~K~U🌸🌸🌸“Loh, itu siapa yang marah-marah sama Pak RT?” Tunjuk bapak. Kami sudah sampai depan rumah ibu. Di depan rumahku yang sedang dibangun ada rombongan saudaraku. Bapak dan ibuku juga sudah ada di sana.Mobil Mbak Ning, terparkir sembarangan sehingga menghalangi jalan masuk ke halaman rumah ibu mertuaku jadi mobil bapak hanya bisa parkir di bahu jalan. Mbak Ning sepertinya belum handal memarkirkan mobilnya.Dari sini terlihat jelas Wira yang tampak emosi menunjuk-nunjuk wajah Pak RT. Ada beberapa tukang yang berusaha memegangi Wira.“I—itu Wira, Adikku, Pak,” jawabku malu sekali.“Astaghfirullah ada apa kok sampai marah-marah begitu?” tanya Mamah Atik.“Tidak tahu, Mah. Ayo, kita turun!” ajak Mas Danu.Ibu yang menyadari kedatanganku tergopoh-gopoh menghampiriku lalu memelukku erat sekali. Kurasakan pundakku basah. Ah, pasti ibuku menangis.“Ada apa ini?” tanya Mas Danu.“Ooh, ini dia rupanya orang miskin belagu baru muncul. Ke mana saja kamu!” bentak Wira. Dia masih dipegangi
Kebahagiaan itu bukan sesuatu yang siap dibuat, itu berasal dari tindakan Anda sendiri— Dalai Lama.Kubaca quotes kiriman dari Mas Danu lalu kurenungi. Benar juga. Sesuatu yang terjadi pada diri kita adalah hasil dari apa yang sudah kita perbuat. Baik dan buruknya tetap saja akan ada balasannya.Satu bulan berlalu ibu memberiku kabar bahwa hari ini Wira menikah.Sebenarnya ada perasaan sedih di hatiku karena aku tidak bisa datang ke sana, tapi demi harga diri suamiku maka aku akan tetap kekeh pada pendirianku.Meski aku ada di WAG keluarga, tapi aku sama sekali tidak pernah menyimak obrolan di sana. Jika sudah banyak pesan masuk langsung kuhapus. Begitu terus selama satu bulan ini. Aku sengaja tidak mau tahu urusan mereka. Aku menjaga kewarasan diriku sendiri.[Selamat ya, adikku sayang semoga langgeng sampai kakek nenek.] Mbak Susi mengirimkan sebuah foto pernikahan di grup. Tanpa aku mendownloadnya aku sudah bisa menebak itu pernikahan Wira.[Aamiin ... terima kasih, Mbak.] jawab Wi
“Ya Allah ternyata dunia hanya selebar daun kelor ya, Mah” sahutku.“Hem, gitu, deh! Ita, kamu harus hati-hati ini sepupu Mamah lain dari pada yang lain dia orangnya egois dan juga sombong. Kalau Mamah enggak ingat orang tuanya sudah malas datang ke sini,” kata Mamah Atik lagi. Duh, kan, baru saja aku memikirkan bagaimana sifatnya malah Mamah sudah kasih tahu duluan dan ternyata tidak baik.“Astaghfirullahal’adhiim ... kok Mamah jadi ghibah gitu, si?” tegurku.“Astaghfirllah. Iya, juga ya, Ta. Duh. Dosa deh, Mamah. Ya, pokoknya gitu ya, Ta. Sudah dulu nanti kita sambung lagi, Mamah mau otewe pulang ini acara inti sudah selesai,” pamit Mamah Atik.“Iya, Mah. Fii amanillah ... mampir ya, Mah?” pintaku.“Insya Allah. Mamah juga sudah kangen sama Kia. Dah, Ita. Assalamualaikum ....”“Wa’alaikumsalam, Mah.” Sambungan telepon terputus. Aku segera mendownload foto pernikahan Wira yang dikirim oleh kakak-kakakku. Untung saja tadi belum kuhapus. Jadi, aku bisa lihat siapa istri Wira.Loh, ini
“Eghem! Ibu-ibu barang Ita bagus- bagus ya? Kalian tahu tidak, si Ita ini mentang-mentang sudah punya barang bagus-bagus terus barang dia yang jelek itu dikasihkan ke aku. Sombong dan pelit, ya?” ucap Mbak Asih sedikit berteriak.Aku tidak menyangka Mbak Asih akan bicara seperti itu, padahal kan, dia yang meminta sendiri barang-barang bekas itu. Dasar Mbak Asih julit.“Wah, iyakah, Sih? Parah si Ita. Meski sudah kaya harusnya tidak begitu. Kalau kasih saudara itu yang bagus bila perlu yang baru,” sahut Bu Jum menanggapi ucapan Mbak Asih.Kudorong badan Mbak Asih keluar pintu hingga dia hampir terjungkal. Tega sekali dia memfitnahku begitu.“Eh, kurang ajar kamu, Ita!” teriak Mbak Asih. Segera kututup pintu dapur Bu RT.Bukannya terima kasih malah memfitnahku.“Buka Ita, makanku belum selesai!” Mbak Asih menggedor-gedor pintu dapur.Aku diam saja. Bu RT hanya geleng-geleng kepala.“Ini, Sih! Makan sana. Kalau sudah beres cuci lagi piringnya.” Bu RT membukakan pintu lalu sisa nasi Mbak
🌸🌸🌸🌸“Ita! Ta!” Mbak Lili teriak-teriak di depan pintu. Aku sama sekali tidak berniat membukakan pintu. Biar tahu adab ketika bertamu. Pasti dia mau buat masalah lagi.“Buka dong, Ta! Aku mau ngomong sama kamu!” pinta Mbak Lili lagi.“Kenapa sih, Lili teriak-teriak di depan rumah orang pagi-pagi begitu!” tegur ibu mertuaku.“Ini Bu, Ita pelit banget padahal aku mau ke rumahnya. Aku mau ngomong sesuatu tapi dia nggak mau bukain pintu. Pelit!” jawab Mbak Asih seraya menendang pintuku.“Dasar orang kaya baru ya, norak begitu! Orang bertamu itu membawa keberkahan malah enggak dibukain pintu. Ancurin saja itu pintunya, Li!” kata ibu mertuaku lagi. Mereka berdua benar-benar sebelas dua belas otaknya konslet semua.“Ita, buka atau betulan aku hancurin pintumu ini!” Ancam Mbak Lili.“Silakan saja Mbak, ancurin itu pintu. Harganya 5 juta rupiah karena kayu jati asli. Jadi kalau Mbak Lili mau ganti ya, tidak apa-apa silakan dihancurin lagi pula tamu seperti Mbak Lili itu tidak akan membawa
Pak RT gesit ke luar rumah lalu kembali lagi dengan membawa mobil entah milik siapa. Kami dibawa ke rumah bapak.Sampai sana sudah ramai tetangga berdatangan, bendera kuning juga sudah terpasang.Mas Danu menangis seperti anak kecil. Dia memeluk jenazah bapaknya. Tunggu dulu Mamah Atik mana. Apa Mas Danu salah informasi.“Istri Bapak mana?” tanyaku entah pada siapa barang kali ada yang bisa menjawab.“Bu Atik, di rumah sakit. Beliau hanya luka ringan,” jawab salah satu dari pelayat di sini.Aku bersyukur Mamah Atik selamat meski aku tidak tahu apa reaksi beliau saat mengetahui suaminya meninggal dunia.Kukirim pesan suara pada semua anak-anak Mamah Atik untuk mengabarkan musibah ini.“Mas, sadar ... enggak baik begini. Ayo, bangun! Kita ambil wudu. Bacakan doa untuk bapak.” Kusentuh bahu suamiku pelan. Setelah beberapa kali baru Mas Danu merespon ucapanku.Kami mengambil wudu, lalu membacakan doa-doa untuk bapak. Mas Danu celingukan sepertinya dia mulai menyadari bahwa Mamah Atik tid
Mamah Atik akhirnya menceritakan kalau mereka korban tabrak lari mobil truk. Mamah Atik dan bpak hendak nyebrang menuju mobil yang mereka parkir sewaktu pulang dari acara nikahan Wira kemarin.. Mamah Atik di dorong bapak sampai jatuh ke parit sedang bapak tertabrak mobil dan terlempar jauh.Dalam perjalanan ke rumah sakit bapak masih sadar dan terus saja mengucapkan kalimat tahlil. Mamah Atik di mobil ambulance tidak pingsan jadi tahu.Mas Danu sudah ikhlas dia tidak mau mencari tahu siapa yang sudah tega main kabur saja, sudah jadi suratan takdir bapak. Mas Danu berkeyakinan bahwa bapak meninggal dengan cara yang baik.“Bapak juga orang baik, Mah. Aku pun tidak menyangka akan bertemu dan bersama Bapak dalam waktu satu tahun terakhir ini.”Ada suara mobil berdatangan ternyata taxi online. Terlihat dari jendela kamar Mamah Atik rombongan yang datang ke sini.“Mereka anak-anak Mamah.” Aku mengangguk mengerti. Aku dan Mas Danu keluar menyambut mereka. Benar mereka saudara tiri Mas Danu a
Tepat jam 10.30 siang jenazah bapak di makamkan.Tempat pemakaman umumnya lumayan jauh dari rumah bapak tadinya tetangga memberi usul untuk dinaikkan mobil saja,tapi Mas Danu tidak setuju dan dia pun sama sekali tidak mau digantikan menggotong keranda bapak. Mas Danu menggotong di sisi kanan paling depan.Mamah Atik pun ikut mengantarkan jenazah bapak, padahal dia pun sedang sakit. Mamah bilang jangan larang karena ini bentuk penghormatannya untuk yang terakhir kali. MasyaAllah begitu besar cinta Mamah Atik pada bapak.Anak-anak panti asuhan tempat bapak jadi donatur tetap pun ikut mengantarkan jenazah bapak. Anak-anak pesantren dekat rumah bapak pun berangkat semua. MasyaAllah seperti yang meninggal orang penting sangat banyak yang mengantarkan ke tempat persinggahan terakhir bapak. Memanjang seperti arak-arakan pawai.Aku sangat terharu melihat pemandangan ini. Semoga bapak mertua mendapatkan kelapangan kubur, diampuni dosanya dan diterima semua amal baiknya.Benar kata orang kalau