Kali ini orang-orang yang melihat aksi ibu malah tertawa terbahak-bahak mereka mungkin berpikir ibu dan Wak Tono sedang pemanasan main pukul-pukulan.“Ini hadiah yang setimpal untuk kamu, Mas! Sudah untung aku tidak menghujanimu dengan golok. Rasakan kamu!” pekik ibu.Prang!Prang!Pukulan demi pukulan mendarat lagi dengan sempurna di tubuh Wak Tono. Mas Roni yang pulang dari belanja langsung berlari menghampiri mereka berdua dan memegangi ibu agar tidak main pukul lagi.“Ibu, stop! Malu dilihat tetangga!” Ibu tidak peduli dengan larangan Mas Roni beliau masih saja mengumpat Wak Tono yang sudah tidak berdaya. Jidat Wak Tono sampai biru kehitaman karena teplon ibu bukan yang bagus bawahnya hitam habis dipakai untuk masak. Pipi Wak Tono memerah karena tamparan maut ibu.“Ibu, ih, stop!” Mbak Asih ikut memegangi ibu dan merampas teplon dari tangan ibu lalu membuangnya sembarangan. Naas teplon itu mendarat cantik ke tubuh Wak Tono. Teriakan kesakitan dari Wak Tono seolah lagu comedy yang
“Eh, sekata-kata kamu sama orang tua!” teriak Wak Tono memarahiku.“Mas, sudahlah enggak usah mengelak, Ita itu bukan asal nuduh, kami dikasih tahu oleh bapaknya Danu sendiri, Wasimin. Dia sudah pulang,” sahut ibu.Wak Tono kaget dan seketika bisa duduk. Tingkahnya seperti maling yang ketahuan Wak Tono kalau tidak sakit begini pasti dia sudah lari kabur.“Jangan mengarang cerita kamu, Yem,” ucap Wa Tono.“Buat apa aku mengarang cerita memang kenyataannya begitu,” jawab ibu ketus.“Ya Allah, jadi Lek Wasimin sudah pulang, Bu? Di mana dia sekarang?” tanya Mbak Asih antusias.“Ya, di rumahnya sana dekat kantor kecamatan dia sama istri mudanya di sana,” jawab ibu.“Ayok, Bu, kita ke sana! Aku ingin sekali bertemu Lek Wasimin,” sahut Mbak Lili.“Ibu enggak tahu persis rumahnya di mana dia hanya bilang begitu, tunggu sajalah nanti juga ke sini,” jawab ibu.“Kenapa Ibu enggak cerita dari kemarin?” tanya Mbak Asih.“Gimana Ibu mau cerita kalian sibuk semua,” jawab ibu kesal.“A—aku permisi ma
“Astaghfirullah .... “ Mas Eko beristighfar lalu mengajak Mbak Lili masuk rumah. Mbak Lili kalau ada Mas Eko pasti dia akan nurut mungkin dia takut Mas Eko berbuat seperti kemarin lagi.Wak Tono merintih kesakitan saat Mas Roni menggantikan Mas Eko mengolesi luka-luka lebamnya dengan Betadine.“Bu, milik siapa semua bahan bangunan ini?” tanya Mbak Asih.“Ini punya Danu. Dia bilang mau rehap rumah,” jawab ibu santai beliau main ponsel lalu selfie-selfie. Ibu ini sungguh ajaib baru saja marah-marah sekarang sudah happy lagi.“Apa!” Mas Roni dan Mbak Asih tampak terkejut.“Dapat duit dari mana kamu, Ta. Bisa beli bahan bangunan sebanyak ini?” tanya Mbak Asih tidak suka.“Halah palingan juga pinjam duit Bank, kalau enggak mana mungkin bisa. Hasil tokonya seberapa sih!” Cibir Mas Roni.“Iya, benar itu, Ron. Kita tahulah seberapa kekuatan Danu apalagi dia pincang begitu,” sahut Wak Tono.“Ternyata Danu dan Ita bisa juga pakai jalan pintas, wuuussss langsung kaya!” ejek Mas Roni lagi.“Dari
Assalamualaikum selamat pagi menjelang siang readerku tersayang 😘😘🌸🌸🌸“Assalamualaikum, Dik. Apa kamu yang kasih tahu Bapak kalau Wak Tono ada di sini?” Mas Danu baru saja masuk rumah salamnya pun belum kujawab sudah memberondongiku dengan pertanyaan lain.“Wa’alaikumsalam ... duduk dulu Mas. Aku ambilkan minum dulu.” Gegas aku ke dapur dan membuatkan teh hangat untuknya.“Alhamdulillah ... terima kasih istriku. Dik, apa kamu yang telepon Bapak?”“Iya, Mas. Itu juga sudah mendapat persetujuan dari ibumu.”“Mas ... kok, jadi kasihan ya, sama Wak Tono,” ucap Mas Danu. Dia memang begini selalu baik pada semua orang meski sudah dijahati.“Mas, kasihan boleh. Tapi ... Wak Tono juga harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.”“Mas takut Bapak akan main hakim sendiri, Dik.”“Kalau main pukul mungkin itu wajar Mas, karena puluhan tahun beliau sudah dibohongi oleh Wak Tono. Tapi, aku yakin Bapak tidak akan berbuat lebih dari itu. Kamu saja baik begini apalagi Bapak, aku percaya sekali p
“Ih, lebai banget sih kamu, Dan. Ini loh, aku bawa baju bagus buat kamu. Tadi Mbak habis shopping ke mol di kota terus Mbak ingat kamu jadi beliin ini deh untuk kamu. Buruan pakai untuk salat di masjid pasti keren banget!” Mbak Lili mengeluarkan baju kemeja warna abu-abu lalu memaksa Mas Danu untuk memakainya.,“Terima kasih Mbak, ini aku simpan saja sekarang aku pakai ini saja. Istriku sudah bersusah payah menyiapkannya,” tolak Mas Danu.“Ck, pakai ini saja yang bagus. Itu jelek bulukan!” Mbak Lili mencoba melepaskan kancing baju Mas Danu, tapi tangannya dipukul oleh Mas Danu.“Jangan lancang ya, Mbak! Aku bukan mahrammu!”Mbak Lili terlihat marah kemudian di pergi begitu saja. Aku jadi was-was dengan tingkah Mbak Lili. Dulu perasaan pas awal-awal menikah dia juga begitu, tapi setelah Mas Danu kecelakaan dia berhenti. Ini kok, sekarang mulai lagi.“Jangan-jangan Mbak Lili suka sama kamu, Mas.”“Hei, cantik kalau ngomong jangan suka asal. Gini-gini juga aku masih normal. Mana mau aku
“Ta, itu Kia kayaknya ngantuk, kamu susui dulu sana. Biar Mamah yang siapin teh hangat untuk Danu dan yang lain. Nanti ada orang berapa yang ke sini?”“Enggak paham aku, Mah. Biar saja aku Mah, nanti Mamah capek loh.”“Kayak apa aja capek, cuma buat teh kok.” Baru mau menyahut lagi Mamah Atik sudah ke dapur.Benar saja, baru beberapa menit Kia sudah tidur lelap.“Mana Wak Wasimin, Ta!” Itu suara Mbak Lili.“Eh, siapa kamu main masuk rumah orang tanpa permisi, dasar enggak punya sopan santun!” tegur Mamah Atik.“Halah, ini juga bukan rumah. Ini gubuk!” elak Mbak Lili.“Oh, dasar perempuan gendeng! Pergi sana kamu!” Usir Mamah Atik. Sebelum terjadi keributan yang lebih besar aku segera ke luar kamar.“Situ yang siapa main usir sembarangan!” Bantah Mbak Lili.“Cukup Mbak! Jangan buat keributan di rumah orang malam-malam begini! Benar kata Mamah Atik kalau masuk rumah orang itu permisi. Kalau enggak berarti yang masuk setan,” ucapku kesal sekali.“Hih, kamu ya, sekarang belagu sekali!” pr
“Maafin Bapak ya, Bu. Insya Allah Wak Tono tidak apa-apa,” ucap Mas Danu. Bapak tersenyum mendengar ucapan Mas Danu.“Oh, iya, siapa ini yang pakai baju kuning?” tanya bapak pada Mbak Lili.“Ini Lili, Mas. Dari pagi tadi dia ingin sekali bertemu denganmu,” jawab ibu sumringah.“Ya Allah, Lili. Wak sampai enggak paham. Mana suamimu? Mana anak perempuanmu satunya, Yem?” Ditanya suami Mbak Lili langsung cemberut.“Suaminya lagi pulang ke rumah istri mudanya, Mas. Katanya tadi cuma sebentar, tapi sampai malam begini belum pulang. Kalau Asih masih dagang Mas, di perempatan gang situ nanti beli ya dagangan Asih. Enaka loh masakannya.” Bapak kaget mendengar jawaban ibu.“Iya, insya Allah nanti aku mampir. Loh, ini Lili masa sih, wanita secantik ini diduakan?” tanya bapak lagi.“Ya, namanya juga orang enggak bersyukur Mas. Kamu tahu Mas, madunya Lili jelek banget,” jawab ibu semangat.“Innalillahi waInnailaihiroji’uun ... Yem, tidak patut kamu bilang begitu. Orang cantik jelek akhlaknya banya
“Assalamualaikum, Bu. Apa kabar?” Kujawab telepon dari ibuku. Tumben sekali ibuku pagi-pagi telepon.“Wa’alaikumsalam ....” Suara ibu serak parau seperti orang yang menahan tangis.“Ibu menangis?” tanyaku khawatir.“Enggak Nak, Ibu hanya batuk saja,” jawab ibu sedikit gugup. Aku jadi kepikiran. Padahal aku mau cerita tentang mertuamu yang sudah kembali.“Ibu masak apa hari ini? Sudah sarapan belum?” tanyaku basa-basi semoga nanti ibu mau cerita beliau kenapa.“Alhamdulillah sudah, Nak. Ibu masak opor ayam sama sambal merah kesukaan Bapak. Kamu masak apa, Nak? Toko gimana lancar?” Suara ibu sudah mulai ceria.“Aku masak oseng toge campur kemangi sama goreng ayam, Bu. Alhamdulillah lancar. Kami ada rencana untuk buka cabang di pasar induk kabupaten, Bu. Tapi, entah kapan masih dipikir-pikir dulu.”“Alhamdulillah, Ibu bahagia sekali dengarnya, Nak. Ibu, mau minta maaf sama kamu ....” Terdengar isak tangis ibu. Aku diam saja membiarkan ibu menangis terlebih dulu biar plong hatinya.Samar
~k~u 🌸🌸🌸“Mas, siapa perempuan ini?” Akhirnya kutanyakan langsung foto yang tadi siang dikirim oleh paman.Mas Danu mengerutkan keningnya matanya menatapku penuh selidik.“Ini nomor Paman Mas, lihat tuh, WA-nya dari atas,” jelasku. Mas Danu memang tidak paham jika pakai smartphone.“Ini dikirim tadi pagi kenapa enggak bilang langsung, Dik?”“Gimana mau bilang kan, Mas sibuk di toko.”“Siapa wanita berbaju orange itu, Mas?” cecarku.“Itu ... em, tapi kamu jangan marah, ya?” Mendengar jawaban Mas Danu justru aku semakin takut. Takut kalau apa yang aku pikirkan benar.“Jawablah, Mas jangan berkelit gitu.”“Namanya Maya, dia teman sekolah Mas waktu SD. Waktu itu tanpa sengaja bertemu di toko. Setelah pertemuan pertama dia sering datang dan banyak bercerita tentang rumah tangganya ....” Mas Danu menjeda ceritanya.Aku sudah berkeringat panas padahal suhu udara malam ini dingin karena tadi sore hujan sangat deras dan sekarang pun masih gerimis kecil.“Karena Mas kasihan makanya Mas seri
“Enggak bersih berarti tidak ada acara masuk rumah.” Mamah Atik ikut menimpali.“Apa ini sudah cukup, Bu?” tanya Evi memperlihatkan irik yang berisi pucuk daun singkong.“Belum! Petik yang banyak, di rumah banyak orang jadi banyak juga yang makan kalau cuma segini habis sama kamu aja!” Mamah Atik pun tidak kalah sengit memarahi Evi.“Aku adukan kalian sama Mas Danu biar kapok!” Ancam Evi.“Adukan saja sana! Danu tidak akan pernah ambil pusing,” jawab Mamah Atik.“Paman, jangan main HP terus nanti HP-nya masuk parit kami lagi yang disalahin dan suruh ganti,” kataku agak kuat karena jarak kami lumayan jauh.“Eh, iya, Ya. Ini aku hanya kirim pesan pada Danu saja,” jawab paman.Benar saja setelah kucek ponsel Mas Danu yang ada di saku celanaku ternyata ada pesan masuk lagi dari paman.[Keputusanmu akan menentukan nasib rumah tanggamu, Dan. Cepat katakan iya atau tidak!]Lagi hanya kubaca saja. Aku tidak berminat sama sekali untuk membalas.“Sudah ada gledek, tuh! Buruan nanti keburu turun
🌸🌸🌸Hidup sejatinya adalah perjalanan. Sekarang tergantung kita mau pilih jalan yang mana. Di depan sana ada banyak sekali rintangannya. Berkelok-kelok, lurus mulus, licin berlumpur atau naik turun.Aku menghela nafas berat saat membaca pesan dari paman Mas Danu. Pesan itu langsung kuteruskan ke ponselku.Paman Mas Danu sebenarnya belum selesai berbicara dengan Mas Danu hanya saja tadi tiba-tiba Joko menelepon ada pelanggan tetap mau belanja bulanan dan jumlahnya sangat banyak. Makanya Mas Danu buru-buru pergi ke toko.Paman dan juga Evi kami persilakan untuk menunggu di rumah. Bagaimana pun juga mereka adalah tamu.‘... Barang siapa beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya .... HR. Bukhari dan Muslim.Aku memang bukan seorang yang mulus tanpa dosa, tapi aku akan selalu berusaha berbuat baik pada siapa pun meski dianggap bodoh.Bapakku selalu berpesan untuk selalu berbuat baik meski kita dimanfaatkan, meski kita tidak dianggap. Karena kebaikan itu aka
~k~u🌸🌸🌸“Loh, siapa kamu!” tegur Mamah Atik saat melihat pria seumuran bapak main nyelonong duduk di teras rumah tanpa permisi.Kami sedang berjemur sekalian menyuapi Kia. Beberapa hari ini hujan terus udara di sini pun sangat dingin.Orang itu bukannya menyahut malah menyalakan rokok.“Paman, ini sarapannya. Nasi uduk aja, ya? Duitku nipis,” ucap Evi. Kami kaget ternyata itu pamannya Mas Danu.“Kamu itu kenapa juga beli beginian. Rumah Mamasmu ini besar gendongan tentunya di dalam banyak makanan. Makan nasi uduk begini Paman mules perutnya.”“Kalian ngapain lihat-lihat! Sekarang mana Mas Danu. Aku mau ketemu Mas Danu,” bentak Evi pada kami.Baru saja aku hendak menyangkal ucapan Evi, Mas Danu sudah ke luar rumah.“Masss ....” Evi lari menghampiri Mas Danu.“Danu. Akhirnya kita bisa bertemu lagi. Paman dari kemarin sudah ada di sini, tapi anak buahmu bilang kamu ada urusan keluarga dan enggak pulang.” Orang yang mengaku Paman Mas Danu pun tergopoh-gopoh menghampiri Mas Danu.Mas Da
Assalamualaikum everyone ....Alhamdulillah bisa up bab baru. Yuk, bantu follow akunku 😍🌸🌸🌸“Sini, Ta, biar Mamah yang telepon, Joko!” Kuberikan ponselku pada Mamah.Tidak menunggu lama telepon tersambung.“Halo, Mas Joko! Ini Mamah Atik. Tolong itu barang-barang yang mau diangkut sama Susi ambil lagi!”“Loh, a—nu, Bu. Itu katanya sudah dapat izin dari Ita,” jawab Mas Joko terbata pasti Mas Joko kaget Mamah Atik to the poin begitu.“Enggak! Baik Ita ataupun Danu enggak ada yang izinin. Di mana Susi? Apa sudah pulang?”“Be—lum, Bu. Ma—sih nimbang telur.”“Dasar orang tidak tahu malu. Pokoknya aku enggak mau tahu, ya, ambil lagi apa yang mau diangkut Susi kalau enggak gaji kamu bulan ini tidak aku berikan!” Ancam Mamah Atik.“Aduh! Ba—ik, Bu.”Tuuuutt ....Mamah mematikan telepon.“Ini, Ta. 10 menit lagi kita telepon Joko. Kamu itu menyek-menyek jadi orang makanya saudara-saudara kamu itu selalu saja meremehkanmu.”“Aku hanya tidak ingin hubungan yang sudah tidak baik makin tidak b
Hatiku panas mendengar perempuan lain mengagumi suamiku.“Mana anakmu kenapa tidak kamu ajak?” tanya Mas Danu.“Mas aku capek loh, nungguin kamu panas dan haus juga kamu malah tega tanya ini dan itu di sini,” rengeknya.Kami masuk dan Evi membuntuti kami.“Mas, rumahmu bagus banget ya, pantas paman selalu membanggakan kamu.” Mas Danu diam saja. Dia fokus minum dan menikmati donat yang kusuguhkan.“Danu, kamu makan dulu. Pasti kamu lapar,” titah Mamah Atik.“Iya, Mah. Dik, temani Mas makan, ya?”“Aku juga mau makan Mas. Yuk, aku temani.” Evi gegas berdiri dan menarik tangan Mas Danu.“Bukan Dik, kamu. Itu panggilan untuk istriku. Aku memanggilmu dengan namamu saja.” Mas Danu menampik tangan Evi. Dia seperti menahan malu.“Mas meja makanmu bagus banget. Seumur-umur aku baru lihat,” ucap Evi. Dia langsung duduk dan mengambil makan tanpa kami suruh terlebih dahulu.“Evi, sebentar lagi kami mau pergi sebaiknya kamu pulang dulu. Rumah ini akan kami kosongkan.”“Apa? Ya ampun, Mas! Aku jauh-
“Terserah Mbak aja mau bilang apa,” sungutku.“Eh, Ta. Aku cuma mau kasih tahu, ini Ibu lagi sakit, tadi pas ambil wudu untuk salat Zuhur terpeleset dan jatuh. Kami sudah bawa ke klinik. Ibu sekarang di rawat. Kamu ke sini, ya? Eh, jangan lupa bawa uang kami tidak ada duit untuk bayar biaya rawat Ibu.” Sebenarnya aku sangat syok dan juga sedih mendengar kabar ini, tapi karena yang memberi tahu adalah Mbak Susi aku jadi kesal padanya.“I—ya, Mbak. Insya Allah aku ke sana.”“Jangan pakai insya Allah, Ta! Kamu harus segera ke sini!”“Iya, Mbak. Insya Allah.”“Kamu itu insya Allah terus. Aku ti ....” Tuuutt! Kumatikan telepon. Percuma saja ngasih tahu Mbak Susi.Ponsel kembali berdering. Tapi, tidak kujawab. Biarkan saja. Mbak Susi itu bisanya ngajak ribut saja.“Siapa, Ta. Kok kayaknya kamu kesal gitu?”“Mbak Susi, Mah. Ngasih tahu kalau ibu masuk rumah sakit. Jatuh di kamar mandi,” jawabku sedih.“Innalillahi wa’innailaihiroji’un. Terus gimana kondisi ibumu, Ta?”“Aku enggak tanya sama
*Cinta adalah perbuatan. kata-kata dan tulisan indah hanyalah omong kosong! (Tere Liye)*Assalamualaikum semuaaaaaaa senang sekali Danu kembali hadir. Semoga kalian sehat dan bahagia selalu. Bantu follow, yuk!🌸🌸🌸 “Maaf siapa, ya?”Bukannya menjawab pertanyaanku justru perempuan ini nyelonong masuk begitu saja lalu duduk manis di sofa.“Eh, siapa kamu! Datang-datang enggak sopan!” bentak Mamah Atik.“Perkenalkan aku Evi, adik Mas Danu,” ucapnya bangga.Aku dan Mamah Atik saling berpandangan. Mamah Atik seolah menanyakan apa benar. Aku hanya menggeleng tidak tahu.“Salah alamat kali. Kan, banyak ‘tu yang namanya Danu,” ujar Mamah Atik lagi.“Enggak, dong! Nih, lihat!” Wanita yang bernama Evi ini memperlihatkan foto Mas Danu. Dari mana dia dapat foto terbaru Mas Danu. Itu foto diambil dua hari yang lalu saat kami jalan-jalan ke air terjun. Itu foto bersamaku bisa-bisanya fotonya dicrop begitu saja.“Iya, benar ini Danu anakku, dan ini Ita istri Danu,” ucap Mamah Atik. Wanita yang b
“Mainan sama Kia. Anakmu ini cantik dan pintar sekali ya, Dan. Aku jadi pingin punya anak,” jawab Mbak Asih seolah-olah dia tidak sedang sakit.“Alhamdulillah iya, Mbak.“ Mas Danu memangku Kia. Aku ikut duduk di lantai bersama mereka.“Mbak Asih kemarin ke mana sih, katanya kerja kok, enggak pulang?” tanyaku hati-hati. Mbak Asih hanya menggeleng saja.“Mbak Asih, Ita itu mau ngajak shopping beli baju baru. Eh, malahan Mbak Asih enggak pulang-pulang,” kata Mas Danu lagi.“Harusnya kamu telepon dulu, Ta. Jangan main asal tunggu. Kalau kamu kasih tahu mau ngajakin aku shopping pasti aku enggak mau janjian sama Mas Roni,” jawab Mbak Asih sambil menoyor kepalaku.“Oh, jadi Mbak Asih pergi shopping sama Mas Roni?” tanyaku.“Bukan shopping sih, tapi bulan madu. Kami tidur di hotel.” Mendengar pengakuan Mbak Asih Mas Danu sangat marah. Aku pun kaget. Kalau sudah ngomongin hotel sudah pasti ada bumbu-bumbu di dalamnya.“Mbak, harusnya jangan mau diajak Mas Roni kalau enggak shopping. Enak shop