Tepat jam 10.30 siang jenazah bapak di makamkan.Tempat pemakaman umumnya lumayan jauh dari rumah bapak tadinya tetangga memberi usul untuk dinaikkan mobil saja,tapi Mas Danu tidak setuju dan dia pun sama sekali tidak mau digantikan menggotong keranda bapak. Mas Danu menggotong di sisi kanan paling depan.Mamah Atik pun ikut mengantarkan jenazah bapak, padahal dia pun sedang sakit. Mamah bilang jangan larang karena ini bentuk penghormatannya untuk yang terakhir kali. MasyaAllah begitu besar cinta Mamah Atik pada bapak.Anak-anak panti asuhan tempat bapak jadi donatur tetap pun ikut mengantarkan jenazah bapak. Anak-anak pesantren dekat rumah bapak pun berangkat semua. MasyaAllah seperti yang meninggal orang penting sangat banyak yang mengantarkan ke tempat persinggahan terakhir bapak. Memanjang seperti arak-arakan pawai.Aku sangat terharu melihat pemandangan ini. Semoga bapak mertua mendapatkan kelapangan kubur, diampuni dosanya dan diterima semua amal baiknya.Benar kata orang kalau
~K~U🌸🌸🌸🌸“Danu, besok kamu belajar nyopir ya, ini mobil Bapak sayang kalau enggak dipake,” ucap suami Mbak Sari.“Iya, Mas. Insya Allah,” jawab Mas Danu.Rumah sudah dikunci. Mamah Atik bilang kalau ada orang miskin yang tidak punya rumah boleh menempati rumah ini secara gratis dengan syarat harus dirawat. Kami pun setuju dari pada kosong nantinya malah rusak.“Gimana, Dan. Kalian suka dengan furnitur pilihan Mamah?” tanya Mbak Dwi anak ke dua Mamah.“Alhamdulillah suka, kami apa pun pilihan orang tua selalu suka,” jawab Mas Danu.“Suka dong, pilihan Mamah kan, the best,” sahutku dari ruang makan.“Iya, Ta. Perlu kamu tahu, di rumah kami kalau mau belanja ini itu tanya Mamah dulu,” sahut Mbak Sari.“Mamah Atik keren, ya bisa tahu barang-barang mewah,” pujiku.“Iya, Mamah kan, di sana temannya para pejabat. UPS!” Mbak Dwi langsung menutup mulutnya sendiri. Mamah Atik langsung menghadiahi jeweran di kupingnya.“Sorry, Mom, keceplosan,”ucap Mbak Dwi lagi.Aku jadi merasa aneh dengan
“Sudah enggak usah ribut nanti juga bakal kena karmanya itu si, Ita. Sudah ada contohnya, itu si Mas Wasimin sombong dan semena-mena pada Wak Tono buktinya matinya kecelekaan. Terus itu si Atik ngatain Ibu janda genit, dia jadi janda juga tuh, makanya kalau ngomong harus hati-hati dan jangan sombong,” sahut ibu. Mereka tertawa cekikikan.Bugh!Bugh!“Aaauuuu!”Mbak Lili dan ibu teriak bersamaan. Mamah Atik ternyata mendengarkan ucapan mereka. Sapu yang sedang dipegangi dipukulkan ke pundak ibu dan Mbak Lili.Aku yang mendengar bunyi pukulannya pun ngilu apalagi yang kena pukul.“Ngomong sembarangan lagi, aku usir kalian dari sini!” pekik ibu.“Mana bisa ini rumah Danu adikku, dan Danu dari kecil yang ngasuh ibuku jadi kalau ada yang mau diusir itu kamu bukan kami!” teriak Mbak Lili. Astaghfirullah dasar tidak punya sopan santun.“Ini memang rumah Mas Danu, tapi apa kalian lupa siapa yang memodali semuanya? Kalian tidak ada hak secuil pun di sini, jadi tidak usah sok berkuasa. Mamah At
"Asih! pulang!" Mas Roni teriak di depan pintu ruang tamu. Mbak Asih yang mendengar teriakkan suaminya santai saja tetap menikmati mie ayamnya.Mas Roni sungguh tidak sopan dia kan, bisa salam dulu lalu memanggil istrinya. Ini yang ada seperti yang di hutan teriak-teriak tidak jelas. Pantaslah saja Mbak Asih tidak menyahut sama sekali.“Asih kamu budek ya, pipanggil suami malah makan aja di situ. Ayo, pulang!” teriak Mas Roni lagi. Kami semua sampai kaget mendengarnya.“Heh! Kamu bisa kan, salam terus ngomong baik-baik sama istrimu. Enggak sopan teriak-teriak seperti itu. Dasar punya otak enggak dipakai untuk mikir. Pergi sana!” usir Mamah Atik.Mas Roni hanya melengos saja tidak peduli dengan teguran Mamah Atik. Dia tetap saja masih teriak-teriak sedang Mbak Asij sendiri pun tidak merasa risih dipanggil suaminya begitu dia tetap dengan enjoy menikmati makanannya.Aku sampai geleng-geleng tidak tahu lagi harus menggambarkan sifat buruk Mas Roni seperti apa lagi. Jika aku yang ada di
"Wah, kasihan sekali Asih. Padahal cantik loh," celetuk Bu Jum. Aduh kalau sudah ada Wak Jum begini pasti seantero jagat raya akan tahu tentang nasib rumah tangga Mbak Asih karena Wak Jum adalah ratu gosip di desa ini"Makanya itu aku kesal sekali pada Roni. Tidak bersyukur punya istri secantik Asih. Kalian besok harus bantu aku ya, labrak itu perempuan penjualan mendoan. Kalian kan, gengku jadi harus dukung," pinta ibu.Ya Allah Ibu ternyata sama sekali tidak keberatan aib rumah tangga anaknya diketahui banyak orang. Bahkan dia meminta bantuan Wak Jum dan gengnya untuk melabrak perempuan selingkuhan Mas Roni. Payah kalau begini."Hayok! Aku juga kesel sama pelakor!" sahut Wak Romlah.“Nanti aku bagian yang menjambak rambutnya,” sahut Wak Jum.“Aku bagian cabein nonoknya,” kata Wak Romlah. Lalu mereka tertawa terbahak-bahak.“Kalau begitu kuta siapkan bon cabenya dari sekarang. Belum tahu itu pelakor berhadapan dengan siapa? Kalau masalah per pelakoran yang namanya emak-emak seluruh
"Apa kamu jadi babu di sini?" tanyanya lagi penuh selidik. Dia melihatku dari atas sampai bawah. Dan kebetulan hari ini aku hanya memakai daster saja karena sibuk di dapur. Dia duduk bak ratu."Loh, Dina, kamu ke sini sama siapa?" tanya Mamah Atik. Oh, rupanya dia namanya Dina.Istri Wira buru-buru berdiri dan salim dengan Mamah Atik."Bulek ... enggak nyangka loh, kita ketemu di sini. Oh, jadi ini rumah Bulek Atik. Bagus sekali ya, kayak rumah orang kota," kata Dina."Kalau ditanya itu jawab yang benar. Bukan malah balik tanya!" sahut Mamah Atik."Oh, aku ke sini sama suamiku. Dia lagi ke belakang numpang kamar mandi, Bulek," jawab Dina. Kemudian dia duduk lagi dengan pongah sambil melirik padaku."Bulek, apa rumah Bulek yang seperti istana ini sumurnya kekeringan? Dari tadi enggak ada air minum sama sekali. Itu fungsinya pembantu apa kalau diam berdiri di situ seperti manekin saja," sindir Dina padaku dan juga pada Mamah Atik."Ck, kamu masih saja enggak berubah, Din. Sombong dan as
"Lah, ya, enggak ada maksud apa-apa, Dik. Ini memang rumah Kakakku. Mbak Ita. Jadi yang berhak mengusir kita atau tidaknya bukan Nenek tua ini, tapi Kakakku," jawab Wira. Dia tersenyum sinis pada Mamah Atik."Ja—di benar ini rumah Mbak Ita?" tanya Dina seolah meyakinkan pendengarannya."Iya, Sayang. Jadi ini rumah Mbak Ita. Kamu enggak perlu takut begitu. Kan, Nenek tua itu tida berhak ngusir kita," jawab Wira santai. Kini dia duduk dengan mengangkat satu kakinya ke atas meja."Apa Saya tidak salah dengar? Anda adik saya? Bukankah dulu Anda tidak mau mengakui saya ini saudara bahkan kata-kata kasar terucap dari bibir Anda," sahutku. Wira pasti tidak menyangka aku akan berkata seperti itu. Kini gantian Mamah Atik yang tersenyum sinis."Giliran kaya ngaku saudara, dulu gubuknya pun mau dibakar. Dasar tidak tahu malu!," sindir Mamah Atik."Tega sekali kamu bicara seperti itu Mbak, aku ini adikmu. Kita satu ibu dan satu bapak ....""Cukup! Tanpa Anda penjelasan apa pun, saya sudah paham.
“Ada apa, Dik?” Mas Danu sepertinya heran kenapa kami semua ke luar rumah. Dia baru saja pulang dari toko bersama bapak. Sekarang Mas Danu sudah bawa mobil. Meski belum lancar, tapi setiap hari selalu bawa sekalian untuk latihan.“Itu Dan, si Asih berantem sama suaminya. Roni bawa selingkuhannya ke rumah babak belur mereka berdua digebukin sama Asih,” jawab Mamah Atik.“Astaghfirullah ... kenapa mereka kelakuannya seperti binatang semua,” gumam Mas Danu, dia mengelus dada.“Loh, kamu ....” Pasti Mas Danu heran ada Wira di sini.“Mas, apa kabar? Kenalin ini istriku.” Mas Danu sedikit kaget karena Wira salim pada Mas Danu bahkan tangan Mas Danu diciumnya. Ini kali pertama aku lihat Wira begitu pada suamiku sejak kami resmi jadi suami istri. Dina pun ikut-ikutan seperti yang dilakukan suaminya.“Halah giliran udah kaya aja di cium-cium tangannya. Ditanyain kabarnya. Dulu ke mana aja? Memang ya, harta itu bisa merubah segalanya yang tadinya ketemu orang jahat tiba-tiba orang jahat itu bis