggak ada apa-apa Bu, tadi ada ulet bulu,” jawabku terkekeh.Mas Danu pergi membawa Kia ke depan. Dina masih ngedeprok di lantai. Tidak ada satu pun yang berniat menolongnya.Perhatianku fokus pada ibu mertuaku. Sejak tadi beliau banyak diam dan bengong. Pasti beliau sangat sedih.Aku mau menegurnya takut kesalahan, jadi aku perhatikan saja.Ibu setiap ditanya orang hanya menggeleng dan mengangguk saja. Tatapannya kosong.“Iyem, kasihan ya. Pasti dia kepikiran anak-anaknya,” seru Bu Jum.“Namanya orang tua pasti begitu lah, Bu. Kepikiran sama anak-anaknya. Kasihan mereka nasibnya jelek. Padahal nih, Asih sama Lili itu cantik,” sahut Wak Romlah. Ah, mereka berdua memang cocok sekali.“Sudah malam enggak usah ghibah!” tegur Bu RT.“Ah, Bu RT ini enggak asyik. Memang kenyataannya benar begitu.
“Mamah tidur duluan ya, Nak. Malam ini Mamah mau tidur di kamar Kia.”“Iya, Mah. Aku juga mau tidur, ini mau kunci pintu dulu.”“Ibu juga mau pulang, Ta. Takut di rumah ada maling. Kasihan Asih juga, dia sendirian. Jangan lupa besok ya, Ta.” Aku mengangguk lalu mengantarkan ibu sampai pintu dan mengunci semuanya mematikan lampu dan masuk ke kamar.Saat mematikan lampu aku heran lampu kamar tamu kok, hidup setelah kuhampiri ternyata ada Wira dan istrinya. Aku baru ingat kalau mereka ada di sini.“Mas, besok kita harus cari alasan lagi biar kita tetap di sini, minimal seminggu lah. Ternyata di sini enak. Lihat kamar ini saja bagus apalagi kamar Mbak Ita.” Samar kudengar obrolan mereka. Segera kutajamkan pendengaran.“Iya, kamu benar Dik.” Wira awas kamu!“Mas kan, pintar ekting besok harus yakinin Mas Danu. Lagi pula dia itu cacat rasanya kok enggak pantas banget dia kaya begini. Mas lihat tadi mobilnya Mas Danu? Bagus ya, itu harganya mahal.”“Tahu, lah. Dik. Aku juga rasanya pingin n
“Ada apa ini ramai-ramai!?” teriak Mas Roni. Dia pulang lagi. Kukira akan pergi selamanya. Mas Roni gegas menghampiri kami. Dia sama sekali tidak merasa bersalah bahkan terkesan jumawa.Kami tidak terlalu menanggapi Mas Roni. Kami fokus pada ibu yang pingsan. Pasti ibu syok karena calon menantunya lebih tua dari beliau. Mbak Asih ini ada-ada saja kenapa seleranya turun drastis begini? Apa aki-aki ini kaya raya, jadi Mbak Asih mau dijadikan istrinya?Aku seperti terhipnotis melihat pemandangan di depanku, calon Mbak Asih merapalkan doa dan memasukkan jempol tangan kirinya ke dalam langit-langit mulut lalu menempelkan ke jidat ibu.Hitungan detik ibu mengerjap-ngerjapkan matanya. Alhamdulillah ibu sadar. Apa dia paranormal kok, cara menyembuhkan orang pingsannya unik seperti itu?Ibu Menangis tanpa suara. Air matanya membuktikan bahwa beliau sedang tidak baik-baik saja. Dia memandangi Mbak Asih terus-menerus lalu bergantian memandangi aki-aki di depan kami.“Asih, hentikan jangan biki
Dia kembali meninju pipi tua calon suami Mbak Asih.“Kamu pasti sudah guna-guna istriku, kan! Dasar dukun c4bul!” ocehan Mas Roni ternyata mengundang para tetangga mungkin mereka heran ada keributan lagi di rumah ibu.“Cukup Mas!” Mbak Asih berlari menolong calon suaminya. Kami terperangah tidak percaya. Begitu juga Mas Roni dia langsung melompong melihat pemandangan di depannya.“Aku yang meminta Ayang mbeb Marjuki untuk datang melamarku!” Aku tambah melongo dengan panggilan Mbak Asih pada calon suaminya. Bahkan Mamah Atik cekikikan.“G1l4 kamu ya, Sih! Sadar kamu itu sudah dipelet dia!” Mas Roni masih tidak terima dengan kelakuan Mbak Asih.“Gila? Cih, kamu itu yang gila! Main perempuan tidak memikirkan perasaanku. Aku sudah muak sama kamu, Mas,” ucap Mbak Asih.“Kamu itu masih sah istriku mana bisa kawin dengan laki-laki lain, aku bahkan belum menalakmu!” teriak Mas Roni.“Memang benar. Aku yang menyuruhnya melamar. Aku pula yang bilang padanya sudah pisah lama denganmu dan aku pul