[Lusa datang ke nikahanku. Kamu boleh bawa suamimu yang cacat itu. Awas kalau enggak datang!]Kubaca pesan dari Wira dengan menahan emosi. Apa maksudnya dia pakai ngancam segala, pun bahasanya tidak sopan. Biasanya dia manggil aku dengan sebutan Mbak. Kecuali dia benar-benar sedang dalam keadaan marah.[Kalau enggak niat ngundang enggak usah deh, ngudang segala. Aku enggak datang ke nikahanmu juga enggak rugi!]Kulihat Wira sedang mengetik pesan.[Pokoknya DATANG! Kalau kamu enggak datang aku enggak jadi nikah. Kamu tahu kenapa? Karena Ibu dan Bapak tidak akan merestui dan enggak mau datang kalau kamu dan menantu kesayangannya yang cacat itu tidak diundang. Ribet banget hidupku gara-gara orang cacat itu!]Kubaca balasan pesan dari Wira dengan bertambah emosi.[Bagus deh! Doakan saja kami tidak sibuk. Kalau sibuk kami tidak bisa datang!] Kubalas lagi pesan Wira dengan senyuman sinis.[Datang atau kuacak-acak gubukmu itu!][Lakukan saja jika mau!] Tak mau lagi berdebat yang tidak pentin
“Jangan diambil hati ya, Ta. Lili lagi masa-masa sulit karena ingin hamil belum juga bisa, sudah gitu Eko juga masih dirong-rong sama si Desi gendeng itu,” timpal Mbak Asih. Tumben sekali dia sekarang ini jadi sedikit baik, aku ingat selama aku bikin rumah.“Ya, sudah Mbak, aku mau belanja dulu. Oh, iya, jangan lupa hutang Mbak Asih dicicil ya, mau untuk tambahan beli semen,” kataku pelan. Wajah cantik Mbak Asih langsung berubah kesal.“Kamu itu, Ta. Kayak enggak punya uang lain aja. Utang Cuma 2 juta rupiah kamu tagih begini,” protes Mbak Asih.“Mbak Asih bilang cuma, tapi sudah 4 bulan enggak dicicil.”“Ish, ngeselin kamu itu, Ta!” Mbak Asih balik badan lalu pergi meninggalkan kami.“Asih punya hutang sama kamu juga, Ta? Padahal dia punya hutang sama Ibu juga 500 ribu rupiah katanya untuk modal dagang. Kemarin sudah Ibu tagih bilang akhir bulan ini, utangnya juga sudah lama 4 bulanan yang lalu. Ibu perlu untuk bayaran sekolah anak.” Aku kaget mendengar penuturan Bu RT. Mbak Asih ben
“Duh, Danu. Sudah kamu ikhlaskan saja. Cuma 2 juta rupiah bagi kamu itu kecil. Hitung-hitung ngasih saudara!” kata ibu lagi.“Enggak bisa, Bu. Mbak Asih bilangnya pinjam jadi harus dikembalikan. Kecuali Mbak Asih sudah innalilahi waInnailaihiroji’uun baru kami ikhlaskan.” Mendengar jawaban Mas Danu, Mbak Asih naik pitam dia langsung bisa duduk dan memukuli Mas Danu pakai raket nyamu.“Kurang ajar kamu, Dan! Doakan aku yang jelek-jelek! Pergi kalian!” Usir Mbak Asih.“Baik Mbak, kami selalu menunggu uang itu,” kataku sebelum pergi meninggalkan kamar Mbak Asih. Aku juga sudah sangat pusing di dalam kamarnya karena bau dupa campur kemenyan yang sangat menyengat.Sampai di rumah Bu RT masih menunggu dengan gelisah pasti beliau berharap uang yang dipinjam Mbak Asih kembali.“Maaf Bu, kami tidak berhasil menagihnya. Sampai sana Mbak Asih lagi sakit,” kataku jujur.“Duh, gimana ya, besok sudah terakhir bayaran sekolah anak. Kalau suami Ibu tahu pasti beliau sangat marah,” ucap Bu RT sedih
{Untuk kalian yang saat ini mungkin sedang berada dititik terendah, sedang diuji dengan sakit dan pedihnya penghinaan jangan bersedih, jadikan itu semua sebagai cambukkan semangat untuk menjadi lebih baik lagi. Yakinlah roda kehidupan pasti berputar semoga kalian yang saat ini dihina, dicaci, disepelekan, dan dizholimi kelak akan lebih sukses.}Kutulis status WA pagi ini dengan kata-kata mutiara. Aku yakin di luar sana masih banyak sekali orang sepertiku. Bahkan mungkin lebih parah dariku.Seperti biasa para kakak tersayang yang julid padaku langsung ikut-ikutan update status.{Berasa orang teraniaya sedunia yeeee ....} tulis Mbak Lili.{Roda mobil kali, berputar!} tulis Mbak Nur.{Roda peyot plus bocor mana bisa berputar!} tulis Mbak Susi.{Yang sebentar lagi mau jadi pengantin, sehat-sehat yaaaa ... kita have fun tanpa ada si ono!} Mbak Ning mengunggah foto bersama Wira disertai caption yang menyindirku.Aku hiraukan semua, toh aku menulis status untuk menyemangati diriku sendiri, k
Wira memberondongiku dengan banyak pesan yang tulisannya hanya itu.Lihat saja Wira aku akan buat perhitungan denganmu![Siapa ya? Sorry aku tidak kenal. Sampai lebaran monyet juga aku enggak bakalan jawab teleponmu.] kubalas pesan Wira dengan santai. Dia pasti bertambah kesal.[S3tan! Angkat!] cepat sekali dia membalas pesanku.Segera kublokir nomor Wira. Bukannya minta maaf malah makin menjadi.“Kamu kenapa Sayang, kok bete gitu?” tanya Mas Danu penasaran. “Dari tadi pagi aku perhatikan ditekut aja itu mukanya, kalau ada masalah cerita dong, jangan diam aja. Mas jadinya bingung.”Kujawab pertanyaan Mas Danu dengan memberikan HP-ku padanya. Biar dia sendiri yang baca pesan-pesan menyakitkan dari Wira.“Astaghfirullahaladhiim ... Wira!” Mas Danu terlihat marah sekali. Giginya sampai bergemeletuk. Itu kebiasaan dia kalau marah. Tangannya memukul meja hingga kami jadi pusat perhatian pembeli lain.“Maafkan aku, ya, Dik. Gara-gara aku cacat begini keluargamu tidak ada yang hormat padamu
“Sudah jangan ngomel terus nanti cepat keriput, itu dimakan dulu baksonya,” jawab bapak.“Alhamdulillah habis, Ta. Mamah lapar sekali,” ucap Mamah Atik malu-malu. Bapak lagi-lagi tergelak mendengar pengakuan istrinya.“Astaghfirullah. Ita! Danu! Kalian ini benar-benar ya, tidak punya kuping. Ibu panggil dari tadi enggak nyahut juga,” pekik ibu yang tiba-tiba sudah di depan pintu.“Ada apa, Yem?” tanya bapak. Ibu hanya melengos saja. Tumben biasanya ibu selalu welcome sama bapak ini kok seperti ketemu musuh.“Aku tidak sedang bicara denganmu, Mas,” jawab ibu sewot.“Heh, ditanya baik-baik kok jawabnya gitu dasar tidak punya adab!” bentak Mamah Atik. Ibu diam saja tidak menanggapi.“Aku memang enggak dengar, Bu. Ada apa?” tanya Mas Danu.“Ibu mau minta uang buat belanja. Eko belum ngasih uang,” jawab ibu“Ini Yem, ambil. Sana belanja kebutuhan dapurmu jangan belanja yang lain.” Bapak memberikan beberapa lembar uang merah dari dompetnya untuk ibu.Ajaib, ibu tidak mengambil uang itu. Bia
“Eh, iya, Mas Wasimin ke sini ada acara apa lagi?” tanya ibu. Aku pun sampai lupa mau menanyakan bapak ke sini ada keperluan apa selain melihat rumahku.“Ke rumah, Tono. Aku mau ke sana ngajak Danu sama Ita,” jawab bapak singkat.“Ya ampun, Mas! Aku enggak bisa ikut.”“Kami enggak ngajak situ, kok!” ketus ibu.“Kami pamit ya, Yem. Ingat uangnya untuk beli keperluan dapur, ya! Jangan untuk yang lain,” ucap bapak.Baru saja kami sampai pintu Mbak Asih sudah teriak memanggil kami.Kami heran dan tentu saja sangat kaget. Tadi Mbak Asih seperti orang yang sekarat kareana kepanasan ini tiba-tiba sudah segar lagi setelah mandi kembang tujuh rupa. Ibu sumringah menghampiri Mbak Asih.“Ayo, salim dulu Sih, sama Wak Wasimin!” titah ibu.Bapak iba melihat Mbak Asih. Beliau mengelus kepala Mbak Asih.“Kami permisi ya, Yem. Asih semoga kamu cepat sembuh, ya?”“Iya, Wak. Ini juga aku sudah sembuh, kok.”“Mas, tunggu! Aku ikut,” teriak ibu. “Asih sudah sembuh jadi aku ikut,” ucapnya lagi.Sampai ru
🌸🌸🌸“Benar-benar bikin tensi darahku naik si, Tono ini. Kita pulang balik lagi ke rumahnya!” ajak bapak. Kami ngikut saja. Bapak terlihat sekali sangat marah.Benar saja sampai di rumah Wak Tono, mereka yang tadinya duduk di emperan rumah langsung lari masuk ke dalam. Lucu seperti buronan kelas kakap.“Enggak usah sembunyi kamu, Tono! Dalam hitungan ke tiga kalau kamu tidak keluar ini polisi dobrak pintu kamu!” teriak bapak sambil menggedor-gedor pintu depan. Mas Danu ada di pintu samping. Ibu mertua mengintip lewat jendela kaca.Mungkin karena takut dengan ancaman bapak akhirnya Wak Tono keluar. Dibuntuti istrinya yang bawa gagang sapu. Sepertinya beliau takut Wak Tono dihajar lagi.“Nah, keluar juga kamu!” Bapak menarik lengan Wak Tono.“Mana polisi! Mana polisi!” teriak istri Wak Tono. Padahal bapak hanya menakut-nakuti saja.“Ampun, Mas! Tolong jangan usir kami dari sini. Kami merintis dari nol membangun rumah ini,” ucap Wak Tono memelas.“Ampun? Dulu kamu enak-enak makan uang
~k~u 🌸🌸🌸“Mas, siapa perempuan ini?” Akhirnya kutanyakan langsung foto yang tadi siang dikirim oleh paman.Mas Danu mengerutkan keningnya matanya menatapku penuh selidik.“Ini nomor Paman Mas, lihat tuh, WA-nya dari atas,” jelasku. Mas Danu memang tidak paham jika pakai smartphone.“Ini dikirim tadi pagi kenapa enggak bilang langsung, Dik?”“Gimana mau bilang kan, Mas sibuk di toko.”“Siapa wanita berbaju orange itu, Mas?” cecarku.“Itu ... em, tapi kamu jangan marah, ya?” Mendengar jawaban Mas Danu justru aku semakin takut. Takut kalau apa yang aku pikirkan benar.“Jawablah, Mas jangan berkelit gitu.”“Namanya Maya, dia teman sekolah Mas waktu SD. Waktu itu tanpa sengaja bertemu di toko. Setelah pertemuan pertama dia sering datang dan banyak bercerita tentang rumah tangganya ....” Mas Danu menjeda ceritanya.Aku sudah berkeringat panas padahal suhu udara malam ini dingin karena tadi sore hujan sangat deras dan sekarang pun masih gerimis kecil.“Karena Mas kasihan makanya Mas seri
“Enggak bersih berarti tidak ada acara masuk rumah.” Mamah Atik ikut menimpali.“Apa ini sudah cukup, Bu?” tanya Evi memperlihatkan irik yang berisi pucuk daun singkong.“Belum! Petik yang banyak, di rumah banyak orang jadi banyak juga yang makan kalau cuma segini habis sama kamu aja!” Mamah Atik pun tidak kalah sengit memarahi Evi.“Aku adukan kalian sama Mas Danu biar kapok!” Ancam Evi.“Adukan saja sana! Danu tidak akan pernah ambil pusing,” jawab Mamah Atik.“Paman, jangan main HP terus nanti HP-nya masuk parit kami lagi yang disalahin dan suruh ganti,” kataku agak kuat karena jarak kami lumayan jauh.“Eh, iya, Ya. Ini aku hanya kirim pesan pada Danu saja,” jawab paman.Benar saja setelah kucek ponsel Mas Danu yang ada di saku celanaku ternyata ada pesan masuk lagi dari paman.[Keputusanmu akan menentukan nasib rumah tanggamu, Dan. Cepat katakan iya atau tidak!]Lagi hanya kubaca saja. Aku tidak berminat sama sekali untuk membalas.“Sudah ada gledek, tuh! Buruan nanti keburu turun
🌸🌸🌸Hidup sejatinya adalah perjalanan. Sekarang tergantung kita mau pilih jalan yang mana. Di depan sana ada banyak sekali rintangannya. Berkelok-kelok, lurus mulus, licin berlumpur atau naik turun.Aku menghela nafas berat saat membaca pesan dari paman Mas Danu. Pesan itu langsung kuteruskan ke ponselku.Paman Mas Danu sebenarnya belum selesai berbicara dengan Mas Danu hanya saja tadi tiba-tiba Joko menelepon ada pelanggan tetap mau belanja bulanan dan jumlahnya sangat banyak. Makanya Mas Danu buru-buru pergi ke toko.Paman dan juga Evi kami persilakan untuk menunggu di rumah. Bagaimana pun juga mereka adalah tamu.‘... Barang siapa beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya .... HR. Bukhari dan Muslim.Aku memang bukan seorang yang mulus tanpa dosa, tapi aku akan selalu berusaha berbuat baik pada siapa pun meski dianggap bodoh.Bapakku selalu berpesan untuk selalu berbuat baik meski kita dimanfaatkan, meski kita tidak dianggap. Karena kebaikan itu aka
~k~u🌸🌸🌸“Loh, siapa kamu!” tegur Mamah Atik saat melihat pria seumuran bapak main nyelonong duduk di teras rumah tanpa permisi.Kami sedang berjemur sekalian menyuapi Kia. Beberapa hari ini hujan terus udara di sini pun sangat dingin.Orang itu bukannya menyahut malah menyalakan rokok.“Paman, ini sarapannya. Nasi uduk aja, ya? Duitku nipis,” ucap Evi. Kami kaget ternyata itu pamannya Mas Danu.“Kamu itu kenapa juga beli beginian. Rumah Mamasmu ini besar gendongan tentunya di dalam banyak makanan. Makan nasi uduk begini Paman mules perutnya.”“Kalian ngapain lihat-lihat! Sekarang mana Mas Danu. Aku mau ketemu Mas Danu,” bentak Evi pada kami.Baru saja aku hendak menyangkal ucapan Evi, Mas Danu sudah ke luar rumah.“Masss ....” Evi lari menghampiri Mas Danu.“Danu. Akhirnya kita bisa bertemu lagi. Paman dari kemarin sudah ada di sini, tapi anak buahmu bilang kamu ada urusan keluarga dan enggak pulang.” Orang yang mengaku Paman Mas Danu pun tergopoh-gopoh menghampiri Mas Danu.Mas Da
Assalamualaikum everyone ....Alhamdulillah bisa up bab baru. Yuk, bantu follow akunku 😍🌸🌸🌸“Sini, Ta, biar Mamah yang telepon, Joko!” Kuberikan ponselku pada Mamah.Tidak menunggu lama telepon tersambung.“Halo, Mas Joko! Ini Mamah Atik. Tolong itu barang-barang yang mau diangkut sama Susi ambil lagi!”“Loh, a—nu, Bu. Itu katanya sudah dapat izin dari Ita,” jawab Mas Joko terbata pasti Mas Joko kaget Mamah Atik to the poin begitu.“Enggak! Baik Ita ataupun Danu enggak ada yang izinin. Di mana Susi? Apa sudah pulang?”“Be—lum, Bu. Ma—sih nimbang telur.”“Dasar orang tidak tahu malu. Pokoknya aku enggak mau tahu, ya, ambil lagi apa yang mau diangkut Susi kalau enggak gaji kamu bulan ini tidak aku berikan!” Ancam Mamah Atik.“Aduh! Ba—ik, Bu.”Tuuuutt ....Mamah mematikan telepon.“Ini, Ta. 10 menit lagi kita telepon Joko. Kamu itu menyek-menyek jadi orang makanya saudara-saudara kamu itu selalu saja meremehkanmu.”“Aku hanya tidak ingin hubungan yang sudah tidak baik makin tidak b
Hatiku panas mendengar perempuan lain mengagumi suamiku.“Mana anakmu kenapa tidak kamu ajak?” tanya Mas Danu.“Mas aku capek loh, nungguin kamu panas dan haus juga kamu malah tega tanya ini dan itu di sini,” rengeknya.Kami masuk dan Evi membuntuti kami.“Mas, rumahmu bagus banget ya, pantas paman selalu membanggakan kamu.” Mas Danu diam saja. Dia fokus minum dan menikmati donat yang kusuguhkan.“Danu, kamu makan dulu. Pasti kamu lapar,” titah Mamah Atik.“Iya, Mah. Dik, temani Mas makan, ya?”“Aku juga mau makan Mas. Yuk, aku temani.” Evi gegas berdiri dan menarik tangan Mas Danu.“Bukan Dik, kamu. Itu panggilan untuk istriku. Aku memanggilmu dengan namamu saja.” Mas Danu menampik tangan Evi. Dia seperti menahan malu.“Mas meja makanmu bagus banget. Seumur-umur aku baru lihat,” ucap Evi. Dia langsung duduk dan mengambil makan tanpa kami suruh terlebih dahulu.“Evi, sebentar lagi kami mau pergi sebaiknya kamu pulang dulu. Rumah ini akan kami kosongkan.”“Apa? Ya ampun, Mas! Aku jauh-
“Terserah Mbak aja mau bilang apa,” sungutku.“Eh, Ta. Aku cuma mau kasih tahu, ini Ibu lagi sakit, tadi pas ambil wudu untuk salat Zuhur terpeleset dan jatuh. Kami sudah bawa ke klinik. Ibu sekarang di rawat. Kamu ke sini, ya? Eh, jangan lupa bawa uang kami tidak ada duit untuk bayar biaya rawat Ibu.” Sebenarnya aku sangat syok dan juga sedih mendengar kabar ini, tapi karena yang memberi tahu adalah Mbak Susi aku jadi kesal padanya.“I—ya, Mbak. Insya Allah aku ke sana.”“Jangan pakai insya Allah, Ta! Kamu harus segera ke sini!”“Iya, Mbak. Insya Allah.”“Kamu itu insya Allah terus. Aku ti ....” Tuuutt! Kumatikan telepon. Percuma saja ngasih tahu Mbak Susi.Ponsel kembali berdering. Tapi, tidak kujawab. Biarkan saja. Mbak Susi itu bisanya ngajak ribut saja.“Siapa, Ta. Kok kayaknya kamu kesal gitu?”“Mbak Susi, Mah. Ngasih tahu kalau ibu masuk rumah sakit. Jatuh di kamar mandi,” jawabku sedih.“Innalillahi wa’innailaihiroji’un. Terus gimana kondisi ibumu, Ta?”“Aku enggak tanya sama
*Cinta adalah perbuatan. kata-kata dan tulisan indah hanyalah omong kosong! (Tere Liye)*Assalamualaikum semuaaaaaaa senang sekali Danu kembali hadir. Semoga kalian sehat dan bahagia selalu. Bantu follow, yuk!🌸🌸🌸 “Maaf siapa, ya?”Bukannya menjawab pertanyaanku justru perempuan ini nyelonong masuk begitu saja lalu duduk manis di sofa.“Eh, siapa kamu! Datang-datang enggak sopan!” bentak Mamah Atik.“Perkenalkan aku Evi, adik Mas Danu,” ucapnya bangga.Aku dan Mamah Atik saling berpandangan. Mamah Atik seolah menanyakan apa benar. Aku hanya menggeleng tidak tahu.“Salah alamat kali. Kan, banyak ‘tu yang namanya Danu,” ujar Mamah Atik lagi.“Enggak, dong! Nih, lihat!” Wanita yang bernama Evi ini memperlihatkan foto Mas Danu. Dari mana dia dapat foto terbaru Mas Danu. Itu foto diambil dua hari yang lalu saat kami jalan-jalan ke air terjun. Itu foto bersamaku bisa-bisanya fotonya dicrop begitu saja.“Iya, benar ini Danu anakku, dan ini Ita istri Danu,” ucap Mamah Atik. Wanita yang b
“Mainan sama Kia. Anakmu ini cantik dan pintar sekali ya, Dan. Aku jadi pingin punya anak,” jawab Mbak Asih seolah-olah dia tidak sedang sakit.“Alhamdulillah iya, Mbak.“ Mas Danu memangku Kia. Aku ikut duduk di lantai bersama mereka.“Mbak Asih kemarin ke mana sih, katanya kerja kok, enggak pulang?” tanyaku hati-hati. Mbak Asih hanya menggeleng saja.“Mbak Asih, Ita itu mau ngajak shopping beli baju baru. Eh, malahan Mbak Asih enggak pulang-pulang,” kata Mas Danu lagi.“Harusnya kamu telepon dulu, Ta. Jangan main asal tunggu. Kalau kamu kasih tahu mau ngajakin aku shopping pasti aku enggak mau janjian sama Mas Roni,” jawab Mbak Asih sambil menoyor kepalaku.“Oh, jadi Mbak Asih pergi shopping sama Mas Roni?” tanyaku.“Bukan shopping sih, tapi bulan madu. Kami tidur di hotel.” Mendengar pengakuan Mbak Asih Mas Danu sangat marah. Aku pun kaget. Kalau sudah ngomongin hotel sudah pasti ada bumbu-bumbu di dalamnya.“Mbak, harusnya jangan mau diajak Mas Roni kalau enggak shopping. Enak shop