Prang!Prang!Dua kali bunyi teplon beradu di kepala Wak Tono. Beliau yang tidak siap dengan serangan hame haameham ala ibu kaget dan terhuyung ke tanah.Pak Tono mengaduh kesakitan dia terus saja memegang kepalanya.“Jahat kamu, Yem! Berani-beraninya kamu memukul kepalaku demi anak angkatmu itu,” ucap Wak Tono. Heran sekali sudah terpojok dan disiksa oleh ibu, tapi masih saja bisa membela diri.“Sekali lagi kamu bicara aku bakalan tabok mulut mau pakai teflon yang aku panaskan dulu di kompor!” jawab ibu. Nafasnya tersenggal-senggal, dadanya naik turun aku tahu sekali pasti menahan marahnya.“Tapi, memang betul begitu kan, Yem! Dulu kamu tidak membela anak itu padahal dulu kamu selalu berpihak padaku apa karena aku tidak membagi hasil kiriman dari bapaknya Danu atau kamu cari perhatian dari bapaknya Danu,jadi kamu memukulku begini lagi. Dasar janda tua gatel!” ujar Wak Tono. Dia masih saja tidak mau diam.Entah setan apa yang merasuki ibu mungkin karena ibu sangat emosi dan tidak teri
Kali ini orang-orang yang melihat aksi ibu malah tertawa terbahak-bahak mereka mungkin berpikir ibu dan Wak Tono sedang pemanasan main pukul-pukulan.“Ini hadiah yang setimpal untuk kamu, Mas! Sudah untung aku tidak menghujanimu dengan golok. Rasakan kamu!” pekik ibu.Prang!Prang!Pukulan demi pukulan mendarat lagi dengan sempurna di tubuh Wak Tono. Mas Roni yang pulang dari belanja langsung berlari menghampiri mereka berdua dan memegangi ibu agar tidak main pukul lagi.“Ibu, stop! Malu dilihat tetangga!” Ibu tidak peduli dengan larangan Mas Roni beliau masih saja mengumpat Wak Tono yang sudah tidak berdaya. Jidat Wak Tono sampai biru kehitaman karena teplon ibu bukan yang bagus bawahnya hitam habis dipakai untuk masak. Pipi Wak Tono memerah karena tamparan maut ibu.“Ibu, ih, stop!” Mbak Asih ikut memegangi ibu dan merampas teplon dari tangan ibu lalu membuangnya sembarangan. Naas teplon itu mendarat cantik ke tubuh Wak Tono. Teriakan kesakitan dari Wak Tono seolah lagu comedy yang
“Eh, sekata-kata kamu sama orang tua!” teriak Wak Tono memarahiku.“Mas, sudahlah enggak usah mengelak, Ita itu bukan asal nuduh, kami dikasih tahu oleh bapaknya Danu sendiri, Wasimin. Dia sudah pulang,” sahut ibu.Wak Tono kaget dan seketika bisa duduk. Tingkahnya seperti maling yang ketahuan Wak Tono kalau tidak sakit begini pasti dia sudah lari kabur.“Jangan mengarang cerita kamu, Yem,” ucap Wa Tono.“Buat apa aku mengarang cerita memang kenyataannya begitu,” jawab ibu ketus.“Ya Allah, jadi Lek Wasimin sudah pulang, Bu? Di mana dia sekarang?” tanya Mbak Asih antusias.“Ya, di rumahnya sana dekat kantor kecamatan dia sama istri mudanya di sana,” jawab ibu.“Ayok, Bu, kita ke sana! Aku ingin sekali bertemu Lek Wasimin,” sahut Mbak Lili.“Ibu enggak tahu persis rumahnya di mana dia hanya bilang begitu, tunggu sajalah nanti juga ke sini,” jawab ibu.“Kenapa Ibu enggak cerita dari kemarin?” tanya Mbak Asih.“Gimana Ibu mau cerita kalian sibuk semua,” jawab ibu kesal.“A—aku permisi ma
“Astaghfirullah .... “ Mas Eko beristighfar lalu mengajak Mbak Lili masuk rumah. Mbak Lili kalau ada Mas Eko pasti dia akan nurut mungkin dia takut Mas Eko berbuat seperti kemarin lagi.Wak Tono merintih kesakitan saat Mas Roni menggantikan Mas Eko mengolesi luka-luka lebamnya dengan Betadine.“Bu, milik siapa semua bahan bangunan ini?” tanya Mbak Asih.“Ini punya Danu. Dia bilang mau rehap rumah,” jawab ibu santai beliau main ponsel lalu selfie-selfie. Ibu ini sungguh ajaib baru saja marah-marah sekarang sudah happy lagi.“Apa!” Mas Roni dan Mbak Asih tampak terkejut.“Dapat duit dari mana kamu, Ta. Bisa beli bahan bangunan sebanyak ini?” tanya Mbak Asih tidak suka.“Halah palingan juga pinjam duit Bank, kalau enggak mana mungkin bisa. Hasil tokonya seberapa sih!” Cibir Mas Roni.“Iya, benar itu, Ron. Kita tahulah seberapa kekuatan Danu apalagi dia pincang begitu,” sahut Wak Tono.“Ternyata Danu dan Ita bisa juga pakai jalan pintas, wuuussss langsung kaya!” ejek Mas Roni lagi.“Dari
Assalamualaikum selamat pagi menjelang siang readerku tersayang 😘😘🌸🌸🌸“Assalamualaikum, Dik. Apa kamu yang kasih tahu Bapak kalau Wak Tono ada di sini?” Mas Danu baru saja masuk rumah salamnya pun belum kujawab sudah memberondongiku dengan pertanyaan lain.“Wa’alaikumsalam ... duduk dulu Mas. Aku ambilkan minum dulu.” Gegas aku ke dapur dan membuatkan teh hangat untuknya.“Alhamdulillah ... terima kasih istriku. Dik, apa kamu yang telepon Bapak?”“Iya, Mas. Itu juga sudah mendapat persetujuan dari ibumu.”“Mas ... kok, jadi kasihan ya, sama Wak Tono,” ucap Mas Danu. Dia memang begini selalu baik pada semua orang meski sudah dijahati.“Mas, kasihan boleh. Tapi ... Wak Tono juga harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.”“Mas takut Bapak akan main hakim sendiri, Dik.”“Kalau main pukul mungkin itu wajar Mas, karena puluhan tahun beliau sudah dibohongi oleh Wak Tono. Tapi, aku yakin Bapak tidak akan berbuat lebih dari itu. Kamu saja baik begini apalagi Bapak, aku percaya sekali p
“Ih, lebai banget sih kamu, Dan. Ini loh, aku bawa baju bagus buat kamu. Tadi Mbak habis shopping ke mol di kota terus Mbak ingat kamu jadi beliin ini deh untuk kamu. Buruan pakai untuk salat di masjid pasti keren banget!” Mbak Lili mengeluarkan baju kemeja warna abu-abu lalu memaksa Mas Danu untuk memakainya.,“Terima kasih Mbak, ini aku simpan saja sekarang aku pakai ini saja. Istriku sudah bersusah payah menyiapkannya,” tolak Mas Danu.“Ck, pakai ini saja yang bagus. Itu jelek bulukan!” Mbak Lili mencoba melepaskan kancing baju Mas Danu, tapi tangannya dipukul oleh Mas Danu.“Jangan lancang ya, Mbak! Aku bukan mahrammu!”Mbak Lili terlihat marah kemudian di pergi begitu saja. Aku jadi was-was dengan tingkah Mbak Lili. Dulu perasaan pas awal-awal menikah dia juga begitu, tapi setelah Mas Danu kecelakaan dia berhenti. Ini kok, sekarang mulai lagi.“Jangan-jangan Mbak Lili suka sama kamu, Mas.”“Hei, cantik kalau ngomong jangan suka asal. Gini-gini juga aku masih normal. Mana mau aku
“Ta, itu Kia kayaknya ngantuk, kamu susui dulu sana. Biar Mamah yang siapin teh hangat untuk Danu dan yang lain. Nanti ada orang berapa yang ke sini?”“Enggak paham aku, Mah. Biar saja aku Mah, nanti Mamah capek loh.”“Kayak apa aja capek, cuma buat teh kok.” Baru mau menyahut lagi Mamah Atik sudah ke dapur.Benar saja, baru beberapa menit Kia sudah tidur lelap.“Mana Wak Wasimin, Ta!” Itu suara Mbak Lili.“Eh, siapa kamu main masuk rumah orang tanpa permisi, dasar enggak punya sopan santun!” tegur Mamah Atik.“Halah, ini juga bukan rumah. Ini gubuk!” elak Mbak Lili.“Oh, dasar perempuan gendeng! Pergi sana kamu!” Usir Mamah Atik. Sebelum terjadi keributan yang lebih besar aku segera ke luar kamar.“Situ yang siapa main usir sembarangan!” Bantah Mbak Lili.“Cukup Mbak! Jangan buat keributan di rumah orang malam-malam begini! Benar kata Mamah Atik kalau masuk rumah orang itu permisi. Kalau enggak berarti yang masuk setan,” ucapku kesal sekali.“Hih, kamu ya, sekarang belagu sekali!” pr
“Maafin Bapak ya, Bu. Insya Allah Wak Tono tidak apa-apa,” ucap Mas Danu. Bapak tersenyum mendengar ucapan Mas Danu.“Oh, iya, siapa ini yang pakai baju kuning?” tanya bapak pada Mbak Lili.“Ini Lili, Mas. Dari pagi tadi dia ingin sekali bertemu denganmu,” jawab ibu sumringah.“Ya Allah, Lili. Wak sampai enggak paham. Mana suamimu? Mana anak perempuanmu satunya, Yem?” Ditanya suami Mbak Lili langsung cemberut.“Suaminya lagi pulang ke rumah istri mudanya, Mas. Katanya tadi cuma sebentar, tapi sampai malam begini belum pulang. Kalau Asih masih dagang Mas, di perempatan gang situ nanti beli ya dagangan Asih. Enaka loh masakannya.” Bapak kaget mendengar jawaban ibu.“Iya, insya Allah nanti aku mampir. Loh, ini Lili masa sih, wanita secantik ini diduakan?” tanya bapak lagi.“Ya, namanya juga orang enggak bersyukur Mas. Kamu tahu Mas, madunya Lili jelek banget,” jawab ibu semangat.“Innalillahi waInnailaihiroji’uun ... Yem, tidak patut kamu bilang begitu. Orang cantik jelek akhlaknya banya