“Kami tadi sudah telepon Danu, dia bilang ok, dan semua model agar dibicarakan denganmu, Ta,” ucap Pak RT.“Iya, Pak. Syukurlah kalau begitu.”“Apa ini rumah Danu yang kecelakaan kakinya patah?” tanya seorang lainnya saat melihat foto pernikahan kami. Kami baru mencetak foto yang baru karena yang lama sudah ikut terbakar dulu.“Iya, betul. Apa Bapak kenal?” tanyaku.“Kenal, lah, Danu itu teman kami di kota dulu waktu nguli.” Kemudian mereka berdua heboh dan meminta telepon Mas Danu.Pak RT Vidio Call Mas Danu mereka bertiga asyik ngobrol sendiri. Aku dan Bu RT ke belakang membuat teh dam menyiapkan camilan.“Nanti kalau pas renovasi, di rumah Ibu aja, Ta,” kata Bu RT menawari tumpangan.“Ah, apa enggak ngerepotin, Bu?”“Tentu saja tidak, Ibu malah senang loh,”“Apa enggak bisa ya, Bu kalau kami tetap di sini?”“Enggak bisa, Ta. Banyak debu kasihan Kia.”“Iya, sih Bu RT benar.”“Ta, sini. Mana foto rumah yang kamu mau tadi kami sudah bilang pada Danu,” ucap Pak RT.“Bentar aku ambil
“Oh, itu mau dibawa ke rumah Pak RT, Mah. Kan, besok sudah mulai renovasi jadi hari ini semuanya barang dipindahin,” jawabku.“Alhamdulillah lebih cepat lebih bagus. Kenapa enggak di rumah, ibumu saja, Ta?” Maksud bapak ibunya Mbak Asih.“Halah mana mau. Dia ya begini, Mas. Dari dulu kelakuannya begitu,” jawab ibu sewot.“Aduh, Papah ini kayak enggak tahu aja sama Nenek Sihir satu ini. Mana aman Ita tinggal sama dia,” sahut Mamah Atik. Bapak hanya terkekeh saja.“Em ... di rumah Ibu sudah banyak orangnya Pak, jadi pasti nanti akan sempit kalau kami di sana,” jawabku beralasan. Padahal aku juga tidak ingin di sana karena faktor lain yang sangat aku hindari.“Ya, sudah, senyamannya kamu, Nak. Gimana kalau kita langsung ke rumah Tono. Sekalian kita jemput Danu?” ajak bapak.“Bisa Pak, barang-barang kami hanya beberapa saja ada Bu RT yang bantu insya Allah aman,” jawabku.“Tono kan, di rumah sakit, Mas. Masa kita ke rumahnya?” tanya ibu.“Yang di rumah sakit kan, orangnya. Kalau harta ben
“Terserah kamu bilang apa, Rudi. Pokoknya aku tidak mau tahu rumah ini harus segera dikosongkan kalau tidak akan ada pihak kepolisian yang mengusir kalian!" Ancam bapak.“Ta—tapi, kami mau pindah ke mana?” jawab Rudi ketakutannya.“Terserah kalian mau pindah ke mana, kalau mau tetap tinggal di sini bayar biaya sewanya,” jawab bapak lagi. Mata Rudi membulat sempurna begitu juga ibu. Aku pun tidak menyangka bapak akan tegas begini. Mungkin bapak sudah sangat kesal pada kelakuan Wak Tono.“Ya sudah, itu saja nanti sampaikan saja pesanku pada Tono. Kami permisi.” Ibu yang sedang minum langsung tersedak dan buru-buru menyusul kami yang sudah lebih dulu jalan.“Astaghfirullah ... kok Bapak rasanya pingin marah-marah juga ya, sama anaknya Tono. Belagu sekali,” ucap bapak kesal. Mamah Atik mengelus-elus bahu bapak menenangkan.“Baru ketemu sekali begitu, apalagi Danu anakmu, Pah. Kita enggak bisa bayangin gimana perlakuan mereka dulu,” sahut Mamah Atik.“Semoga saja mereka yang sudah menyia-n
[Lusa datang ke nikahanku. Kamu boleh bawa suamimu yang cacat itu. Awas kalau enggak datang!]Kubaca pesan dari Wira dengan menahan emosi. Apa maksudnya dia pakai ngancam segala, pun bahasanya tidak sopan. Biasanya dia manggil aku dengan sebutan Mbak. Kecuali dia benar-benar sedang dalam keadaan marah.[Kalau enggak niat ngundang enggak usah deh, ngudang segala. Aku enggak datang ke nikahanmu juga enggak rugi!]Kulihat Wira sedang mengetik pesan.[Pokoknya DATANG! Kalau kamu enggak datang aku enggak jadi nikah. Kamu tahu kenapa? Karena Ibu dan Bapak tidak akan merestui dan enggak mau datang kalau kamu dan menantu kesayangannya yang cacat itu tidak diundang. Ribet banget hidupku gara-gara orang cacat itu!]Kubaca balasan pesan dari Wira dengan bertambah emosi.[Bagus deh! Doakan saja kami tidak sibuk. Kalau sibuk kami tidak bisa datang!] Kubalas lagi pesan Wira dengan senyuman sinis.[Datang atau kuacak-acak gubukmu itu!][Lakukan saja jika mau!] Tak mau lagi berdebat yang tidak pentin
“Jangan diambil hati ya, Ta. Lili lagi masa-masa sulit karena ingin hamil belum juga bisa, sudah gitu Eko juga masih dirong-rong sama si Desi gendeng itu,” timpal Mbak Asih. Tumben sekali dia sekarang ini jadi sedikit baik, aku ingat selama aku bikin rumah.“Ya, sudah Mbak, aku mau belanja dulu. Oh, iya, jangan lupa hutang Mbak Asih dicicil ya, mau untuk tambahan beli semen,” kataku pelan. Wajah cantik Mbak Asih langsung berubah kesal.“Kamu itu, Ta. Kayak enggak punya uang lain aja. Utang Cuma 2 juta rupiah kamu tagih begini,” protes Mbak Asih.“Mbak Asih bilang cuma, tapi sudah 4 bulan enggak dicicil.”“Ish, ngeselin kamu itu, Ta!” Mbak Asih balik badan lalu pergi meninggalkan kami.“Asih punya hutang sama kamu juga, Ta? Padahal dia punya hutang sama Ibu juga 500 ribu rupiah katanya untuk modal dagang. Kemarin sudah Ibu tagih bilang akhir bulan ini, utangnya juga sudah lama 4 bulanan yang lalu. Ibu perlu untuk bayaran sekolah anak.” Aku kaget mendengar penuturan Bu RT. Mbak Asih ben
“Duh, Danu. Sudah kamu ikhlaskan saja. Cuma 2 juta rupiah bagi kamu itu kecil. Hitung-hitung ngasih saudara!” kata ibu lagi.“Enggak bisa, Bu. Mbak Asih bilangnya pinjam jadi harus dikembalikan. Kecuali Mbak Asih sudah innalilahi waInnailaihiroji’uun baru kami ikhlaskan.” Mendengar jawaban Mas Danu, Mbak Asih naik pitam dia langsung bisa duduk dan memukuli Mas Danu pakai raket nyamu.“Kurang ajar kamu, Dan! Doakan aku yang jelek-jelek! Pergi kalian!” Usir Mbak Asih.“Baik Mbak, kami selalu menunggu uang itu,” kataku sebelum pergi meninggalkan kamar Mbak Asih. Aku juga sudah sangat pusing di dalam kamarnya karena bau dupa campur kemenyan yang sangat menyengat.Sampai di rumah Bu RT masih menunggu dengan gelisah pasti beliau berharap uang yang dipinjam Mbak Asih kembali.“Maaf Bu, kami tidak berhasil menagihnya. Sampai sana Mbak Asih lagi sakit,” kataku jujur.“Duh, gimana ya, besok sudah terakhir bayaran sekolah anak. Kalau suami Ibu tahu pasti beliau sangat marah,” ucap Bu RT sedih
{Untuk kalian yang saat ini mungkin sedang berada dititik terendah, sedang diuji dengan sakit dan pedihnya penghinaan jangan bersedih, jadikan itu semua sebagai cambukkan semangat untuk menjadi lebih baik lagi. Yakinlah roda kehidupan pasti berputar semoga kalian yang saat ini dihina, dicaci, disepelekan, dan dizholimi kelak akan lebih sukses.}Kutulis status WA pagi ini dengan kata-kata mutiara. Aku yakin di luar sana masih banyak sekali orang sepertiku. Bahkan mungkin lebih parah dariku.Seperti biasa para kakak tersayang yang julid padaku langsung ikut-ikutan update status.{Berasa orang teraniaya sedunia yeeee ....} tulis Mbak Lili.{Roda mobil kali, berputar!} tulis Mbak Nur.{Roda peyot plus bocor mana bisa berputar!} tulis Mbak Susi.{Yang sebentar lagi mau jadi pengantin, sehat-sehat yaaaa ... kita have fun tanpa ada si ono!} Mbak Ning mengunggah foto bersama Wira disertai caption yang menyindirku.Aku hiraukan semua, toh aku menulis status untuk menyemangati diriku sendiri, k
Wira memberondongiku dengan banyak pesan yang tulisannya hanya itu.Lihat saja Wira aku akan buat perhitungan denganmu![Siapa ya? Sorry aku tidak kenal. Sampai lebaran monyet juga aku enggak bakalan jawab teleponmu.] kubalas pesan Wira dengan santai. Dia pasti bertambah kesal.[S3tan! Angkat!] cepat sekali dia membalas pesanku.Segera kublokir nomor Wira. Bukannya minta maaf malah makin menjadi.“Kamu kenapa Sayang, kok bete gitu?” tanya Mas Danu penasaran. “Dari tadi pagi aku perhatikan ditekut aja itu mukanya, kalau ada masalah cerita dong, jangan diam aja. Mas jadinya bingung.”Kujawab pertanyaan Mas Danu dengan memberikan HP-ku padanya. Biar dia sendiri yang baca pesan-pesan menyakitkan dari Wira.“Astaghfirullahaladhiim ... Wira!” Mas Danu terlihat marah sekali. Giginya sampai bergemeletuk. Itu kebiasaan dia kalau marah. Tangannya memukul meja hingga kami jadi pusat perhatian pembeli lain.“Maafkan aku, ya, Dik. Gara-gara aku cacat begini keluargamu tidak ada yang hormat padamu