Brugh!“Aaauu!” Dina teriak kuat sekali. Hingga jadi pusat perhatian. Mas Danu mendorong Dina hingga dia terjatuh cukup kuat.“Tidak tahu malu!” umpat Mas Danu.“Ada apa, Dan?” tanya Mamah Atik.“Enggak ada apa-apa Bu, tadi ada ulet bulu,” jawabku terkekeh.Mas Danu pergi membawa Kia ke depan. Dina masih ngedeprok di lantai. Tidak ada satu pun yang berniat menolongnya.Perhatianku fokus pada ibu mertuaku. Sejak tadi beliau banyak diam dan bengong. Pasti beliau sangat sedih.Aku mau menegurnya takut kesalahan, jadi aku perhatikan saja.Ibu setiap ditanya orang hanya menggeleng dan mengangguk saja. Tatapannya kosong.“Iyem, kasihan ya. Pasti dia kepikiran anak-anaknya,” seru Bu Jum.“Namanya orang tua pasti begitu lah, Bu. Kepikiran sama anak-anaknya. Kasihan mereka nasibnya jelek. Padahal nih, Asih sama Lili itu cantik,” sahut Wak Romlah. Ah, mereka berdua memang cocok sekali.“Sudah malam enggak usah ghibah!” tegur Bu RT.“Ah, Bu RT ini enggak asyik. Memang kenyataannya benar begitu.
“Mamah tidur duluan ya, Nak. Malam ini Mamah mau tidur di kamar Kia.”“Iya, Mah. Aku juga mau tidur, ini mau kunci pintu dulu.”“Ibu juga mau pulang, Ta. Takut di rumah ada maling. Kasihan Asih juga, dia sendirian. Jangan lupa besok ya, Ta.” Aku mengangguk lalu mengantarkan ibu sampai pintu dan mengunci semuanya mematikan lampu dan masuk ke kamar.Saat mematikan lampu aku heran lampu kamar tamu kok, hidup setelah kuhampiri ternyata ada Wira dan istrinya. Aku baru ingat kalau mereka ada di sini.“Mas, besok kita harus cari alasan lagi biar kita tetap di sini, minimal seminggu lah. Ternyata di sini enak. Lihat kamar ini saja bagus apalagi kamar Mbak Ita.” Samar kudengar obrolan mereka. Segera kutajamkan pendengaran.“Iya, kamu benar Dik.” Wira awas kamu!“Mas kan, pintar ekting besok harus yakinin Mas Danu. Lagi pula dia itu cacat rasanya kok enggak pantas banget dia kaya begini. Mas lihat tadi mobilnya Mas Danu? Bagus ya, itu harganya mahal.”“Tahu, lah. Dik. Aku juga rasanya pingin n
“Ada apa ini ramai-ramai!?” teriak Mas Roni. Dia pulang lagi. Kukira akan pergi selamanya. Mas Roni gegas menghampiri kami. Dia sama sekali tidak merasa bersalah bahkan terkesan jumawa.Kami tidak terlalu menanggapi Mas Roni. Kami fokus pada ibu yang pingsan. Pasti ibu syok karena calon menantunya lebih tua dari beliau. Mbak Asih ini ada-ada saja kenapa seleranya turun drastis begini? Apa aki-aki ini kaya raya, jadi Mbak Asih mau dijadikan istrinya?Aku seperti terhipnotis melihat pemandangan di depanku, calon Mbak Asih merapalkan doa dan memasukkan jempol tangan kirinya ke dalam langit-langit mulut lalu menempelkan ke jidat ibu.Hitungan detik ibu mengerjap-ngerjapkan matanya. Alhamdulillah ibu sadar. Apa dia paranormal kok, cara menyembuhkan orang pingsannya unik seperti itu?Ibu Menangis tanpa suara. Air matanya membuktikan bahwa beliau sedang tidak baik-baik saja. Dia memandangi Mbak Asih terus-menerus lalu bergantian memandangi aki-aki di depan kami.“Asih, hentikan jangan biki
Dia kembali meninju pipi tua calon suami Mbak Asih.“Kamu pasti sudah guna-guna istriku, kan! Dasar dukun c4bul!” ocehan Mas Roni ternyata mengundang para tetangga mungkin mereka heran ada keributan lagi di rumah ibu.“Cukup Mas!” Mbak Asih berlari menolong calon suaminya. Kami terperangah tidak percaya. Begitu juga Mas Roni dia langsung melompong melihat pemandangan di depannya.“Aku yang meminta Ayang mbeb Marjuki untuk datang melamarku!” Aku tambah melongo dengan panggilan Mbak Asih pada calon suaminya. Bahkan Mamah Atik cekikikan.“G1l4 kamu ya, Sih! Sadar kamu itu sudah dipelet dia!” Mas Roni masih tidak terima dengan kelakuan Mbak Asih.“Gila? Cih, kamu itu yang gila! Main perempuan tidak memikirkan perasaanku. Aku sudah muak sama kamu, Mas,” ucap Mbak Asih.“Kamu itu masih sah istriku mana bisa kawin dengan laki-laki lain, aku bahkan belum menalakmu!” teriak Mas Roni.“Memang benar. Aku yang menyuruhnya melamar. Aku pula yang bilang padanya sudah pisah lama denganmu dan aku pul
“Astaghfirullah Mas! Jujur aku ke sini seperti sadar dan tidak.” Aku membenarkan ucapan Mas Danu. Entah kenapa aku pun merasakan seperti itu.Bagi orang yang tidak pernah mengalami hal-hal magic mungkin tidak akan pernah percaya, tapi bagi yang mengalaminya mereka akan percaya. Inilah pentingnya kita berdoa ke mana pun pergi agar terhindar dari hal-hal seperti ini. Jika pun sudah terjadi Allah akan menolong kita.Alhamdulillah seperti saat ini Allah menolong kami dari ganggang syaiton yang terkutuk.“Bapak silakan undur diri, kami akan melakukan salat Maghrib berjamaah ke Masjid kalau mau mari kita sama-sama berangkat!”Calon suami Mbak Asih tetap diam saja. Beliau berdiri dan pergi tanpa sepatah kata pun diikuti 4 orang lainnya.Mbak Asih mengejarnya sampai depan. Karena kami khawatir, kami pun membuntuti Mbak Asih.“Ayang Mbeb, tunggu jandaku ya? Nanti kita chatingan saja. Ingat aku akan setia di sini untukmu,” ucap Mbak Asih. Calon suaminya hanya mengangguk dan tersenyum. Lalu mere
Juragan ikan pun pergi bersama anak buahnya setelah sebelumnya berpamitan padaku juga.“Orang kaya ya, itu?” tanya Mamah Atik.“Iya, Mah. Orang terkaya di kecamatan sini. Baik orangnya,” jawabku.“Dasar menantu dan anak tidak berguna. Kerjaannya bikin malu saja. Sekarang rumah kalian yang diambil juragan ikan sebagai jaminan hutang. Besok apa lagi yang akan kalian perbuat, hah!” Suara ibu menggelegar sampai ke rumahku.Pintu dapur terbuka. Aku langsung menyibukkan diri menyuapi Kia. Mamah Atik pun langsung menggerakkan badannya ala senam erobik.“Ita, tolongin Ibu, ya? Pinjami Ibu uang 25 juta rupiah saja untuk ambil sertifikat rumah Asih yang dibawa juragan ikan.” Ibu kemudian menceritakan kejadian barusan. Aku tetap menjadi pendengar setia meski sebenarnya aku sudah tahu.“Enggak bisa, kalau mau utang harus ada jaminan juga,” jawab Mamah Atik.“Jaminan? Heh, Nenek gila! Enggak usah ikut campur urusanku terus dong! Kalau pakai jaminan sama dengan riba kamu mau masuk neraka?” sanggah
[Besok kita selesaikan masalah ini, Mbak. Aku tidak mau sesuatu terjadi pada rumah tanggaku. Mbak Lili harus bertanggung jawab.] Kukirim pesan singkat menggunakan ponselku. Aku tidak terima Mbak Lili mengirimkan foto seksinya ke HP Mas Danu dengan maksud menggoda Mas Danu. Mbak Lili seperti perempuan murahan yang tidak punya harga diri. Langsung dibaca dan terlihat Mbak Lili sedang mengetik balasan. Aku takut terpancing ucapannya maka segera kumatikan data dan kutaruh ponsel jauh dariku. Hatiku panas setelah berbalas pesan dengan Mbak Lili. Ternyata kecurigaanku selama ini benar. Dulu waktu kami masih masa pacaran Mbak Lili tingkahnya pun sama selalu ingin dekat dan diperhatikan juga sering cari perhatian Mas Danu. Meski Mas Danu tidak pernah meladeni pesan Mbak Lili, tapi tetap saja aku marah. Wanita mana yang tidak cemburu dan sakit hati kalau ada wanita lain secara terang-terangan mengatakan perasaannya pada suami sendiri. Dulu saat Mbak Lili mencoba mengalihkan perhatian Mas D
Aku bergegas membereskan kamar dan mandi.“Mah, pada ke mana kok sepi?” Mamah Atik sedang senam yoga mengikuti gerakan yang dilihatnya di TV.“Danu di taman belakang sama ibumu dan Kia. Kamu tumben banget bangun siang begini. Apa lagi sakit?”“Enggak apa-apa Mah, semalam aku susah tidur jadi ngantuk banget.”“Ya, sudah itu minum jus kurmanya terus temani Mamah sini. Nanti kamu bisa fresh lagi,” pinta Mamah Atik.Aku menurut saja. Biasanya malas olahraga karena sudah capek bersih-bersih rumah. 0Hem ... yummi sekali jus kurma ini pantas saja Mamah Atik setiap pagi selalu rutin konsumsi.“Enak kan, jusnya? Sini ikutin gerakan tutor di TV itu. Nanti kamu fresh lagi,” ajak Mamah Atik. Tidak ada salahnya kan, kali ini ikut.Selesai yoga aku makan buah yang disediakan Mamah Atik. Rasanya benar-benar nyaman dan segar di badan. Ah, Mamah Atik benar aku jadi fresh lagi.Mas Danu masuk dari pintu samping bersama Kia. Entah kenapa aku tiba-tiba kesal sekali pada Mas Danu. Aku teringat pesan WA
~k~u 🌸🌸🌸“Mas, siapa perempuan ini?” Akhirnya kutanyakan langsung foto yang tadi siang dikirim oleh paman.Mas Danu mengerutkan keningnya matanya menatapku penuh selidik.“Ini nomor Paman Mas, lihat tuh, WA-nya dari atas,” jelasku. Mas Danu memang tidak paham jika pakai smartphone.“Ini dikirim tadi pagi kenapa enggak bilang langsung, Dik?”“Gimana mau bilang kan, Mas sibuk di toko.”“Siapa wanita berbaju orange itu, Mas?” cecarku.“Itu ... em, tapi kamu jangan marah, ya?” Mendengar jawaban Mas Danu justru aku semakin takut. Takut kalau apa yang aku pikirkan benar.“Jawablah, Mas jangan berkelit gitu.”“Namanya Maya, dia teman sekolah Mas waktu SD. Waktu itu tanpa sengaja bertemu di toko. Setelah pertemuan pertama dia sering datang dan banyak bercerita tentang rumah tangganya ....” Mas Danu menjeda ceritanya.Aku sudah berkeringat panas padahal suhu udara malam ini dingin karena tadi sore hujan sangat deras dan sekarang pun masih gerimis kecil.“Karena Mas kasihan makanya Mas seri
“Enggak bersih berarti tidak ada acara masuk rumah.” Mamah Atik ikut menimpali.“Apa ini sudah cukup, Bu?” tanya Evi memperlihatkan irik yang berisi pucuk daun singkong.“Belum! Petik yang banyak, di rumah banyak orang jadi banyak juga yang makan kalau cuma segini habis sama kamu aja!” Mamah Atik pun tidak kalah sengit memarahi Evi.“Aku adukan kalian sama Mas Danu biar kapok!” Ancam Evi.“Adukan saja sana! Danu tidak akan pernah ambil pusing,” jawab Mamah Atik.“Paman, jangan main HP terus nanti HP-nya masuk parit kami lagi yang disalahin dan suruh ganti,” kataku agak kuat karena jarak kami lumayan jauh.“Eh, iya, Ya. Ini aku hanya kirim pesan pada Danu saja,” jawab paman.Benar saja setelah kucek ponsel Mas Danu yang ada di saku celanaku ternyata ada pesan masuk lagi dari paman.[Keputusanmu akan menentukan nasib rumah tanggamu, Dan. Cepat katakan iya atau tidak!]Lagi hanya kubaca saja. Aku tidak berminat sama sekali untuk membalas.“Sudah ada gledek, tuh! Buruan nanti keburu turun
🌸🌸🌸Hidup sejatinya adalah perjalanan. Sekarang tergantung kita mau pilih jalan yang mana. Di depan sana ada banyak sekali rintangannya. Berkelok-kelok, lurus mulus, licin berlumpur atau naik turun.Aku menghela nafas berat saat membaca pesan dari paman Mas Danu. Pesan itu langsung kuteruskan ke ponselku.Paman Mas Danu sebenarnya belum selesai berbicara dengan Mas Danu hanya saja tadi tiba-tiba Joko menelepon ada pelanggan tetap mau belanja bulanan dan jumlahnya sangat banyak. Makanya Mas Danu buru-buru pergi ke toko.Paman dan juga Evi kami persilakan untuk menunggu di rumah. Bagaimana pun juga mereka adalah tamu.‘... Barang siapa beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya .... HR. Bukhari dan Muslim.Aku memang bukan seorang yang mulus tanpa dosa, tapi aku akan selalu berusaha berbuat baik pada siapa pun meski dianggap bodoh.Bapakku selalu berpesan untuk selalu berbuat baik meski kita dimanfaatkan, meski kita tidak dianggap. Karena kebaikan itu aka
~k~u🌸🌸🌸“Loh, siapa kamu!” tegur Mamah Atik saat melihat pria seumuran bapak main nyelonong duduk di teras rumah tanpa permisi.Kami sedang berjemur sekalian menyuapi Kia. Beberapa hari ini hujan terus udara di sini pun sangat dingin.Orang itu bukannya menyahut malah menyalakan rokok.“Paman, ini sarapannya. Nasi uduk aja, ya? Duitku nipis,” ucap Evi. Kami kaget ternyata itu pamannya Mas Danu.“Kamu itu kenapa juga beli beginian. Rumah Mamasmu ini besar gendongan tentunya di dalam banyak makanan. Makan nasi uduk begini Paman mules perutnya.”“Kalian ngapain lihat-lihat! Sekarang mana Mas Danu. Aku mau ketemu Mas Danu,” bentak Evi pada kami.Baru saja aku hendak menyangkal ucapan Evi, Mas Danu sudah ke luar rumah.“Masss ....” Evi lari menghampiri Mas Danu.“Danu. Akhirnya kita bisa bertemu lagi. Paman dari kemarin sudah ada di sini, tapi anak buahmu bilang kamu ada urusan keluarga dan enggak pulang.” Orang yang mengaku Paman Mas Danu pun tergopoh-gopoh menghampiri Mas Danu.Mas Da
Assalamualaikum everyone ....Alhamdulillah bisa up bab baru. Yuk, bantu follow akunku 😍🌸🌸🌸“Sini, Ta, biar Mamah yang telepon, Joko!” Kuberikan ponselku pada Mamah.Tidak menunggu lama telepon tersambung.“Halo, Mas Joko! Ini Mamah Atik. Tolong itu barang-barang yang mau diangkut sama Susi ambil lagi!”“Loh, a—nu, Bu. Itu katanya sudah dapat izin dari Ita,” jawab Mas Joko terbata pasti Mas Joko kaget Mamah Atik to the poin begitu.“Enggak! Baik Ita ataupun Danu enggak ada yang izinin. Di mana Susi? Apa sudah pulang?”“Be—lum, Bu. Ma—sih nimbang telur.”“Dasar orang tidak tahu malu. Pokoknya aku enggak mau tahu, ya, ambil lagi apa yang mau diangkut Susi kalau enggak gaji kamu bulan ini tidak aku berikan!” Ancam Mamah Atik.“Aduh! Ba—ik, Bu.”Tuuuutt ....Mamah mematikan telepon.“Ini, Ta. 10 menit lagi kita telepon Joko. Kamu itu menyek-menyek jadi orang makanya saudara-saudara kamu itu selalu saja meremehkanmu.”“Aku hanya tidak ingin hubungan yang sudah tidak baik makin tidak b
Hatiku panas mendengar perempuan lain mengagumi suamiku.“Mana anakmu kenapa tidak kamu ajak?” tanya Mas Danu.“Mas aku capek loh, nungguin kamu panas dan haus juga kamu malah tega tanya ini dan itu di sini,” rengeknya.Kami masuk dan Evi membuntuti kami.“Mas, rumahmu bagus banget ya, pantas paman selalu membanggakan kamu.” Mas Danu diam saja. Dia fokus minum dan menikmati donat yang kusuguhkan.“Danu, kamu makan dulu. Pasti kamu lapar,” titah Mamah Atik.“Iya, Mah. Dik, temani Mas makan, ya?”“Aku juga mau makan Mas. Yuk, aku temani.” Evi gegas berdiri dan menarik tangan Mas Danu.“Bukan Dik, kamu. Itu panggilan untuk istriku. Aku memanggilmu dengan namamu saja.” Mas Danu menampik tangan Evi. Dia seperti menahan malu.“Mas meja makanmu bagus banget. Seumur-umur aku baru lihat,” ucap Evi. Dia langsung duduk dan mengambil makan tanpa kami suruh terlebih dahulu.“Evi, sebentar lagi kami mau pergi sebaiknya kamu pulang dulu. Rumah ini akan kami kosongkan.”“Apa? Ya ampun, Mas! Aku jauh-
“Terserah Mbak aja mau bilang apa,” sungutku.“Eh, Ta. Aku cuma mau kasih tahu, ini Ibu lagi sakit, tadi pas ambil wudu untuk salat Zuhur terpeleset dan jatuh. Kami sudah bawa ke klinik. Ibu sekarang di rawat. Kamu ke sini, ya? Eh, jangan lupa bawa uang kami tidak ada duit untuk bayar biaya rawat Ibu.” Sebenarnya aku sangat syok dan juga sedih mendengar kabar ini, tapi karena yang memberi tahu adalah Mbak Susi aku jadi kesal padanya.“I—ya, Mbak. Insya Allah aku ke sana.”“Jangan pakai insya Allah, Ta! Kamu harus segera ke sini!”“Iya, Mbak. Insya Allah.”“Kamu itu insya Allah terus. Aku ti ....” Tuuutt! Kumatikan telepon. Percuma saja ngasih tahu Mbak Susi.Ponsel kembali berdering. Tapi, tidak kujawab. Biarkan saja. Mbak Susi itu bisanya ngajak ribut saja.“Siapa, Ta. Kok kayaknya kamu kesal gitu?”“Mbak Susi, Mah. Ngasih tahu kalau ibu masuk rumah sakit. Jatuh di kamar mandi,” jawabku sedih.“Innalillahi wa’innailaihiroji’un. Terus gimana kondisi ibumu, Ta?”“Aku enggak tanya sama
*Cinta adalah perbuatan. kata-kata dan tulisan indah hanyalah omong kosong! (Tere Liye)*Assalamualaikum semuaaaaaaa senang sekali Danu kembali hadir. Semoga kalian sehat dan bahagia selalu. Bantu follow, yuk!🌸🌸🌸 “Maaf siapa, ya?”Bukannya menjawab pertanyaanku justru perempuan ini nyelonong masuk begitu saja lalu duduk manis di sofa.“Eh, siapa kamu! Datang-datang enggak sopan!” bentak Mamah Atik.“Perkenalkan aku Evi, adik Mas Danu,” ucapnya bangga.Aku dan Mamah Atik saling berpandangan. Mamah Atik seolah menanyakan apa benar. Aku hanya menggeleng tidak tahu.“Salah alamat kali. Kan, banyak ‘tu yang namanya Danu,” ujar Mamah Atik lagi.“Enggak, dong! Nih, lihat!” Wanita yang bernama Evi ini memperlihatkan foto Mas Danu. Dari mana dia dapat foto terbaru Mas Danu. Itu foto diambil dua hari yang lalu saat kami jalan-jalan ke air terjun. Itu foto bersamaku bisa-bisanya fotonya dicrop begitu saja.“Iya, benar ini Danu anakku, dan ini Ita istri Danu,” ucap Mamah Atik. Wanita yang b
“Mainan sama Kia. Anakmu ini cantik dan pintar sekali ya, Dan. Aku jadi pingin punya anak,” jawab Mbak Asih seolah-olah dia tidak sedang sakit.“Alhamdulillah iya, Mbak.“ Mas Danu memangku Kia. Aku ikut duduk di lantai bersama mereka.“Mbak Asih kemarin ke mana sih, katanya kerja kok, enggak pulang?” tanyaku hati-hati. Mbak Asih hanya menggeleng saja.“Mbak Asih, Ita itu mau ngajak shopping beli baju baru. Eh, malahan Mbak Asih enggak pulang-pulang,” kata Mas Danu lagi.“Harusnya kamu telepon dulu, Ta. Jangan main asal tunggu. Kalau kamu kasih tahu mau ngajakin aku shopping pasti aku enggak mau janjian sama Mas Roni,” jawab Mbak Asih sambil menoyor kepalaku.“Oh, jadi Mbak Asih pergi shopping sama Mas Roni?” tanyaku.“Bukan shopping sih, tapi bulan madu. Kami tidur di hotel.” Mendengar pengakuan Mbak Asih Mas Danu sangat marah. Aku pun kaget. Kalau sudah ngomongin hotel sudah pasti ada bumbu-bumbu di dalamnya.“Mbak, harusnya jangan mau diajak Mas Roni kalau enggak shopping. Enak shop