🌸🌸🌸“Benar-benar bikin tensi darahku naik si, Tono ini. Kita pulang balik lagi ke rumahnya!” ajak bapak. Kami ngikut saja. Bapak terlihat sekali sangat marah.Benar saja sampai di rumah Wak Tono, mereka yang tadinya duduk di emperan rumah langsung lari masuk ke dalam. Lucu seperti buronan kelas kakap.“Enggak usah sembunyi kamu, Tono! Dalam hitungan ke tiga kalau kamu tidak keluar ini polisi dobrak pintu kamu!” teriak bapak sambil menggedor-gedor pintu depan. Mas Danu ada di pintu samping. Ibu mertua mengintip lewat jendela kaca.Mungkin karena takut dengan ancaman bapak akhirnya Wak Tono keluar. Dibuntuti istrinya yang bawa gagang sapu. Sepertinya beliau takut Wak Tono dihajar lagi.“Nah, keluar juga kamu!” Bapak menarik lengan Wak Tono.“Mana polisi! Mana polisi!” teriak istri Wak Tono. Padahal bapak hanya menakut-nakuti saja.“Ampun, Mas! Tolong jangan usir kami dari sini. Kami merintis dari nol membangun rumah ini,” ucap Wak Tono memelas.“Ampun? Dulu kamu enak-enak makan uang
“Mas, kamu enggak kasihan sama Tono?” tanya ibu, beliau tampak mulai protes.“Engga, Yem! Dia saja tidak kasihan pada anakku Danu dan juga padaku. Untuk apa aku kasihan,” jawab bapak tanpa menoleh pada ibu. Beliau tetap menimang-nimang Kia.“Tapi ....”“Apa kamu juga ingin seperti Tono? Meski kamu tidak ambil uang kirimanku, tapi kamu juga menyia-nyiakan Danu. Aku tidak akan ambil harta milikmu, tapi kamu harus tahu setiap perbuatan akan ada konsekuensinya.”“Ja—ngan. Aku tidak mau! Lagi pula aku tidak menyia-nyiakan Danu, aku sayang padanya,” jawab ibu takut-takut.“Sayang kok dijadikan kambing perah,” sahut Mamah Atik.“Enggak usah ikut campur kamu! Ini bukan masalah kamu!” bentak ibu. Mamah Atik langsung menoyor kepala ibu. “Bukan masalahku? Danu itu sekarang anak sambungku, jadi aku berhak.”“Halah dasar cari muka! Mana ada ibu tiri baik, kamu pasti mengincar harta Mas Wasimin dan juga anakku, Danu, kan? Kamu hanya ibu sambung tidak mengurus Danu dari kecil, aku yang mengurusnya!
~K~U🌸🌸🌸“Loh, itu siapa yang marah-marah sama Pak RT?” Tunjuk bapak. Kami sudah sampai depan rumah ibu. Di depan rumahku yang sedang dibangun ada rombongan saudaraku. Bapak dan ibuku juga sudah ada di sana.Mobil Mbak Ning, terparkir sembarangan sehingga menghalangi jalan masuk ke halaman rumah ibu mertuaku jadi mobil bapak hanya bisa parkir di bahu jalan. Mbak Ning sepertinya belum handal memarkirkan mobilnya.Dari sini terlihat jelas Wira yang tampak emosi menunjuk-nunjuk wajah Pak RT. Ada beberapa tukang yang berusaha memegangi Wira.“I—itu Wira, Adikku, Pak,” jawabku malu sekali.“Astaghfirullah ada apa kok sampai marah-marah begitu?” tanya Mamah Atik.“Tidak tahu, Mah. Ayo, kita turun!” ajak Mas Danu.Ibu yang menyadari kedatanganku tergopoh-gopoh menghampiriku lalu memelukku erat sekali. Kurasakan pundakku basah. Ah, pasti ibuku menangis.“Ada apa ini?” tanya Mas Danu.“Ooh, ini dia rupanya orang miskin belagu baru muncul. Ke mana saja kamu!” bentak Wira. Dia masih dipegangi
Kebahagiaan itu bukan sesuatu yang siap dibuat, itu berasal dari tindakan Anda sendiri— Dalai Lama.Kubaca quotes kiriman dari Mas Danu lalu kurenungi. Benar juga. Sesuatu yang terjadi pada diri kita adalah hasil dari apa yang sudah kita perbuat. Baik dan buruknya tetap saja akan ada balasannya.Satu bulan berlalu ibu memberiku kabar bahwa hari ini Wira menikah.Sebenarnya ada perasaan sedih di hatiku karena aku tidak bisa datang ke sana, tapi demi harga diri suamiku maka aku akan tetap kekeh pada pendirianku.Meski aku ada di WAG keluarga, tapi aku sama sekali tidak pernah menyimak obrolan di sana. Jika sudah banyak pesan masuk langsung kuhapus. Begitu terus selama satu bulan ini. Aku sengaja tidak mau tahu urusan mereka. Aku menjaga kewarasan diriku sendiri.[Selamat ya, adikku sayang semoga langgeng sampai kakek nenek.] Mbak Susi mengirimkan sebuah foto pernikahan di grup. Tanpa aku mendownloadnya aku sudah bisa menebak itu pernikahan Wira.[Aamiin ... terima kasih, Mbak.] jawab Wi
“Ya Allah ternyata dunia hanya selebar daun kelor ya, Mah” sahutku.“Hem, gitu, deh! Ita, kamu harus hati-hati ini sepupu Mamah lain dari pada yang lain dia orangnya egois dan juga sombong. Kalau Mamah enggak ingat orang tuanya sudah malas datang ke sini,” kata Mamah Atik lagi. Duh, kan, baru saja aku memikirkan bagaimana sifatnya malah Mamah sudah kasih tahu duluan dan ternyata tidak baik.“Astaghfirullahal’adhiim ... kok Mamah jadi ghibah gitu, si?” tegurku.“Astaghfirllah. Iya, juga ya, Ta. Duh. Dosa deh, Mamah. Ya, pokoknya gitu ya, Ta. Sudah dulu nanti kita sambung lagi, Mamah mau otewe pulang ini acara inti sudah selesai,” pamit Mamah Atik.“Iya, Mah. Fii amanillah ... mampir ya, Mah?” pintaku.“Insya Allah. Mamah juga sudah kangen sama Kia. Dah, Ita. Assalamualaikum ....”“Wa’alaikumsalam, Mah.” Sambungan telepon terputus. Aku segera mendownload foto pernikahan Wira yang dikirim oleh kakak-kakakku. Untung saja tadi belum kuhapus. Jadi, aku bisa lihat siapa istri Wira.Loh, ini
“Eghem! Ibu-ibu barang Ita bagus- bagus ya? Kalian tahu tidak, si Ita ini mentang-mentang sudah punya barang bagus-bagus terus barang dia yang jelek itu dikasihkan ke aku. Sombong dan pelit, ya?” ucap Mbak Asih sedikit berteriak.Aku tidak menyangka Mbak Asih akan bicara seperti itu, padahal kan, dia yang meminta sendiri barang-barang bekas itu. Dasar Mbak Asih julit.“Wah, iyakah, Sih? Parah si Ita. Meski sudah kaya harusnya tidak begitu. Kalau kasih saudara itu yang bagus bila perlu yang baru,” sahut Bu Jum menanggapi ucapan Mbak Asih.Kudorong badan Mbak Asih keluar pintu hingga dia hampir terjungkal. Tega sekali dia memfitnahku begitu.“Eh, kurang ajar kamu, Ita!” teriak Mbak Asih. Segera kututup pintu dapur Bu RT.Bukannya terima kasih malah memfitnahku.“Buka Ita, makanku belum selesai!” Mbak Asih menggedor-gedor pintu dapur.Aku diam saja. Bu RT hanya geleng-geleng kepala.“Ini, Sih! Makan sana. Kalau sudah beres cuci lagi piringnya.” Bu RT membukakan pintu lalu sisa nasi Mbak
🌸🌸🌸🌸“Ita! Ta!” Mbak Lili teriak-teriak di depan pintu. Aku sama sekali tidak berniat membukakan pintu. Biar tahu adab ketika bertamu. Pasti dia mau buat masalah lagi.“Buka dong, Ta! Aku mau ngomong sama kamu!” pinta Mbak Lili lagi.“Kenapa sih, Lili teriak-teriak di depan rumah orang pagi-pagi begitu!” tegur ibu mertuaku.“Ini Bu, Ita pelit banget padahal aku mau ke rumahnya. Aku mau ngomong sesuatu tapi dia nggak mau bukain pintu. Pelit!” jawab Mbak Asih seraya menendang pintuku.“Dasar orang kaya baru ya, norak begitu! Orang bertamu itu membawa keberkahan malah enggak dibukain pintu. Ancurin saja itu pintunya, Li!” kata ibu mertuaku lagi. Mereka berdua benar-benar sebelas dua belas otaknya konslet semua.“Ita, buka atau betulan aku hancurin pintumu ini!” Ancam Mbak Lili.“Silakan saja Mbak, ancurin itu pintu. Harganya 5 juta rupiah karena kayu jati asli. Jadi kalau Mbak Lili mau ganti ya, tidak apa-apa silakan dihancurin lagi pula tamu seperti Mbak Lili itu tidak akan membawa
Pak RT gesit ke luar rumah lalu kembali lagi dengan membawa mobil entah milik siapa. Kami dibawa ke rumah bapak.Sampai sana sudah ramai tetangga berdatangan, bendera kuning juga sudah terpasang.Mas Danu menangis seperti anak kecil. Dia memeluk jenazah bapaknya. Tunggu dulu Mamah Atik mana. Apa Mas Danu salah informasi.“Istri Bapak mana?” tanyaku entah pada siapa barang kali ada yang bisa menjawab.“Bu Atik, di rumah sakit. Beliau hanya luka ringan,” jawab salah satu dari pelayat di sini.Aku bersyukur Mamah Atik selamat meski aku tidak tahu apa reaksi beliau saat mengetahui suaminya meninggal dunia.Kukirim pesan suara pada semua anak-anak Mamah Atik untuk mengabarkan musibah ini.“Mas, sadar ... enggak baik begini. Ayo, bangun! Kita ambil wudu. Bacakan doa untuk bapak.” Kusentuh bahu suamiku pelan. Setelah beberapa kali baru Mas Danu merespon ucapanku.Kami mengambil wudu, lalu membacakan doa-doa untuk bapak. Mas Danu celingukan sepertinya dia mulai menyadari bahwa Mamah Atik tid