“Heh, pelakor ngapain kamu manggil-manggil aku!” bentak Mbak Asih.“Berani sekali perempuan tidak tahu diri itu datang lagi ke sini!” ucap ibu kesal giginya sampai bergemeletuk.“Sebaiknya hati-hati Mbak, itu mbak Desi bawa gunting,” kataku mengingatkan.“Halah enggak takut aku! Mau bawa pedang atau bedil sekalian!” Tantang Mbak Asih."Iya, Sih, hati-hati dia itu wanita gil4!" umpat ibu.“Kurang ajar kamu, ya, Sih! Ikut campur masalahku!” teriak Mbak Desi lagi. Dia masih berdiri di tempat.“Masalah mana? Aku enggak merasa, tuh!” sahut Mbak Asih santai.“Hah! Kamu sudah merusak rencanaku! Kamu bantu Mas Eko untuk kembali lagi pada istrinya. Kamu kurang ajar!” Mbak Desi seperti kesetanan dia lari menyerang Mbak Asih.Aku dan ibu teriak histeris dan meminta tolong. Mbak Asih dan Mbak Desi terlibat perkelahian. Aku takut Mbak Desi melukai pakai gunting yang dia bawa.“Aaaa tolong!”“Tolong!”Aku dan ibu terus berteriak minta tolong barang kali ada orang lewat.Ada Mas Danu, tapi karena ko
“Astaghfirullah!” Kami beristighfar.“Cukup jelas bukan Mas? Kalau kamu diguna-guna sama dia!” ucap Mbak Lili lagi. Mas Eko terlihat syok.“Ck, apa bedanya dengan kamu! Sok suci! Kamu pun mendatangi dukun itu!” sindir Mbak Desi.“Ha-ha aku mendatangi dukun itu membantu adikku melepas peletnya dari kamu!” sahut Mbak Asih.Aku tentu saja kaget ternyata mereka berdua main dukun. Apa iya, mereka berdua omongannya bisa dipercaya.“Kurang ajar!” Awas kamu, Asih!” Mbak Desi hendak menyerang Mbak Asih lagi, tapi Mas Eko gesit menyekal tangan Mbak Desi.“Kamu jahat Mas!” Kini Mbak Desi berbalik marah pada Mas Eko.“Aku sudah menalakmu, Des. Aku juga sudah berbaik hati mengantarkan kamu pulang baik-baik, tapi kenapa kamu masih saja ke sini, bikin keributan di sini. Malu dilihat tetangga,” ucap Mas Eko.“A—aku ... hamil Mas,” jawab Mbak Desi lirih, tapi cukup membuat kami semua terkejut.“Apa! Jangan ngadi-ngadi dah! Tunggu di sini aku mau ke aptoik beli test pack!” titah Mbak Asih.Dia lari k
“Buruan, ih, lelet banget!” bentak Mbak Asih karena Mbak Desi jalannya lama sekali.Kami semua deg-degan menunggu hasil. Mbak Asih mencelupkan test pack ke dalam air seni Mbak Desi.Dua menit hasil sudah kelihatan. Mbak Desi terlihat girang.“Tuh, kan Mas ... aku hamil.” Ucap Mbak Desi senang. Mbak Lili kesal dia lari pulang.“Kita tetap cerai, Des. Aku tidak mencintaimu apalagi setelah tahu kamu guna-guna aku. Tenang saja aku tetap menafkahi anak itu.” Mas Eko menyusul Mbak Lili sedang Mbak Desi dicuekin.“Rasain! Makanya jadi perempuan enggak usah kegatelan!” ejek Mbak Asih dan berlalu menyusul Mbak Lili.“Anak masih bayi sudah hamil lagi, repot sendiri, kan? Gatel sih!” sahut ibu.Mbak Desi menangis, aku dan Mas Danu bingung mau ngapain. Sebenarnya tidak tega, tapi aku juga tidak boleh gegabah membawa dia masuk ke rumah.“Mbak, ini ada ongkos untuk pulang, besok kalau sudah pada tenang boleh kembali lagi ke sini,” ucap Mas Danu dia memberikan dua lembar uang merah pada Mbak Desi.“
Awalnya Wira cuek karena Mas Danu yang memanggil, tapi setelah dia melihatku langsung menghampiri.“Mbak, ya Allah, kok bisa sampai sini?” tanya Wira padaku. Dia sama sekali tidak menyapa Mas Danu.“Iya, Wir, ini Mbak sama Mas Danu—““Apa kalian bekerja juga di kota ini? Kasihan sekali kamu Mbak,” ucap Wira memotong omonganku. Dia melirik sinis pada Mas Danu.“Tidak Wir, kami ke sini belanja. Itu belanjaanya masih di masukkan ke mobil,” jawabku sambil menunjuk mobil juragan ikan.Wira mengerutkan keningnya pasti dia heran dan tidak menyangka. “Mbak disuruh siapa belanja sebanyak itu?” tanyanya lagi.“Tidak ada yang menyuruh, itu belanjaan kami. Alhamdulillah kami mau buka toko di pasar induk kecamatan tempat tinggal Mbak.” Wira kaget lalu melihat Mas Danu tidak percaya.Sebenarnya aku takut Mas Danu mau berbalik mengejek, tapi dia tidak melakukan itu. Mas Danu memang benar-benar orang baik.“Sayang, kok kamu berdiri di situ lama banget. Siapa dia?” tanya seorang gadis yang tadi ngobro
Assalamualaikum selamat pagi semuanya. Teman-teman apa kabar? Semoga selalu dalam keadaan sehat dan bahagia selalu. Oh, ya, follow akunku, ya? Terima kasih 🥰🌸🌸🌸“Bu, beli beras yang lima kilogram 1 karung, telur 1 kg ....”“Ini Mbak. Semuanya 68 ribu rupiah." Bu warung seperti biasa selalu tersenyum manis padaku meski aku biasanya belanja hanya seliter atau setengah kilogram beras dan terlur 1 butir.“Ini uangnya.” Kuberikan uang 100 ribu rupiah pada Bu warung.“Ita, sekarang kalau belanja duitnya merah-merah semua, sudah berbagi belum tu, sama mertuanya?” Komentar Bu Jum, aku tadi pas belanja enggak ada dia, ini kenapa dia tiba-tiba ada di sini.“Alhamdulillah, kalau Ibu ikut senang, berarti Ita sekarang sudah ada banyak kemajuan hidupnya. Roda kehidupan itu berputar Bu, jadi jangan suka menghina orang,” jawab Bu warung.“Ck, kamu itu mentang-mentang Ita belanja di sini kamu belain. Eh, tapi ... Ita masih punya hutang sama Ibu mertuanya 200 ribu rupiah. Masa duit banyak enggak b
“Danu suamiku, Mbak. Sekarang aku sudah menjadi istrinya jadi kalau Mbak Ning dan yang lainnya tidak bisa menghormati suamiku maka aku juga tidak akan bisa menghormati kalian.”“Kami ini keluargamu. Kalau ada apa-apa kami yang maju lebih dulu, Ta. Sedang Danu hanya orang lain?” bentak Mbak Susi.“Memang benar, Mbak. Mas Danu orang lain yang sudah ditakdirkan jadi jodohku maka aku wajib menjaga maruahnya. Sekarang kalau pertanyaannya dibalik. Apa Mbak Susi juga akan mengabaikan suami demi saudara. Suami Mbak Susi juga orang lain, loh?” tanyaku telak bisa-bisanya Mbak ngomong begitu tanpa memikirkan tersinggung atau tidaknya diriku.“Kamu sekarang sudah berani ya Ta, melawan kami, awas saja kamu kalau ada apa-apa jangan minta sama kami!”“Mbak Susi yang buat aku begini dan dari aku menikah pun tidak pernah meminta apa pun pada kalian. Meski hidupku susah!” Kututup telepon dengan hati panas. Mereka bukannya introspeksi diri malah menyalahkan Mas Danu.Ting!Satu pesan mendarat dari nomor
Tangisan Kia membangunkan tidur siangku. MasyaAllah aku tertidur saat mendengarkan celotehan Mbak Asih yang seperti orang kesurupan tadi.Segera kususui Kia, dan kulirik jam ternyata sudah pukul 13.13 WIB.Setelah Kia tenang dan kenyang aku ajak turun dan kutaruh di bawah, kuberi biskuit Milna dan segera aku ambil makan siang lalu siap-siap ke sawah Bulek Minah.Tepat jam 2 siang aku berangkat. Kukayuh sepedaku sekuat tenaga aku tidak ingin kepergok Mbak Asih. Dia benar-benar kehilangan akal. Demi duit 300 ribu rupiah saja rela mengganggu ketenangan orang lain. Mungkin kalau orang lain akan melawan bahkan melaporkan pada yang berwajib. Masih untung iparnya aku.Walaupun aku sekolah hanya lulusan SMA masalah begitu aku tahu, hanya saja aku memilih diam.Hamparan sawah yang mulai menguning menyejukkan pemandangan, ditambah segarnya angin yang bertiup membawa aroma alam membuat siapa pun betah di sawah dan juga takjub akan ciptaan-NYA.“Assalamu’ailikum ... Bulek!” teriakku.Bulek Minah
“Iya, Mas, jadi. Alhamdulillah. Maaf ya, menunggu lama.”“Tidak apa-apa, kalau datang tadi juga banyak debu karena mindah-mindahin barang. Kasihan Kia.”“Ya sudah, Mas salat Maghrib dulu," titahku.Aku masuk ruko sudah lumayan rapi, pasti ini kerjaan Joko. Lalu aku naik ke lantai dua. Ada kasur lantai baru dan juga bantal tersusun rapi di pojok ruangan. Lainnya untuk tempat barang-barang.Alhamdulillah. Aku berkali-kali berucap syukur. Allah maha segalanya siapa yang tahu aku yang setiap hari dicaci maki karena miskin sekarang mulai menapaki kehidupan yang lebih baik.Kuambil ponsel dari tasku. Ini adalah tas satu-satunya yang aku punya. Karena semua barang-barangku ikut terbakar kemarin.Benar saja Mbak Asih yang telepon ada juga Wak Tono. Ada apa lagi beliau menelepon. Seketika aku jadi ingat unggahan setatus kawan di FB. Katanya jangan cari saudara cari saja uang yang banyak nanti juga semua orang ngaku saudara.“Dik, besok kita buat acara pengajian di rumah untuk pembukaan toko k
~k~u 🌸🌸🌸“Mas, siapa perempuan ini?” Akhirnya kutanyakan langsung foto yang tadi siang dikirim oleh paman.Mas Danu mengerutkan keningnya matanya menatapku penuh selidik.“Ini nomor Paman Mas, lihat tuh, WA-nya dari atas,” jelasku. Mas Danu memang tidak paham jika pakai smartphone.“Ini dikirim tadi pagi kenapa enggak bilang langsung, Dik?”“Gimana mau bilang kan, Mas sibuk di toko.”“Siapa wanita berbaju orange itu, Mas?” cecarku.“Itu ... em, tapi kamu jangan marah, ya?” Mendengar jawaban Mas Danu justru aku semakin takut. Takut kalau apa yang aku pikirkan benar.“Jawablah, Mas jangan berkelit gitu.”“Namanya Maya, dia teman sekolah Mas waktu SD. Waktu itu tanpa sengaja bertemu di toko. Setelah pertemuan pertama dia sering datang dan banyak bercerita tentang rumah tangganya ....” Mas Danu menjeda ceritanya.Aku sudah berkeringat panas padahal suhu udara malam ini dingin karena tadi sore hujan sangat deras dan sekarang pun masih gerimis kecil.“Karena Mas kasihan makanya Mas seri
“Enggak bersih berarti tidak ada acara masuk rumah.” Mamah Atik ikut menimpali.“Apa ini sudah cukup, Bu?” tanya Evi memperlihatkan irik yang berisi pucuk daun singkong.“Belum! Petik yang banyak, di rumah banyak orang jadi banyak juga yang makan kalau cuma segini habis sama kamu aja!” Mamah Atik pun tidak kalah sengit memarahi Evi.“Aku adukan kalian sama Mas Danu biar kapok!” Ancam Evi.“Adukan saja sana! Danu tidak akan pernah ambil pusing,” jawab Mamah Atik.“Paman, jangan main HP terus nanti HP-nya masuk parit kami lagi yang disalahin dan suruh ganti,” kataku agak kuat karena jarak kami lumayan jauh.“Eh, iya, Ya. Ini aku hanya kirim pesan pada Danu saja,” jawab paman.Benar saja setelah kucek ponsel Mas Danu yang ada di saku celanaku ternyata ada pesan masuk lagi dari paman.[Keputusanmu akan menentukan nasib rumah tanggamu, Dan. Cepat katakan iya atau tidak!]Lagi hanya kubaca saja. Aku tidak berminat sama sekali untuk membalas.“Sudah ada gledek, tuh! Buruan nanti keburu turun
🌸🌸🌸Hidup sejatinya adalah perjalanan. Sekarang tergantung kita mau pilih jalan yang mana. Di depan sana ada banyak sekali rintangannya. Berkelok-kelok, lurus mulus, licin berlumpur atau naik turun.Aku menghela nafas berat saat membaca pesan dari paman Mas Danu. Pesan itu langsung kuteruskan ke ponselku.Paman Mas Danu sebenarnya belum selesai berbicara dengan Mas Danu hanya saja tadi tiba-tiba Joko menelepon ada pelanggan tetap mau belanja bulanan dan jumlahnya sangat banyak. Makanya Mas Danu buru-buru pergi ke toko.Paman dan juga Evi kami persilakan untuk menunggu di rumah. Bagaimana pun juga mereka adalah tamu.‘... Barang siapa beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya .... HR. Bukhari dan Muslim.Aku memang bukan seorang yang mulus tanpa dosa, tapi aku akan selalu berusaha berbuat baik pada siapa pun meski dianggap bodoh.Bapakku selalu berpesan untuk selalu berbuat baik meski kita dimanfaatkan, meski kita tidak dianggap. Karena kebaikan itu aka
~k~u🌸🌸🌸“Loh, siapa kamu!” tegur Mamah Atik saat melihat pria seumuran bapak main nyelonong duduk di teras rumah tanpa permisi.Kami sedang berjemur sekalian menyuapi Kia. Beberapa hari ini hujan terus udara di sini pun sangat dingin.Orang itu bukannya menyahut malah menyalakan rokok.“Paman, ini sarapannya. Nasi uduk aja, ya? Duitku nipis,” ucap Evi. Kami kaget ternyata itu pamannya Mas Danu.“Kamu itu kenapa juga beli beginian. Rumah Mamasmu ini besar gendongan tentunya di dalam banyak makanan. Makan nasi uduk begini Paman mules perutnya.”“Kalian ngapain lihat-lihat! Sekarang mana Mas Danu. Aku mau ketemu Mas Danu,” bentak Evi pada kami.Baru saja aku hendak menyangkal ucapan Evi, Mas Danu sudah ke luar rumah.“Masss ....” Evi lari menghampiri Mas Danu.“Danu. Akhirnya kita bisa bertemu lagi. Paman dari kemarin sudah ada di sini, tapi anak buahmu bilang kamu ada urusan keluarga dan enggak pulang.” Orang yang mengaku Paman Mas Danu pun tergopoh-gopoh menghampiri Mas Danu.Mas Da
Assalamualaikum everyone ....Alhamdulillah bisa up bab baru. Yuk, bantu follow akunku 😍🌸🌸🌸“Sini, Ta, biar Mamah yang telepon, Joko!” Kuberikan ponselku pada Mamah.Tidak menunggu lama telepon tersambung.“Halo, Mas Joko! Ini Mamah Atik. Tolong itu barang-barang yang mau diangkut sama Susi ambil lagi!”“Loh, a—nu, Bu. Itu katanya sudah dapat izin dari Ita,” jawab Mas Joko terbata pasti Mas Joko kaget Mamah Atik to the poin begitu.“Enggak! Baik Ita ataupun Danu enggak ada yang izinin. Di mana Susi? Apa sudah pulang?”“Be—lum, Bu. Ma—sih nimbang telur.”“Dasar orang tidak tahu malu. Pokoknya aku enggak mau tahu, ya, ambil lagi apa yang mau diangkut Susi kalau enggak gaji kamu bulan ini tidak aku berikan!” Ancam Mamah Atik.“Aduh! Ba—ik, Bu.”Tuuuutt ....Mamah mematikan telepon.“Ini, Ta. 10 menit lagi kita telepon Joko. Kamu itu menyek-menyek jadi orang makanya saudara-saudara kamu itu selalu saja meremehkanmu.”“Aku hanya tidak ingin hubungan yang sudah tidak baik makin tidak b
Hatiku panas mendengar perempuan lain mengagumi suamiku.“Mana anakmu kenapa tidak kamu ajak?” tanya Mas Danu.“Mas aku capek loh, nungguin kamu panas dan haus juga kamu malah tega tanya ini dan itu di sini,” rengeknya.Kami masuk dan Evi membuntuti kami.“Mas, rumahmu bagus banget ya, pantas paman selalu membanggakan kamu.” Mas Danu diam saja. Dia fokus minum dan menikmati donat yang kusuguhkan.“Danu, kamu makan dulu. Pasti kamu lapar,” titah Mamah Atik.“Iya, Mah. Dik, temani Mas makan, ya?”“Aku juga mau makan Mas. Yuk, aku temani.” Evi gegas berdiri dan menarik tangan Mas Danu.“Bukan Dik, kamu. Itu panggilan untuk istriku. Aku memanggilmu dengan namamu saja.” Mas Danu menampik tangan Evi. Dia seperti menahan malu.“Mas meja makanmu bagus banget. Seumur-umur aku baru lihat,” ucap Evi. Dia langsung duduk dan mengambil makan tanpa kami suruh terlebih dahulu.“Evi, sebentar lagi kami mau pergi sebaiknya kamu pulang dulu. Rumah ini akan kami kosongkan.”“Apa? Ya ampun, Mas! Aku jauh-
“Terserah Mbak aja mau bilang apa,” sungutku.“Eh, Ta. Aku cuma mau kasih tahu, ini Ibu lagi sakit, tadi pas ambil wudu untuk salat Zuhur terpeleset dan jatuh. Kami sudah bawa ke klinik. Ibu sekarang di rawat. Kamu ke sini, ya? Eh, jangan lupa bawa uang kami tidak ada duit untuk bayar biaya rawat Ibu.” Sebenarnya aku sangat syok dan juga sedih mendengar kabar ini, tapi karena yang memberi tahu adalah Mbak Susi aku jadi kesal padanya.“I—ya, Mbak. Insya Allah aku ke sana.”“Jangan pakai insya Allah, Ta! Kamu harus segera ke sini!”“Iya, Mbak. Insya Allah.”“Kamu itu insya Allah terus. Aku ti ....” Tuuutt! Kumatikan telepon. Percuma saja ngasih tahu Mbak Susi.Ponsel kembali berdering. Tapi, tidak kujawab. Biarkan saja. Mbak Susi itu bisanya ngajak ribut saja.“Siapa, Ta. Kok kayaknya kamu kesal gitu?”“Mbak Susi, Mah. Ngasih tahu kalau ibu masuk rumah sakit. Jatuh di kamar mandi,” jawabku sedih.“Innalillahi wa’innailaihiroji’un. Terus gimana kondisi ibumu, Ta?”“Aku enggak tanya sama
*Cinta adalah perbuatan. kata-kata dan tulisan indah hanyalah omong kosong! (Tere Liye)*Assalamualaikum semuaaaaaaa senang sekali Danu kembali hadir. Semoga kalian sehat dan bahagia selalu. Bantu follow, yuk!🌸🌸🌸 “Maaf siapa, ya?”Bukannya menjawab pertanyaanku justru perempuan ini nyelonong masuk begitu saja lalu duduk manis di sofa.“Eh, siapa kamu! Datang-datang enggak sopan!” bentak Mamah Atik.“Perkenalkan aku Evi, adik Mas Danu,” ucapnya bangga.Aku dan Mamah Atik saling berpandangan. Mamah Atik seolah menanyakan apa benar. Aku hanya menggeleng tidak tahu.“Salah alamat kali. Kan, banyak ‘tu yang namanya Danu,” ujar Mamah Atik lagi.“Enggak, dong! Nih, lihat!” Wanita yang bernama Evi ini memperlihatkan foto Mas Danu. Dari mana dia dapat foto terbaru Mas Danu. Itu foto diambil dua hari yang lalu saat kami jalan-jalan ke air terjun. Itu foto bersamaku bisa-bisanya fotonya dicrop begitu saja.“Iya, benar ini Danu anakku, dan ini Ita istri Danu,” ucap Mamah Atik. Wanita yang b
“Mainan sama Kia. Anakmu ini cantik dan pintar sekali ya, Dan. Aku jadi pingin punya anak,” jawab Mbak Asih seolah-olah dia tidak sedang sakit.“Alhamdulillah iya, Mbak.“ Mas Danu memangku Kia. Aku ikut duduk di lantai bersama mereka.“Mbak Asih kemarin ke mana sih, katanya kerja kok, enggak pulang?” tanyaku hati-hati. Mbak Asih hanya menggeleng saja.“Mbak Asih, Ita itu mau ngajak shopping beli baju baru. Eh, malahan Mbak Asih enggak pulang-pulang,” kata Mas Danu lagi.“Harusnya kamu telepon dulu, Ta. Jangan main asal tunggu. Kalau kamu kasih tahu mau ngajakin aku shopping pasti aku enggak mau janjian sama Mas Roni,” jawab Mbak Asih sambil menoyor kepalaku.“Oh, jadi Mbak Asih pergi shopping sama Mas Roni?” tanyaku.“Bukan shopping sih, tapi bulan madu. Kami tidur di hotel.” Mendengar pengakuan Mbak Asih Mas Danu sangat marah. Aku pun kaget. Kalau sudah ngomongin hotel sudah pasti ada bumbu-bumbu di dalamnya.“Mbak, harusnya jangan mau diajak Mas Roni kalau enggak shopping. Enak shop