“Maafin Bapak ya, Bu. Insya Allah Wak Tono tidak apa-apa,” ucap Mas Danu. Bapak tersenyum mendengar ucapan Mas Danu.“Oh, iya, siapa ini yang pakai baju kuning?” tanya bapak pada Mbak Lili.“Ini Lili, Mas. Dari pagi tadi dia ingin sekali bertemu denganmu,” jawab ibu sumringah.“Ya Allah, Lili. Wak sampai enggak paham. Mana suamimu? Mana anak perempuanmu satunya, Yem?” Ditanya suami Mbak Lili langsung cemberut.“Suaminya lagi pulang ke rumah istri mudanya, Mas. Katanya tadi cuma sebentar, tapi sampai malam begini belum pulang. Kalau Asih masih dagang Mas, di perempatan gang situ nanti beli ya dagangan Asih. Enaka loh masakannya.” Bapak kaget mendengar jawaban ibu.“Iya, insya Allah nanti aku mampir. Loh, ini Lili masa sih, wanita secantik ini diduakan?” tanya bapak lagi.“Ya, namanya juga orang enggak bersyukur Mas. Kamu tahu Mas, madunya Lili jelek banget,” jawab ibu semangat.“Innalillahi waInnailaihiroji’uun ... Yem, tidak patut kamu bilang begitu. Orang cantik jelek akhlaknya banya
“Assalamualaikum, Bu. Apa kabar?” Kujawab telepon dari ibuku. Tumben sekali ibuku pagi-pagi telepon.“Wa’alaikumsalam ....” Suara ibu serak parau seperti orang yang menahan tangis.“Ibu menangis?” tanyaku khawatir.“Enggak Nak, Ibu hanya batuk saja,” jawab ibu sedikit gugup. Aku jadi kepikiran. Padahal aku mau cerita tentang mertuamu yang sudah kembali.“Ibu masak apa hari ini? Sudah sarapan belum?” tanyaku basa-basi semoga nanti ibu mau cerita beliau kenapa.“Alhamdulillah sudah, Nak. Ibu masak opor ayam sama sambal merah kesukaan Bapak. Kamu masak apa, Nak? Toko gimana lancar?” Suara ibu sudah mulai ceria.“Aku masak oseng toge campur kemangi sama goreng ayam, Bu. Alhamdulillah lancar. Kami ada rencana untuk buka cabang di pasar induk kabupaten, Bu. Tapi, entah kapan masih dipikir-pikir dulu.”“Alhamdulillah, Ibu bahagia sekali dengarnya, Nak. Ibu, mau minta maaf sama kamu ....” Terdengar isak tangis ibu. Aku diam saja membiarkan ibu menangis terlebih dulu biar plong hatinya.Samar
“Kami tadi sudah telepon Danu, dia bilang ok, dan semua model agar dibicarakan denganmu, Ta,” ucap Pak RT.“Iya, Pak. Syukurlah kalau begitu.”“Apa ini rumah Danu yang kecelakaan kakinya patah?” tanya seorang lainnya saat melihat foto pernikahan kami. Kami baru mencetak foto yang baru karena yang lama sudah ikut terbakar dulu.“Iya, betul. Apa Bapak kenal?” tanyaku.“Kenal, lah, Danu itu teman kami di kota dulu waktu nguli.” Kemudian mereka berdua heboh dan meminta telepon Mas Danu.Pak RT Vidio Call Mas Danu mereka bertiga asyik ngobrol sendiri. Aku dan Bu RT ke belakang membuat teh dam menyiapkan camilan.“Nanti kalau pas renovasi, di rumah Ibu aja, Ta,” kata Bu RT menawari tumpangan.“Ah, apa enggak ngerepotin, Bu?”“Tentu saja tidak, Ibu malah senang loh,”“Apa enggak bisa ya, Bu kalau kami tetap di sini?”“Enggak bisa, Ta. Banyak debu kasihan Kia.”“Iya, sih Bu RT benar.”“Ta, sini. Mana foto rumah yang kamu mau tadi kami sudah bilang pada Danu,” ucap Pak RT.“Bentar aku ambil
“Oh, itu mau dibawa ke rumah Pak RT, Mah. Kan, besok sudah mulai renovasi jadi hari ini semuanya barang dipindahin,” jawabku.“Alhamdulillah lebih cepat lebih bagus. Kenapa enggak di rumah, ibumu saja, Ta?” Maksud bapak ibunya Mbak Asih.“Halah mana mau. Dia ya begini, Mas. Dari dulu kelakuannya begitu,” jawab ibu sewot.“Aduh, Papah ini kayak enggak tahu aja sama Nenek Sihir satu ini. Mana aman Ita tinggal sama dia,” sahut Mamah Atik. Bapak hanya terkekeh saja.“Em ... di rumah Ibu sudah banyak orangnya Pak, jadi pasti nanti akan sempit kalau kami di sana,” jawabku beralasan. Padahal aku juga tidak ingin di sana karena faktor lain yang sangat aku hindari.“Ya, sudah, senyamannya kamu, Nak. Gimana kalau kita langsung ke rumah Tono. Sekalian kita jemput Danu?” ajak bapak.“Bisa Pak, barang-barang kami hanya beberapa saja ada Bu RT yang bantu insya Allah aman,” jawabku.“Tono kan, di rumah sakit, Mas. Masa kita ke rumahnya?” tanya ibu.“Yang di rumah sakit kan, orangnya. Kalau harta ben
“Terserah kamu bilang apa, Rudi. Pokoknya aku tidak mau tahu rumah ini harus segera dikosongkan kalau tidak akan ada pihak kepolisian yang mengusir kalian!" Ancam bapak.“Ta—tapi, kami mau pindah ke mana?” jawab Rudi ketakutannya.“Terserah kalian mau pindah ke mana, kalau mau tetap tinggal di sini bayar biaya sewanya,” jawab bapak lagi. Mata Rudi membulat sempurna begitu juga ibu. Aku pun tidak menyangka bapak akan tegas begini. Mungkin bapak sudah sangat kesal pada kelakuan Wak Tono.“Ya sudah, itu saja nanti sampaikan saja pesanku pada Tono. Kami permisi.” Ibu yang sedang minum langsung tersedak dan buru-buru menyusul kami yang sudah lebih dulu jalan.“Astaghfirullah ... kok Bapak rasanya pingin marah-marah juga ya, sama anaknya Tono. Belagu sekali,” ucap bapak kesal. Mamah Atik mengelus-elus bahu bapak menenangkan.“Baru ketemu sekali begitu, apalagi Danu anakmu, Pah. Kita enggak bisa bayangin gimana perlakuan mereka dulu,” sahut Mamah Atik.“Semoga saja mereka yang sudah menyia-n
[Lusa datang ke nikahanku. Kamu boleh bawa suamimu yang cacat itu. Awas kalau enggak datang!]Kubaca pesan dari Wira dengan menahan emosi. Apa maksudnya dia pakai ngancam segala, pun bahasanya tidak sopan. Biasanya dia manggil aku dengan sebutan Mbak. Kecuali dia benar-benar sedang dalam keadaan marah.[Kalau enggak niat ngundang enggak usah deh, ngudang segala. Aku enggak datang ke nikahanmu juga enggak rugi!]Kulihat Wira sedang mengetik pesan.[Pokoknya DATANG! Kalau kamu enggak datang aku enggak jadi nikah. Kamu tahu kenapa? Karena Ibu dan Bapak tidak akan merestui dan enggak mau datang kalau kamu dan menantu kesayangannya yang cacat itu tidak diundang. Ribet banget hidupku gara-gara orang cacat itu!]Kubaca balasan pesan dari Wira dengan bertambah emosi.[Bagus deh! Doakan saja kami tidak sibuk. Kalau sibuk kami tidak bisa datang!] Kubalas lagi pesan Wira dengan senyuman sinis.[Datang atau kuacak-acak gubukmu itu!][Lakukan saja jika mau!] Tak mau lagi berdebat yang tidak pentin
“Jangan diambil hati ya, Ta. Lili lagi masa-masa sulit karena ingin hamil belum juga bisa, sudah gitu Eko juga masih dirong-rong sama si Desi gendeng itu,” timpal Mbak Asih. Tumben sekali dia sekarang ini jadi sedikit baik, aku ingat selama aku bikin rumah.“Ya, sudah Mbak, aku mau belanja dulu. Oh, iya, jangan lupa hutang Mbak Asih dicicil ya, mau untuk tambahan beli semen,” kataku pelan. Wajah cantik Mbak Asih langsung berubah kesal.“Kamu itu, Ta. Kayak enggak punya uang lain aja. Utang Cuma 2 juta rupiah kamu tagih begini,” protes Mbak Asih.“Mbak Asih bilang cuma, tapi sudah 4 bulan enggak dicicil.”“Ish, ngeselin kamu itu, Ta!” Mbak Asih balik badan lalu pergi meninggalkan kami.“Asih punya hutang sama kamu juga, Ta? Padahal dia punya hutang sama Ibu juga 500 ribu rupiah katanya untuk modal dagang. Kemarin sudah Ibu tagih bilang akhir bulan ini, utangnya juga sudah lama 4 bulanan yang lalu. Ibu perlu untuk bayaran sekolah anak.” Aku kaget mendengar penuturan Bu RT. Mbak Asih ben
“Duh, Danu. Sudah kamu ikhlaskan saja. Cuma 2 juta rupiah bagi kamu itu kecil. Hitung-hitung ngasih saudara!” kata ibu lagi.“Enggak bisa, Bu. Mbak Asih bilangnya pinjam jadi harus dikembalikan. Kecuali Mbak Asih sudah innalilahi waInnailaihiroji’uun baru kami ikhlaskan.” Mendengar jawaban Mas Danu, Mbak Asih naik pitam dia langsung bisa duduk dan memukuli Mas Danu pakai raket nyamu.“Kurang ajar kamu, Dan! Doakan aku yang jelek-jelek! Pergi kalian!” Usir Mbak Asih.“Baik Mbak, kami selalu menunggu uang itu,” kataku sebelum pergi meninggalkan kamar Mbak Asih. Aku juga sudah sangat pusing di dalam kamarnya karena bau dupa campur kemenyan yang sangat menyengat.Sampai di rumah Bu RT masih menunggu dengan gelisah pasti beliau berharap uang yang dipinjam Mbak Asih kembali.“Maaf Bu, kami tidak berhasil menagihnya. Sampai sana Mbak Asih lagi sakit,” kataku jujur.“Duh, gimana ya, besok sudah terakhir bayaran sekolah anak. Kalau suami Ibu tahu pasti beliau sangat marah,” ucap Bu RT sedih