“Ya Allah, Bapak?” Mas Danu masih berdiri terperangah melihat pada orang di depan ibu.“Kamu Wasimin?” tanya ibu.“Iya, betul. Kamu Sakiyem? Ya Allah, apa ini Danu? Anakku?” Mas Danu mengangguk kemudian mereka saling berpelukan dan menangis. Herannya wanita yang bersama Pak Wasimin itu diam saja berdiri dengan—angkuh. Tatapannya tidak suka. Bibirnya bergincu merah cabe.“Sakiyem apa apa kabar?” Kini gantian ibu yang bersalaman. Ibu sampai menitikkan air mata.“Aku baik, seperti yang kamu lihat. Kamu ke mana aja? Lihat anakmu Danu sudah sukses sekarang. Ini semua berkat aku.” Duh, ibu mulai deh, cari muka.“Alhamdulillah ... terima kasih banyak Sakiyem, kamu sudah merawat anakku dengan baik.” Pundak ibu ditepuk-tepuk.“Pak, kenalin ini istriku, Ita. Dik, kenalin ini, Bapaknya Mamas. Mertuamu,” ucap Mas Danu.Aku menyalami tangan beliau menciumnya takzim. Akhirnya aku bisa merasakan punya bapak mertua.“Danu, apa kalian sudah punya anak?” tanya bapak.“Iya, Kia, dia masih tidur di lanta
Ibu makan lahap sekali. Seperti orang kelaparan.“Lapar apa doyan?” tegur istri bapak.“Lapar juga doyan, aku belum makan siang, kebetulan ada kue, rezeki nomplok ini namanya,” jawab ibu sampai beliau tersedak.“Pelan-pelan, Yem. Ini diminum?” Bapak memberikan teh hangat pada ibu. Aneh, ibu tersipu malu. Astaghfirullah kenapa pemandangan di depan kami jadi macam sinetron ABG.“Papah, ih. Ada Mamah saja berani begitu, apalagi kalau enggak ada.” Istri bapak merajuk lagi.“Cuma kasih minum doang, situ marah? Cemburu ya, takut kalah saing. Aku loh, cantik dan kembang desa pada masanya,” sahut ibu. Istri bapak berdiri dan hendak pergi, tapi dicegah Mas Danu.“Duduklah Bu, mari makan bersama. Aku juga ingin kenal dengan Ibu sambungku,” ucap Mas Danu. Istri bapak menurut dan berkelendot manja pada bapak.“Namaku Atik, kami baru menikah dua tahun yang lalu. Kamu boleh panggil Mamah,” jawab Bu Atik.“Udah tua juga Mamah, Papah. Ingat umur malu sama yang muda,” sahut ibu sewot.“Enggak apa-apa
“Uang apa, Pak? Aku tidak pernah dikirimi uang oleh Bapak. Kalau aku dikirimi uang tentu saja aku yakin kalau Bapak masih hidup,” ujar Mas Danu.“Uang beneranlah, masa daun. Aku ini saksinya selama dua tahu ini menjadi istri bapakmu. Karena kamu tidak pernah balas sama sekali pun surat dari bapakmu akhirnya kami putuskan untuk pindah ke sini, rumah kami tidak jauh dari pasar sini. Bapakmu melakukan ini semua demi kamu,” sahut Bu Atik.Ibu dan Mas Danu kembali kaget. Apalagi ibu beliau terus saja geleng-geleng kepala.“Ta—tapi ... kami tidak pernah menerimanya. Iya, kan, Dan?” Mas Danu mengangguk. Mengiyakan ucapan ibu.“Halah! Eggak percaya, jelas-jelas kalian minta tiap bulan, aku sendiri yang mentransfernya,” jawab Bu Atik tidak terima.“Bapak kirim ke siapa?” tanyaku.“Ke Tono. Dia selalu bilang kalian susah ini dan itu. Makanya bapak tidak tega akhirnya kirim,” jawab bapak.“Apa!” Ibu langsung limbung untung bapak gesit menolong ibu.“Apa yang terjadi, kenapa kalian kaget begitu?
“Eh, Ta. Danu mana?” tanya ibu saat aku sedang sibuk menjemur pakaian.“Sudah ke toko Bu, dari sebelum subuh tadi. Ada apa, Bu?” jawabku tanpa kulihat ibu mertuaku beliau bersama Mbak Lili.“Em, anu, Ibu mau minta uang dong, mau belanja,” jawab ibu malu-malu.“Berapa, Bu?” Mendengar pertanyaanku ini terlihat sumringah.“Enggak banyak kok, Ta. 3 juta rupiah saja,” jawab ibu sambil membantuku menjemur baju.“Apa Bu, 3 juta rupiah? Enggak banyak. Itu bagiku banyak, Bu. Maaf kalau segitu enggak ada. Aku kira Ibu mau beli sembako atau jajanan pasar saja,” kataku sedikit kesal.“Pelit amat sih, kamu! Itu kan duit juga punya Danu. Kamu Cuma istrinya yang enggak bawa apa-apa ke sini!” teriak Mbak Lili. Padahal dia enggak perlu teriak juga aku dengar.“Iya, kamu pelit amat sih, Ta! Aku ini ibunya Danu loh, kamu cuma istri. Ingat istri itu orang asing!” imbuh ibu.“Aku orang asing? Siapa bilang?” jawabku santai.“Kami yang bilang. Memang kamu orang asing kok,” ungkap Mbak Lili ketus.“Yang oran
Aku buru-buru masuk rumah dan kukunci pintu belakang. Lari ke depan memberi tahu di mana harus meletakkan.Tidak lama kemudian datang lagi mobil truk mengangkut batu bata.Baru mobil yang mengangkut bahan bangunan saja semua orang sudah kepo apalagi geng ibu-ibu julid mereka langsung berkumpul di teras depan rumah ibu ada juga yang di teras belakang rumah yang dekat dengan dapurku.Bahan bangunan ini sumbangan dari bapak Mas Danu. Semalam kami berbicara tentang rencana mau renovasi rumah, jadi bapak mertua dengan senang hati mau membantu. Aku kira hanya beberapa saja ternyata sebanyak ini.Bapak kaget saat mendengar cerita Mas Danu tentang kelakuan ibu dan keluarganya. Tentang Mas Danu yang tidak di sekolahkan dan harus bekerja siang malam. Hasil kebun juga dimakan semua oleh ibu. Setahu bapak ibu itu orang baik. Jadi dia begitu yakin menitipkan Mas Danu padanya.Tentang uang yang dikirimkan dari dulu yang tidak sampai ke Mas Danu, kalau ditotal sudah lebih dari 150 juta rupiah karena
“Eh, benar itu kata Lili. Orang zaman sekarang itu yang penting dilihat orang lain mewah tanpa peduli benar atau tidaknya, halal haram sikat!” ucap Wak Romlah lagi. Mereka kemudian tertawa sinis padaku.“Terima kasih ya, Ibu-ibu yang baik hati sudah mentransfer pahala padaku. Lain kali kalau mau ngomongin orang berkaca dulu, diri kita sudah benar atau belum. Yang pakai pelaris siapa yang dituduh siapa. Awas loh, Bu-ibu nanti kalian jadi sasaran berikutnya,” katakaku telak. Ibu melotot tidak suka. Sedang yang lain saling pandang mungkin tidak paham dengan yang aku ucapkan.Tanpa mau dengar celotehan mereka lagi aku masuk rumah. Lebih baik aku browsing di internet cari model rumah yang bagus untuk kami.Tak lupa aku foto orang-orang yang sedang menurunkan genteng dari mobil truk dan juga memfoto semua bahan-bahan bangunan yang sudah terjejer rapi. Aku jadikan satu foto pakai aplikasi foto grid lalu kukirim ke Mas Danu.[Ya Allah, Sayang sebanyak ini yang dikirim, Bapak?] Mas Danu langsu
Prang!Prang!Dua kali bunyi teplon beradu di kepala Wak Tono. Beliau yang tidak siap dengan serangan hame haameham ala ibu kaget dan terhuyung ke tanah.Pak Tono mengaduh kesakitan dia terus saja memegang kepalanya.“Jahat kamu, Yem! Berani-beraninya kamu memukul kepalaku demi anak angkatmu itu,” ucap Wak Tono. Heran sekali sudah terpojok dan disiksa oleh ibu, tapi masih saja bisa membela diri.“Sekali lagi kamu bicara aku bakalan tabok mulut mau pakai teflon yang aku panaskan dulu di kompor!” jawab ibu. Nafasnya tersenggal-senggal, dadanya naik turun aku tahu sekali pasti menahan marahnya.“Tapi, memang betul begitu kan, Yem! Dulu kamu tidak membela anak itu padahal dulu kamu selalu berpihak padaku apa karena aku tidak membagi hasil kiriman dari bapaknya Danu atau kamu cari perhatian dari bapaknya Danu,jadi kamu memukulku begini lagi. Dasar janda tua gatel!” ujar Wak Tono. Dia masih saja tidak mau diam.Entah setan apa yang merasuki ibu mungkin karena ibu sangat emosi dan tidak teri
Kali ini orang-orang yang melihat aksi ibu malah tertawa terbahak-bahak mereka mungkin berpikir ibu dan Wak Tono sedang pemanasan main pukul-pukulan.“Ini hadiah yang setimpal untuk kamu, Mas! Sudah untung aku tidak menghujanimu dengan golok. Rasakan kamu!” pekik ibu.Prang!Prang!Pukulan demi pukulan mendarat lagi dengan sempurna di tubuh Wak Tono. Mas Roni yang pulang dari belanja langsung berlari menghampiri mereka berdua dan memegangi ibu agar tidak main pukul lagi.“Ibu, stop! Malu dilihat tetangga!” Ibu tidak peduli dengan larangan Mas Roni beliau masih saja mengumpat Wak Tono yang sudah tidak berdaya. Jidat Wak Tono sampai biru kehitaman karena teplon ibu bukan yang bagus bawahnya hitam habis dipakai untuk masak. Pipi Wak Tono memerah karena tamparan maut ibu.“Ibu, ih, stop!” Mbak Asih ikut memegangi ibu dan merampas teplon dari tangan ibu lalu membuangnya sembarangan. Naas teplon itu mendarat cantik ke tubuh Wak Tono. Teriakan kesakitan dari Wak Tono seolah lagu comedy yang
~k~u 🌸🌸🌸“Mas, siapa perempuan ini?” Akhirnya kutanyakan langsung foto yang tadi siang dikirim oleh paman.Mas Danu mengerutkan keningnya matanya menatapku penuh selidik.“Ini nomor Paman Mas, lihat tuh, WA-nya dari atas,” jelasku. Mas Danu memang tidak paham jika pakai smartphone.“Ini dikirim tadi pagi kenapa enggak bilang langsung, Dik?”“Gimana mau bilang kan, Mas sibuk di toko.”“Siapa wanita berbaju orange itu, Mas?” cecarku.“Itu ... em, tapi kamu jangan marah, ya?” Mendengar jawaban Mas Danu justru aku semakin takut. Takut kalau apa yang aku pikirkan benar.“Jawablah, Mas jangan berkelit gitu.”“Namanya Maya, dia teman sekolah Mas waktu SD. Waktu itu tanpa sengaja bertemu di toko. Setelah pertemuan pertama dia sering datang dan banyak bercerita tentang rumah tangganya ....” Mas Danu menjeda ceritanya.Aku sudah berkeringat panas padahal suhu udara malam ini dingin karena tadi sore hujan sangat deras dan sekarang pun masih gerimis kecil.“Karena Mas kasihan makanya Mas seri
“Enggak bersih berarti tidak ada acara masuk rumah.” Mamah Atik ikut menimpali.“Apa ini sudah cukup, Bu?” tanya Evi memperlihatkan irik yang berisi pucuk daun singkong.“Belum! Petik yang banyak, di rumah banyak orang jadi banyak juga yang makan kalau cuma segini habis sama kamu aja!” Mamah Atik pun tidak kalah sengit memarahi Evi.“Aku adukan kalian sama Mas Danu biar kapok!” Ancam Evi.“Adukan saja sana! Danu tidak akan pernah ambil pusing,” jawab Mamah Atik.“Paman, jangan main HP terus nanti HP-nya masuk parit kami lagi yang disalahin dan suruh ganti,” kataku agak kuat karena jarak kami lumayan jauh.“Eh, iya, Ya. Ini aku hanya kirim pesan pada Danu saja,” jawab paman.Benar saja setelah kucek ponsel Mas Danu yang ada di saku celanaku ternyata ada pesan masuk lagi dari paman.[Keputusanmu akan menentukan nasib rumah tanggamu, Dan. Cepat katakan iya atau tidak!]Lagi hanya kubaca saja. Aku tidak berminat sama sekali untuk membalas.“Sudah ada gledek, tuh! Buruan nanti keburu turun
🌸🌸🌸Hidup sejatinya adalah perjalanan. Sekarang tergantung kita mau pilih jalan yang mana. Di depan sana ada banyak sekali rintangannya. Berkelok-kelok, lurus mulus, licin berlumpur atau naik turun.Aku menghela nafas berat saat membaca pesan dari paman Mas Danu. Pesan itu langsung kuteruskan ke ponselku.Paman Mas Danu sebenarnya belum selesai berbicara dengan Mas Danu hanya saja tadi tiba-tiba Joko menelepon ada pelanggan tetap mau belanja bulanan dan jumlahnya sangat banyak. Makanya Mas Danu buru-buru pergi ke toko.Paman dan juga Evi kami persilakan untuk menunggu di rumah. Bagaimana pun juga mereka adalah tamu.‘... Barang siapa beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya .... HR. Bukhari dan Muslim.Aku memang bukan seorang yang mulus tanpa dosa, tapi aku akan selalu berusaha berbuat baik pada siapa pun meski dianggap bodoh.Bapakku selalu berpesan untuk selalu berbuat baik meski kita dimanfaatkan, meski kita tidak dianggap. Karena kebaikan itu aka
~k~u🌸🌸🌸“Loh, siapa kamu!” tegur Mamah Atik saat melihat pria seumuran bapak main nyelonong duduk di teras rumah tanpa permisi.Kami sedang berjemur sekalian menyuapi Kia. Beberapa hari ini hujan terus udara di sini pun sangat dingin.Orang itu bukannya menyahut malah menyalakan rokok.“Paman, ini sarapannya. Nasi uduk aja, ya? Duitku nipis,” ucap Evi. Kami kaget ternyata itu pamannya Mas Danu.“Kamu itu kenapa juga beli beginian. Rumah Mamasmu ini besar gendongan tentunya di dalam banyak makanan. Makan nasi uduk begini Paman mules perutnya.”“Kalian ngapain lihat-lihat! Sekarang mana Mas Danu. Aku mau ketemu Mas Danu,” bentak Evi pada kami.Baru saja aku hendak menyangkal ucapan Evi, Mas Danu sudah ke luar rumah.“Masss ....” Evi lari menghampiri Mas Danu.“Danu. Akhirnya kita bisa bertemu lagi. Paman dari kemarin sudah ada di sini, tapi anak buahmu bilang kamu ada urusan keluarga dan enggak pulang.” Orang yang mengaku Paman Mas Danu pun tergopoh-gopoh menghampiri Mas Danu.Mas Da
Assalamualaikum everyone ....Alhamdulillah bisa up bab baru. Yuk, bantu follow akunku 😍🌸🌸🌸“Sini, Ta, biar Mamah yang telepon, Joko!” Kuberikan ponselku pada Mamah.Tidak menunggu lama telepon tersambung.“Halo, Mas Joko! Ini Mamah Atik. Tolong itu barang-barang yang mau diangkut sama Susi ambil lagi!”“Loh, a—nu, Bu. Itu katanya sudah dapat izin dari Ita,” jawab Mas Joko terbata pasti Mas Joko kaget Mamah Atik to the poin begitu.“Enggak! Baik Ita ataupun Danu enggak ada yang izinin. Di mana Susi? Apa sudah pulang?”“Be—lum, Bu. Ma—sih nimbang telur.”“Dasar orang tidak tahu malu. Pokoknya aku enggak mau tahu, ya, ambil lagi apa yang mau diangkut Susi kalau enggak gaji kamu bulan ini tidak aku berikan!” Ancam Mamah Atik.“Aduh! Ba—ik, Bu.”Tuuuutt ....Mamah mematikan telepon.“Ini, Ta. 10 menit lagi kita telepon Joko. Kamu itu menyek-menyek jadi orang makanya saudara-saudara kamu itu selalu saja meremehkanmu.”“Aku hanya tidak ingin hubungan yang sudah tidak baik makin tidak b
Hatiku panas mendengar perempuan lain mengagumi suamiku.“Mana anakmu kenapa tidak kamu ajak?” tanya Mas Danu.“Mas aku capek loh, nungguin kamu panas dan haus juga kamu malah tega tanya ini dan itu di sini,” rengeknya.Kami masuk dan Evi membuntuti kami.“Mas, rumahmu bagus banget ya, pantas paman selalu membanggakan kamu.” Mas Danu diam saja. Dia fokus minum dan menikmati donat yang kusuguhkan.“Danu, kamu makan dulu. Pasti kamu lapar,” titah Mamah Atik.“Iya, Mah. Dik, temani Mas makan, ya?”“Aku juga mau makan Mas. Yuk, aku temani.” Evi gegas berdiri dan menarik tangan Mas Danu.“Bukan Dik, kamu. Itu panggilan untuk istriku. Aku memanggilmu dengan namamu saja.” Mas Danu menampik tangan Evi. Dia seperti menahan malu.“Mas meja makanmu bagus banget. Seumur-umur aku baru lihat,” ucap Evi. Dia langsung duduk dan mengambil makan tanpa kami suruh terlebih dahulu.“Evi, sebentar lagi kami mau pergi sebaiknya kamu pulang dulu. Rumah ini akan kami kosongkan.”“Apa? Ya ampun, Mas! Aku jauh-
“Terserah Mbak aja mau bilang apa,” sungutku.“Eh, Ta. Aku cuma mau kasih tahu, ini Ibu lagi sakit, tadi pas ambil wudu untuk salat Zuhur terpeleset dan jatuh. Kami sudah bawa ke klinik. Ibu sekarang di rawat. Kamu ke sini, ya? Eh, jangan lupa bawa uang kami tidak ada duit untuk bayar biaya rawat Ibu.” Sebenarnya aku sangat syok dan juga sedih mendengar kabar ini, tapi karena yang memberi tahu adalah Mbak Susi aku jadi kesal padanya.“I—ya, Mbak. Insya Allah aku ke sana.”“Jangan pakai insya Allah, Ta! Kamu harus segera ke sini!”“Iya, Mbak. Insya Allah.”“Kamu itu insya Allah terus. Aku ti ....” Tuuutt! Kumatikan telepon. Percuma saja ngasih tahu Mbak Susi.Ponsel kembali berdering. Tapi, tidak kujawab. Biarkan saja. Mbak Susi itu bisanya ngajak ribut saja.“Siapa, Ta. Kok kayaknya kamu kesal gitu?”“Mbak Susi, Mah. Ngasih tahu kalau ibu masuk rumah sakit. Jatuh di kamar mandi,” jawabku sedih.“Innalillahi wa’innailaihiroji’un. Terus gimana kondisi ibumu, Ta?”“Aku enggak tanya sama
*Cinta adalah perbuatan. kata-kata dan tulisan indah hanyalah omong kosong! (Tere Liye)*Assalamualaikum semuaaaaaaa senang sekali Danu kembali hadir. Semoga kalian sehat dan bahagia selalu. Bantu follow, yuk!🌸🌸🌸 “Maaf siapa, ya?”Bukannya menjawab pertanyaanku justru perempuan ini nyelonong masuk begitu saja lalu duduk manis di sofa.“Eh, siapa kamu! Datang-datang enggak sopan!” bentak Mamah Atik.“Perkenalkan aku Evi, adik Mas Danu,” ucapnya bangga.Aku dan Mamah Atik saling berpandangan. Mamah Atik seolah menanyakan apa benar. Aku hanya menggeleng tidak tahu.“Salah alamat kali. Kan, banyak ‘tu yang namanya Danu,” ujar Mamah Atik lagi.“Enggak, dong! Nih, lihat!” Wanita yang bernama Evi ini memperlihatkan foto Mas Danu. Dari mana dia dapat foto terbaru Mas Danu. Itu foto diambil dua hari yang lalu saat kami jalan-jalan ke air terjun. Itu foto bersamaku bisa-bisanya fotonya dicrop begitu saja.“Iya, benar ini Danu anakku, dan ini Ita istri Danu,” ucap Mamah Atik. Wanita yang b
“Mainan sama Kia. Anakmu ini cantik dan pintar sekali ya, Dan. Aku jadi pingin punya anak,” jawab Mbak Asih seolah-olah dia tidak sedang sakit.“Alhamdulillah iya, Mbak.“ Mas Danu memangku Kia. Aku ikut duduk di lantai bersama mereka.“Mbak Asih kemarin ke mana sih, katanya kerja kok, enggak pulang?” tanyaku hati-hati. Mbak Asih hanya menggeleng saja.“Mbak Asih, Ita itu mau ngajak shopping beli baju baru. Eh, malahan Mbak Asih enggak pulang-pulang,” kata Mas Danu lagi.“Harusnya kamu telepon dulu, Ta. Jangan main asal tunggu. Kalau kamu kasih tahu mau ngajakin aku shopping pasti aku enggak mau janjian sama Mas Roni,” jawab Mbak Asih sambil menoyor kepalaku.“Oh, jadi Mbak Asih pergi shopping sama Mas Roni?” tanyaku.“Bukan shopping sih, tapi bulan madu. Kami tidur di hotel.” Mendengar pengakuan Mbak Asih Mas Danu sangat marah. Aku pun kaget. Kalau sudah ngomongin hotel sudah pasti ada bumbu-bumbu di dalamnya.“Mbak, harusnya jangan mau diajak Mas Roni kalau enggak shopping. Enak shop